Sepintas, mungkin tak ada korelasi di antara ketiga peristiwa penting yang berlangsung di negeri tercinta belakangan ini. Namun, kalau ditilik lebih jauh pada detil latar belakang dan penanganan persoalan ketiganya, akan tampaklah watak sesungguhnya perilaku bangsa (baca: birokrat) kita. Dan kita mesti melakukan introspeksi terhadapnya.
KPK
Dalam hal kejadian terakhir, yakni gempa bumi yang menimpa Sumatra Barat dan sekitarnya, satu hal yang sangat menunjukkan ketidaksiapan kita dalam menangani bencana adalah tidak adanya koordinasi yang jelas dalam melakukan tindak tanggap-darurat. Kita lihat, betapa banyak pejabat kita yang melakukan kunjungan ke tempat kejadian dan mereka semua memberikan instruksi; tanpa pemahaman yang tepat akan apa yang sesungguhnya terjadi dan perencanaan apa yang telah dibuat.
Kata-kata yang bersifat umum dan cenderung normatif amat sering dilontarkan seperti “kita harus mendahulukan penyelamatan korban yang masih hidup” dan “kita harus secepatnya melakukan rekonstruksi”. Ini adalah kata-kata yang sudah mafhum bagi semua orang dalam menghadapi bencana. Tetapi bagaimana itu mesti dilakukan, siapa, dari mana dananya, tentu belum jelas; sesuatu yang seharusnya sudah dipersiapkan bahkan ketika tidak (belum) terjadi bencana.
Dalam hal seperti ini, kita harus akui bahwa kita tidak (belum) memiliki kesiapan untuk menghadapi bencana alam. Kita selalu beranggapan bahwa semuanya akan berjalan normal-normal saja. Bahkan kita tidak pernah membayangkan; apa yang mesti kita lakukan kalau kita menghadapi bencana alam, atau perang, dengan skala yang lebih luas dengan gempa yang menimpa Sumbar itu atau tsunami yang meluluhlantakkan Aceh hampir lima tahun lalu. Para pejabat dan birokrat kita tentu akan duduk termangu, atau kalang-kabut lantaran panik, sepanik mereka saat ini dan yang terus berulang dan berulang.
Dalam hal yang kedua, yakni perseteruan terbuka antara pihak Polri dan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang terjadi menjelang peristiwa gempa di Sumbar itu dan yang terus menghangat hingga kini, menunjukkan betapa buruknya kinerja birokrasi kita. Bagaimana mungkin, dua lembaga yang semestinya bekerja sama dalam memberantas korupsi, justru secara terang-terangan di layar kaca dan media lainnya, saling tuduh pihak yang satu telah melakukan tindak pidana korupsi. Bukan hanya itu, mereka tampil di depan publik dan mempertontonkan prilaku yang tak patut sebagai pengemban amanat rakyat.
Bagaimana mungkin seorang Kabareskrim Polri menyatakan di depan wartawan bahwa peristiwa penyuapan yang menyangkut dirinya itu hanyalah “permainan intelijen” dan “latihan intelijen” belaka? Kalau memang tak melakukan itu (menerima suap), mengapa beliau harus berkelit dengan “sistem kerja” Polri? Sungguh, masyarakat teramat sulit mencerna hal ini. Amanat dan tanggung jawab untuk menjaga dan melindungi negara dan masyarakat, tampak hanya menjadi alat yang dapat dipermainkan untuk kepentingan-kepentingan pribadi.
Mungkin sebelum ini masyarakat hanya mendengus bobroknya sistem birokrasi kita. Tetapi setelah peristiwa ini, masyarakat dengan kasat-mata sungguh dapat melihat bagaimana hal itu berlangsung dan dijalankan. Dan, sangat mungkin hal-hal seperti itu terjadi di lembaga-lembaga lain. Kalau di Polri dan KPK saja hal itu bisa terjadi, lantas bagaimana dengan instansi dan hubungan antar-instansi lainnya?
Tentu sudah mafhum bahwa kuatnya pemerintahan dan negara adalah lantaran kuatnya dukungan bangsa dan masyarakat. Dan kalau peristiwa semacam ini terus berlangsung, maka sangat mungkin masyarakat akan semakin apatis terhadap semua persoalan bangsa dan negaranya; lantaran semakin tipisnya kepercayaan mereka terhadap para pemegang amanat.
