Home , � Syi'ah dan Sunni sesat, Wahabi yang benar !!!!! Karena Tawasul dan Ziarah Kubur???

Syi'ah dan Sunni sesat, Wahabi yang benar !!!!! Karena Tawasul dan Ziarah Kubur???


Menjawab artikel Pendakwah Wahaby

Betapa Premature pemahaman mereka...
Agama Suci ini lebih dari sekedar tekstual semata..
Tanpa pemahaman menyeluruh dan bertumpu pada parsial, niscaya mutiara keagungan ISLAM tiadalah akan tergali..

Wahaby Wrote (artikel asli) :

Syi'ah : Apa Keyakinan Orang Rafidhah Terhadap Najaf Dan Karbala ? Dan Apa Keutamaan Menziarahinya

Orang syi'ah sungguh telah menjadikan tempat-tempat perkuburan imam-imam mereka baik imam dakwaan mereka belaka atau hakiki, sebagai tempat yang haram dan suci (seperti haram Makkah) : maka kota Kufah adalah haram, Karbala haram, Qum haram. Dan mereka meriwayatkan dari As Shidiq : Sesungguhnya Allah memiliki haram yaitu kota Mekkah, dan Rasulullah memilik haram yaitu kota Madinah, dan Amirul mukminin memiliki haram yaitu kota Kufah dan kita memiliki haram yaitu Qum.

Karbala menurut mereka lebih afdhol (utama) dari Ka'bah. Hal ini tercantum dalam kitab Al Bihaar dari Abi Abdillah bahwasanya ia berkata : Sesungguhnya Allah telah mewahyukan ke Ka'bah; kalaulah tidak karena tanah Karbala, maka Aku tidak akan mengutamakanmu, dan kalaulah tidak karena orang yang dipeluk oleh bumi Karbala (Husain), maka Aku tidak akan menciptakanmu, dan tidaklah Aku meciptakan rumah yang mana engkau berbangga dengannya, maka tetap dan berdiamlah kamu, dan jadilah kamu sebagai dosa yang rendah, hina, dina, dan tidak congkak dan sombong terhadap bumi Karbala, kalau tidak, pasti Aku telah buang dan lemparkan kamu ke dalam Jahanam. [1]

Dan tercantum juga di dalam kitab Al Mazaar karangan Muhammad An Nu'man yang diberi gelar dengan syeikh Mufid, di dalam Bab Ucapan saat berdiri di atas kuburan yaitu orang yang menziarahi kuburan Husain mengisyaratkan dengan tangan kanannya sambil mengucapkan doa yang panjang, diantaranya :

Saya datang berziarahmu, untuk mencari keteguhan kaki di dalam berhijrah kepadamu, dan sungguh saya telah meyakini bahwasanya Allah Jalla Tsanaauhu, dengan lantaranmu Dia melapangkan kesulitan, dan dengan lantaranmu Dia menurunkan Rahmat, dan dengan lantaranmu Dia menahan bumi yang jatuh bersama penduduknya, dengan lantaramu Allah mengokohkan gunung-gunung di atas pondasinya, dan sungguh saya telah menghadap (munajat) kepada Rabbku, bahwa dengan lantaranmu wahai tuanku untuk menyelesaikan hajat kebutuhan dan keampunan dosa-dosaku.

Dan tercantum dalam kitab Al Mazaar tentang keutamaan kota Kufah, dari Ja'far Al Shodiiq ia berkata : Tempat yang paling mulia (utama) setelah haram Allah dan haram rasul-Nya adalah kota Kufah, karena kota Kufah Suci bersih, di sana terdapat kuburan para nabi dan rasul dan ahli wasiat yang jujur, dan di sana terlihat keadilan Allah, dan di sana datang Qaimah (penegak) dan pengegak-penegak setelahnya, Kota Kufah itu tempat turunnya para nabi dan ahli wasiat serta orang-orang yang sholeh [2].

Analisa Wahaby :
Lihatlah wahai pembaca yang budiman, bagaimana mereka itu jatuh dalam kesyirikan, karena mereka meminta kepada selain Allah dalam menyelesaikan dan memenuhi hajat kebutuhan, meminta dan memohon pengampunan dosa-dosa kepada manusia, bagaimana mungkin hal itu terjadi, sedangkan Allah telah berfirman :

Artinya : Siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah. [Ali Imran : 135]

Kita berlindung dengan Allah dari perbuatan syirik.
[1] Kitab Al Bihaar : (10/107)
[2] Kitab Al Mazaar, karangan Muhammad An Nu'man yang diberi gelar dengan syeikh Mufid, hal : 99
**
Jawaban Ar Radhi:

Ketika banyak orang berupaya mencari jutaan cara menjatuhkan citra Syiah, mereka justru akan lebih dalam dan terpapar dalam menampilkan ketidak fahamannya sendiri. Dengan kedangkalan hujjah dan analisa mereka mencoba merecoveri hadits hadits dalam kitab Syiah yang pastinya tidak akan mudah dibaca dengan cukup tekstual saja (jumud-ortodok).

Sesungguhnya yang Fulan wahaby lakukan adalah mengcopy paste lalu dianalisa sendiri, bukan melakukan syarah.

Basic berbeda.

Wahaby mengharamkan Tawassul.
Sementara Sebagian Ahlusunnah memperbolehkannya
Syiah sendiri mengutamakan Syariat tawassul ini.

Jawabannya artikel diatas sederhana, tidak dibutuhkan hujjah mendalam (menjelaskan pada pribadi tidak faham, tidak dibutuhkan hujjah mendalam). Bahwa, tidak bisa ditampik Semua auliyya ALLAH pastilah memiliki keutamaan dan kemuliaan saat ia masih hidup ataupun setelah wafatnya, Landasannya :

QS Ali Imran 169.
"Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezki."

Maka bertabaruk dengan Auliyya ALLAH baik saat ia masih hidup ataupun setelah wafatnya sama memiliki manfaat.

Quote :

Wahaby wrote:

Karbala menurut mereka lebih afdhol (utama) dari Ka'bah. Hal ini tercantum dalam kitab Al Bihaar dari Abi Abdillah bahwasanya ia berkata : Sesungguhnya Allah telah mewahyukan ke Ka'bah; kalaulah tidak karena tanah Karbala, maka Aku tidak akan mengutamakanmu, dan kalaulah tidak karena orang yang dipeluk oleh bumi Karbala (Husain), maka Aku tidak akan menciptakanmu, dan tidaklah Aku meciptakan rumah yang mana engkau berbangga dengannya, maka tetap dan berdiamlah kamu, dan jadilah kamu sebagai dosa yang rendah, hina, dina, dan tidak congkak dan sombong terhadap bumi Karbala, kalau tidak, pasti Aku telah buang dan lemparkan kamu ke dalam Jahanam. [1]

[1] Kitab Al Bihaar : (10/107)

Ar Radhi :

Sang penulis hendak membawa dan mencari legitimasi khalayak dalam mencari dukungan atas upaya mendeskreditkan Syiah.

Hadits diatas bermakna :
Karena peristiwa karbala sebagai bentuk revolusi akidah maka pedaran ISLAM yang haq masih dapat dinikmati oleh para pemeluknya. Bila tanpa Revolusi Akidah yang terjadi karena karbala, niscaya manusia telah menganut ISLAM Yazid (laknatullah). Dengan terjadinya revolusi karbala atas akidah, masih saja kita saksikan ada manusia manusia yang berakidah yazid bagaimana bila tidak ada revolusi akidah ?

Maka dengan melalui Jalan revolusi akidah dan memperbaharui keimanannya hanya pada syariatNya lah ALLAH AWJ tidak akan menempatkan kita di tempat yang paling buruk saat kita kembali padaNya.

Al Baqoroh 208 :
"Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu."

ALLAH AWJ menghendaki kita mencari ISLAM yang Kaffah, dan panggilan atas orang beriman tuk “hijrah” kedalam ISLAM kaffah.

Masuk bermakna perpindahan dari situasi satu (sebelumnya) ke situasi yang lebih baik (kemudian)

Wahaby wrote :

Dan tercantum juga di dalam kitab Al Mazaar karangan Muhammad An Nu'man yang diberi gelar dengan syeikh Mufid, di dalam Bab Ucapan saat berdiri di atas kuburan yaitu orang yang menziarahi kuburan Husain mengisyaratkan dengan tangan kanannya sambil mengucapkan doa yang panjang, diantaranya :

Saya datang berziarahmu, untuk mencari keteguhan kaki di dalam berhijrah kepadamu, dan sungguh saya telah meyakini bahwasanya Allah Jalla Tsanaauhu, dengan lantaranmu Dia melapangkan kesulitan, dan dengan lantaranmu Dia menurunkan Rahmat, dan dengan lantaranmu Dia menahan bumi yang jatuh bersama penduduknya, dengan lantaramu Allah mengokohkan gunung-gunung di atas pondasinya, dan sungguh saya telah menghadap (munajat) kepada Rabbku, bahwa dengan lantaranmu wahai tuanku untuk menyelesaikan hajat kebutuhan dan keampunan dosa-dosaku.

Dan tercantum dalam kitab Al Mazaar tentang keutamaan kota Kufah, dari Ja'far Al Shodiiq ia berkata : Tempat yang paling mulia (utama) setelah haram Allah dan haram rasul-Nya adalah kota Kufah, karena kota Kufah Suci bersih, di sana terdapat kuburan para nabi dan rasul dan ahli wasiat yang jujur, dan di sana terlihat keadilan Allah, dan di sana datang Qaimah (penegak) dan pengegak-penegak setelahnya, Kota Kufah itu tempat turunnya para nabi dan ahli wasiat serta orang-orang yang sholeh [2].

Ar Radhi :

Hadits dalam kitab Syaikh Al Mufid ini lebih bermakna Berdoa kepada ALLAH AWJ dengan cara bertawassul (melalui perantara) kemuliaan Imam Husein As.

Keywordnya adalah : dengan lantaranmu / dengan perantaramu / dengan kemuliaanmu dst..

Jelaslah tidak akan berbuka gerbang pemahaman kaum jumud sementara disisi mereka tertutup (di bid’ahkan) bertawassul.

Baik kepada Orang sholeh yang masih hidup ataupun telah wafat dan dengan cara apapun.
Kaum jumud lebih bisa memaknai meminta langsung kepada orang wafat daripada meminta kepada ALLAH AWJ melalui Perantaraan.

Dalil acuan :

Al Quran Surah Al Maidah ayat 35 :

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan (wasilah) yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan"

Ayat ini adalah ayat paling jelas sebagai landasan bertawassul yaitu melalui jalan (mana saja) sebagai perantaraan dalam mencari kebaikan/keberuntungan.

Sementara dari sisi Hadits ada banyak sekali yang menjelaskan keutamaan syariat tawassul ini.

Athiyyah Ufi meriwayatkan dari Abu said al khudri dari Lisan Suci Rasul Saww :

“Barangsiapa yang keluar dari rumahnya untuk melakukan shalat dan ia membaca doa berikut ini, maka ia akan mendapatkan rahmat Allah dan seribu malaikat memintakan ampun baginya : Ya ALLAH, aku memohon kepadaMu dengan perantaraan hak para pemohon dan dengan kehormatan langkah langkah yang kuangkat guna menuju kepadaMu. Aku tidaklah keluar untuk durhaka dan bersenang senang dan tidak pula untuk riya atau sum’ah, melainkan aku keluar untuk menjauhi murkaMu dan mendapatkan keridhoanMu. Aku memohon agar Engaku menjauhkan aku dari api neraka dan mengampuni dosa dosaku, karena sesungguhnya tidak ada yang berhak mengampuni dosa kecuali Engkau..”

{Sunan Ibnu Majah Jilid 1, hal 261-262, Musnad Ahmad Jilid 3 hadis no 21}

Imammul Husein As Syahid As bermunajat kepada ALLAH dalam doa Arafah yang terkenal :

“ Ya ALLAH, aku menghadap kepadaMu saat ini, saat yang telah Engkau Agungkan, dengan perantaraan Muhammad NabiMu dan UtusanMu serta mahluk terbaikMu..”

{Mafatih Jinan-Syaikh abbas Al Qummi}

Jelas sekali bahwa Tawassul tidak akan hilang dari ISLAM otentik dan akan terus lestari selama ISLAM masih bersemi.

Oleh karenanya teology jumud tidak akan dapat menyentuh esensi keindahan berdoa ini dikarenakan mereka telah ‘hilang sentuhan’ berganti kekakuan Ibnu Taymiyah.

Bagi kaum wahaby Ushwah Nabi telah punah berganti Ushwah Ibnu Taymiyah … Naudzubillah…

Segala Upaya mereka menjauhkan Umat dari Cahaya Suci akan kembali pada kerugian disisi mereka, karena bukan pencerahan yang akan mereka dapat namun adalah buah kebodohan semakin tampak disisi mereka..

Hanya Kepada ALLAH AWJ segala Pujian terbaik dan terindah, karena DisisiNya segala Keutamaan. Hanya KepadaNya Kita meminta dan berharap pertolongan… dan Hanya KepadaNya semua kembali...

sumber:http://alqoimkaltim.com/en/section-blog/56-aqidah/132-menjawab-artikel-pendakwah-wahaby.html

Bukti kesatuan Sunni dan Syiah serta keharmonian yang diidamkan para pewaris Nabi

Berbagai usaha telah dilakukan oleh musuh-musuh Islam untuk menghancurkan kesatuan dan keharmonian umat Islam, yang sepatutnya terjalin di antara hamba-hamba yang menyembah Allah, tidak kira dari mazhab mana mereka berasal. Namun kesedaran dan komitmen para ulama(pewaris nabi) serta kedewasaan berfikir telah menghalang dan menhancurkan cita-cita jahat musuh-musuh Islam tersebut.

Hanya kaum munafik dan/atau kaum jahil serta mereka yang tertipu dengan propaganda musuh-musuh Islam sahaja yang terjebak dalam jaring pemecahan umat Islam

Apa yang dicontohkan oleh seorang pawaris Nabi saw., ulama karismatik asal kota suci Mekkah, ulama besar Ahlusunnah di tanah air tercinta; Sayyid al Muhaddis Muhammad Alawi al Maliki al Hasani (RH) adalah sebuah bentuk keharmonisan yang seharusnya terjalin di antara umat Islam, khususnya di kalangan para ulama!

Dari kiri Ali Baqir al Musawi, Doktor Muhammad Sa’id Thayyib, Sayyid Hasyim as Salmân, al marhûm Sayyid Muhammad Alawi al- Maliki, Doktor Sâmi dan Amin al Aththâs.

Bentuk keharmonisan yang Diidam-adamkan Para Pewaris Nabi saw.

Hasil dari niat-niat jahat musuh Islam, berbagai-bagai bentuk fatwa telah di keluarkan oleh mereka untuk mengkafirkan antara satu sama lain. Mereka yang bermazhab Ahlul Bait telah menjadi sasaran fatwa pengafiran. Seribu satu alasan mereka carikan untuk menghalalkan darah-darah mereka. Mulai dari tuduhan palsu menyembah para imam dan menuhankan Imam Ali as. hingga tuduhan syirik dengan alasan bertawassul, beristighatsah dan meminta syafa’at kepada Nabi dan para imam suci dari Ahlulbait as.

