Home , , � Cina Investasi Besar-Besaran di Proyek Metro Kota Islam

Cina Investasi Besar-Besaran di Proyek Metro Kota Islam

Cina Siapkan Lima Pesawat Pengusir Mendung

Badan Prakiraan Cuaca di selatan Cina mengkonfirmasikan kemungkinan penggunaan pesawat untuk mencegah hujan pada pelaksanaan Asia Games 2010.

IRNA (4/11) melaporkan, lima pesawat akan dikerahkan untuk mengusir awan mendung di kota Guangju, tempat berlangsungnya Asia Games 2010. Menurut keterangan pejabat prakiraan cuaca setempat, hal itu dilakukan agar seluruh partai olahraga Asia Games tidak terganggu karena hujan.

Kawasan selatan Cina merupakan kawasan kerap hujan dan lembaga prakiraan cuaca juga akan menggunakan roket agar mencegah hujan pada pembukaan Asia Games.

Tidak hanya itu, selama pertandingan berlangsung, dua satelit prakiraan cuaca, 16 stasiun radar, dan lebih dari delapan ribu markas prakiraan cuaca, akan dikerahkan untuk memantau cuaca.

Asia Games 2010 akan digelar tanggal 12 November hingga 27 November mendatang.(IRIB/MZ/SL/4/11/2010)



Cina Investasi Besar-Besaran di Proyek Metro Tehran.
Wakil Walikota Teheran untuk urusan keuangan dan administrasi, Hossein Mohammad Pour-Zarandi menyatakan bahwa Cina ikut berinvestasi di sistem kereta bawah tanah Tehran. Melalui sebuah kesepakatan Cina akan mengucurkan dana sebesar 250 juta euro untuk proyek stasiun kereta bawah tanah Sadeqieh, Tehran.

Kepada Fars kemarin (2/10) Pour-Zarandi mengatakan bahwa dana dari Cina ini akan dikucurkan dalam tiga hingga empat tahun mendatang.

Pejabat Iran itu juga menegaskan bahwa Juni lalu, pemerintah juga telah mengucurkan dana untuk membeli 60 gerbong dan 28 lokomotif untuk proyek metro Tehran.

China juga berinvestasi dalam proyek jalan tol Sadr-Niyayesh dan juga berencana untuk bekerja sama dalam proyek jalan tol Emam Ali.

Tehran saat ini menghadapi kendala besar memburuknya polusi udara dan kemacetan lalu lintas yang meluas. Sejumlah ahli dan pakar perencanaan kota telah menyerukan tindakan segera pemerintah untuk memperluas sistem kereta bawah tanah Tehran .

Saat ini metro Tehran baru memiliki empat jalur operasional, sementara dua jalur lainnya masih dalam tahap konstruksi. Ini adalah salah satu metro terbesar di Timur Tengah dan termasuk yang paling bersih di dunia. (IRIB/MZ/PH/3/11/2010)

Secercah Asa di Bagh-e Ferdows: Meneroka Sinema Iran

Oleh: Afifah Ahmad

Seni tertinggi adalah karya-karya yang mengekspresikan dimensi-dimensi spiritual, merefleksikan prinsip-prinsip Tauhid, sehingga ia mampu mengingatkan dan menuntun manusia untuk kembali kepada Tuhan. (Hossein Nasr)

Desiran kuat angin musim gugur dan gemulai daun-daun kemuning menghantarku menapaki jalan kecil menuju gerbang museum film Tehran di ujung utara Vali-e Asr, tidak jauh dari Tajrish Square. Bangunan yang terkenal dengan nama Bagh-e Ferdows itu, berdiri megah dikitari halaman yang luas. Rumput hijau, pepohonan rindang, kolam mungil dan lampu-lampu hias klasik melengkapi keasrian taman di sekitarnya. Kubayangkan bila malam tiba, lampu-lampu redup berjajar itu akan terlihat bak kunang-kunang berbaris, berkedap-kedip indah.

Tidak jauh dari tangga menuju ruang utama, berdiri sebuah patung manusia. Kepalanya dililit sorban, sebagai ciri khas ilmuwan klasik Persia. Patung yang sedang menggenggam bola kristal bening itu, ternyata Abu Ali Hasan ibn al-Haitham yang juga dikenal dengan Alhazen. Ia seorang saintis muslim abad ke 11 yang menyumbangkan ilmunya di bidang matematika, astronomi juga optis. Bukunya yang cukup monumental adalah al-Manazer (Book of Optics), mendedah dasar-dasar optis yang disajikan dalam tujuh artikel.

