Home � Imam Ali Ar-Ridha as dan Kelicikan Dinasti Abbasiyah

Imam Ali Ar-Ridha as dan Kelicikan Dinasti Abbasiyah

Oleh Pemerhati Islam, Ali Shofie

Ahlul Bait as adalah manusia-manusia pilihan. Mereka dipilih oleh Allah Swt untuk membimbing masyarakat secara benar dan menjadi teladan ideal untuk mencapai derajat kemanusiaan dan akhlak mulia. Salah satu manusia pilihan tersebut adalah Imam Ali Ar-Ridha as yang dimakamkan di kota Mashad, timur Iran.

Imam Ali Ar-Ridha adalah pewaris keimamahan atau kepemimpinan umat setelah ayahnya, Musa al-Kazim as, yang wafat diracun oleh Harun Ar-Rasyid. Ibu Imam Ali Ar-Ridha bernama Taktam yang dijuluki Ummu al-Banin. Dia adalah seorang yang shalehah, ahli ibadah, sosok unggul dalam akal dan agamanya. Setelah melahirkan Imam Ali ar-Ridha as, ibunya mendapat gelar Thahirah yang artinya sosok yang suci. Imam Ali ar-Ridha as hidup di bawah bimbingan, pengajaran dan didikan ayahnya selama tiga puluh lima tahun.
Sejarah menjadi saksi nyata bahwa para Imam Ahlul Bait as ini sangat unggul dari sisi kedudukannya yang sekaligus merupakan panutan bagi kaum muslimin dalam setiap permasalahan. Imam Ali ar-Ridha tumbuh dalam didikan ayahnya, Imam Musa Al-Kadzim as. Sepeninggal ayahnya, Imam Ali Ar-Ridha ditunjuk menjadi Imam Kedelapan.

Putra Mahkota
Selain itu, Imam Ali ar-Ridha as menjadi putra mahkota di istana Makmun. Pada dasarnya, Makmun memaksa Imam Ali Ar-Ridha as sebagai putra mahkota dengan tujuan merusak reputasi Ahlul Bait as. Namun makar itu telah diketahui oleh Imam ar-Ridha as. Kepada Makmun, Imam Ali Ar-Ridha as berkata, "Dengan langkah itu, kamu hendak merekayasa agar orang-orang beranggapan bahwa Imam Ali ar-Ridha bin Musa as sebenarnya tidaklah zuhud pada dunia. Dan agar orang-orang berkata; Bukankah kalian lihat bagaimana ia menerima posisi pemerintahan karena tamak pada kursi kekhalifahan?"

Pernyataan Imam Ali Ar-Ridha as itu mengungkap kedok di balik tujuan Makmun yang memberikan jabatan putra mahkota kepada sosok manusia suci ini dengan niat busuk. Pada awalnya, Imam Ali Ar-Ridha as menolak jabatan putra mahkota itu, tapi Makmun memaksanya. Akan tetapi dengan izin Allah Swt, jabatan putra mahkota yang merupakan bagian makar Makmun, malah memperluas ruang lingkup dakwah Imam Ali Ar-Ridha as hingga menembus para pejabat istana. Padahal Imam Ali Ar-Ridha as yang mendapat gelar putra mahkota, dilarang menggunakan jabatannya untuk menolong kaum muslimin yang terzalimi dan melepaskan belenggu dari kelaliman Makmun.

Bukanlah hal yang mengherankan, Imam Ali Ar-Ridha as menerima tawaran putra mahkota dengan sangat terpaksa sekali. Imam berkata, "Allah telah mengetahui keenggananku untuk menerima itu (putra mahkota). Sesungguhnya aku tidak menduduki jabatan ini kecuali untuk keluar darinya. Dan Allah-lah tempat mengadu. Dia-lah pemberi pertolongan." (Uyunul Akhbar Ar-Ridha as, Jild II hal 139)

Imamah dan Jabatan Politik
Pernyataan Imam Ar-Ridha as yang enggan menerima gelar putra mahkota bermaksud meluruskan pemahaman kaum muslimin tentang konsep Imamah. Beliau ingin menjelaskan bahwa Imamah bukanlah jabatan politik bahkan tidak ada hubungan sama sekali antara Imamah dan jabatan politik. Jabatan politik hanyalah alat yang digunakan untuk memberikan petunjuk kepada manusia. Tugas Imam sama seperti tugas Nabi Saw.