Agen-agen mereka juga bertebaran di berbagai dunia Islam, tidak terkecuali negera tercinta kita Malaysia! seluruh kekuatan mereka kerahkan untuk memprovokasi masyarakat di peringkat akar umbi untuk mengafirkan Syi’ah dan menghalalkan darah-darah suci mereka! tidak sedikti wang yang mereka laburkan di negara ini.

Walaupun demikian, hal yang menggembirakan ialah munculnya sikap arif dari para pemikir tulus untuk hidup berdampingan dan berganding tangan di antara seluruh masyarakat Muslim dari mazhab manapun mereka berasal! Sebab Islam di atas segalanya! Konsep La ilaha Illahhah, Muhammad Rasulullah di jadikan priority di atas sikap mazhabiyah!

Di Arab Saudi mulai tercipta keadaan yang kondusif di antara elemen masyarakat Muslim dari berbagai mazhab; Sunni, Syi’ah dan Wahhabi sendiri, sebagai pemilik berbagai fasiliti kerajaan!

Keadaan seperti ini membuatkan ektrimis Wahhabi (bukan seluruh Wahhabi) tidak dapat duduk senang! Mereka tidak menginginkan terciptanya keharmonisan di antara umat Islam! Mereka lebih memilih jalan yang membahagiakan musuh-musuh Allah dan Rasul-Nya!

Tokoh karismatik Syi’ah; Syeikh Hasan ash Shaffar (wakil komuniti Syi’ah di Arab Saudi) dan Syeikh dan penulis terkenal bermazhab Wahhabi moderat; Syeikh Ied al Qarni (selaku cendikiawan dan pemikir Muslim) berusaha merumuskan piagam kesepakatan bersama antara berbagai aliran Islam di Arab Saudi.

Semoga usaha terpuji mereka segera ditiru oleh kaum Muslim di negara kita, khususnya mereka yang masih tertipu oleh propaganda musuh-musuh Allah dengan bersemangat menambah api permusuhan di antara Sunnah dan Syi’ah!

Para ulama dari berbagai penjuru dunia Islam menyambut Deklarasi Piagam yang diasas para ulama Mushlihun tersebut!

Ketua Majma’ Alami Li Ahlilbait as.; Syeikh Hasan Akhtari menaruh harapan besar bagi persatuan umat Islam yang berasal dari negera Islam paling bersejarah; Hijaz. Beliau menegaskan bahwa hal itu merupakan

“نبأ سارا لجميع المسلمين ولاقى ترحيبا بين أتباع النبي الأعظم الصادقين”.

“Berita gembira bagi seluruh umat Islam; pengikut setia Nabi agung Muhammad saw.”

Beliau juga menyebutnya sebagai:

خطوة حكيمة نابعة من إدراك عميق وفهم دقيق لعلماء واعين بالأوضاع الراهنة للعالم الإسلامي

“Langkah bijak yang lahir dari kasedaran yang dalam dan pemahaman yang jeli dari para ulama yang menyedari kondisi dunia Islam dewasa ini.”

Dalam suratnya yang dikirim untuk Syeikh Hasan dan al Qarni, Syeikh Akhtari mengatakan:

“في مطلع الألفية الجديد واجه العالم الإسلامي أمواجا متلاطمة التي تروج لها الصهيونية العالمية. وهذا يستدعي أن يتصدى أبناء مدرسة النبوة والرسالة بحكمة وبصيرة لهذه الفتنة العمياء، وأن يجتنبوا القيام بأية خطوة تؤدي إلى التفرقة، ولقد جسّدتم ذلك بأروع صورة من خلال الخطوة الواعية التي أقدمتم عليها”.

“Di awal peradaban ini, Dunia Islam sedang menghadapi badai yang menghempas yang dipropagandakan oleh Zionisme Internasional yang menuntut para pengikut ‘Madrasah Kenabian dan Kerasulan’ bangkit dengan bijak dan kesedaran pandangan untuk menghadapi fitnah yang membutakan itu. Hendaknya mereka menjauhkan diri dari melakukan tindakan yang mengarah kepada perpecahan. Kalian telah mewujudkannya dengan bentuk paling memukau melalui langkah-langkah sedar yang kalian lakukan.”

Al Akhtari juga menjanjikan dukungan penuh terhadap segala usaha ke arah terciptanya persatuan dan keharmonisan di tengah-tengah masyarakat Muslim Dunia.

Majma’ Alami mengajak seluruh ulama dan pemuikir Islam untuk mendukung dan bergabung ke dalam Kafilah Persatuan Umat Islam ini. Semoga cita-cita para pawaris nabi ini terwujud!


Mengupas Syiah di Masjid Al-Azhar

Oleh Fadly pada Senin 18 Mei 2009, 08:03 AM

Dengan kedok Islam adalah satu, sesama Muslim adalah bersaudara dan dengan slogan yang sangat terkenal Laa Syarqiyah Wa Laa Ghorbiyyah, Islamiyah...Islamiyah (Tidak timur dan tidak barat, islamiyah..islamiyah), Khomeini ‘menipu’ para tokoh-tokoh Islam dan negara-negara Islam bahwa revolusi mereka harus di dukung karena revolusi mereka revolusi Islam. Namun fakta yang ada revolusi Iran adalah revolusi Syiah dan bukan revolusi Islam.

Sejak revolusi SYIAH Iran, Khomeini sebagai pemimpin spiritual dan juga sebagai pemimpin negara Iran pada saat itu, gencar mengekspor ideologi ajaran dan pemahaman Syiah ke dunia Islam. Dan sejak itulah dimulai seruan-seruan Taqrib (pendekatan) antara Sunni dan Syiah gencar didengungkan dikalangan kaum Muslimin sampai saat ini.

Mensikapi maraknya aliran-aliran Islam yang menyimpang serta memberikan pemahaman yang benar terhadap aliran sesat dan upaya membentingi diri dari aliran yang menyimpang dari Islam terutama ajaran Syiah yang sering mengemas ajarannya dengan sangat 'indah', maka untuk itu KMKI (Komunitas Muslimah untuk Kajian Islam)bekerja sama dengan Komite dakwah khusus MUI, Pimpinan Pusat DDII dan Forum Umat Islam (FUI), pada hari Sabtu (2/4/2009) mengadakan Seminar Kajian Ilmiah yang bertajuk "Apakah Syiah?", yang berlangsung di aula Buya Hamka Masjid Al-Azhar Kebayoran baru Jakarta Selatan.

Seminar yang berbentuk kajian ilmiah ini diisi oleh KH.Chalil Ridwan,Lc yang juga merupakan salah satu ketua MUI - sebagai keynote speaker dan Ust Farid Okbah, MA sebagai pembicara utama. Di antara peserta seminar tampak juga tokoh-tokoh pergerakan Islam diantaranya adalah Sekjen FUI Ust Muhammad Al-Khatthat, Bambang Irawan mantan petinggi LDII dan yang lainnya.

Acara ini cukup mendapat sambutan yang sangat antusias dari kaum muslimin, dari 500 undangan yang di cetak oleh panita terpaksa harus ditambah lagi mengingat banyaknya kaum muslimin yang berminat untuk ikut kajian ini.

Dalam paparannya KH.Chalil Ridwan menceritakan pengalamannya untuk pertama kali melihat kesesatan Syiah, sewaktu baru berkuliah di Universitas Madinah pada tahun 70 an dulu, dia kaget membaca berita dan melihat siaran televisi yang memberitakan tentang adanya demonstrasi ribuan jamaah haji di Mekah sewaktu mereka sedang melaksanakan ibadah haji sehingga terjadi bentrok dengan pihak keamanan Saudi dan mengakibatkan 140 korban jiwa meninggal baik dari pihak demonstran maupun aparat keamanan. Hal ini menurutnya membuat dia berpikir dan bertanya-tanya, kenapa ada jamaah haji yang tujuannya beribadah dan kota Mekah adalah kota suci yang tidak boleh ada keributan disana dan pada saat ibadah haji malah melakukan demonstrasi yang tidak jelas tujuannya.

Sejak itulah ia mulai membaca dan mengkaji tentang Syiah dan penyimpangan-penyimpangannya. Setelah mengetahui tentang kesesatan Syiah, KH Chalil Ridwan mulai sering mengkritik dan menjelaskan tentang kesesatan Syiah kepada umat, sampai-sampai ia di fitnah dituduh sebagai orang yang anti Habaib karena suka mengkritik pemahaman Syiah yang sering mengaku cinta kepada Ahlul Bait (keluarga nabi) dan para Habaib mengklaim mereka adalah masih turunan keluarga nabi.

KH Chalil Ridwan juga menjelaskan kalau perbedaan Syiah dan Sunni bukanlah perbedaan masalah furu' (cabang) tetapi perbedaan yang bersifat ushul (pokok) seperti yang telah dijelaskan dalam suatu bayan dari MUI pada tahun 80 an yang lalu.

Dan diakhir paparannya KH Chalil Ridwan menyerukan kepada duta besar Iran, pemerintah Iran dan presiden Iran untuk membiarkan kaum Muslimin khususnya Indonesia - dan jangan ekspor ideologi Syiah kepada umat Islam Indonesia bila datang ke Indonesia yang mayoritas umatnya adalah berpemahaman Islam Ahlus Sunnah Wal Jamaahnya.

Pada paparan kedua yang disampaikan oleh Ustadz Farid Okbah, MA - menjelaskan kalau kajian pada pagi ini tidak membahas Syiah untuk kalangan Syiah tetapi kajian Syiah untuk kalangan Ahlus sunnah makanya pada kajian ini tidakmengundang tokoh dari Syiah.

Kemudian ust Farid mengatakan telah banyak berbagai pihak yang berusaha mengkompromikan antara dua aliran besar tersebut dengan istilah Taqrib dan Forum Ukhuwah. Tapi semuanya itu gagal karena dianggap oleh pihak Ahlus Sunnah tidak fair. Sebab yang terjadi adalah Syiahnisasi Ahlus Sunnah.

Perbedaan yang sangat mendasar terdapat antara Syiah dan Sunni, Syiah dengan mudah mengkafirkan sahabat nabi yang utama, Abu bakar, Umar dan Utsman, padahal dalam pemahaman kaum Muslimin secara umum bahwa umat Islam wajib untuk menghormati para sahabat Rasulullah dan menghina para sahabat sama saja dengan menghina Nabi Muhammad SAW, kata ust farid. Belum lagi penyimpangan dalam persoalan nikah Mut'ah yang sering dilakukan oleh pengikut Syiah.

Syiah meyakini bahwa imam sesudah nabi Muhammad adalah Ali bin Abi thalib dan menuduh para khalifah telah merampok kepimimpinan dari tangan Ali. Bahkan Syiah meyakini bahwa imam mereka adalah Ma'shum (terjaga dari dosa) serta bisa mengetahui yang ghaib.

Ustadz Farid Okbah yang dalam acara tersebut membawa setumpuk kitab dari ulama-ulama Syiah serta kitab-kitab dari ulama Syiah yang telah bertobat. Dan ia menjelaskan kesesatan Syiah semuanya tercantum dalam kitab-kitab rujukan induk mereka seperti kitab Al-Kaafi karangan Muhammad bin ya'qub bin ishaq Al-Kulaini, kitab Man Laa Yahdhurul faqih, karangan Muhammad Babawaih Al-Qumi, kitab At-Tahdzib karangan Muhammad At-Thusi dan kitab Al-Istibshar yang dikarang oleh Muhammad At-Thusi juga.

Dalam acara tersebut juga, ustadz Farid Okbah memperlihatkan setumpuk kain kafan ala Syiah yang dia dapat dari ibu-ibu majelis taklim, kain kafan tersebut cukup unik konon katanya bagi yang memakai kain kafan ala Syiah tersebut akan diampuni dosanya. Kain kafan itu berisi rajah-rajah berupa pujian terhadap ahlul bait, dan dijual seharga 250 ribu rupiah.

Selesai pemaparan oleh ustadz Farid Okbah, panitia kemudian memutar sebuah film dokumenter tentang perkembangan Syiah serta kesesatannya. Banyak hal yang membuat kita kaget melihat film dokumenter tersebut, salah satunya adalah pernyataan salah seorang ulama syiah yang mencaci maki Aisyah Ra istri Rasulullah, dan ada ulama Syiah yang mengatakan bahwa Karbala lebih utama dari Mekkah dan Madinah dan lain sebagainya yang sangat membuat kita semakin yakin bahwa Syiah adalah sesat dan menyesatkan.

Mudah-mudahan kita bisa membentengi diri dan keluarga kita dari ajaran-ajaran yang menyimpang. (fq/eramuslim)

Source: http://arrahmah.com/index.php/news/read/4260/mengupas-syiah-di-masjid-al-azhar#ixzz16oXAH16b

kata-kata bijak :

Apakah Anda tidak senang akan keberagaman Islam, Sunni , Syi'ah serta Wahabi bersatu demi Islam...apakah kalian senang menumpahkan darah kaum muslimin, sehingga zionis dan kroninya senang , karena jadi mudah menghancurkan Islam.
Kalau Wahabi paling benar, InsyaAllah akan banyak pengikutnya
kalau Syi'ah paling benar, InsyaAllah akan banyak juga pengikutnya, begitu juga
Kalau Sunni paling benar, Insya Allah akan banyak pengikutnya
Jadi para ulama tidak usah takut akan kehilangan ummat, biarkanlah ummat sendiri yang memilih jalannya dan memahaminya sendiri.
Janganlah kita secara tidak sengaja menjadi corong Zionis dan kroninya untuk membantai sesama kaum muslimin dan mengkafirkannya.
Ketika Pengikut Sunni atau Syi'ah atau Wahabi melakukan kemungkaran, apakah seluruh pengikut Sunni atau Syi'ah atau Wahabi adalah sesat, tentu tidak saudara ku.
Jadi berhati-hatilah dan berhentilah menjadi corong Zionis yang selalu ingin Islam terpecah , sehingga Islam kembali terkungkung dan di lecehkan oleh Zionis dan kroninya.
Seandainya Islam bersatu diseluruh dunia, negara yang berkiblat dengan Zionis dan kroninya pun tidak akan berani menjajah negara-negara kaum muslimin

Mengubur Politik Hegemoni Sunni-Syiah


Muladi Mughni[1]

May 5, '08 6:35 AM
for everyone


Pendahuluan

Dalam kesempatan ziarah ke Qom-Iran untuk menghadiri acara Konferensi Internasional Mahasiswa se-Timur Tengah 16-20 Juli 2007, penulis bersama beberapa rekan delegasi, menggagas acara diskusi santai seputar “Relasi Sunni-Syi’ah” yang bertempat di markaz Mahasiswa Indonesia di Qom.

Merupakan sebuah keberuntungan bagi penulis, untuk dapat merealisasikan acara diskusi yang sebenarnya tidak ada dalam schedule awal tersebut. Keinginan ini, tidak akan terbesit sekiranya penulis merasa tidak ada sesuatu yang menarik untuk dijadikan bahan diskusi. Sebab boleh dibilang, berada di tengah-tengah komunitas Mahasiswa di Iran, ibarat berada pada suatu “dunia” yang berbeda dengan komunitas mahasiswa yang lainnya. Nuansa ‘tawanan lokalitas’[2] tampak begitu melekat pada civitas rekan-rekan kita di sana. Dinamika organisasi ataupun ritual keseharian mereka hampir benar-benar menjadi suatu yang identik (khas) seperti apa yang dipraktekkan oleh masyarakat pribumi. Nampaknya hal serupa pun dirasakan oleh sebagian rekan delegasi yang lain, sehingga memunculkan beberapa pertanyaan “nakal” dalam benak kami masing-masing. Lalu akhirnya hasrat keingintahuan itu dapat berakhir –sekalipun belum seluruhnya- dalam ruang diskusi yang kami gagas tersebut.