Ia sendiri pernah menciptakan pinhole camera, sebuah kamera berbentuk bilik gelam yang diterangi berkas cahaya di salah satu sisinya. Bagi mereka yang menggemari dunia fotografi, tampaknya perlu berterima kasih pada al-Haitham melalui penemuannya ini. Barangkali, patung ini juga dibuat untuk membangkitkan optimisme di kalangan para seniman sinematografi muda muslim, setidaknya energi itu yang kurasakan saat kembali menelisik biografi sang tokoh.

Kutinggal sejenak al-Haitham yang masih termangu menatap bola kristalnya, perlahan kunaiki tangga menuju ruang utama museum. Dua penjaga menyambutku dengan senyum, ah...senyum itu begitu berharga buatku. Senyum yang tak mudah kudapat di sini dari pelayan toko, restoran, hotel bahkan dari seorang kasir bank sekalipun. Tak kusangka, senyum itu rupanya membuatku makin bersemangat untuk mengitari setiap sudut ruangan museum.
The blue exhibition, adalah bilik pertama yang kumasuki. Ruangan yang serba biru ini, bisa dibilang sebagai ruang pembuka yang menyuguhkan sejarah pendirian museum, foto para pendiri juga pionir perfilman Iran seperti Ebrahim Khan Akkas Bashi, sinematografer pertama Iran. Berbagai equipment dan instrumen pembuat film sejak dinasti Qajar juga bisa dijumpai di ruangan ini. Menurut keterangan, sampai kini ada sekitar 350 koleksi perlengkapan film yang dimiliki museum Tehran.

Sebenarnya, tidak ada yang terlalu istimewa dengan berbagai koleksi instrumen yang ditampilkan, karena setiap museum film pastinya akan menyajikan hal yang serupa. Menurutku, yang justru menarik adalah kenyataan bahwa museum film ini digagas setelah Revolusi Islam, sekitar tahun 1994 dan dipindahkan ke Bagh-e Ferdows sejak tahun 2002. Revolusi yang oleh sebagian orang dianggap telah memasung ekspresi berkesenian, faktanya malah memberikan sarana pemantik bagi bertumbuhnya nilai-nilai seni. Apalagi, museum ini juga dilengkapi dengan perpustakaan, teater film dan replika asli dark room, sebagai sarana bagi para seniman muda untuk mencerapi karya-karya pendahulunya.

Dari bilik serba biru, pandanganku segera tertuju pada ruang besar yang letaknya di bagian tengah, central exhibition. Saat melangkah ke pintu masuk, kulihat dua sosok lelaki duduk di bangku terpisah, seorang di antaranya mengenakan kemeja putih dipadu dengan rompi krem sambil membawa bundel kertas. Dugaanku mereka adalah pemandu untuk ruangan dalam museum.

"Salam Agha" Sapaku pada lelaki berkecamata itu
Senyap... tidak ada jawaban

"Salam, khubi?" Kali ini dengan sedikit membungkukkan badan, meniru gaya orang Persia

Tetap hening...lelaki itu tak bergeming

Aku pun memberanikan diri tersenyum, lelaki itu tetap mengunci rapat mulutnya.

"Apa yang salah denganku?" Gumamku penuh kecewa

"Padahal aku tak akan merepotkanmu, hanya sekedar ingin mengambil gambar di belakangmu"

Seseorang menepuk punggungku dari belakang, aku terkesiap. Oh..ternyata suamiku.

"Kenapa lelaki ini dingin sekali ya?" Bisikku pelan pada suami

"Ya..iyalah biar ditinju, gak akan bergeming?"

"Maksud ayah?" Mataku menatapnya tajam

"Coba kamu dekati, itu hanya patung"

"Oh..my God! Masa sih?"

Bersama keherananku, lampu ruangan pun menyala terang. Di ruangan ini, lampu memang didesain redup dan sesekali terlihat benderang. Kudekati patung itu masih dengan sisa keraguan, kutelisik wajahnya yang memang tampak pucat tersorot cahaya lampu. Di sudut lain, patung lelaki dengan setelan jas gelap dan rambut memutih tengah duduk termenung. Kini, aku punya keberanian penuh untuk membidikkan kamera ke arah mereka, tanpa harus susah payah meminta ijin.

