Home , , � Mengintip Komunitas Kristen Armenia Iran

Mengintip Komunitas Kristen Armenia Iran

Damai di New Jolfa: Mengintip Komunitas Kristen Armenia Iran

Salam bagi cinta dan penghambaan,
Salam bagi perdamaian dan keamanan
Salam bagi keadilan dan kebebasan

(Petikan akhir pidato Ahmadinejad di sidang Majelis Umum PBB 2010)

Pagi itu saya duduk di bangku kayu beranda Vank Cathedral, museum gereja di Isfahan yang terletak di kawasan Jolfa, the Armenian Quarter.
Pepohonan rindang berderet-deret menyejukkan halamannya yang luas, ditudungi hamparan langit nan biru.

Saya selalu takjub tiap kali memandang pesona langit, apalagi saat warna biru tengah bertahta. Bumi seakan dibalut cinta dan kedamaian. Seorang backpacker duduk bersandar pada dinding bersama laptopnya.

Sambil memirsa pelataran yang asri, pikiran saya masih membayangkan ruangan utama Vank yang baru saja saya masuki. Dari luar, gedung itu tampak biasa saja, namun dekorasi dalam ruangan kaya akan perpaduan seni Islam Persia dan kristen Armeni. Hampir seluruh permukaan dinding dalam dipenuhi lukisan-lukisan, sebagai ciri khas dan keunikan gereja di Iran.

Lukisan itu bercerita tentang banyak peristiwa, dari mulai gambaran umum sejarah kelahiran Almasih, kisah penangkapan Nabi Isa dan beberapa penggalan sejarah lainnya.

Di bagian lain, tampak lukisan yang menceritakan kondisi para pendosa dengan beragam siksaan sesuai dosa yang dilakukannya. Menurut keterangan, lukisan itu dibuat oleh tiga orang Armenia asal Isfahan, dua di antaranya adalah pendeta.

Setelah mengitari ruangan dalam, kami menghampiri seorang pemandu yang duduk di samping altar. Lelaki tengah baya yang berbalut kaos merah dan berkacamata itu tersenyum ke arah kami sambil menyapa hangat:

"Salam, Anda berasal dari mana?"
"Dari Indonesia" Jawab kami seramah mungkin
"Kalian kristian atau muslim?"
"Kami muslim, Pak..!"
"Selamat datang di Isfahan. Oya, Indonesia mengingatkan saya pada sebuah lukisan alam yang dibuat oleh perempuan Indonesia dan disimpan di museum sebelah, Anda sudah melihatnya?"
"Kami belum ke ruangan sana, pasti akan kami cari"

Perbincangan terus mengalir hangat, lelaki yang fasih berbahasa Armeni dan Rusia itu bercerita banyak hal tentang Vank dan komunitas Kristen Armenia di Iran.

Vank sendiri, dibangun pada tahun 1606 M, masa pemerintahan Syeikh Abbas I, kemudian mengalami perkembangan pesat pada tahun 1655 M, masa Syeikh Abbas II.

Menurut penuturannya, saat itu pengaruh Vank cukup luas, dari Baghdad hingga Asia Tenggara. Tapi, dalam lima puluh tahun terakhir ini, Vank banyak menginduk ke gereja-gereja di Lebanon dan Armenia, termasuk untuk pengiriman para calon pendeta.

"Berapa banyak komunitas Kristen Armenia di Iran ini?" Tanya kami dipenuhi rasa penasaran.
"Saya kira jumlahnya tidak sampai 100 ribuan."
"Apa pusatnya memang di Isfahan?"
"Sebenarnya ada tiga kota yang menjadi pusat Armenia. Di Isfahan ini, pusat untuk wilayah Selatan. Di Tabriz, untuk wilayah Utara. Dan tentu saja di Tehran"
Jawabnya di sela-sela mengawasi para pengunjung yang akan mengambil foto.