Tulisan ini tidak hendak mengulas apa yang diangkat dalam diskusi lalu, namun jauh dari itu; ia lebih berupa refleksi penulis atas sekelumit masalah yang memiliki relevansinya terhadap persoalan konflik sektarian –atas nama agama- khususnya konflik Sunni – Syiah yang telah lama menyeruak –khususnya di tanah air- dan tidak mustahil suatu saat akan lebih menampakkan buntut konfliknya yang lebih parah. Sebab tanpa tedeng aling-aling penulis berpandangan, bahwa keberadaan komunitas terpelajar yang tidak lagi berada dalam keislaman mainstream (baca; Sunni) di tanah air bukanlah sebuah mitos atau isapan jempol belaka. Paling tidak hal ini yang penulis rasakan ketika berada dan berdiskusi dengan civitas mahasiswa di Iran. Realita ini menggugah penulis untuk melakukan penelusuran historis; sejak kapan aliran atau paham ini mulai masuk ke tanah air, bagaimana pergerakan atau peran sosial, politik, keagamaan aliran ini di tengah masyarakat Indonesia, bagaimana respon gerakan Islam mainstream (Sunni) terhadap aliran ini, dan apa tawaran solusi penulis atas maraknya resistensi kalangan Sunni atas munculnya pergerakan Islam Syiah di tanah air. Tulisan di bawah ini berusaha menjawab beberapa pertanyaan di atas.

Sketsa Ideologi Sunni dan Syi’ah

Sebelum kita masuk lebih jauh, penulis akan paparkan terlebih dahulu definisi Sunni (ahlus sunnah) dan Syi’ah beserta sejarah kemunculan kedua aliran tersebut secara global. Sehingga selanjutnya akan kita dapatkan gambaran jelas tentang formula pergerakan yang dijadikan botton line atau yang diusung oleh masing-masing aliran tersebut.

Pertama: Ahlus Sunnah. Secara etimologis Sunnah bermakna: Jalan atau langkah hidup. Sedang secara teknisnya ia bermakna; segala apa yang diriwayatkan oleh Nabi Muhammad Saw, dari perkataan, perbuatan, persetujuan, atau sifat fisik dan etik-nya Saw.[3] Dari sini lalu dapat kita ambil blue print bahwa yang disebut Sunni adalah, mereka yang mengikuti segala aspek yang terdapat dalam totalitas sosok Nabi Muhammad Saw.

Sedangkan pengertian “ahlus sunnah” sebagai sebuah aliran atau salah satu sekte Islam ialah: suatu model interpretasi kelompok di dalam umat Islam di mana para penganutnya mengimani lima rukun Islam; yaitu, dua kalimat syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji. Dan enam rukun iman; yaitu, iman kepada Allah, kepada malaikat, kepada para rasul, kepada semua kitab langit, kepada hari akhir, dan kepada qadla dan qadar Allah Swt.

Kelompok ini memiliki suatu keyakinan bahwa sesungguhnya Allah Swt, telah memilih para sahabat sebagai penerus risalah Islam (dakwah) sekaligus penjaga dan pengajar kepada generasi umat selanjutnya setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw. Keyakinan ini didasarkan pada satu anggapan bahwa para sahabat nabi telah memiliki tingkat ketakwaan dan kesalehan yang luar biasa, yang tidak boleh diragukan lagi. Sehingga setiap apa yang dinisbatkan kepada para sahabat tersebut adalah merupakan sebuah kebenaran yang lahir dari sifat “keadilah” mereka atas apa yang mereka terima dari sisi Nabi Muhammad Saw. Mayoritas Jumlah umat Islam dewasa ini adalah dari kelompok Sunni.

Kedua, Syiah. Secara etimologis Syi’ah merupakan derivasi dari kata “musyâya’ah”, yang artinya: saling mendukung atau menolong. Syiah dalam pengertian ini adalah; mereka yang satu sama lainnya berapa pada posisi saling mendukung, menolong dan bertemu pada satu sikap dan pemikiran. Pengertian semacam ini menemukan relevansinya pada ayat al-Quran, “Dan sesungguhnya Ibrahim benar-benar sebagai pendukungnya (Nuh)”. [4] Dan juga firman Allah, “Maka Musa memasuki sebuah kampung di tengah kelalaian penghuninya, lalu ia mendapatkan dua orang saling membunuh, yang satu berasal dari pengikutnya dan yang satunya lagi dari musuhnya”. [5] Kemudian selain dari pada ayat al-Qur’an di atas, terdapat pula pengertian yang sama yang disadur dari syair yang pernah dilantunkan oleh sahabat Hasan bin Tsabit ketika ia memuji Nabi Muhammad Saw. Adapun bunyi syair tersebut adalah:

(Akrama bi qaumi rasulillah syi’atuhum,

Idza ta’ddadat al-ahwa wa syiya’)

Artinya: ”Orang yang paling mulia diantara umat Rasulullah adalah para pengikutnya, apabila telah banyak para pemuja nafsu dan pengikut”.

Adapun pengertian Syi’ah secara terminologis, tidak berbeda jauh dengan kelompok Sunni di atas; yaitu kelompok yang memiliki keimanan terhadap lima Rukun Islam dan enam Rukun Iman yang sama. Perbedaan terlihat hanya pada beberapa interpretasi cabang fikih (furuiyyah) yang tidak begitu banyak atas rukun-rukun tersebut.

Atau secara terminologis, Syi’ah adalah kaum muslimin yang menganggap pengganti Nabi Saw. merupakan hak istimewa keluarga Nabi (dalam hal ini Ali bin Abi Thalib dan keturunannya), dan mereka yang dalam bidang pengetahuan dan kebudayaan Islam mengikuti mazhab Ahlul Bait.[6] Muhammad 'Imarah menegaskan bahwa sekadar merasa cinta kepada ahli bait saja tidak cukup untuk menggolongkan seseorang sebagai Syi’ah. Seseorang baru bisa dikatakan Syi’ah, menurutnya lagi, jika ia telah mengimani bahwa Ali bin Abi Thalib (23SH-40H/600M-661M) telah ditunjuk sebagai pengganti Rasulullah Saw. dengan nash dan washiat.[7]

Namun, boleh dibilang perbedaan yang amat fundamental antara dua aliran ini adalah pada ketidaksamaan sudut pandang mereka atas persoalan khilafah atau imamah (otoritas kepemimpinan politik setelah Rasul wafat).[8] Jika kalangan Sunni berpandangan bahwa tugas penerus risalah Islam setelah wafatnya Rasul adalah para sahabat secara umum sebagaimana yang tertulis di atas, kalangan Syi’ah berpandangan bahwa tugas ini tidak bisa diemban oleh sembarang sahabat, melainkan mereka harus berasal dari ahlul bait (keluarga Nabi Muhammad). Sebab mereka yakin bahwa hanya ahlul bait lah yang memiliki “karakteristik khusus” yang telah ditetapkan oleh nash (teks) al-Quran juga hadist, seperti keunggulan ilmu dan kebersihan jiwa serta hati mereka dari segala kekurangan dan dosa yang tidak dimiliki oleh para sahabat nabi lainnya.[9]

Adapun pengikut aliran Syia’h ini tidak kurang dari seperlima pemeluk agama Islam di seluruh dunia.

Otoritas Kepemimpinan Politik; Persfektif Sunni dan Syi’ah

Sebelumnya, tidak berlebihan jika kita sebut wacana kepemimpinan politik ini telah menyita begitu banyak tenaga dan pikiran banyak kalangan baik untuk otoritas pelakunya, maupun bagi perumusan konsep terapan atasnya. Sejatinya sejarah manusia tidak pernah terlepas dari jeratan wacana kepemimpinan politik ini. Adalah satu bentuk dari kodifikasi hukum politik telah dibuat pertama kalinya pada masa sebelum Nabi Ibrahim AS (2.200 BC), yang dikenal dengan hukum Hamurabi. Hal ini menandakan betapa manusia memerlukan sebuah pakem prosedur yang dapat mengatur hubungan antara penguasa dan rakyat (state).[10] Maka untuk maksud inilah kalangan Sunni maupun Syi’ah memiliki pandangannya yang berbeda dalam merumuskan konsep negara dan termasuk siapa yang berhak duduk sebagai kepala negaranya.

Sebagaimana yang telah disinggung di atas, bahwa perbedaan fundamental antara kedua aliran ini tidak terletak pada persoalan rukun agama (ushul), akan tetapi terletak pada ketidaksamaan cara pandang masing-masing dalam melihat proses pergantian kepemimpinan politik (suksesi) dari nabi kepada orang yang setelahnya. Sehingga dalam perjalanan sejarah selanjutnya melahirkan terminologi konsep kepemimpinan yang berbeda; kalangan Sunni menyebutnya dengan konsep “khilafah”, sedangkan Syi’ah menamakannya dengan konsep “Imamah”. Maka untuk mengetahui lebih detil permasalahan ini, ada baiknya penulis sampaikan persfektif masing-masing kelompok dalam melihat sebuah otoritas kepemimpinan politik umat.

Pertama, Bagi kalangan Sunni konsep khilafah adalah: memberikan legalitas suatu sistem sebagai proses pengaturan negara Islam, sekaligus sarana mencapai kemaslahatan manusia sesuai pakem dan petunjuk normatif syariat.[11] Proses pengaturan ini mencakup menegakkan hukum Allah seperti hudud, mengatur urusan keumatan, militer, mencegah bahaya dalam bentuk menutup celah terjadinya ketidakadilan politik, keberpihakan terhadap kaum lemah, mengelola urusan publik (public interest) seperti haji, perang (jihad), serta pendistribusian harta rampasan secara adil, dll.[12] Dengan pengertian ini kalangan Sunni sejatinya tidak mengenal pemisahan otoritas agama dari negara, sebagaimana yang populer di Barat. Justru mereka memandang mengurus negara adalah bagian daripada kewajiban agama itu sendiri. Ibnu Taimiyyah dalam hal ini berkata, “patut diketahui, bahwa mengurusi perkara umat (negara) merupakan kewajiban agama yang teragung, di mana agama tidak akan tegak tanpa wujud negara, kemaslahatan manusia juga tidak akan tercapai kecuali jika di antara satu orang dengan yang lainnya saling berdaulat, dan begitu pula agama tidak akan mapan tanpa kehadiran otoritas kepemimpinan politik.[13]

Sekalipun demikian, kalangan Sunni berpendapat bahwa format khilafah tidaklah memiliki perwajahan yang paten/baku. Melainkan yang paten/baku hanyalah nilai-nilai yang melandasi terbentuknya struktur khilafah tersebut. Menurut mereka preseden historis membenarkan asumsi ini, sekiranya terdapat penamaan yang berbeda-beda bagi seorang pemimpin Negara Islam, terkadang ia dipanggil Khalífah, terkadang Amirul Mukminin, lalu seiring dengan munculnya sekte Syi’ah, lahirlah istilah Imâm. Namun perbedaan nama di atas tidaklah mengubah esensi dan fungsional seorang pemimpin politik tersebut.[14] Hal ini diperkuat pula, dengan tidak adanya keterangan nash (teks) yang tegas dalam menyebut ketentuan khusus (baku) bagi sebuah formasi kepemimpinan politik ini. Al-Ghazali berkomentar: “ketahuilah bahwa masalah kepemimpinan bukanlah suatu hal yang usuliy, dan bukan pula sesuatu yang masuk ke ranah akidah, melainkan ia bagian dari fikih (ijtihadiyah)”.[15] Ungkapan ini mengandung pengertian, bahwa ranah khilafah adalah ranah ijtihad yang sepenuhnya diserahkan kepada umat Islam untuk meng-create- nya.

Sedang untuk terwujudnya sebuah legalitas kepemimpinan politik tersebut, menurut Sunni mutlak diperlukan dua hal, yang pertama: pencalonan seorang yang kapabel untuk duduk sebagai khalifah, melalui prosesi syura (musyawarah). Dan kedua: pengangkatan orang yang terpilih tadi harus terlebih dahulu mendapatkan pengakuan atau legalitas publik melalui cara baiat (persetujuan umum) secara suka rela (tanpa paksaan). Dengan dua modal ini, barulah seorang khalifah menjadi terikat dalam “kontrak sosial”; melalui kewajibannya sebagai khalifah untuk mengelola urusan publik (umat), dan kewajiban taat bagi seluruh orang yang ia pimpin.

Demikianlah secara tegas dinyatakan oleh kalangan Sunni ini, bahwa perkara “khilafah” atau “imamah” adalah ranah ijtihadiyah, di mana hal yang terkait dengan bentuk sistem kekhilafahan dan siapa yang akan menduduki sistem tersebut, tidak dipatok dalam teks secara tegas; ia dapat diduduki oleh siapapun (dengan kualifikasi tertentu), mulai dari para sahabat yang bukan ahlul bait, sampai terus kepada umat Islam secara estafet. Selama prosesnya tidak meninggalkan spirit ayat, “Dan perkara mereka dipecahkan secara syuro di antara mereka”.[16]

Namun selain dari pada itu, telah menjadi kesepakatan di kalangan Sunni pula, betapapun perkara khilafah ini sebagai suatu yang ijtihadi di mana kedudukannya dapat dikategorikan sebagai sebuah perantara (wasilah) dalam mencapai tujuan yang primer (dharuri); demi meraih kemaslahatan umat tadi, namun perantara tersebut bisa bergeser menjadi sesuatu yang primer pula. Hal ini didasarkan pada kaedah fikih yang berlaku, “sesuatu yang tidak dapat menyempurnakan sebuah kewajiban kecuali dengannya, maka sesuatu tersebut dengan sendirinya menjadi wajib”.[17]

Kedua, Berbeda dengan kalangan Syi’ah; permasalahan kepemimpinan (imamah/khilafah) lebih merupakan pokok agama ketimbang ijtihadiyah, sebagaimana yang dianut oleh Sunni. Sebab imamah bagi mereka adalah sebuah penjelmaan kepemimpinan Tuhan di muka bumi ini dengan sebuah misi suci menggantikan tugas-tugas kenabian dalam memberikan petunjuk kepada manusia untuk suatu maksud pencapaian kebahagiaan dunia-akherat.[18]

Dengannya, status imamah adalah satu profesi (mihnah) yang bernilai reliji (ketuhanan), karena sumbernya yang langsung berasal dari Allah, serta merupakan estafeta misi kenabian, dengan satu pengecualian; munculnya transmisi wahyu kembali atas sang Imam tersebut. Profesi imamah jauh lebih agung dari sekedar kepemimpinan politik atau hukum an sich, yang proses pencapaiannya cukup dapat melalui pemilihan atau pakem syura seperti anggapan kalangan Sunni. Bagi Syi’ah proses imamah harus tercipta melalui ketentuan yang jelas dari tangan Allah langsung melalui interfensi wahyu-Nya, yang secara implisit telah menyebut siapakah gerangan yang bakal memegang kepemimpinan setelah wafatnya Rasulullah. Sehingga penafsiran perintah melakukan bermusyawarah dalam ayat Al-Syura di atas, baru berlaku pada kasus-kasus yang tidak mendapatkan penjelasan langsung dari Allah maupun Rasul-Nya (tidak dalam kasus imamah ini).