Ternyata, dua lelaki tadi adalah para sineas film yang banyak berjasa bagi perfilman Iran. Ali Hatami, nama patung berkaca mata itu, seorang produser sekaligus penulis skenario yang paling terkemuka di jamannya, sementara patung lainnya adalah Ezzatollah Entezami, seorang aktor kawakan. Di ruangan tengah ini, selain terpajang karya dan dokumentasi dua tokoh tadi, juga menjadi ruang khusus bagi para pekerja film lainnya seperti Aboelfazl Jalili, Sohrab Shahid Sales, juga sutradara perempuan kenamaan, Rakhsan Bani Etemad. Nama terakhir ini, paling familiar di telingaku, karena cukup mendapat ulasan dari media lokal Iran sendiri. Terutama karena kiprahnya menggarap film-film bertema perempuan seperti Narges, The May Lady dan The Blue-Veiled yang berhasil menggondol penghargaan di festival film Locarno.

Sejujurmya, diam-diam aku menaruh simpati pada beberapa film garapan sutradara Iran. Di tengah arus perfilman yang hampir semuanya berpusara pada model Holywood, film-fil Iran bisa menampilkan warna dan karakteristiknya sendiri. Menariknya lagi, kesuksesan ini dihasilkan, justru di tengah aturan sensor yang super ketat, misalnya lembaga sensor Iran tidak mengijinkan adegan kontak fisik langsung antara lawan jenis. Padahal, tidak sedikit juga film Iran yang bertema percintaan. Ini memang bukan hal yang mudah, para pekerja film dituntut ‘cerdas' mengkondisikan situasi saat pengambilan gambar. Dan ternyata, aturan ketat ini justru menjadi celah terbukanya kran kreativitas.

Bandingkan saja dua film yang sama-sama memperoleh penghargaan Internasional. Misalnya, film "Spring, Summer, Fall, Winter....and Spring" garapan KIM Ki-duk yang menyabet penghargaan festival film Toronto, sebenarnya mengusung pesan yang dalam tentang perjalanan manusia memerangi nafsu dunia. Sayangnya, pesan itu terkelabuhi oleh adegan yang sangat tidak pantas dalam batasan kesopanan umum sekalipun, apalagi norma agama, tentu dengan kaca mataku sebagai seorang Timur. Bandingkan dengan beberapa karya sutradara Iran yang juga memenangkan ajang perhelatan film Internasional, sebut saja The Test of Cherry besutan Kiarostami yang berhasil mengantongi palm emas di festival Cannes 97 atau The Song of Sparrows garapan Majid Majidi yang sukses menghantarkan pemain utamanya, Reza Najie meraih penghargaan di ajang film Berlin 2008. Berbagai film tersebut tetap bisa meraih apresiasi masyarakat dunia tanpa harus menyisakan ‘ruang kotor' Bahkan, pada karya-karya Majid Majidi warna humanis dan religiusnya malah terlihat lebih kental.

Menurutku pribadi, beginilah seharusnya karya seni dilahirkan untuk memenuhi dahaga spiritual, tidak sekedar pemuas dimensi material. Seperti pernah ditegaskan Nasr, bahwa seni tertinggi adalah karya-karya yang mengekspresikan dimensi-dimensi spiritual, merefleksikan prinsip-prinsip tauhid, sehingga ia mampu mengingatkan dan menuntun manusia untuk kembali kepada Tuhan. Inilah yang akhirnya membedakan antara seni relegius dengan seni-seni lainnya.

Ah....sayangnya! Hari ini, waktu seperti melompat begitu cepat. Banyak ruang yang masih belum tersisir tapi senja mulai menampakkan dirinya. Mungkin, suatu hari aku akan kembali, menikmati secangkir teh pahit Ghilan di kedai museum ini, sambil membincang lebih jauh tentang model berkesenian yang humanis dan religius atau mendedah karya-karya sutradara favoritku, Majid Majidi. "Alhazen..! semoga kau tak jera mengundangku ke tempat ini, karena aku begitu terinspirasi olehmu dan setiap sudut museum Bagh-e Ferdows ini".

Tehran, Jumat, 29 Oktober 2010 (irib/1/11/2010)


Menelisik Transportasi Publik Ramah Gender di Iran

Oleh :Afifah Ahmad

"Perbedaan struktur fisik memungkinkan laki-laki berbuat semena-mena terhadap perempuan. Karena itu perlu diciptakan suatu undang-undang yang menjamin keselamatan perempuan terhadap kemungkinan tindakan semena-mena dari kaum laki-laki ini,"

(Sayyid Ali Khamanei, 18 Sep 96, Azarbaijan Barat)
***
"Befarmaid khanomha....jadidtarin bazy-e sargarm. Faghat hizar ponsad toman"

Suara lengking milik seorang perempuan muda itu beradu dengan derit metro yang melaju cepat di atas rel bawah tanah menuju terminal Sadeqieh. Sosok itu, kian mendekat sambil terus menjajakan dagangannya berupa mainan anak. Dipanggulnya ransel hitam besar dan tas plastik sambil sesekali memperagakan mainan gangsing. Kutelisik wajah putihnya yang berbalut kerudung hitam dan kaca mata mungil, postur tubuhnya pun tinggi semampai, nampak pas dengan atasan selutut bermotif bola-bola kecil gelap. Sama sekali tak terlihat gurat kemiskinan di wajahnya.

