Home , , � Iran, Nuklir, Khomeini

Iran, Nuklir, Khomeini



Koran Kayhan edisi kemarin menurunkan headline berjudul “Tuhan, Pelindung Kami Telah Pergi” dan gambar orang-orang yang menangisi kematian Imam Khomeini. Ya, kemarin adalah hari wafatnya Imam Khomeini. Berikut posting ulang tulisan di blog saya yg satu lagi, tentang resolusi nuklir Iran-dukacita Asyura-dan Imam Khomeini.

Februari 04, IAEA menyetujui resolusi yang memerintahkan Iran menghentikan proyek nuklir sipilnya dan mengadukan kasus ini ke Dewan Keamanan PBB. Saat itu, tepat tanggal 1 Muharam, ketika kaum muslimin di berbagai negara saling mengucapkan “Selamat Tahun Baru Hijriyah”, justru orang-orang Iran mulai memasang bendera hitam di mana-mana. Satu Muharam merupakan hari awal duka cita. Selama sepuluh hari, majelis-majelis duka cita diselenggarakan di berbagai sudut jalan atau gang, di rumah-rumah yang menyediakan open-house, atau di masjid-masjid. Orang-orang berpakaian hitam-hitam. Pawai-pawai duka cita pun diarak setiap malam mengelilingi jalanan dan gang-gang. Taksi-taksi, bis, bahkan mall-mall pun memperdengarkan kaset rekaman azadari (ratapan duka cita).

Pada tanggal 1 Muharram 60 H, Imam Husain, cucu Rasulullah, dan 72 orang sahabat serta keluarganya (termasuk anak kecil dan bayi) telah meninggalkan Mekah untuk melarikan diri dari kejaran Yazid bin Muawiyah. Pada tanggal 10 Muharram, mereka semua telah tiba di Padang Karbala (Irak) dan semua laki-laki habis dibantai, yang tersisa hanya perempuan dan anak-anak yang kemudian dirantai dan diarak hingga Damaskus.

Tragedi memilukan inilah yang setiap tahun diperingati oleh orang Iran. Mereka meratap di majelis-majelis duka cita sambil mendengarkan para madah (orang yang pekerjaannya membacakan azadari/ratapan duka cita) menceritakan ulang kejadian 1367 tahun lalu itu. Yang unik di Iran, melalui peringatan atas tragedi ini, para ulama mereka selama 200 tahun terakhir berhasil menanamkan semangat penentangan terhadap kezaliman dan tekanan. Selama 200 tahun itulah berbagai aksi perlawanan terhadap raja-raja dilakukan oleh kelompok-kelompok pejuang yang dipimpin ulama. Perjuangan itu segera mati, untuk kemudian digantikan oleh ulama lain dan kelompok lain.

Kulminasi dari perjuangan melawan rezim monarkhi adalah ketika muncul ulama bernama Ruhullah Khomeini (yang kemudian disebut Imam Khomeini). Meskipun sudah diasingkan ke Irak, lalu ke Paris, Imam Khomeini tetap berhasil mengobarkan semangat perlawanan itu dan jutaan rakyat Iran, dengan tangan kosong, turun ke jalan-jalan untuk menuntut pembubaran sistem monarkhi. Yang turun ke jalan bukan hanya mahasiswa atau aktivis politik, melainkan semua unsur, laki-laki perempuan, tua, muda, kakek-nenek, bahkan balita. Aksi itu bukan tanpa resiko karena tentara kerajaan tanpa ragu-ragu menembakkan peluru mereka. Ribuan orang tewas dalam aksi-aksi demonstrasi itu.

Akhirnya, pada tanggal 1 Februari 1979, Imam Khomeini kembali dari pengasingannya di Paris. Tentara yang sudah siap menembak pesawat, tak berdaya melihat barikade 4 juta massa yang berbondong-bondong datang ke bandara Mehrabad Tehran. Banyak di antara massa yang membawa bunga mawar merah dan meletakkan bunga itu di jalan-jalan yang akan dilalui Imam Khomeini dari bandara menuju Taman Makam Pahlawan Behest-e Zahra. Itulah sebabnya tanggal 1 Februari disebut sebagai “Hari Hujan Bunga” (Ruz-e Gulbaran).

Selama sepuluh hari sejak Hari Hujan Bunga itu (yang diistilahkan dengan Sepuluh Hari Fajar), aksi demonstrasi tangan kosong terus marak di seantero negeri, menyerukan pengunduran diri rezim monarkhi. Satu demi satu unsur pemerintah dan militer pun menyatakan diri tunduk kepada kepemimpinan Imam Khomeini dan tanggal 10 Februari, secara resmi, revolusi Islam Iran dinyatakan menang.

Bahwa spirit bulan Muharam-lah yang menjadi kunci kemenangan revolusi itu, juga diungkapkan Imam Khomeini sendiri, “Jagalah Muharam dan Safar agar tetap hidup, karena semua yang kita miliki hari ini berasal dari kedua bulan itu.”

Jadi, bisa terlihat kan, kesalahan timingnya? Resolusi IAEA keluar di saat jiwa rakyat Iran bergelora memperingati tragedi Muharam (yang selalu dijadikan momen bagi para ulama untuk menanamkan semangat perjuangan melawan tekanan dan penindasan), serta bergelora mengenang detik-detik kemenangan revolusi. Dalam kondisi batere penuh seperti ini, sangat bisa diduga bahwa orang-orang Iran malah akan semakin bersemangat melawan AS dan sekutu-sekutunya yang beramai-ramai ingin menghalangi niat Iran untuk membuat pembangkit listrik tenaga nuklir. Kalau boleh menerjemahkan pidato Ahmadinejad yang terakhir di Busher (kota tempat reaktor nuklir Iran dibangun) dengan bahasa gaul: “Amerika? Siapa takut?!”

sumber:http://dinasulaeman.wordpress.com/

Tags: , ,

0 comments to "Iran, Nuklir, Khomeini"

Leave a comment