Perbedaan dengan Sunni lagi, bahwa persoalan imamah bagi Syi’ah menempati posisi akidah (ushul), yang memiliki konsekuensi cukup jauh; bahwa sempurna dan tidaknya kadar keimanan seseorang menjadi tergantung kepada yakin atau tidaknya seseorang pada adanya ketentuan Tuhan terhadap personifikasi yang berhak atas kepemimpinan politik (imamah) ini. Logika yang banyak digunakan Syi’ah untuk menjabarkan asumsi ini, bahwa sejatinya umat Islam tidak memiliki kemampuan sebanding dengan Rasulullah Saw, untuk betul-betul mampu meneruskan amanat risalah Islam setelah wafatnya, sehingga Tuhan merasa “perlu” mendelegasikan beberapa orang khusus[19] untuk menyebarkan ajaran-ajaran otentik-Nya.

Di samping itu, masa keberadaan Rasulullah di tengah-tengah sahabat terlalu singkat untuk dapat dikatakan, bahwa sepeninggalnya beliau kondisi umat telah betul-betul mapan dan siap untuk selalu berada pada track yang dikehendaki Rasul. Sederetan nama-nama sahabat yang baru terdetik memeluk Islam setelah Fath Makkah, boleh jadi dikarenakan faktor kondisional (keterpaksaan) saat itu, merupakan alasan masih lemahnya kesiapan mental mereka untuk mengemban misi agama ini. Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, masa dakwah Rasulullah di Mekah lebih lama yaitu 13 tahun, sedang seruan hanya terbatas pada penanaman tauhid dan etika, dan itu pun hanya sekelompok kecil yang menyatakan beriman. Sedang pada fase Madinah 10 tahun barulah syariat dikenalkan, namun saat itu, kondisi umat selalu disibukkan untuk melakukan pertahanan (jihad) menangkis serangan musuh-musuh dakwah.[20]

Lagi-lagi hal ini menjadi alasan kuat bagi Syi’ah, bahwa sangat tidak mungkin dalam kondisi yang serba “emergency” di atas, Rasul membiarkan (baca; tidak menegaskan) siapa yang akan menggantikan kepemimpinan politik (imamah) setelahnya. Tentunya penegasan ini, berdasarkan bimbingan wahyu yang qat’iy. Sehingga dengan demikian bagi Syi’ah, mengimani kepemimpinan orang khusus yang ditentukan dalam wahyu itu, adalah sebuah kewajiban agama, sedang mengingkarinya adalah sebuah pelecehan atas agama. Dan dengan otoritas wahyu itulah sebagian besar Syi’ah berpendapat orang khusus tersebut memiliki derajat kemaksuman (bebas dosa) sebagaimana halnya para nabi dan rasul.

Demikian sekelumit gambaran tentang sketsa ideologi Sunni-Syi’ah, tentu yang penulis deskripsikan hanya garis besarnya saja, atau pada apa yang menjadi pangkal persoalan yang di kemudian hari sering berimbas pada konflik kesejarahan (sisi otoritas kepemimpinan politik). Untuk selanjutnya, pembahasan akan penulis fokuskan pada sejarah dan pergerakan Syi’ah di tanah air.

Sejarah Masuknya Syi’ah ke Indonesia

Kajian tentang Syi’ah di Indonesia, seperti diungkap oleh Dr. Azyumardi Azra telah diretas oleh banyak ahli dan pengamat sejarah, seperti Hamka[21], Baroroh Baried[22], M. Yunus Jamil[23] dan A. Hasymi[24]. Dua terakhir, seperti dikatakan Azra bahkan berargumen bahwa pernah menjadi kekuatan politik yang tangguh di Nusantara. Keduanya mengatakan bahwa kekuatan politik Sunni dan Syi’ah terlibat dalam pergumulan dan pertarungan untuk memperebutkan kekuasaan di Nusantara sejak awal-awal masa penyebaran Islam di kawasan ini. Menurut mereka, kerajaan Islam yang pertama berdiri di Nusantara adalah kerajaan Peureulak (Perlak) yang konon, didirikan pada 225H/845M. Pendiri kerajan ini adalah para pelaut-pedagang Muslim asal Persia, Arab dan Gujarat yang mula-mula datang untuk mengislamkan penduduk setempat. Belakangan mereka mengangkat seorang Sayyid Maulana Abd a-Aziz Syah, keturunan Arab-Quraisy, yang menganut paham politik Syi’ah, sebagai sultan Perlak [25].

Agus Sunyoto, staf Lembaga Penerangan dan Laboratorium Islam (LPII), Surabaya seperti dilaporkan Majalah Prospek (10 Nopember 1991), melalui penelitiannya menyimpulkan bahwa Syaikh 'Abd al-Rauf Al-Sinkli, salah seorang 'ulama' besar Nusantara asal Aceh pada abad ke-17, adalah pengikut dan penggubah sastra Syi’ah, bahkan hanya seorang saja dari walisongo di Jawa yang tidak Syi’ah. Juga Nadlatul 'Ulama (NU) --setidaknya secara kultural--adalah Syi’ah.[26]

Paling tidak, terdapat tiga pendapat tentang kapan awal masuknya aliran Syi’ah ke Indonesia. Pertama, sebagian ahli sejarah berpandangan ia dimulai semenjak Islam diperkenalkan pertama kali ke tanah air (Nusantara), yaitu pada sekitar abad ke-4 Hijriah. Hal ini terbukti dengan banyaknya prasasti dan makam para pendatang Muslim yang terletak di kawasan pulau Sumatera pada masa itu.[27]

Kedua, pandangan yang mengatakan bahwa awal masuknya ajaran Syi’ah ke Nusantara yaitu pada masa Dinasti Abbasiah; atau sekitar abad ke-3 Hijriyah. Sebagaimana yang telah dicatat oleh sejarah, bahwa pada masa ini, para pengikut ahlul bait selalu menjadi sasaran target kezaliman dan tekanan yang luar biasa dari para penguasa yang akhirnya memaksa mereka memilih eksodus ke wilayah-wilayah yang jauh dari jangkauan kekuasaan Abbasiah tersebut. Di antara mereka adalah para pengikut dan cucu Imam Ali bin Ja’far Shadiq yang merupakan salah seorang dari duabelas Imam Syi’ah. Dari salah satu cucunya ini, ada yang bernama Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali bin Imam Ja’far Shadiq yang laqabnya lebih dikenal dengan sebutan “Al-Muhajir”. Melalui beliau dan keturunannyalah yang kemudian menetap dan beranak-pinak di Nusantara.[28]

“Al-Muhajir” beserta para sahabatnya menempati kepulauan Nusantara diperkirakan pada tahun 313 H. Sebelumnya ia tinggal di Bagdad (Ibu Kota pemerintahan Islam ketika itu). Sebelum sampai ke Nusantara yang dahulu meliputi (Malaka, Indonesia dan Philipina) mereka singgah terlebih dahulu di India untuk transit dan sekaligus juga melakukan dakwah di sana.

Ketiga, pandangan yang mengatakan bahwa masuknya ajaran Syi’ah ke Indonesia bertepatan dengan kali pertama masuknya Islam ke Nusantara; yaitu di saat Rasulullah masih hidup. Sebuah dokumen kuno asal Tiongkok menyebutkan bahwa menjelang seperempat tahun 700 M atau sekitar tahun 625 M—hanya berbeda 15 tahun setelah Rasulullah menerima wahyu pertama atau sembilan setengah tahun setelah Rasulullah berdakwah terang-terangan kepada bangsa Arab—di sebuah pesisir pantai Sumatera sudah ditemukan sebuah perkampungan Arab Muslim yang masih berada dalam kekuasaan wilayah Kerajaan Budha Sriwijaya. Di perkampungan- perkampungan ini, orang-orang Arab bermukim dan telah melakukan asimilasi dengan penduduk pribumi dengan jalan menikahi perempuan-perempuan lokal secara damai. Mereka sudah beranak–pinak di sana. Dari perkampungan- perkampungan ini mulai didirikan tempat-tempat pengajian al-Qur’an dan pengajaran tentang Islam sebagai cikal bakal madrasah dan pesantren, umumnya juga merupakan tempat beribadah (masjid).[29]

Penyebaran Islam pada awal munculnya Islam inilah yang oleh banyak sejarawan dikenal sebagai Teori Makkah. Menurut pandangan ini, Islam di Nusantara ini sebenarnya bukan berasal dari para pedagang India (Gujarat) atau yang dikenal sebagai Teori Gujarat yang berasal dari Snouck Hurgronje, karena para pedagang yang datang dari India, mereka ini sebenarnya berasal dari Jazirah Arab, lalu dalam perjalanan melayari lautan menuju Sumatera (Kutaraja atau Banda Aceh sekarang ini) mereka singgah dulu di India yang daratannya merupakan sebuah tanjung besar (Tanjung Comorin) yang menjorok ke tengah Samudera Hindia dan nyaris tepat berada di tengah antara Jazirah Arab dengan Sumatera.

Sekalipun pandangan masuknya ajaran Syi’ah pada pendapat terakhir ini terlihat sangat lemah, disebabkan Syi’ah sebagai sebuah ajaran dan pergerakan masih belum dikenal pada masa ini. Namun terkait dengan bukti arkeologi yang ditemukan dan bukti-bukti lainnya di atas, kehadiran Islam sebagai agama baru –tidak harus beraliran Syi’ah- di Nusantara menjadi tidak mustahil telah ada pada masa kenabian tersebut. Tetapi hal ini tidak menjadi fokus utama pembahasan kita saat ini.

Melihat beberapa pendapat di atas, sejatinya harus dilakukan beberapa penelitian terhadap peninggalan-peninggalan sejarah yang berkaitan dengan adanya aktifitas kesyiahan di tanah air. Sekalipun warga Indonesia yang keturunan Arab juga cukup banyak, namun tidak dapat kita pastikan bahwa mereka secara otomatis sebagai Syi’ah. Akan tetapi sebagian ahli sejarah Indonesia berpendapat bahwa banyak ulama dulu -di antaranya wali songo- adalah dari kalangan Syi’ah Imamiyah. Sebut saja seperti, Maulana Malik Ibrahim (w. 822 H.), Sultan Hasanuddin Banten (w. 961 H.), Maulana Hidayatullah (Cirebon), Maulana Zainal Abidin (Demak), Maulana Ainul Yakin (Jawa Timur). Dll. Di mana menurut silsilahnya, semua ulama dan tokoh di atas berasal dari keturunan Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali bin Imam Ja’far Shadiq bin Imam Muhammad Baqir bin Imam Ali Zainal Abidin bin Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib. RA.[30]

Kemudian di antara bukti yang menguatkan kesyi’ahan mereka pula, adanya tulisan –terutama di batu nisan -yang identik dengan syiar Syi’ah, seperti kalimat-kalimat berikut: “Allah, Muhammad, Ali”, atau “La Ilaaha illa Allah, Muhammad Rasulullah, Ali Waliyullah”, atau “La Fata illa Ali, wa la Saifa illa Zulfiqar”. Tulisan arab ini sering dijumpai dan masih dapat dilihat sampai sekarang pada kuburan-kuburan mereka. Suatu hal yang menandakan bahwa identitas kesyi’ahan biasanya dapat dilacak dari simbol-simbol kecintaan mereka kepada Ahlul Bait. Di samping nama-nama populer mereka yang berkaitan dengan keluarga Nabi dan Imam Ali, seperti Ibrahim, Qasim, Umi Kalsum (atau kalsum saja), Fatmah (Fatimah), Zainab, Ruqayah, Khadijah, Muhammad, Ali, Hasan, dan Husein.

Kemudian juga, dilihat dari beberapa tradisi Islam yang bercorak Syi’ah. Seperti tradisi Asyura berupa takziah dan Bubur Asyura. Takziah adalah, adegan dramatis massal yang mencerminkan seluruh episode kematian Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib di Karbala, termasuk penyesalan dan kesiapan berkorban. Di Ternate, ritus/takziah, disebut badabus, dilakukan secara demikian; Setelah narasi dilakukan di suatu rumah atau gedung, para hadirin lalu menghujamkan benda tajam semacam gardu ke dadanya secara berulang kali hingga mencapai kondisi ekstase. Ritus ini dilakukan pada 1 Muharram atau pada haul seseorang di hari ke-44.[31]

Lalu Bubur Asyura adalah bubur santan berisi berbagai macam bahan seperti sayur, jagung, ikan, telur ayam, kacang-kacangan, dan kentang. Pesan yang terkandung sebenarnya cukup jelas, bubur itu sendiri yang berwarna putih melambangkan kesucian dan kemurnian hari Asyura, sementara berbagai bumbu tersebut melambangkan rentetan peristiwa yang terjadi pada hari itu.[32]

Dari sini kita dapat simpulkan bahwa dengan adanya tradisi Syi’ah semacam di atas, menandakan bahwa ajaran Syi’ah memiliki akar historisnya di bumi Nusantara ini. Hanya permasalahanya kenapa perkembangannya –penyebaran- sangat lamban, atau ektrimnya aliran ini cenderung “kurang laku”. Tentu hal ini sangat terkait dengan persoalan peran atau pergerakan Syi’ah di tanah air selama ini.

Pergerakan Syi’ah di Indonesia

Pergerakan Syi’ah di sini akan penulis batasi pada konteks sekarang. Sebab yang lebih menarik, tentu bukan sekedar menengok pergolakan sejarah masa lalunya saja. Di mana mengenali pergerakan Islam Syi’ah kontemporer di Indonesia sangat diperlukan guna mengenali titik-titik kerawanan yang bisa muncul akibat ketidakmengertian kita menangkap sinyal-sinyal perbedaan “furuiyyah” mereka dengan Islam mainstream.

Paling tidak, pergerakan Syi’ah ini dapat kita lihat dari tiga sisi, yaitu; politik, intelektual dan sosial-keagamaan.

A. Pada Ranah Politik

Seperti yang diulas di atas, bahwa hampir terdapat kesepakatan mayoritas intelektual Muslim, bahwa kemunculan Syi’ah terkait dengan persoalan politik; atau tepatnya adalah perebutan hegemoni kepemimpinan politik umat Islam setelah mangkatnya Rasulullah. Sekalipun sebagian kalangan berharap agar “tragedi” tersebut dijadikan bagian dari sejarah masa lalu (the past histories), yang seharusnya dikubur atau dibuang jauh-jauh dari memori umat kini. Namun, nampaknya untuk sampai pada harapan ini, tidaklah semudah membalikkan telapang tangan. Justru bagi sebagian kalangan, legenda itu sengaja dijadikan sebagai simbol bagi tetap eksisnya clash lama menuju persaingan hegemoni politik atau “politik identitas”.