Hal terakhir yang sangat membahayakan keselamatan negara dan yang kemudian dilupakan oleh masyarakat karena terjadi sebelum dua peristiwa di atas adalah peristiwa terbongkarnya penyelundupan senjata buatan Pindad di Philipina. Ketika ditanya wartawan setelah pembongkaran petikemas senjata-senjata itu oleh para pejabat bea dan cukai Philipina, aparat terkait kita tampak tak siap menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Mereka hanya mengatakan bahwa itu adalah pesanan resmi pemerintah Mali di Afrika yang dikapalkan oleh Pindad dan kemudian karena satu dan lain hal terpaksa merapat dulu ke Philipina.
Isu tentang penyelundupan itu kemudian mencapai klimaksnya saat ada laporan bahwa itu adalah senjata jenis Galiel, yang biasanya diproduksi oleh rezim Zionis Israel dan menjadi senjata resmi angkatan bersenjatanya. Bau tak sedap ini menguap sesaat dan kemudian lenyap ditelan bumi. Pertanyaannya, mengapa tidak ada aparat kita yang menjawab kontroversi ini dengan jelas? Mengapa mereka hanya berkata bahwa itu jenis lain dan hanya mirip saja? Ke mana penyelidikan tentang kasus ini?
Banyak pengamat mengatakan bahwa kita adalah bangsa pelupa. Kita sering disakiti, dirugikan, dibohongi, tapi kemudian kita melupakan kejahatan-kejahatan yang menimpa kita. Kita bukan hanya memaafkan kesalahan pelakunya, tapi kita juga tak pernah belajar dari kesalahan-kesalahan itu. Ini adalah tindakan yang sangat berbahaya manakala kita hendak membangun sebuah negara yang kuat dan berwibawa. Ketika masih banyak bercokol orang-orang yang rela menjual bangsa dan negaranya untuk kepentingan-kepentingan pribadinya (atau bahkan partainya), maka kita tidak akan pernah berhasil membangun negara yang mandiri dan jaya. Karena itu, masyarakat dan kita semua harus selalu mengawasi dan mengawasi. Agar jangan sampai kita kehilangan kemerdekaan dan kemandirian kita. Wallahu a’lam.[IslamTimes/Jw/R]
Antara Bencana Gempa, Kisruh POLRI-KPK, dan Penyelundupan Senjata
Sepintas, mungkin tak ada korelasi di antara ketiga peristiwa penting yang berlangsung di negeri tercinta belakangan ini. Namun, kalau ditilik lebih jauh pada detil latar belakang dan penanganan persoalan ketiganya, akan tampaklah watak sesungguhnya perilaku bangsa (baca: birokrat) kita. Dan kita mesti melakukan introspeksi terhadapnya.
KPK
Dalam hal kejadian terakhir, yakni gempa bumi yang menimpa Sumatra Barat dan sekitarnya, satu hal yang sangat menunjukkan ketidaksiapan kita dalam menangani bencana adalah tidak adanya koordinasi yang jelas dalam melakukan tindak tanggap-darurat. Kita lihat, betapa banyak pejabat kita yang melakukan kunjungan ke tempat kejadian dan mereka semua memberikan instruksi; tanpa pemahaman yang tepat akan apa yang sesungguhnya terjadi dan perencanaan apa yang telah dibuat.
Kata-kata yang bersifat umum dan cenderung normatif amat sering dilontarkan seperti “kita harus mendahulukan penyelamatan korban yang masih hidup” dan “kita harus secepatnya melakukan rekonstruksi”. Ini adalah kata-kata yang sudah mafhum bagi semua orang dalam menghadapi bencana. Tetapi bagaimana itu mesti dilakukan, siapa, dari mana dananya, tentu belum jelas; sesuatu yang seharusnya sudah dipersiapkan bahkan ketika tidak (belum) terjadi bencana.
Dalam hal seperti ini, kita harus akui bahwa kita tidak (belum) memiliki kesiapan untuk menghadapi bencana alam. Kita selalu beranggapan bahwa semuanya akan berjalan normal-normal saja. Bahkan kita tidak pernah membayangkan; apa yang mesti kita lakukan kalau kita menghadapi bencana alam, atau perang, dengan skala yang lebih luas dengan gempa yang menimpa Sumbar itu atau tsunami yang meluluhlantakkan Aceh hampir lima tahun lalu. Para pejabat dan birokrat kita tentu akan duduk termangu, atau kalang-kabut lantaran panik, sepanik mereka saat ini dan yang terus berulang dan berulang.
