Dr. Ali Reza Marandi adalah mantan Menteri Kesehatan Republik Islam Iran di tiga periode pemerintahan. Dr. Marandi pernah menjabat sebagai Menteri Kesehatan di dua periode kabinet Mir Hossein Mousavi dan satu periode di kabinet Ali Akbar Hashemi Rafsanjani.
Sekalipun Dr. Marandi menjabat sebagai menteri kesehatan, ia tidak pernah meninggalkan profesinya sebagai seorang dokter. Bahkan boleh dikata, melayani dan mengobati pasien secara langsung menjadi pekerjaan yang paling diminatinya. Oleh karena itu, meski disibukkan dengan tugas-tugas negara, ia tetap meluangkan jam praktek. Sebagai seorang menteri kesehatan yang tetap membuka praktek, ia memiliki banyak kenangan.
Kisahnya demikian:
Di akhir tahun masa tugas sebagai menteri, setiap harinya saya memeriksa dan mengobati para pasien anak-anak di rumah sakit Mostafa Khomeini.
Selama ini mayoritas pasien saya adalah anak-anak para pejabat tinggi negara yang lebih mengutamakan memanfaatkan kemampuan saya.
Sebenarnya saya selalu merasa malu di hadapan para pejabat tinggi. Karena mereka terpaksa harus menunggu giliran selama berjam-jam. Tentunya, sampai saat ini saya juga masih menghadapi problem ini.
Suatu hari seorang ibu datang ke ruang praktek saya sambil mengatakan, “Dokter Marandi, mengambil waktu untuk berobat kepada Anda betul-betul sulit. Sekretaris Anda mengatakan, untuk mengambil nomor urut Anda hendaknya menelpon dan waktunya dari pukul satu sampai pukul dua siang. Begitu pukul 12.59 kami menelpon, tidak ada seorang pun yang mengangkatnya. Sementara sejak pukul satu telpon kantor praktek Anda pasti sibuk. Untungnya tiga menit kemudian ada yang mengangkat telpon. Namun pada saat itu pula sekretaris Anda mengatakan kapasitas pasien sudah penuh dan kami tidak bisa memberikan waktu. Kami harus menunggu sampai pukul satu besok.”
Saya meminta minta maaf dan berkata, “Sebenarnya itu bukan kesalahan saya. Saya punya masalah dengan paru-paru yang sering sesak. Oleh karenanya, saya tidak bisa lama-lama tinggal di ruang praktek.”
Kemudian saya memeriksa anak ibu tersebut. Setelah itu giliran pasien berikutnya. Ia adalah salah satu pejabat tinggi negara. Begitu masuk ke ruang praktek ia mengatakan, “Dokter Marandi, kami tidak tahu kalau isteri presiden juga menjadi pasien Anda? Saya terkejut dan mengatakan, “tidak!”
Ia berkata, “Ibu yang barusan keluar adalah isteri Ayatullah Sayyid Ali Khamenei”
Saya katakan, “lho, di kartunya tertulis ibu Huseini.”
Akhirnya saya tersadar bahwa ia memakai nama Huseini agar tidak dikenal orang lain. Kemudian saya teringat keluhannya soal lamanya mengambil nomor urut. Saya betul-betul malu pada diri saya sendiri.
Pada kesempatan berikutnya ia datang ke ruang praktek saya. Kemudian saya bertanya kepadanya, “Anda Ibu Khamenei? Ia terheran dan menjawab, “Iya”.
Saya bertanya, “Mengapa Anda tidak mengenalkan diri Anda?”
Ia berkata, “Buat apa saya harus mengenalkan diri?”
Saya berkata, “Untuk selanjutnya saya akan memerintahkan sekretaris saya agar tidak memberikan nomor tunggu, tapi bisa langsung mendapat kemudahan.” “Istri seorang presiden tidak seharusnya mengalami kesulitan semacam ini,” tambah saya.
Saat itu saya baru memahami betapa keluarga Ayatullah Sayyid Ali Khamenei benar-benar sangat merakyat.(Ap/SL/MZ/8/7/2010)
Sekalipun Dr. Marandi menjabat sebagai menteri kesehatan, ia tidak pernah meninggalkan profesinya sebagai seorang dokter. Bahkan boleh dikata, melayani dan mengobati pasien secara langsung menjadi pekerjaan yang paling diminatinya. Oleh karena itu, meski disibukkan dengan tugas-tugas negara, ia tetap meluangkan jam praktek. Sebagai seorang menteri kesehatan yang tetap membuka praktek, ia memiliki banyak kenangan.