Dan dilematisnya, pertarungan ini semakin menemukan momentumnya pada saat-saat sekarang. Terutama paska keberhasilan revolusi Islam yang diusung oleh Imam Khomeini pada 1979, di mana secara tidak langsung revolusi ini menggiring mata dunia untuk mengenal satu bentuk konsep politik yang berbeda dari sebelumnya. Kemudian, rentetan perang antara Irak vs Iran, Hizbullah (Lebanon) vs Israel, Amerika vs Irak dan Afghanistan; perang yang terakhir ini merupakan satu paket agenda Amerika untuk melawan terorisme internasional. Dan yang harus dicatat, negara-negara terakhir tersebut merupakan Negara Sunni mayoritas. Banyak kalangan, mengamati krisis yang terjadi di Negara Muslim khususnya di Timur Tengah ini, tidak terlepas dari problem sektarianisme kelompok yang mudah sekali “dimanfaatkan” baik bagi kepentingan imprealisme Barat, ataupun syahwat politik penguasa lokal.

Kalau kita ambil contoh dalam konteks relasi Sunni-Syi’ah saja, aroma politik ini lalu mudah dipetakan menjadi sebuah konflik yang telah menyejarah lama. Kongkritnya, Sunni menganggap, bahwa akhir dari drama peperangan ini merupakan awal dari kemenangan Syi’ah dalam meraih hegemoni kepemimipinan politik dunia. Atau pameo yang sering kita dengar adalah; dalam suatu pertarungan, biasanya akan ada kelompok yang keluar sebagai pemenang atau unsur yang diuntungkan sekalipun ia tidak terlibat langsung secara fisik. Seperti contohnya, Amerika yang berperang dengan Irak, setelah Irak kalah, dan Sadam Husein jatuh, kekuatan politik Syi’ah yang selama ini termarjinalkan menjadi bisa bernafas lega. Pertimbangannya cukup sederhana, sebab Sadam walau bagaimanapun adalah Sunni, dan tipikal kepemimpinan Sunni, sudah mereka (baca; Syi’ah) kenal sejak dulu; tidak akan memberikan kesempatan bagi sekte Syi’ah untuk “hidup” bebas.[33]

Sebaliknya bagi kalangan Syi’ah memandang, bahwa dengan kekalahan yang dialami oleh negara-negara Muslim Sunni mayoritas itu, ialah suatu starting point untuk merebut hegemoni politik, sebagai alternatif model kepemimpinan baru yang tidak lagi Sunni oriented. Bahkan sebagian pemikir Syi’ah menyebut kesempatan ini sebagai babak baru bagi sebuah kebangkitan Syi’ah di masa depan.[34]

Pada konteks Indonesia, untuk mencapai target seperti yang telah diungkapkan tadi, barangkali masih sangat jauh. Tarik-menarik politik hegemoni tidak terlalu mempengaruhi alur pemikiran kalangan Syi’ah juga Sunni di Indonesia. Hal ini dapat disebabkan diantaranya, masih minimnya jumlah pengikut Syi’ah di Indonesia dan adanya penilaian masyarakat atas aliran ini sebagai sekte sempalan Islam yang ‘berbahaya’, sehingga tahapan yang sepertinya tengah dibangun saat ini adalah terbatas pada “politik pencitraan” dan transformasi ideologi dalam berbagai bentuk aktivitas yang “cenderung” inklusif dan tidak konfrontatif. Penegasan identitas kesyi’ahan hampir jarang ditampakkan pada ranah politik.

Suatu kondisi yang membedakannya dengan gerakan Islam politik semacam, organisasi “Usrah” (baca; Moslem Brotherhood- nya Indonesia), Hizbut Tahrir, Majelis Mujahiddin Indonesia, dan sebagainya. Bahkan sebenarnya kalangan Syi’ah di Indonesia dan juga di banyak negara di dunia, diam-diam mengkritisi sekaligus tidak merasa optimis dengan masa depan politik yang diusung oleh kalangan Islam politik yang penulis sebut di atas. Sebab menurut mereka, terbukti kurang berhasil dan hanya melahirkan “kegaduhan” politik di mana-mana. Serangkaian aksi kekerasan (terorisme) yang berlindung di jubah penegakkan hukum Allah, yang banyak dilakukan oleh kalangan Sunni seperti, Wahhabi, Salafi, Jihadi, Ikhwan dan sebagainya, bagi sebagian pendukung Syi’ah dianggap sebagai sebuah sikap yang keliru dan mencoreng nama Islam. Lebih-lebih pada kekerasaan sektarianisme kalangan-kalangan tersebut atas minoritas Syi’ah, yang masih menganggap Syi’ah lebih berbahaya dari pada orang-orang kafir yang halal darahnya.

Namun, iklim demokrasi di Indonesia mampu memberikan ruang aktualisasi pada berbagai aliran dan sekte apapun, termasuk di dalamnya Syi’ah. Bukan suatu hal yang mustahil sekte ini pun akan tergiur memberikan warna politiknya di panggung Indonesia. Sekalipun penulis masih ragu dalam waktu dekat ini akan dapat terwujud. Tantangan terbesar sejatinya tidak datang dari konstitusi, akan tetapi dari “konstituen” atau masyarakat itu sendiri. Masyarakat yang bersedia menerima kehadiran Islam yang tidak menjadi mainstream Sunni masih terlalu sedikit. Banyak faktor yang menjadi kendalanya, di antaranya adalah pendidikan dan pengetahuan. Kalangan Syi’ah di Indonesia mengetahui benar dilema ini, maka jalur politik sementara waktu masih merupakan “barang haram” bagi mereka. Sehingga sekalipun mereka berpolitik, politik itu dimaknai dalam bentuk yang berbeda, seperti politik kerakyatan dan pendidikan yang tidak praktis, namun lebih menyentuh pada aspek sosial dan budaya.

B. Pada Ranah Intelektual

Senada dengan analisa Martin van Bruinessen,[35] bahwa telah terjadi pergeseran orientasi di kalangan Syi’ah dari murni sebuah gerakan politik ke arah pergerakan intelektual. Hal ini terbukti dengan maraknya etos transformatif dari kalangan mereka, melalui usaha memperkenalkan khazanah pemikiran tokoh-tokoh terkenal Syi’ah yang tidak semata politik minded, namun disejajarkan dengan bidang-bidang humaniora lainnya. Hal ini merupakan indikasi baru; tengah adanya kesadaran intelektual dalam bentuk memperkenalkan studi filsafat dan sains Syi’ah di luar politik kepada pembaca lain di seluruh dunia. Di tanah air, pergeseran ini antara lain terlihat dalam urutan terjemahan karya penulis Syi'ah: Ali Syari'ati disusul oleh Murtadha Muthahhari dan kemudian Baqir Al-Shadr. Khomeini pertama-tama dilihat sebagai pemimpin revolusi saja, kemudian juga sebagai ahli 'irfan (tasawwuf dan metafisika). Sekarang diskusi-diskusi lebih sering berkisar sekitar filsafat atau persoalan 'ishmah (apakah para Imam Duabelas ma'shum?) daripada situasi politik Iran.

Gairah intelektual muslim Syi’ah Indonesia ini juga tampak pada maraknya penerbitan-penerbitan buku yang mengusung ide-ide pencerahan ala Syi’ah. Penulis belum mengetahui secara pasti lembaga penerbit apa saja yang murni berasal dari proyeksi Syi’ah. Namun paling tidak, melihat beberapa karya yang sering mengusung gagasan kesyi’ahan ini, telah ratusan karya baik karangan buku, jurnal, majalah, maupun terjemahan yang tersebar di seluruh Indonesia. Penulis ambil satu contoh saja, adalah jurnal ‘Al-Huda’ yang dikeluarkan oleh Islamic Cultural Centre (ICC) Jakarta, selalu mengetengahkan pemikiran revolusioner Syi’ah, mulai dari isu politik, filsafat, metafisika, sosiologi, mantik, tasawuf, fikih, tafsir, hadits dan lain-lain. Banyak juga mahasiswa Indonesia yang masih belajar di Iran menulis artikelnya pada jurnal ini, bahkan sekembalinya mereka ke tanah air ada yang menjadi manajer Jurnal tersebut. Sehingga, muatan tulisan yang dibaca begitu sangat aktual, karena nampaknya mereka selalu berusaha untuk menghadirkan kajian ini secara empirik dan dari sumbernya yang otentik.

Di samping itu, lembaga ICC ini juga aktif melakukan aktifitas lainnya, seperti amal bhakti sosial, kajian, perayaan hari besar Islam, peringatan hari-hari keramat Syi’ah, kerjasama lembaga inter dan intra negara, pelatihan-pelatihan, dan lain-lain.[36]

Pendirian lembaga-lembaga riset dan kajian tentang kesyi’ahan di tanah air merupakan langkah yang patut kita apresiasi, dalam memberikan studi keislaman yang berbeda dari kajian-kajian biasanya. Studi keislaman seperti sejarah, fikih, tasawuf, teologi, filsafat, dan lain-lain di tanah air yang didominasi oleh satu atau dua warna aliran saja, masih belum bisa memperkaya khazanah keislaman yang dibutuhkan. Lebih-lebih dapat menyediakan jawaban atas pelbagai permasalahan-permasalahan baru. Penulis percaya, bahwa dengan semakin diperkenalkannya persfektif fikih Syi’ah (ahlul bait) contohnya, akan mampu memberikan alternatif solusi atas permasalahan fikih kontemporer. Fikih Ja’fari misalnya yang konon lebih dekat dengan fikih Syafi’i, sebisa mungkin disosialisasikan dan diaplikasikan dalam forum-forum bahtsul masail atau majelis tarjih yang telah ada. Pengenalan fikih ahlul bait ini, tidaklah cukup hanya sekedar mengangkat sisi historis kemunculannya ke tengah-tengah masyarakat seperti yang ada saat ini, namun sudah harus mengarah kepada sisi aplikasinya terhadap pemecahan masalah-masalah kontemporer. Sehingga, siapa tahu dengan kehadiran pendekatan fikih yang baru ini, lebih membuka kesempatan berijtihad yang lebih elastis dan terbuka lagi.

Kehadiran satu warna fikih yang menjadi “andalan” umat Islam Indonesia seperti sekarang, sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Sebab, selain tidak membuka kran pintu ijtihad, juga akan memunculkan fatwa-fatwa fikih yang sempit dan menyulitkan. Nah, kemunculan Syi’ah di Indonesia, dengan membawa warna pendekatan Islam yang lain, semakin memberikan alternatif-alternatif solusi bagi persoalan keumataan yang ada. Tentu, hal ini tidak cukup hanya dengan menjadikan apa-apa yang khas dari Syi’ah itu, ditransformasikan sebatas wacana saja. Tapi harus lebih menukik kepada kajian-kajian yang aplikabel. Untuk mewujudkannya, tentu tidak hanya dibutuhkan banyaknya penganut Syi’ah di tanah air, namun lebih ditentukan oleh faktor banyaknya pakar-pakar atau ketersediaan SDM yang mampu mengambil alih tugas ini. Di sinilah, kalangan Syi’ah harus lebih bekerja keras lagi memikirkan munculnya intelektual-intelektual yang memiliki kapabilitas dimaksud.

C. Pada Ranah Sosial-Keagamaan

Kehadiran Syiah sempat mendapat tentangan luas, bahkan paham Syiah dituduh “sesat” dan akan menjadi ancaman bagi akidah umat Islam Indonesia yang mayoritas berpaham Sunni. Sebuah seminar di Istiqlal, Jakarta, pada September 1997, malah merekomendasikan pelarangan ajaran itu di Indonesia.[37] Bahkan tak jarang banyak pula kekerasan massa yang dialami oleh aktifitas yang dilakukan oleh kalangan Syi’ah ini. Berdasarkan pengalaman tersebut, para pengikut aliran ini mulai sering melakukan introspeksi diri, untuk lebih berhati-hati dan profesional lagi dalam melakukan misi dakwahnya.

Memang perlu diakui, bahwa memperkenalkan suatu aliran apapun saja bentuknya, lebih-lebih ia dikesankan “eksentrik” dengan pandangan rata-rata, bukanlah suatu usaha yang mudah. Asumsi ini bukan saja didasarkan pada fakta empirik, akan tetapi nampaknya ia telah menjadi sebuah hukum alam. Dan hal ini seharusnya sudah disadari betul oleh pengikut aliran Syi’ah di Indonesia. Penulis menilai, adalah sebuah langkah yang sangat keliru apabila dalam kondisi “keterbatasannya” Syi’ah di Indonesia lebih memfokuskan pada penguatan simbol-simbol kesyi’ahan, ketimbang karya nyata yang menelanjangkan diri dari formalitas simbol. Yang lebih keliru lagi, apabila belakangan orang lain tidak menemukan esensi apa-apa di balik formalitas tersebut, kecuali simbol itu sendiri. Tindakan serupa mau tidak mau justru malah mendulang reaksi yang kontraproduktif dari masyarakat Islam mainstream. Pelarangan, atau aksi anarkis terhadap sekte ini boleh jadi terkait dengan kekeliruan langkah strategi tersebut.

Betapapun banyaknya karya yang muncul dari civitas kalangan Syi’ah ini –seperti yang telah disinggung di atas- seharusnya memiliki orientasi bagi penyelesaian permasalah kebangsaan (umat) yang tengah dirasakan, dari pada sebatas penguatan ideologi “langit” yang tidak menakar kepada realitas bumi. Penulis beranggapan, suburnya sikap anti pati suatu kelompok kepada kelompok yang lainnya, boleh jadi karena masing-masing enggan keluar dari kubangan perdebatan “kalimat” yang cenderung tidak berpengaruh terhadap nilai mutualisme bagi semua. Di samping faktor keterjebakan mereka pada sikap over fanatism yang sangat tidak menguntungkan bagi umat Islam itu sendiri. Maka, karya nyata berupa kesalehan sosial yang dijelmakan dalam proyek pembangunan dan kesejahteraan rakyat yang tidak dibatasi khusus bagi pengikut Syi’ah, sejatinya bisa menjadi fly over untuk lebih mendekatkan umat kepada substansi ajaran Syi’ah ini. Opini publik tentang kehadiran aliran-aliran Islam “sempalan” justru tidak menambah masalah baru bagi umat, melainkan menjadi solusi bagi masalah tersebut, harus menjadi target kalangan pengusung aliran keislaman apapun saja, termasuk juga Syi’ah.

Dalam konteks ini, maka yang menjadi tolak ukur sukses dan tidaknya misi suatu aliran, bukan pada seberapa cantiknya ia menampilkan kemasan dalamnya saja, akan tetapi lebih kepada seberapa dalamkah aliran itu memberikan dampak sosial atau jawaban atas apa yang dihajatkan oleh bangsa.

Satu ilustrasi saja dari bentuk kekeliruan dakwah yang ada, bahwa orang akan enggan melihat apalagi terpanggil untuk ikut dalam aliran Syi’ah ini, atau paling tidak bisa menerima kehadirannya, jika agenda pertama dan/atau utama adalah bagaimana menjadikan umat Islam menjadi ragu dengan sifat-sifat keutamaan yang dimiliki para sahabat Nabi, sehingga yang tersisa bagi sebuah keutamaan tersebut hanyalah ototoritas para ahlul bait. Atau tragedi fitnah kubra masa lalu masih terus menyisakan dosa keturunan yang harus dibayar oleh semua orang yang tidak berpihak pada kelompok ahlul bait. Atau mengasumsikan terus berlangsungnya politik hegemoni sebagai sebuah setting mengembalikan hak otoritas kepemimpinan politik dunia yang telah dirampas, sebagaimana yang diyakini oleh sebagian tokoh Syi’ah, semisal Vali Reza Nasr di atas.