Kalau di negeri antah berantah sana, mungkin ia sudah dilirik banyak produser sinetron untuk memeriahkan kisah-kisah picisan mereka. Tapi, kelebihan fisik yang dimiliknya tak bisa menjanjikan banyak hal di sini, paling mujur adalah pujian dari penumpang asing sepertiku. Kenyataannya, ia tetap harus berjuang mengikuti irama keras metropolis. Kupikir, usahanya ini cukup menjanjikan. Terbukti, baru dua tiga stasiun dilalui, dagangannya sudah ditaksir banyak penumpang. Uang seribu limaratus toman pun satu demi satu menggelontor dari kantong-kantong pembeli, termasuk dari kantong bajuku. Rupanya, kotak panjang berjalan itu telah menyediakan rejeki menjanjikan bagi para perempuan berani, terutama dengan tersedianya gerbong khusus perempuan.

Yah, seperti yang kujumpai di metro line 2, Jum'at siang, 14 September 2010 lalu. Selain nona cantik tadi, masih ada beragam tipe perempuan dengan aneka jenis dagangannya hilir mudik di sepanjang gerbong khusus perempuan. Kulihat para penumpang pun tak merasa terganggu, bahkan sebagian turut menikmati dengan melihat-lihat dagangannya, tak sedikit juga yang akhirnya melakukan transaksi. Sejauh ini, aku tak pernah melihat para petugas yang melarang para pedagang yang mengadu nasib di atas metro, entah bila kondisinya sudah mulai crowded.

Tapi sebenarnya, ada hal yang jauh lebih mendasar dan urgen soal pemisahan gerbong ini ketimbang masalah jualan. Kupikir siapapun akan sependapat, pemisahan transportasi perempuan dan laki-laki akan sangat berpihak dan melindungi posisi perempuan. Seperti hari itu, terminal metro sedang dijejali para suporter bola Persepolis dan Esteqlal, dua tim favorit ibu kota yang akan berlaga di stadion Azadi Tehran, persis jalur arah tujuanku. Tapi, untunglah ada gerbong khusus perempuan, yang menyelamatkanku dari desakan badan-badan besar para suporter itu.

Di tengah kenyamanan yang kurasakan sembari melihat para penjual yang menjajakan dagangannya, hati kecilku mulai bermonolog, membincang betapa bahagianya para perempuan yang sudah bisa menikmati hak persamaan menggunakan transportasi publik secara layak. Sejujurnya, ada banyak hal ketidaknyamanan yang pernah kualami di negeri Persia ini seperti jasa internet, pelayanan bank dan lainnya. Tapi soal transportasi publik, terutama sistem pemisahan ini, perlu kuacungkan jempol setinggi-tingginya.

Tidak hanya metro, beberapa angkutan umum seperti BRT atau busway dan bus-bus kota lainnya sudah menggunakan sistem terpisah, hanya taksi (baca: angkot) saja yang pengaturannya belum jelas. Biasanya, untuk bus kota, tempat duduk perempuan berada di bagian belakang. Sebaliknya, penumpang perempuan busway menempati kursi bagian depan. Sedangkan kereta bawah tanah metro, menyediakan dua gerbong khusus perempuan di bagian paling depan dan paling belakang. Dari beberapa kota yang pernah aku kunjungi, semuanya menerapkan aturan pemisahan penumpang laki-laki dan perempuan.

Untuk bus antarkota, aturan ini tetap berlaku. Tapi, lebih kepada penentuan teman sebangku. Sebelum keberangkatan, kondektur akan disibukkan mencari tempat bagi para penumpang single. Kalau ternyata bus hanya tersisa satu bangku, kondektur tetap akan menunggu penumpang sesama jenis kelamin dan terpaksa ‘mengusir' penumpang lainnya, kecuali ada pasangan keluarga yang mau bertukar tempat duduk. Karena, bagi mereka yang membawa keluarga atau pasangannya, bebas saja memilih tempat duduk yang masih kosong.