Satu di antara kenangan menarik ketika ia harus memeriksa seorang anak yang diantarkan oleh ibunya yang pada akhirnya diketahui kalau ibu itu adalah isteri dari presiden kala itu Ayatullah Sayyid Ali Khamenei.
Kisahnya demikian:
Di akhir tahun masa tugas sebagai menteri, setiap harinya saya memeriksa dan mengobati para pasien anak-anak di rumah sakit Mostafa Khomeini.
Selama ini mayoritas pasien saya adalah anak-anak para pejabat tinggi negara yang lebih mengutamakan memanfaatkan kemampuan saya.
Sebenarnya saya selalu merasa malu di hadapan para pejabat tinggi. Karena mereka terpaksa harus menunggu giliran selama berjam-jam. Tentunya, sampai saat ini saya juga masih menghadapi problem ini.
Suatu hari seorang ibu datang ke ruang praktek saya sambil mengatakan, “Dokter Marandi, mengambil waktu untuk berobat kepada Anda betul-betul sulit. Sekretaris Anda mengatakan, untuk mengambil nomor urut Anda hendaknya menelpon dan waktunya dari pukul satu sampai pukul dua siang. Begitu pukul 12.59 kami menelpon, tidak ada seorang pun yang mengangkatnya. Sementara sejak pukul satu telpon kantor praktek Anda pasti sibuk. Untungnya tiga menit kemudian ada yang mengangkat telpon. Namun pada saat itu pula sekretaris Anda mengatakan kapasitas pasien sudah penuh dan kami tidak bisa memberikan waktu. Kami harus menunggu sampai pukul satu besok.”
Saya meminta minta maaf dan berkata, “Sebenarnya itu bukan kesalahan saya. Saya punya masalah dengan paru-paru yang sering sesak. Oleh karenanya, saya tidak bisa lama-lama tinggal di ruang praktek.”
Kemudian saya memeriksa anak ibu tersebut. Setelah itu giliran pasien berikutnya. Ia adalah salah satu pejabat tinggi negara. Begitu masuk ke ruang praktek ia mengatakan, “Dokter Marandi, kami tidak tahu kalau isteri presiden juga menjadi pasien Anda? Saya terkejut dan mengatakan, “tidak!”
Ia berkata, “Ibu yang barusan keluar adalah isteri Ayatullah Sayyid Ali Khamenei”
Saya katakan, “lho, di kartunya tertulis ibu Huseini.”
Akhirnya saya tersadar bahwa ia memakai nama Huseini agar tidak dikenal orang lain. Kemudian saya teringat keluhannya soal lamanya mengambil nomor urut. Saya betul-betul malu pada diri saya sendiri.
Pada kesempatan berikutnya ia datang ke ruang praktek saya. Kemudian saya bertanya kepadanya, “Anda Ibu Khamenei? Ia terheran dan menjawab, “Iya”.
Saya bertanya, “Mengapa Anda tidak mengenalkan diri Anda?”
Ia berkata, “Buat apa saya harus mengenalkan diri?”
Saya berkata, “Untuk selanjutnya saya akan memerintahkan sekretaris saya agar tidak memberikan nomor tunggu, tapi bisa langsung mendapat kemudahan.” “Istri seorang presiden tidak seharusnya mengalami kesulitan semacam ini,” tambah saya.
Istri Ayatullah Sayyid Ali Khamenei betul-betul merasa tidak nyaman dan berkata, “Tolong jangan perintahkan seperti ini, karena saya pasti tidak akan menerimanya. Saya tidak berbeda dengan masyarakat yang berjam-jam harus menunggu giliran di kantor praktek Anda ini. Saya akan menelpon sebagaimana biasanya. Bila berhasil maka saya akan datang, bila tidak maka hari berikutnya Allah Maha Besar.”
Saat itu saya baru memahami betapa keluarga Ayatullah Sayyid Ali Khamenei benar-benar sangat merakyat.(Ap/SL/MZ/8/7/2010)
0 comments to "Sisi Lain Kehidupan Isteri Rahbar ..beraktivitas seperti rakyat biasa...wow.."