Sebab menurut penulis, sekalipun –katakanlah- agenda semacam ini sukses, namun sedikit pun ia tidak akan memberikan solusi bagi problematika keummatan saat ini. Ia tak ubahnya sebatas wacana yang terlihat menarik jika tertata rapih pada rak-rak buku. Formula strategi seperti ini, -meminjam istilah Mohammed Arkoun- akan lebih dahulu tertolak sebelum diajukan.

Namun, satu hal yang cukup menarik dari pergerakan kelompok Syi’ah di Indonesia, adalah pada komitmennya untuk selalu menjalin kerjasama inter-intra lembaga, khususnya dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan yang telah ada. Suatu langkah yang patut didukung, sebagai upaya menghilangkan gap antara kalangan elit umat, sehingga dari sana dapat berakselerisasi kepada kesefahaman antar grass root masing-masing.

Upaya Menjembatani Konflik Sunni-Syi’ah di Indonesia

Banyak ahli sejarah mengatakan, aliran Syi’ah yang sebenarnya pertama kali masuk ke wilayah Nusantara ternyata kalah bersaing dengan aliran-aliran lainnya. Islam dalam sejarahnya di Indonesia, antara satu aliran dengan aliran lainnya saling bersaing secara tak sehat untuk menjadi yang paling benar ajarannya dan paling dominan kekuasaannya. Untuk menekan kelompok lainnya dihalalkan dengan melalui jalan kekerasan, teror, dengan saling bunuh-bunuhan. Tak heran kalau muncul tudingan dari satu aliran ke aliran lain: kelompok ini "sudah Islam tapi kurang islami", kelompok itu sesat, kelompok ini harus mengganti nama- jangan membawa panji-panji Islam- dan lain sebagainya. Atas nama aliran yang mereka percayai, mereka dapat berbuat apa saja, tak peduli bahwa langkah itu justru tidak memberikan manfaat bagi perkembangan Islam secara keseluruhan.

Untuk menciptakan masyarakat Indonesia yang terbuka dan dapat berlapang dada atas setiap perbedaan aliran yang ada saat ini, mungkin masih belum dapat sepenuhnya terwujud. Sekalipun langkah-langkah ke arah mencapainya telah mulai dirintis oleh sebagian kalangan. Mengingat keberadaan kaum Syi’ah di tengah masyarakat Sunni Indonesia –suka atau tidak suka- masih menuai protes dan resistensi. Maka untuk menyelesaikannya diperlukan pemikiran solutif dan langkah yang praktis serta efesien.

Adapun beberapa solusi yang penulis tawarkan dalam rangka menjembatani konflik Sunni-Syi’ah –khususnya di Indonesia- adalah sebagai berikut:

Pertama: tauhid sebagai common platform

Secara eksplisit telah diutarakan di atas, bahwa perbedaan -sebesar apapun- dalam setiap permasalahan, selama hal itu masih dalam koridor furuiyyah, bukanlah sesuatu yang tercela dalam ajaran agama Islam. Justru melalui perbedaan ini akan tampak kekayaan wawasan dalam Islam, yang dengannya dapat berkontribusi memberikan opsi-opsi kemudahan (taysir) bagi umat. Dalam konteks inilah maka, perbedaan seharusnya [“ought to be”] ataupun sesungguhnya [‘is”] sebuah rahmat. Penulis dalam menginterpretasi hadits: “perbedaan umatku adalah rahmat”,[38] cenderung memaknainya dengan demikian: pertama, adalah benar bahwa adanya perbedaan di antara umat Islam merupakan sebuah rahmat, ketimbang tidak adanya perbedaan sama sekali. Melalui perbedaan ini, umat akan selalu mendapatkan jawaban atas segala persoalannya, dikarenakan ia (jawaban) tidak selalu tampak dalam satu wajah, namun dalam beragam wajah, di sinilah letak rahmatnya. Kedua, perlunya menghadirkan kondisi di mana perbedaan yang ada selalu membawa “rahmat” bagi umat Islam. Hal itu baru akan tercipta jika kita memahami logika perbedaan tersebut secara arif; yang meniscayakan adanya kecerdasan spiritual, emosional di samping intelektual kita. Jadi pengertian yang pertama, titik tekannya adalah pada sisi “realitas”, sedang yang kedua, pada sisi “penciptaan realitas”.

Dalam konteks relasi Sunni-Syi’ah, perbedaan yang ada harus pula diarahkan secara implementatif sebagai rahmat. Dan hal itu akan terwujud seiring dengan besarnya sikap toleransi dan pemahaman akan tidak prinsipilnya perbedaan-perbedaan tersebut. Sehingga yang menjadi sentral atau titik tolak ialah sesuatu yang prinsipil; yang semua pihak jelas-jelas teguh menjaganya. Satu hal yang prinsipil ini adalah tauhid, yang sejatinya dapat kita jadikan sebagai common platform untuk menjembatani dua kutub yang berhadap-hadapan tadi. Sedangkan dalam bentuk-bentuk praktekal (furuiyyah), kita bisa menerapkan fiqh muwâzanat dan fiqh awlawiyyat.

Tauhid ini pun, harus dimaknai secara lebih luas, yaitu tauhid yang tidak melulu berdimensi teosentris, namun juga berdimensi antroposentris (kemanusiaan). Sehingga sekalipun pada aspek tauhid antara Sunni dan Syi’ah bertemu pada satu sikap totalitas kepatuhan (integrity of obidience) kepada Allah dan Rasul, ia akan bertambah kuat jika sikap kepatuhan itu terejawantahkan pula ke dalam ranah amal kemanusiaan. Dari sini, sesungguhnya lalu perbedaan mazhab, aliran, sekte, kelompok dan lain-lain menjadi tidak berarti, yang terpenting adalah sejauhmana sikap ketauhidan masing-masing kelompok tadi dapat berdampak kepada kesalehan sosial. Penulis yakin, kiranya tidak akan ada yang menyangkal, perlunya kita bergandengan tangan dengan siapapun, bangsa manapun dan agama apapun, -jangankan hanya antara Sunni-Syi’ah- untuk memberikan yang terbaik bagi kemaslahatan umat dan problem kemanusiaan di seluruh semesta.

Kedua: pendirian ‘Forum Lintas Mazhab’

Mengingat kompleksitasnya persoalan hidup keumatan dewasa ini, dari masalah politik, ekonomi, budaya, pendidikan, sampai pertahanan-keamanan, dan lain-lain, meniscayakan kepedulian kita untuk turut menyelesaikannya. Menjadi suatu yang lazim pula sebelum langkah tersebut dilakukan, adalah memberikan keyakinan bahwa persoalan tersebut, merupakan tantangan bersama, yang mustahil dapat dipecahkan jika kita terpecah-belah. Realitas ini mengingatkan kita betapa pentingnya sebuah kesatuan dan keutuhan.

Tantangan yang tak kalah besarnya adalah dari pihak luar (out siders) yang “cenderung” tidak senang umat Islam maju. Betapa kelemahan yang telah tampak menganga jelas di depan mata, jangan pula ditambahi dengan kerapuhan nilai kesatuan di antara umat Islam sendiri. Sungguh benar apa yang pernah diantisipasi oleh Nabi, bahwa gempuran yang dahsyat dari pihak luar terhadap Islam, tidak lebih mengkhawatirkannya, dari pada kerapuhan internal umat Islam itu sendiri. Dari kerapuhan-kerapuhan ini, tidak mustahil akan muncul sosok-sosok yang oportunis (munafik), penghianat, musuh dalam selimut, duri dalam daging, yang hanya tidak bermanfaat bagi umat Islam, namun juga lebih menguntungkan pihak luar. Di tengah umat membangun kejayaannya, secara tidak disadari satu-persatu sosok-sosok tadi menghancurkannya. Tentu hal ini tidak kita inginkan bersama, oleh karenanya upaya mencapai kesatuan antara umat Islam, merupakan sebuah keniscayaan yang mendesak diwujudkan.

Untuk mewujudkannya diperlukan langkah sistematis yang dapat dirasakan penjelmaan “jasadnya”. Sehingga slogan pentingnya kesatuan dan keutuhan umat tidak menjadi angin di udara hampa. Maka untuk tujuan ini, penulis merasa yakin, bahwa sudah saatnya kita menggagas forum lintas mazhab yang menjadi wasilah atau malting pot saling bersinergisnya seluruh aliran dan mazhab secara kreatif dan dinamis. Dan sekiranya forum ini –atau yang semisalnya- telah ada, seperti yang pernah digagas oleh Departemen Luar Negeri, melalui Konferensi Persatuan Umat Islam di Bogor pada 3 dan 4 April 2007, dengan menghadirkan para tokoh Syiah dan Sunni di dunia, penulis mengharap untuk lebih dioptimalkan. Mengingat besarnya peran yang akan dimainkan oleh forum semacam ini bukan saja dalam mengais kesefahaman antar pengikut aliran/mazhab, namun juga dalam menelurkan langkah-langkah strategis membangun peradaban Islam yang benar-benar rahmatan lil-alamin.

Namun satu hal yang patut direnungkan, bahwa dibentuknya forum ini tidak boleh berangkat dari satu asumsi konvergensitas manhaj al-fikr, akan tetapi tetap harus memberikan ruang divergensitas itu untuk tumbuh dan berkembang. Tidak pula botton linenya adalah pada justifikasi satu kelompok sebagai aliran yang paling benar, sementara yang lainnya sesat. Pada tataran ini, sebuah institusi (baca; forum) sejatinya tidak menginterfensi keyakinan internal masing-masing, sebab ia berada pada satu ruang yang teramat privaci, yang tidak perlu kita rubah kecuali hanya untuk kita hargai. Sementara fungsi dari institusi itu ialah mengatur aktualisasi yang keluar dari keyakinan tersebut menjadi lebih sinergis dan berdaya manfaat bagi semua.

Lagi-lagi faktor terpenting dalam mendirikan forum lintas mazhab ini adalah pada kesiapan kita untuk bertoleransi. Menurut Prof. Dr. Hamid Algar --seorang muslim Inggris, dan mengajar studi Islam dan Persia di University of California-- selama ini, umat Islam telah begitu banyak memberikan toleransi ke luar, terhadap agama di luar mereka. Namun kurang memberikan toleransi ke dalam antara sesama pemeluk Islam.[39] Namun, dalam kasus Syi'ah, kelompok Sunni tentu akan amat keberatan untuk bertoleransi, jika pengecaman dan pengkafiran para sahabat masih terus diagendakan. Dan di lain pihak, Syi'ah sendiri, -seperti dikatakan oleh S.H. Hossein Nasr, dalam pengantarnya atas buku Muhammad Husain ath-Thabathaba'i, Shi'te Islam- juga sulit untuk bertoleransi jika toleransi itu berarti harus mengesampingkan apa yang telah menjadi keyakinan mereka selama ini.[40] Maka sudah sepatutnya, klaim-klaim kebenaran, beserta klaim-klaim kesesatan tidak mewarnai pendirian forum lintas mazhab semacam ini.

Ketiga: reformulasi kurikulum pendidikan agama

Pendidikan adalah faktor yang terpenting di samping hal yang disebutkan di atas, sebab dengannya dapat membentuk pola pikir bangsa terhadap berbagai persoalan masa depannya. Jati diri suatu bangsa juga dapat dilihat dari tinggi rendahnya tingkat pendidikan. Wawasan kebangsaan dan keumatan sekaligus dapat dibentuk melalui mediasi pendidikan yang bermutu. Khususnya di Indonesia, cara pandang masyarakat terhadap realitas keragaman dari komunitas yang ada diluar dirinya, akan mudah didapat, jika agenda pendidikan nasional kita mengarah kepada keterciptaan kehidupan yang rukun, toleran dan tidak memusuhi perbedaan tersebut. Akan tetapi jika sebaliknya, ekses yang muncul adalah seperti saat sekarang; sangat mudahnya konflik komunal terjadi yang disebabkan oleh ketidakarifan masyarakat dalam melihat perbedaan-perbedaan yang terjadi. Keragaman (diversity) suku, adat, ras, agama, termasuk aliran belum mampu dikreasikan sebagai aset kekayaan bangsa, namun masih dianggap sebagai sebuah ancaman keutuhan (unity).

Maka, suatu hal yang mendesak untuk dilakukan adalah mereformulasi kurikulum pendidikan agama (sejarah Islam). Jika saat ini perhatian hanya sebatas pada pemetaan persoalan keetnikan dan agama yang tersebar di tanah air, maka tidak kalah pentingnya adalah juga pada ranah inter aliran-aliran yang ada dalam agama Islam. Pengajaran firaq Islamiyyah (sekte-sekte Islam) harus sudah menjadi materi wajib pendidikan agama kita. Namun yang terpenting, materi-materi wajib tersebut tidak boleh mengulangi lembaran-lembaran hitam konflik sejarah yang pernah ada, sebisa mungkin sudah mengarah kepada perbandingan yang rekonsiliatif-mutualitatif.

Sebagaimana yang pernah digagas oleh Prof. Dr. Mahmood Ghazi,[41] -dan beliau ungkapkan sendiri kepada penulis- dalam seminar Internasional Pendekatan antar Mazhab (al-Mu`tamar al-‘Alami li at-Taqrîb baina al- Madzâhib) di Iran tahun 2006, “bahwa perlu dibuat kurikulum bertaraf internasional sebagai proyeksi pendekatan antar Mazhab Sunni-Syi’ah, dalam format ensiklopedia, atau proyek buku yang digarap oleh ulama/pemikir dari kedua kelompok di seluruh dunia –dalam naungan organisasi taqrib”-, di mana hasil dari karya ini akan disebar ke seluruh negara, khususnya Negara-negara Muslim”.[42]

Jika pemikir dan pemerhati relasi Sunni-Syi’ah di luar negeri kita sudah sedemikian rupa usaha yang dilakukan, bagaimana halnya dengan di negara kita?. Mengingat persoalan adat atau budaya lokal kita yang tentu memiliki perbedaannya sendiri dengan negara-negara lain dan Arab khususnya, di mana relasi itu pun akan menampakkan perwajahan yang berbeda pula. Maka sudah saatnya semua unsur, baik ulama, cendikiawan, pemerintah, tokoh masyarakat, insan akademik, memikirkan lebih serius lagi usaha-usaha cerdas serupa, dengan tanpa mengeyampingkan aspek-aspek lokalitas tersebut. Paling tidak, hal ini akan teratasi dengan terlebih dahulu mereformulasi kurikulum pendidikan nasional (baca; Agama) kita.

Penutup

Tulisan ini paling tidak memiliki tujuan sebagai berikut, pertama, mengenali anatomi persfektif teologis antara Sunni dan Syi’ah. Kedua, melihat perkembangan kaum Syi’ah dan relasinya dengan kaum Sunni secara lebih dekat di Indonesia, Ketiga, mencari kemungkinan solusi yang bisa dijadikan mediasi saling bekerjasamanya antara kedua kelompok tersebut (dalam konteks kebangsaan) secara baik. Sesungguhnya yang paling utama adalah mengenali terlebih dahulu fakta dari pada perbedaan-perbedaan yang ada, baru setelah itu bersama-sama mencapai tujuan yang satu. Dalam hal ini, penulis merasa masih belum seluruhnya memaparkan fakta-fakta yang dimaksud. Maka tulisan yang lebih lengkap serta komferehensif selanjutnya adalah sebuah keniscayaan.