Dalam hal yang kedua, yakni perseteruan terbuka antara pihak Polri dan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang terjadi menjelang peristiwa gempa di Sumbar itu dan yang terus menghangat hingga kini, menunjukkan betapa buruknya kinerja birokrasi kita. Bagaimana mungkin, dua lembaga yang semestinya bekerja sama dalam memberantas korupsi, justru secara terang-terangan di layar kaca dan media lainnya, saling tuduh pihak yang satu telah melakukan tindak pidana korupsi. Bukan hanya itu, mereka tampil di depan publik dan mempertontonkan prilaku yang tak patut sebagai pengemban amanat rakyat.
Bagaimana mungkin seorang Kabareskrim Polri menyatakan di depan wartawan bahwa peristiwa penyuapan yang menyangkut dirinya itu hanyalah “permainan intelijen” dan “latihan intelijen” belaka? Kalau memang tak melakukan itu (menerima suap), mengapa beliau harus berkelit dengan “sistem kerja” Polri? Sungguh, masyarakat teramat sulit mencerna hal ini. Amanat dan tanggung jawab untuk menjaga dan melindungi negara dan masyarakat, tampak hanya menjadi alat yang dapat dipermainkan untuk kepentingan-kepentingan pribadi.
Mungkin sebelum ini masyarakat hanya mendengus bobroknya sistem birokrasi kita. Tetapi setelah peristiwa ini, masyarakat dengan kasat-mata sungguh dapat melihat bagaimana hal itu berlangsung dan dijalankan. Dan, sangat mungkin hal-hal seperti itu terjadi di lembaga-lembaga lain. Kalau di Polri dan KPK saja hal itu bisa terjadi, lantas bagaimana dengan instansi dan hubungan antar-instansi lainnya?
Tentu sudah mafhum bahwa kuatnya pemerintahan dan negara adalah lantaran kuatnya dukungan bangsa dan masyarakat. Dan kalau peristiwa semacam ini terus berlangsung, maka sangat mungkin masyarakat akan semakin apatis terhadap semua persoalan bangsa dan negaranya; lantaran semakin tipisnya kepercayaan mereka terhadap para pemegang amanat.
Hal terakhir yang sangat membahayakan keselamatan negara dan yang kemudian dilupakan oleh masyarakat karena terjadi sebelum dua peristiwa di atas adalah peristiwa terbongkarnya penyelundupan senjata buatan Pindad di Philipina. Ketika ditanya wartawan setelah pembongkaran petikemas senjata-senjata itu oleh para pejabat bea dan cukai Philipina, aparat terkait kita tampak tak siap menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Mereka hanya mengatakan bahwa itu adalah pesanan resmi pemerintah Mali di Afrika yang dikapalkan oleh Pindad dan kemudian karena satu dan lain hal terpaksa merapat dulu ke Philipina.
Isu tentang penyelundupan itu kemudian mencapai klimaksnya saat ada laporan bahwa itu adalah senjata jenis Galiel, yang biasanya diproduksi oleh rezim Zionis Israel dan menjadi senjata resmi angkatan bersenjatanya. Bau tak sedap ini menguap sesaat dan kemudian lenyap ditelan bumi. Pertanyaannya, mengapa tidak ada aparat kita yang menjawab kontroversi ini dengan jelas? Mengapa mereka hanya berkata bahwa itu jenis lain dan hanya mirip saja? Ke mana penyelidikan tentang kasus ini?
Banyak pengamat mengatakan bahwa kita adalah bangsa pelupa. Kita sering disakiti, dirugikan, dibohongi, tapi kemudian kita melupakan kejahatan-kejahatan yang menimpa kita. Kita bukan hanya memaafkan kesalahan pelakunya, tapi kita juga tak pernah belajar dari kesalahan-kesalahan itu. Ini adalah tindakan yang sangat berbahaya manakala kita hendak membangun sebuah negara yang kuat dan berwibawa. Ketika masih banyak bercokol orang-orang yang rela menjual bangsa dan negaranya untuk kepentingan-kepentingan pribadinya (atau bahkan partainya), maka kita tidak akan pernah berhasil membangun negara yang mandiri dan jaya. Karena itu, masyarakat dan kita semua harus selalu mengawasi dan mengawasi. Agar jangan sampai kita kehilangan kemerdekaan dan kemandirian kita. Wallahu a’lam.[IslamTimes/Jw/R]
Home � Persatuan Islam � Antara Bencana Gempa, Kisruh POLRI-KPK, dan Penyelundupan Senjata
Antara Bencana Gempa, Kisruh POLRI-KPK, dan Penyelundupan Senjata
Posted by cinta Islam on 5:35 PM // 0 comments
0 comments to "Antara Bencana Gempa, Kisruh POLRI-KPK, dan Penyelundupan Senjata"