Kerinduan manusia pada sesuatu yang lebih sempurna, "memaksa" Tuhan untuk memenuhi semua kebutuhan manusia tersebut. Sebagaimana Allah Swt menganugerahkan rasa lapar, maka Allah Swt menciptakan makanan untuk dikonsumsi manusia. Ketika Allah Swt menganugerahkan rasa haus, Allah Swt dengan sifat keadilan-Nya, juga menyediakan air untuk menghilangkan dahaga.
Hal yang sama juga terjadi pada peran Imam. Sebagaimana Allah Swt menganugerahkan fitrah dan kebutuhan kepada figur yang serba sempurna, maka Allah Swt dengan sifat bijaksana-Nya, menciptakan figur dan sosok yang sempurna dan suci tanpa cela. Untuk itu, Allah Swt selalu menghadirkan figur-figur suci seperti Nabi dan Imam di muka bumi ini. Dengan ungkapan lain, konsep imamah adalah aplikasi keadilan Ilahi.

Manusia pada dasarnya membutuhkan suatu figur yang serba maha dan serba sempurna. Bahkan hal itu bisa dilihat dari predikat-predikat seperti Maha Kuasa, Maha Esa, Maha Tahu, Maha Pengasih dan Penyayang, Maha Besar, Maha Pencipta, Maha Pengatur dan lain-lain. Kebutuhan inilah yang menjadi motivasi utama manusia untuk memformulasikan figur personal maupun impersonal sesuai kemampuan masing-masing.

Semua itu merupakan ekspresi kerinduan manusia akan keberadaan figur agung yang dapat memuaskan semua angan dan idealismenya. Pada dasarnya, kebutuhan itulah yang memotivasi manusia supaya berinteraksi dengan alam semesta. Kerinduan itu pada gilirannya, juga melahirkan kegairahan dan memberikan harapan serta idealisme yang kemudian diaplikasikan. Inilah yang melahirkan kebaikan, sifat-sifat luhur, mulia dan agung sesuai dengan kapasitas idealisme masing-masing.

Mitos
Motivasi fitri ini pulalah yg menciptakan mitos. Mengapa manusia menciptakan mitos? Sebagai contoh, manusia mendambakan seorang figur yang dapat berkorban demi orang lain tanpa pamrih, manusia ingin melihat sosok yang sanggup mengorbankan miliknya yang paling berharga dalam dirinya yaitu jiwa dan raganya untuk orang lain dan sosok yang mampu menyingkirkan semua egoisme. Namun ketika manusia mulai melihat di sekitarnya, ia tak menemukannya. Manusia pun akan berusaha membuka lembar demi lembar sejarah untuk menemukan sosok sempurna.

Lalu bagaimana manusia dapat memuaskan semua dahaganya akan figur dan sosok sempurna yang ia dambakan? Pada akhirnya, manusia mulai menciptakan mitos dan figur imajinatif yang disifati dengan seluruh kesempurnaan yang didambakan.

Saat mendambakan kecantikan, manusia menciptakan figur sendiri seperti Venus yang dilukiskan sebagai dewa yang sangat cantik tanpa noda kejelekan sedikitpun. Saat mendambakan cinta sejati dan pengorbanan, Shakespeare bersedia menggoreskan fantasinya dalam sebuah drama tragis kisah Romeo dan Juliet.
Saat manusia mendambakan figur kepahlawanan, Firdaus menciptakan Rustam yang mulai berperang semenjak berumur tiga tahun dan tidak pernah dikalahkan di medan laga. Bahkan Firdaus mengakui Rustam sebagai seorang pahlawan biasa yang berasal dari Sistan, dan menjadikannya sebagai figur pahlawan dalam kisahnya. Sebab, bangsa Iran menurut Firdaus, membutuhkan Rustam. Jika Rustam bukanlah seorang pahlawan maka orang lain pasti akan diciptakan sebagai pahlawan untuk memenuhi rasa dahaga akan figur kepahlawanan yang sempurna.

Mitos-mitos tersebut sengaja dimunculkan sebagai solusi bagi manusia yang mendambakan sosok sempurna. Sementara itu, para Imam adalah pribadi idealis dan manusia pilihan yang merupakan manifestasi dari semua dewa-dewa yang digambarkan dalam mitos-mitos itu.

Figur Sempurna
Mimpi manusia yang mengharapkan kesempurnaan tercermin dalam mitos-mitos. Pada dasarnya, harapan inilah yang dirusak oleh Makmun. Makmun sengaja merusak figur sempurna Imam Ali Ar-Ridha as.