Akhirnya, adalah merupakan keharusan bagi kita untuk lebih memahami permasalahan relasi Sunni-Syi’ah ini dalam persfektif masa depan. Konflik yang tak berkesudahan sejatinya adalah warisan buruk dari sejarah masa lalu yang harus kita kubur. Perang urat syarat dengan dalih apapun, sehingga berujung kepada perebutan politik hegemoni sudah seharusnya diakhiri. Sebuah road map jalan damai, rekonsiliasi antar kedua aliran tersebut harus segera diciptakan. Sikap keberpihakan atas suatu kebenaran yang bisa ditemukan dari kedua kelompok manapun (relatifitas kebenaran) sudah harus diyakini. Klaim-klaim kesesatan yang tidak lebih hanya sekedar menghabiskan energi umat sudah tidak logis lagi kita gunakan.

Semua ini, tentu tidak akan terwujud, jika sikap fanatik sempit masih menjadi bagian dari pola pikir kita. Sikap fanatik ini ditandai dengan keengganan kita untuk melihat kebenaran yang selalu tampak dalam beragam wajah. Serta ketidaksiapan kita untuk merumuskan fakta-fakta perbedaan tadi sebagai wacana yang membawa “rahmat”. Untuk sampai kepada kondisi ini, dibutuhkan bacaan dan pengetahuan yang luas sehingga kita tidak keliru melangkah. Sebab tidak jarang, buntut masalah masih terus muncul, bukan disebabkan kita tidak menyelesaikannya, melainkan karena kita tidak faham betul fakta dari masalah tersebut.

Akhirnya, peta masa depan umat Islam akan sangat tergantung pada keharmonisan dua sekte Sunni-Syi’ah ini. Dan masa depan itu bisa tidak kurang suram dari sekarang, jika sekiranya politik hegemoni itu masih terus menjadi potret relasi keduanya. Maka usaha selalu mendekatkan posisi kedua kelompok tersebut kepada titik temu (common platform) adalah salah satu bentuk jihad abad sekarang. Wallahu’alam.

Islamabad, 1 Januari 2008

Malam Tahun Baru (di New Campus IIU-Islamabad)

Senarai Bacaan:

1. Al-Quran al-Karim.

2. Kitab-kitab Hadits Nabi Saw.

3. Majma’ al-Lughah al-Arabiyah, al- Mu’jam al-Wasith, Maktabah al- Shorok, Kairo, cet. IV. 2004.

4. Asy-Syahrastani, Milal wa Nihal, Maktabah al Risalah, Kairo, cet. VIII, 1993, Vol.I.

5. Ibn Khaldun, Muqaddimah, Beirut, 1993.

6. 'Imarah, Muhammad, Tayyarat Fikri al Islami, Kairo, 1991.

7. Al-Qasim, As’ad, Azmatul Khilafah wal Imamah wa Atsaruha al Muashirah, Daar Musthtafa li Ihya al-Turats, Qom-Iran, cet.I, 1428 H.

8. Ghazi, Mahmood Ahmad, State and Legislation in Islam, Shari’ah Academy Publisher, edisi I, 2006.

9. Salim Awwa, Muhammad, Fi an- Nidzam al-Syayasi li ad-Daulah al-Islamiyyah, Daar Shorok- Cairo, cet. VII.

10. Al Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah wa al-Wilayah al-Diniyyah, Daar Fikr, cet. I, 1983.

11. Ibnu Taimiyyah, al-Siyaasah al-Syar’iyyah fi Ishlahi ar-Ra’iy wa ar-Ra’iyyah, cet. I.1322 H.

12. al-Ghazali, Abu Hamid, Al-Iqtishad fi al-I’tiqad, Kairo, bab.imamah.

13. Azra, Azyumardi, Syi’ah di Indonesia: Antara Mitos dan Realitas, dalam Jurnal Ulumul Qur'an, no. 4, Vol. VI.

14. Al-Kattani, Abdul Hayyie, Sekilas Tentang Faham Syi’ah, makalah kajian ilmiah di Mahasiswa Indonesia al-Azhar-Kairo, Juli 1997.

15. Asad Syahab, Sayyid Muhammad, As-Syi’atu fi Indunisiya, Muassatu al-Muammal al-Tsaqafiyyah, tanpa tahun.

16. Ridyasmara, Rizki, Islam Masuk ke Nusantara Ketika Rasulullah Saw Masih Hidup, rubrik sejarah, di www.oaseislam. com.

17. Alhadar, Smith, “Sejarah dan Tradisi Syi’ah di Ternate”, atau “ Ternate dan Sejarah Syi'ah”, www. ternatemanjang.com.

18. Van Bruinessen, Martin “Sectarian Movements in Indonesian Islam: Social and Cultural Background"), Ulumul Qur'an, vol. III no. 1, 1992.

19. Nasr, Vali, Kebangkitan Syi’ah; Islam, Konflik dan Masa Depan, Diwan Publishing, cet. I, 2007

20. Qaradlawi, Yusuf, Ashahwah al-Islamiyyah baina al-Ikhtilaf al- Masyru’ wa al-Tafaruq al-Mazmum., maktabah wahbah, Kairo, tanpa tahun.


[1] Penulis adalah Mahasiswa Pasca Sarjana Fakultas ‘Syari’ah and Law’ di IIU Islamabad, aktif di PCI-NU Pakistan sebagai Rois Syuriah periode 2007-2008

[2] Tawanan lokalitas adalah, suatu kondisi di mana seseorang tertahan paradigma dan treatmentnya pada suatu setting lokal di mana ia tengah/pernah berada.

[3] Majma’ al-Lughah al-Arabiyah, al- Mu’jam al-Wasith, Maktabah al- Shorok, Kairo, cet. IV. 2004, hlm. 31.

[4] Al-Quran, surat: as-Shafât, 83.

[5] Al-Qur’an, surat: al-Qasas, 15.

[6] Asy-Syahrastani, Milal wa Nihal, Maktabah al Risalah, Kairo, cet. VIII, 1993, Vol.I, hlm.144. Ibn Khaldun, Muqaddimah, Beirut, 1993, hlm.155.

[7] Dr. Muhammad 'Imarah, Tayyarat Fikri al Islami, Kairo, 1991, hlm.199

[8] Dr. As’ad al-Qasim, Azmatul Khilafah wal Imamah wa Atsaruha al Muashirah, Daar Musthtafa li Ihya al-Turats, Qom-Iran, cet.I, 1428 H. hlm. 39.

[9] Beberapa teks ayat dan hadits yang menegaskan karakteristik ini di antaranya sebagai berikut: 1. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya (Q. S. Al-Ahzab: 33), 2. Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, dan taatilah Rosul-Nya dan ulil amri di antara kamu (A. S. An-Nisa: 59), konteks “ulil amri” pada ayat in diyakini turun kepada Ali bin Abi Thalib, lihat: kitab Tarikh Thabari, Asbabun Nuzul lil Wahidi dan Syawahidu Tanzil li al-Haskani, 3. Hadits ‘Ghadir Khumm’ yang masyhur, Rasulullah besabda pada saat haji wada’ tentang wasiat kepemimpinan Ali bin Abi Thalib, “…Barang siapa yang menjadikan Aku sebagai walinya, maka jadikanlah Ali sebagai walinya (rawi: Rasulullah mengucapkannya sebanyak tiga kali), Ya Allah, berkatilah orang-orang yang menjadikan Ali sebagai walinya, musuhilah orang-orang yang memusuhinya, cintailah orang-orang yang mencintainya, murkailah orang-orang yang memurkainya …maka agar kalian yang hadir sekarang memberitahukan sabdaku ini kepada orang yang tidak hadir.” Lihat: Shahih Tirmidzi vol. VIII, Sunan Ibnu Madjah vol. I, Musnad Ahmad vol. IV, Shawaiq Ibnu Hajar, dan Khasais Amiril Mukminin li an-Nasai.

[10] Mahmood Ahmad Ghazi, State and Legislation in Islam, Shari’ah Academy Publisher, edisi I, 2006, hlm. 2

[11] Muhammad Salim Awwa, Fi an- Nidzam al-Syayasi li ad-Daulah al-Islamiyyah, Daar Shorok- Cairo, cet. VII, hlm. 117.

[12] Al Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah wa al-Wilayah al-Diniyyah, Daar Fikr, cet. I, 1983, hlm. 14-15.

[13] Ibnu Taimiyyah, al-Siyaasah al-Syar’iyyah fi Ishlahi ar-Ra’iy wa ar-Ra’iyyah, cet. I.1322 H., hlm. 165.

[14] Lihat: Muhammad Salim Awwa, Loc. Cit.

[15] Abu Hamid al-Ghazali, Al-Iqtishad fi al-I’tiqad, Kairo, bab.imamah, hlm. 234.

[16] Al-Quran, surat: as-Syura, 38.

[17] Mahmood Ahmad Ghazi, Op. Cit., hlm. 7.

[18] Dr. As’ad al-Qasim, Op. Cit., hlm. 45.

[19] Yang dimaksud dengan orang khusus di sini adalah Ahlul Bait, dimulai dari Ali bin Abi Thalib, putranya; Hasan, Husein, dan terus sampai kepada imam ke-12 mereka.

[20] Dr. As’ad al-Qasim, Op. Cit., hlm. 46.

[21] Ia menulis buku Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao, Jakarta 1974.

[22] Dengan tulisannya Shi'a Elements in Malay Literature, dalam Sartono Kartodirdjo (ed) Profiles of Malay Culture Historiography Religion and Politics, Jakarta 1976.

[23] Dengan bukunya Tawarikh Raja-raja Kerajaan Aceh, Banda Aceh, 1968.

[24] Lewat bukunya Syi’ah dan Sunnah Saling Rebut Kekuasaan Sejak Awal Sejarah Islam di Kepulauan Nusantara, Surabaya, 1983.

[25] Dr. Azyumardi Azra, Syi’ah di Indonesia: Antara Mitos dan Realitas, dalam Jurnal Ulumul Qur'an, no. 4, Vol. VI, tahun 1995.

[26] Dinukil dari: Abdul Hayyie al-Kattani, Sekilas Tentang Faham Syi’ah, makalah kajian ilmiah di Mahasiswa Indonesia al-Azhar-Kairo, Juli 1997.

[27] Sayyid Muhammad Asad Syahab, As-Syi’atu fi Indunisiya, Muassatu al-Muammal al-Tsaqafiyyah, tanpa tahun, hlm. 32.

[28] Ibid., hlm. 33-34

[29] Rizki Ridyasmara, Islam Masuk ke Nusantara Ketika Rasulullah Saw Masih Hidup, rubrik sejarah, di www.oaseislam. com, ahad, 30 September 2007.

[30] Sayyid Muhammad Asad Syahab, Op. Cit., hlm. 42-43.

[31] Lihat tulisan: Smith Alhadar, “Sejarah dan Tradisi Syi’ah di Ternate”, atau “ Ternate dan Sejarah Syi'ah”, di web site. www. ternatemanjang.com, dikirim pada 10 Oktober 2007.

[32] Ibid.

[33] Dapat dibaca sejarah klasik perang Shiffin; perang antara Muawiyyah dan Ali bin Abi Thalib, yang berakhir dengan terbunuhnya ahlul bait di Karbala-Irak. Banyak pemikir Syi’ah yang mengambil referensi termarjinalkannya Syi’ah masa kini dari sejarah kelam masa lalu itu, sehingga terminologi “mustad’afin” (orang-orang lemah/termarjinalkan) menjadi satu trend di khazanah pemikiran sosial-politik Syi’ah. Tragedi Karbala -yang sesungguhnya berpangkal dari perampasan hak politik Ali di Tsaqifah bani Sa’idah- bagi mereka tidak hanya memiliki dampak politis, akan tetapi juga dampak teologis. Di antaranya adalah, pemalsuan hadits, bermunculannya sekte-sekte ‘sempalan’ di umat Islam, pengingkaran atas kemaksuman Rasulullah dan para Imam ahlul bait, dll. Untuk lebih detil lihat: Dr. Asad al-Qasim, al-Khilafah wa al-Imamah wa Atsaruha al-Muashirah, Daar Ihya at-Turats, Qom-Iran, 1418 H.)

[34] Untuk mengetahui pandangan ini secara lebih komferehensif, dapat ditemukan pada pemikir Syi’ah kontemporer, seperti Vali R. Nasr. Baca buku: Vali Nasr, “Kebangkitan Syi’ah, Islam, Konflik, dan Masa Depan”, Diwan Press, Jakarta, cet. I, 2007, (terjh. M. Ide Murteza).

[35] Martin adalah seorang Indonesianist, ia sampaikan analisanya ini dalam makalah ilmiah, berjudul: “Sectarian Movements in Indonesian Islam: Social and Cultural Background"), Ulumul Qur'an, vol. III no. 1, 1992, hlm. 16-27.

[36] Untuk lebih detilnya, silakan kunjungi website: www.icc-jakarta.com, atau alamat kantor: Jl. Buncit Raya Kav. 35 Pejaten Barat Jakarta Selatan.

[37] Seminar ini digagas oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), hadir dalam kesempatan ini, sejumlah tokoh dan ulama dari berbagai ormas Islam, di antara tokoh yang memberikan makalah adalah, K.H. Kholil Ridlwan, K.H. Hasan Basri, K.H. Drs. Dawan Anwar, Dr. Ridlwan Saidi, dan lain-lain. Acara seminar ini sempat mengalami protes dari pihak yang tidak setuju, diantaranya dari ketua umum PBNU saat itu, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan beberapa tokoh HAM dan Kebebasan Beragama di Indonesia.

[38] Hadits ini sekalipun secara ‘sanad’ dalam pandangan ulama tidak diketahui asalnya, namun secara ‘makna’ adalah shahih, Hadits ini dapat dilihat dalam: Jâmi’ as-Shagir. karangan Imam Asyuyuti. Sebab riwayat ini diperkuat dengan hadits-hadits shahih yang menegaskan kebenaran makna hadits di atas, seperti “Apa yang dihalal kan Allah adalah halal, yang diharamkan adalah haram, sedangkan apa yang tidak dijelaskan adalah “afwun” (ampunan), maka ambillah afwunnya itu”(HR. Hakim). Dinukil dari kitab: Yusuf Qaradlawi, Ashahwah al-Islamiyyah baina al-Ikhtilaf al- Masyru’ wa al-Tafaruq al-Mazmum., maktabah wahbah, Kairo, tanpa tahun, hlm. 70.

[39] Lihat: Majalah Ummat, no. 5 th. I/4, dinukil dari: Abdul Hayyi al-Kattani, Loc. Cit.

[40] Lihat: pengantar S.H. Nasr atas buku M.H. Thabathaba'i, Shi'te Islam, dinukil dari: Abdul Hayyi al-Kattanie, ibid.

[41] Cendikiawan asal Pakistan dan penulis buku aktif dalam banyak bidang, seperti: fikih, usul fikih, hukum (law), filsafat, tasawuf, sirah, sastra, dan ilmu kalam. Pernah menjabat sebagai Menteri Agama Pakistan dan Rektor International Islamic University (IIU) Islamabad tahun 2006.