Di bagian dalam ini, pengunjung memang tidak diperbolehkan untuk mengambil gambar. Tapi, bisa mengambil rekaman video asal mendapat izin terlebih dahulu. Untungnya, kami memang sudah mempersiapkan membawa handycam. Di akhir obrolan, kami sempat menyinggung sedikit soal interaksi antar umat beragama, saling memahami perbedaan menjadi kunci agar tidak terjadi pertikaian sosial di tengah masyarakat.

Saya jadi teringat film Pesar-e Maryam (Maryam Son) besutan Hamid Jabali. Menurut saya, film ini berhasil memotret sisi-sisi kehidupan beragama yang menyejukkan, bertutur tentang pertemanan Rahman kecil yang dimainkan Muhsin Falsafin dengan seorang pendeta di sebuah pelosok desa di Iran.

Film yang diproduksi rumah sastra dan seni anak ini telah menyentil nurani saya yang terkadang belum bijak menyikapi perbedaan. Rahman, seorang muslim yang taat pada aturan agamanya, namun di sisi lain begitu peduli pada kesulitan yang dihadapi pendeta. Semua itu, tak lepas dari contoh apik yang diberikan seorang ustad kampung setempat, ia meluangkan waktu menjenguk pendeta yang tengah sakit di sela-sela mengajar anak-anak mengaji.

Pagi itu saya masih menyerana di sudut beranda Vank, masih dipayungi langit biru dan siraman hangat mentari pagi. Ada banyak hal yang berkelebatan dalam benak saya.

Sejujurnya, ini adalah pengalaman pertama saya berinteraksi secara lebih dekat dengan komunitas Kristen. Karena sejak SD sampai kuliah saya berada di lingkungan muslim. Satu-satunya kesempatan saya untuk mengenal ajaran kristen adalah saat kos di salah satu keluarga kristen di Yogya, sayangnya keluarga itu bukan lagi kristen yang taat. Tak ada ibadah ritual khusus yang mereka lakukan.

Meskipun demikian, dalam pandangan keberagamaan yang saya peroleh dan pahami sejak kecil mengajarkan, tak patut menghujat keyakinan yang berbeda, apalagi dengan jalan kekerasan. Karena keimanan adalah hak personal dan pilihan setiap orang yang akan dipertanggung jawabkan oleh masing-masing pemilihnya kelak di hadapan Tuhan.

Barangkali, kita bisa saja saling berdiskusi dan bertukar pandangan, tapi bukan saling melempar cacian. Sayangnya, kesadaran seperti itu masih minim di kalangan pemeluk agama kita. Saya masih sering menyimak umpatan dan kata-kata kasar di blog-blog maupun mailing list yang sering dilontarkan kepada pemeluk agama berbeda, baik dari kalangan kristian maupun muslim.

Saya kira, setiap pemeluk agama yang mengimani ajarannya secara shahih, tidak menginginkan terjadinya kekerasaan antar umat beragama, tidak juga penodaan terhadap simbol-simbol relegius setiap agama. Maka, upaya segelintir oknum agamawan yang akan membakar al-Quran belakangan ini, secara spontan menimbulkan kemarahan tidak hanya umat Islam, tapi juga pemeluk agama lainnya. Saya cukup terharu melihat aksi komunitas kristen Armenia di New Jolfa beberapa waktu lalu, mereka melakukan unjuk rasa menentang pembakaran al-Quran.

Entahlah, saya selalu berpikir, yang perlu dihadapi dengan tegas adalah para tiran dan penguasa zalim bukan pemeluk keyakinan yang berbeda. Saya teringat sebuah pesan yang ditulis Ahmadinejad pada Paus Benediktus XVI:

"Para pemeluk agama Abrahamik harus menjadi pelopor dalam mewujudkan keadilan, menghapus penindasan dan mencegah kebijakan standar ganda dan diskriminatif"

Dari sudut Vank ini, saya berharap semoga kesadaran untuk menghormati keyakinan keagamaan yang beragam akan semakin bertumbuh. (IRIB/AH/PH/11/10/2010)

*Penulis lepas dan ibu rumah tangga tinggal di Tehran.

0 comments to "Mengintip Komunitas Kristen Armenia Iran"

Leave a comment