Imam Ali ar-Ridha as terpaksa menerima jabatan politik sebagai putra mahkota, karena Imam tahu bahwa Makmun bertujuan merusak reputasi sosok sempurna yang merupakan dambaan manusia. Jika Makmun berhasil merusak reputasi beliau sebagai manusia sempurna, maka umat akan kehilangan arah dan akan mulai mencari figur sempurna yang lain selain Imam Ali ar-Ridha as. Pada saat itu, para penguasa akan menjerumuskan manusia dengan dewa-dewa hasil kreasi imajinasi.

Imam Ali Ar-Ridha as dalam segala perilakunya tercermin sebagai sosok sempurna. Ibrahim bin Abbas berkata "Aku tidak pernah mendengar Abul Hasan Ar-Ridha as mengatakan sesuatu yang merusak kehormatan seseorang. Beliau juga tidak pernah memotong pembicaraan seseorang hingga ia menuntaskannya, dan tidak pernah menolak permintaan seseorang tatkala dia mampu membantunya. Beliau tidak pernah menjulurkan kakinya ke tengah majelis. Aku tidak pernah melihatnya meludah, tidak pernah terbahak-bahak ketika tertawa. Sebab, tawanya adalah senyum. Di waktu-waktu senggang, beliau menghamparkan suprah dan duduk bersama para pembantu, mulai dari penjaga pintu sampai pejabat pemerintahan. Dan barang siapa yang mengaku pernah melihat keluhuran budi pekerti seseorang seperti beliau, maka janganlah kau percaya."

Di bidang keilmuan, Imam Ali Ar-Ridha as juga unggul. Abdul Salam Harowi pernah berkisah bahwa suatu ketika Makmun mengumpulkan para Pendeta, Rabi dan para cendikiawan untuk menanyakan berbagai macam hal kepada Imam Ali ar-Ridha as. Hal itu sengaja dilakukan Makmun untuk mempermalukan Imam dihadapan khalayak. Makmun ingin sekali melihat Imam tidak berdaya menghadapi serangan pertanyaan para ahli ilmu yang hadir pada saat itu. Namun momentum itu justru menjadi peluang bagi Imam untuk menunjukan keunggulan ilmunya. Yang menarik, Imam Ali Ar-Ridha as menjawab pendeta Nasrani dengan Injilnya. Beliau juga menjawab Rabi Yahudi dengan Tauratnya. Pada kesempatan itu, Imam Ali Ar-Ridha as juga mampu mematahkan argumentasi logis dari para pemimpin aliran-aliran teologi yang berkembang pada masa itu.

Gejolak jiwa manusia yang selalu mencari figur sempurna akan selalu ada sepanjang kehidupan manusia di muka bumi ini. Karena itulah keberadaan manusia yang merupakan manifestasi dari kesempurnaan mutlak harus tetap ada. Untuk itu, satu detik pun di bumi ini tidak akan kosong dari seorang Imam. Dalam sebuah hadis Rasulullah Saw bersabda:
من مات ولم يعرف امام زمانه مات ميتة جاهلية
"Barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak mengetahui Imam zamannya, maka ia akan mati dalam keadaan jahiliyah."

Syahadah
Setelah merasa jenuh dan putus asa membujuk Imam Ali Ar-Ridha as dengan iming-iming kekuasaan, Makmun akhirnya meracuninya hingga gugur syahid.
Sementara di Baghdad, Bani Abbas khawatir akan berpindahnya kekuasaan ke tangan orang-orang Alawiyah. Mereka menyatakan pembangkangannya, bahkan membaiat orang-orang kaya sebagai khalifah pengganti Makmun.

Untuk menarik simpati mereka di Baghdad dan tetap mengakuinya sebagai khalifah, Makmun merencanakan pembunuhan terhadap Imam. Khalifah Makmun akhirnya membubuhkan racun ganas di dalam buah anggur. Imam Ar-Ridha as gugur syahid karena racun ganas itu. Imam Ali Ar-Ridha as syahid pada tahun 203 H dan dimakamkan di kota Thus, yang sekarang dikenal dengan kota Mashad, timur Iran.

Makmun yang juga pembunuh Imam Ali Ar-Ridha as, di hadapan masyarakat, sengaja menampakkan dirinya sedih dengan tujuan menepis kecurigaan. Dia pun ikut serta mengantarkan jenazah suci Imam as dan berjalan tanpa alas kaki sambil menangis. (IRIB/AR/RM/17/10/2010)

Tags:

0 comments to "Imam Ali Ar-Ridha as dan Kelicikan Dinasti Abbasiyah"

Leave a comment