Catatan menarik lainnya yang kujumpai dalam sistem transportasi di Iran adalah pemisahan kamar-kamar dalam gerbong kereta api jarak jauh. Ukuran kamar dan fasilitasnya, biasanya tergantung pada harga yang ditawarkan pihak perusahaan kereta api. Namun pembagian kamar ini sendiri, bagiku adalah sebentuk hadiah kenyamanan bagi kaum perempuan. Mereka yang pergi rombongan sesama perempuan atau keluarga yang menyewa satu kamar, bisa dengan leluasa melepas jilbab di dalam ruangan. Karena seluruh kamar tertutup tirai. Petugas pemeriksa tiket atau pengantar makanan, biasanya akan mengetuk terlebih dahulu.

Sayangnya, hak kenyamanan dalam angkutan umum seperti ini, belum dapat dinikmati oleh banyak perempuan di berbagai belahan dunia lain, pun di negeriku yang mayoritas penduduknya muslim. Bahkan, berbagai kasus kekerasaan seks di atas angkutan umum dan tindakan kriminal lainnya mewarnai kehidupan keseharian kaum perempuan kita, seperti kasus yang pernah dilansir detikcom beberapa waktu lalu:

"Korban pelecehan, Foni (31), mengaku mendapat perlakukan tidak menyenangkan dari Anton saat antre tiket di terminal busway Blok M, Sabtu (5/6) ...... Foni pun berteriak di Halte Dukuh Atas, selanjutnya Anton dibawa ke Polres Jaksel oleh dua petugas bus. Saran Polisi, Foni membatalkan membuat laporan karena kurangnya saksi. Sementara Anton hanya diminta polisi untuk membuat pernyataan agar tidak mengulangi perbuatannya lagi."

Perih hatiku, mengingat berita-berita yang mewartakan maraknya tindakan pelecehan seksual di busway. Sebenarnya, ini bukanlah isu baru, setidaknya bagiku dan para pelanggan transportasi publik lain. Kebetulan, Foni adalah seorang perempuan yang berani membela hak-haknya. Faktanya, ada banyak deretan daftar kasus semacam ini, yang lebih sering tak terungkap dan berlalu begitu saja meninggalkan kecemasan mendalam bagi kaum perempuan. Bayangkan, kalau kejadian tersebut menimpa perempuan di atas bus dengan jarak tempuh jauh! Sebuah penderitaan, tentunya.

Belum lagi, tindakan kejahatan lain seperti pencopetan, menjadi bagian yang tak kalah meresahkan para perempuan pengguna jasa angkutan umum. Aku sendiri pernah memergoki kasus pencopetan di jalur 10 Yogjakarta pada seorang ibu yang akan membesuk saudaranya persis depan rumah sakit Bethesda. Sebuah peristiwa yang akan terus terekam dalam memori. Masih terbayang wajah pedih dan pilu ibu tengah baya itu, di antara mata merah pencopet. Sayangnya, teriakanku terkalahkan oleh suara deru mesin dan pencopet pun segera menghilang di antara desakan penumpang.

Memang, di tengah corat marit kondisi transportasi publik kita, perempuanlah yang kerap menuai dampak negatifnya. Kebutuhan adanya pemisahan tempat duduk perempuan dan laki-laki agaknya sudah mulai mendesak. Aku tak bermaksud membandingkan dua negeri yang berbeda. Kutahu masing-masing punya persoalan yang tak sama terkait jumlah populasi, ketersediaan angkutan umum dan mungkin banyak hal lain lagi. Tapi kiranya, bukan hal yang mustahil untuk menerapkan secara keseluruhan sistem pemisahan.

Apalagi, sinyal ke arah sana sebenarnya mulai menunujukkan ke titik yang lebih baik, misalnya dengan dioperasikannya gerbong Kereta Rel Listrik (KRL) khusus perempuan yang diluncurkan oleh PT KAI Commuter Jabodtabek (PT KCJ) pada 19 Agustus 2010 lalu. Namun, kupikir upaya ini masih perlu terus dikembangakan di kota-kota lain. Selain itu, yang terpenting lagi adalah pengaturan sistem pemisahan pada busway dan bus-bus kota yang menjadi angkutan keseharian masyarakat. Perjuangan untuk meramahkan transportasi di negeri kita, tampaknya masih merentang jalan panjang.

***

Suara hentakan rem, seketika menyadarkanku dari lamunan panjang. Di luar tertulis sebuah plang Isghah Sadeqieh, akhir pemberhentian metro line 2. Sambil menuruni anak tangga menuju pintu keluar, sekali lagi kulirik perempuan muda yang kini sudah melompat ke gerbong lain, hatiku terus dipenuhi kegundahan, semoga keramahan transportasi juga akan segera dinikmati oleh para perempuan di mananapun.

Tehran, awal Musim Gugur 2010 (irib/23/10/2010)

0 comments to "Cina Investasi Besar-Besaran di Proyek Metro Kota Islam"

Leave a comment