Home , � Mau ngegosip...??..harus di sensor dulu...

Mau ngegosip...??..harus di sensor dulu...

Gosip Harus Lolos Sensor!

Sebagaimana diberitakan situs Vivanews.com, DPR, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dan Dewan Pers akhirnya menyepakati perubahan status infotainment menjadi tayangan nonfaktual. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), faktual berarti berdasarkan kenyataan atau mengandung kebenaran.

Dengan demikian, infotainment tidak dapat lagi dikategorikan ke dalam tayangan faktual seperti pengertian tersebut. Perubahan status infotainment itu diputuskan dalam rapat antara Komisi I DPR (bidang informasi dan penyiaran) dengan KPI dan Dewan Pers di Gedung DPR RI, Rabu sore.

Pertimbangan dan alasan di balik perubahan status itu adalah karena program siaran infotainment, reality show, dan sejenisnya, dinilai banyak melanggar norma agama, norma sosial, etika moral, bahkan kode etik jurnalistik dan P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran).

Implikasi dari perubahan status infotainment ini ialah, tayangan infotainment kini harus lolos sensor Ketua KPI Dadang Hidayat menuturkan, "Di dalam P3SPS jelas tercantum bahwa program nonfaktual harus melalui sensor".

Oleh karena itu, imbuhnya, KPI akan segera berbicara dengan Lembaga Sensor Film (LSF) untuk bekerja sama menindaklanjuti hal tersebut. Yakni, dengan melakukan sensor terhadap tayangan infotainment.

Wakil Ketua Komisi I TB Hassanudin menyatakan, "Komisi I DPR mendukung penuh penegakan sanksi bagi tayangan infotainment yang tidak lolos sensor". Ia menekankan, keputusan mengenai perubahan status infotainment beserta berbagai implikasinya, adalah bersifat mengikat dan harus dilaksanakan. "Jadi, KPI harus segera melakukan sosialisasi dan evaluasi terhadap tayangan infotainment," ujar Hasanuddin.

Komisi I dalam kesimpulan rapatnya juga mendukung upaya dan langkah-langkah yang dilakukan KPI untuk merevisi P3SPS, terutama dengan merubah kategorisasi program siaran infotainment dan reality show dari tayangan faktual menjadi nonfaktual seperti yang sudah disebut di atas.

Sebelumnya, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) juga mendukung KPI untuk mengklasifikasikan infotainment sebagai siaran nonfaktual, untuk memperjelas posisi infotainment. AJI memang tidak pernah menganggap infotainment sebagai bagian dari tayangan jurnalistik, karena mereka tidak menggunakan kode etik.

Menanggapi keputusan KPI yang mengubah status infotainment sebagai tayangan nonfaktual, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), induk organisasi infotainment menyayangkan kesepakatan berbau 'vonis' itu. Sekretaris Dewan Kehormatan PWI, Ilham Bintang, kepada VIVAnews, Kamis 15 Juli 2010 menyatakan, "Kalau dikatakan ada pelanggaran, tinggal tegur saja. Semua kan ada proses dan mekanismenya. Ini tiba-tiba seperti vonis".

Ilham pun mempertanyakan 'vonis' yang menyebut sejumlah pelanggaran yang diduga dilakukan pekerja infotainment. Bila terbukti ada pelanggaran, kata dia, sebaiknya jangan langsung ditutup, dibredel, atau sejenisnya. Solusinya bisa melalui jalur hukum.

"Teroris saja punya pengacara. Saya khawatir, DPR, KPI dan Dewan Pers mengacaukan dua hal yang berbeda. Mereka menyamakan infotainment itu dengan reality show," ujar pemilik dan pendiri Bintang Grup ini.

Ilham pun mempertanyakan 'vonis' yang menyebut sejumlah pelanggaran yang diduga dilakukan pekerja infotainment. Bila terbukti ada pelanggaran, kata dia, sebaiknya jangan langsung ditutup, dibredel, atau sejenisnya. Solusinya bisa melalui jalur hukum. Ia menegaskan, "DPR dan KPI itu bukan lembaga agama. Melanggar kode etik? Siapa yang mengukur."

Ilham menambahkan, "Kalau pers melakukan pelanggaran, masak langsung ditutup. Kita ini negara hukum."

Dewan Pers: Infotainment Tinggal Memilih

Sementara itu, Dewan Pers menilai jalan keluar kisruh status infotainment sebenarnya tidak terlalu rumit. Tetapi, semua itu pilihan yang harus diambil infotainment.

Wakil Ketua Dewan Pers Bambang Harymurti dalam perbincangan dengan VIVAnews, Kamis 15 Juli 2010 menyatakan, "Mereka harus memilih kalau ingin disebut wartawan. Mereka harus mempunyai dan mematuhi kode etik. Itu saja sebenarnya".

Menurut Bambang, Dewan Pers merasa prihatin adanya kalangan infotainment yang diduga menolak untuk mendapatkan materi kode etik jurnalistik. Kendati demikian, semua dikembalikan kepada pelaku infotainment sendiri.

"Itu saja sebenarnya. Tapi kalau menolak, silakan saja," ujar Direktur Utama PT Tempo Inti Media ini.

Tidak hanya itu, Dewan Pers juga menyayangkan stasiun televisi yang terkesan lepas tanggung jawab atas penayangan infotainment yang tidak memenuhi kaidah kode etik jurnalistik. Televisi melempar tanggung jawab kepada rumah produksi pembuat infotainment.

"Contohnya begini. Orang yang membuat pisau itu tidak melanggar hukum. Tetapi, saat pisau itu dipakai untuk menusuk orang, yang salah itu pemakainya. Bukan pembuatnya," analogi Bambang.

Sementara, Sekretaris Dewan Kehormatan PWI Ilham Bintang menilai pekerja infotainment tetap menggunakan dan mematuhi kode etik jurnalistik. Bagi mereka yang menolak kode etik, akan dikeluarkan dari organisasi.

"Kalau menolak kode etik, pasti akan dikeluarkan dari PWI dan dia bukan wartawan," jelas Ilham Bintang kepada VIVAnews.

0 comments to "Mau ngegosip...??..harus di sensor dulu..."

Leave a comment