[42] Pandangan serupa juga diungkapkan oleh Dr. M. Imarah asal Mesir, pada acara Konferensi Internasional Rabithatu ‘Alam al-Islamiy di Jeddah tahun 2006. Ada dua bidang yang menjadi prioritas, pertama: bidang-bidang fikih, dan kedua: bidang-bidang akidah/ilmu kalam.
sumber:http://simoelmughni.multiply.com/journal/item/22


WAHAI UMAT MUHAMMAD,JANGAN SALING MEGOBARKAN FITNAH !! SUNNAH-SYI'AH BERSATULAH !!!



SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG

Oleh:

Al-Marhum Al-Ustadz Husein Al-Habsyi

PENDAHULUAN

Risalah di hadapan anda ini adalah hasil Dialog antara Al-Ustadz Husein Al-Habsyi

dengan mahasiswa Universitas Gajah Mada (UGM) dan Universitas Islam Yogyakarta

(UII) di Solo.

Dalam dialog tersebut para mahasiswa mena nyakan beberapa masalah tentang Madzhab

Syi’ah Imamiyah, antara lain:

1. Benarkah Syi ‘ah itu Kafir?

2. Bagaimana Pendirian Madzhab Syi’ah tentang sahabat Nabi Saww?

3. Benarkah Syi ‘ah berpendapat bahwa Khalifah Abu Bakar, Umar dan Utsman itu tidak

sah?

4. Benarkah Syi ‘ah itu meragukan Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan

bahkan tidak menggunakannya? Apakah dengan membuang Had its-hadits riwayat Abu

Hurairah, Islam ini akan lenyap? Dan bagaimana akhirnya nanti?

5. Mohon penjelasan tentang Hadits Tsaqalain (Qur’an wa Sunnati) atau Qur’an wa Itrahi

AhIi Baiti mana yang lebih shahih?

6. Kalau Sunnah pada zaman Nabi ternyata tidak dibukukan, tetapi mengapa sampai juga

kepada kita dan dipakai oleh kita Ahlussunnah. Kemudian apakah mung kin di zaman itu

ada pemalsu-pemalsu Hadits?

7. Apakah Itrah itu? Apakah yang dimaksud ltrah itu sampai keturunan Rasulullah

SAWW yang sekarang ini atau mungkin ada batasannya?

8. Di mana turunnya ayat yang berkenaan dengan peristiwa Ghadir Khum dan her kaitan

dengan peristiwa apa?

9. Benarkah tuduhan bahwa Syi’ah menambah dan mengurangi ayat-ayat Al Qur’an dan

SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG

2

melakukan perubahan-perubahan?

10. Mengapa Syi’ah Imainiyah kalau Shalat hanya tiga waktu?

11. Bagaimapa menurut faham kita Ahlus sunnah tentang masalah Raj’ah?

12. Mungkin Ustadz tahu apa sebenarnya makna Rafidhah?

Dalam jawabannya terhadap pertanyaan me reka, Ustadz Husein menggunakan pendapat

Ahlus sunnah, dengan maksud agar serangan-serangan (tuduhan-tuduhan) yang

dilemparkan kepada Madzhab Syi’ah lmamiyah dapat dihentikan karena kedua Madzhab

itu tidak berbeda dalam masalah-masalah pokok.

Semoga risalah kecil yang kami kutip dari kaset tanya jawab Ustadz Husein dengan para

mahasiswa ini, dengan kami tambahkan catatan kaki dan setelah kami tanyakan kepada

Ustadz sebagai sumber rujukan, maka dapat menambah wawasan pengetahuan kita, agar

kita tidak mudah memvonis saudara-saudara kita sesama muslim secara in-absentia dan

teks-book thingking kita.

Sunnah-Syi’ah dalam dialog antara

Mahasiswa UGM, UII Yogyakarta dengan Ustadz Hussein Al-Habsyi

Mahasiswa:Ustadz Husein yang terhormat, kedatangan kami ini bertujuan untuk

silaturahmi. Kami rombongan mahasiswa dan Yogya, sebagian kami ini dan Universitas

Islam Indonesia dan ada juga dan Universitas Gajah Mada. Kami banyak mendengar

tentang Mazhab Syi’ah dan beberapa Ulama yang pernah kami datangi. Tetapi kami

belum merasa puas karena masih ada beberapa jawaban yang kurang tepat menurut kami.

Sekarang kami ininta agar Ustadz menjelaskan masalah Madzhab Syi’ah ini, dan kami

telah mempersiapkan beberapa pertanyaan yang kami anggap perlu.

Ustadz Husein: Saudara-saudara mahasiswa dan Yogya, Assalamu’alaikum

Warahmatullahi wabarakatuhu. Saya bahagia atas kedatangan saudara-saudara kepada

saya, apalagi dengan tujuan yang baik yaitu silaturrahim. Saya bersyukur kehadirat Allah

karena saudara-saudara masih mempunyai keinginan untuk mengetahui Sebuah Madzhab,

yang selama ini di Indonesia tidak terkenal. Tetapi kemudian setelah dikenal banyak

fitnah yang ditujukan kepada MadZhab ini. Namun sayang saudara-saudara, sebab saya

SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG

3

sendiri bukan Syi’ah. Jadi sebenarnya lebih tepat bila saudara-saudara terus menanyakan

pertanyaan-pertanyaan ini kepada yang menyatakan bahwa dirinya memang orang Syi’ah.

Pertama: “Benarkah Syi ‘ah itu Kafir?”

Mahasiswa:“Walaupun Ustadz bukan seorang Syi’ah tetap kami rasa paling tidak Ustadz

telah membaca tentang Madzhab ini. Jadi kami rasa tidak salah bila kami bertanya

kepada Ustadz. Dan sebaiknya kami langsung saja bertanya. Pertanyaan kami yang

pertama adalah:

Benarkah Syi ‘ah itu Kafir?”

Ustadz Husein: Baiklah saudara-saudara, saya akan menerima desakan saudara agar

saya menjawab pertanyaan saudara-saudara Insya Allah, namun sebaiknya dalam majelis

ini kita hindarkan perdebatan.” Saya sangat tidak setuju bila majelis seperti ini yang

sedianya bermaksud mencari ilmu, mendengar sesuatu yang bisa menambah ilmu,

kemudian berbalik menjadi majelis perdebatan, scdangkan perdebatan itu hanya akan

membawa permusuhan. Jadi kalau itu terjadi, maka hilanglah maksud yang baik dan

majelis ini.

Saudara-saudara yang terhormat:

Menjawab pertanyaan saudara ini saya kira mengkafirkan sesama muslim, bukan saja

tidak dibenarkan oleh syariat Nabi Muhammad Saww tetapi juga tidak pantas dan juga

tidak menguntungkan baik dipihak Syi’ah maupun Ahlus Sunnah, bahkan bisa

melemahkan keduanya. Siapa di antara kita kaum muslimin -- apalagi saudara mahasiswa

ini -- yang belum mendengar tentang Kristenisasi yang galak dan dahsyat seperti seka

rang ini. Mereka sebelum ini sudah bersatu dan segala aliran; Katolik, Protestan, Advent,

ditambah dengan kaum musyrikin, Zionis dan Yahudi, mereka semua sudah bersatu,

sedangkan kaum Nasrani bergabung dakm satu dewan gereja. Padahal mereka tidak

punya ayat yang berbunyi:

Bahwa sesungguhnya umatmu ini adalah ummat yang satu dan Kami adalah Tuhanmu,

maka sembahlah Kami.” (Q.S.21: 92).

Mereka tidak pernah dipersatukan dengan injil mereka atau Taurah mereka, tampaknya

mereka dalam taktik mencapai target mengkristenkan kita, memurtadkan kita, maka

SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG

4

bersatulah mereka untuk inenghadapi kita. Menurut informasi yang saya terima, ribuan

sekolah dasar. Sekarang murid-muridnya dibiayai oleh kaum inissionaris (kaum Nasrani),

tentunya dengan maksud-maksud tak asing lagi bagi kita. Jadi gereja menginginkan agar

mereka itu merasa berhutang budi kepada Nasrani kemudian mudah ditarik oleh mereka

ke Gereja. Karena itu mereka mencapai kemajuan yang pesat di tahun-tahun terakhir ini.

Sedangkan kita -- maaf -- secara tidak sadar membantu mereka mengeluarkan saudara

saudara dan generasi kita yang sekarang ini dan ummat dan agama Islam. Jadi mereka

akan lebih mudah mengkristenkan kita, sedangkan kita mengkafirkan saudara kita sendiri.

Adakah fanatisme yang lebih berat daripada ini?

Kita sekarang ini tidak perlu Syi‘ah atau Sunnah menjadi bahan gaduh di antara kita,

kaum muslimin. Kita perlu Islam yang bersumber kan Al-Qur’an dan Al-h’adits

diterapkan pada diri kita.

Kita memerlukan ukhuwah, memerlukan pengumpulan dana dan seluruh masyarakat dan

organisasi Islam untuk menebus jutaan pemuda muslim yang sekarang di ambang pintu

Nasrani untuk dikristenkan.

Untuk menyelamatkan mereka, barangkali kita perlu mengurangi belanja rumah tangga

dan uang jajan anak-anak kita. Dan gadis-gadis serta wanita kita, harus mengurangi

segala macam kelebihan benda-benda yang tidak diperlukan se perti alat-alat make-up

dan sebagainya, karena uang itu nanti akan kita sumbangkan kepada penduduk yang

iniskin di antara kaum muslimin yang sekarang dipegang oleh gereja dengan maksudmaksud

seperti itu.

Sekarang kita membuang uang untuk mencetak buku-buku, membagikan buku-buku

secara gratis yang hanya isinya caci-maki, tuduh-menu duh dan kafir-mengkafirkan.

Sehingga uang ratusan juta di Indonesia ini kita habiskan hanya untuk

membumihanguskan rumah tangga kita sendiri. Apakab tindakan sepérti ini cocok

dengan syariat, sesuai dengan akal sehat, pantas dengan waktu seperti sekarang dan

sejalan dengan politik perjuangan dewasa ini? Biasanya tindakan-tindakan semacam itu

diilhami oleh wawasan yang sempit, fanatisme yang bergejolak di dada, atau kesempitan

akhlaq dan kedengkian yang mendalam terhadap sesama muslim.

Paling tidak itu hanya intrik dan zionisme atau salibisme internasional. Kita

(Ahlussunnah) mengkafirkan Syi ‘ah Imamiyah berdalilkan teks books kita dan secara

subyektif serta in-absentia. ini salah satu dan wawasan yang sempit, sebab kita tidak

berhadapan dengan mereka secara langsung. Belum pernah kita mengadakan diskusi

SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG

5

bersifat final antara Ulama Syi ‘ah dan Ulama kita. Kita mencaci mereka dengan

menggunakan dalil buku-buku orientalis, itu juga menunjukkan wawasan yang sempit.

Kita kafirkan mereka berdasarkan caci-maki, ejekan dan segala macam kebohongan, itu

juga merupakan akhlaq yang sempit.

Orang yang berwawasan sempit akan mengatakan, bahwa kita (Ahlus sunnah) ini juga

melakukan tahrif, seperti kita mengatakan bahwa Syi’ah melakukan tahrif dan begitu

seterusnya. Saya kira hal ini perlu saudara-saudara camkan sebelum majelis ini akan kita

lanjutkan nanti.

Kedua: Bagaimana Pendirian Mazhab Syi’ah Tentang Sahabat Nabi?

Mahasiswa: Ustadz Husein yang terhormat, terima kasih atas keterangan yang

diisampaikan kepada kami. Sebelum kami melanjutkan pertanyaan yang kedua, kami

ingin kembali dengan jawaban Ustadz Husein yang pertama tadi, yakni Ustadz Husein

menyatakan bahwa kita tidak perlu saling mengkafirkan di antara kaum muslimin.

Namun kami sering mendengar bahwa orang-orang yang berfaham Syi ‘ah sering

mengkafirkan Sahabat Nabi Saww. Kalau itu tidak benar, kami ingin menanyakan kepada

Ustadz: “Bagaimana sebenarnya pendirian orang Syi ‘ah terhadap para Sahabat Nabi

Saww?

Ustadz Husein: Dalam masalah ini, sebenar nya dua Madzhab ini mempunyal dua

pendapat dan dua pendirian masing-masing. Kalau Madzhab Syi’ah itu, membagi para

Sahabat Nabi menjadi tiga bagian sebagaimana yang tertera dalam kitab-kitab mereka

antara lain sebagai berikut1:

Bagian pertama:

Adalah sebagian sahabat yang benar-benar taat dan setia kepada Rasulullah Saww, tidak

pernah melanggar dan tidak pernah membantahi dsb. Antara lain yang disebut-sebut oleh

Syi’ah ialah nama-nama: Ammar, Al-Asytar, Abu Dzar, Salman, Jabir bin Abdillah, dsb.

Begitulah menurut mereka.

1 Kitab Taumma Tadaitu, Kit.b Al-Milal Wan Nihal oleh Ja far Subbani Juz 1.

SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG

6

Bagian kedua:

Ialah sahabat-sahabat yang pernah berbuat sesuatu yang kurang menampakkan

kesetiaannya kepada Rasulullah Saww. Dan perbuatan-perbuatan mereka itu disebutkan

serta ditulis di dalam kitab-kitab standard hadits kita seperti, Bukhari, Muslim dls. Syi’ah

pun mempunyai jalur yang meriwayatkan hal seperti itu, kemudian Syi ‘ah berpegangan

bahwa mereka itu (sahabat) dalam pembagian kedua ini memang masih harus diseleksi

dan diragukan.

Bagian ketiga:

Yaitu sahabat yang dianggap munafiq, orang-orang seperti ini masuk dalam batas kufur.

Yang menyatakan adanya munafiq dan kalangan sahabat itu adalah Nabi sendiri. Di

dalam Hadits-hadits yang diriwayatkan Bukhari yang di antaranya menyatakan:

Bahwa kelak dihari kiamat beliau Saww berada d Haudh, tiba-tiba datang para Sahabat

lalu mereka mau ininum, Rasul mau melayani mereka, tetapi mereka dijauhkan dari

Rasul, Rasul bertanya: “Engkau tidak tahu wahai Muhammad, apa yang telah mere/ca

lakukan serelah engkau wafat.”2

Juga dalam A1-Qur’an disebutkan:

Di antara orang-orang Arab Badul yang d sekelilingmu itu ada orang-orang munafik;

dan (juga) dl antara penduduk Madinah. Mereka keterlaluan dalam kemunafikannya.

Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi) Kamilah yang mengetahui mereka.

Nanti mereka akan Kami siksa dua kali kemudian mereka akan dikembalikan kepada

azab yang besar.” (Q.S.9: 101)

Ayat-ayat dan Hadits-hadits seperti ini banyak, dan oleh kaum Syi’ah Imamiyah hal itu

dijadikan pegangan dan mereka tidak akan meninggalkan, karena mereka menganggap

itu juga nash, mereka tidak boleh mempunyai pendapat di samping nash.

Adapun kalangan kita Ahlussunnah, menyatakan bahwa semua sahabat tanpa kecuali ada

lah “Udul” artinya orang yang bisa dipercaya. Orang-orang baik, setidak-tidaknya mereka

pernah melihat wajah Nabi Saww dan pernah ada di sekitar Nabi, itu baik dan itu

pendapat. Ya. . .agar tidak terlalu banyak hal yang akan menimbulkan pertanyaan,

pokoknya semua baik, sudah. Jadi kalau ada satu riwayat tentang kesalahan yang jelas di

2 Bukhari, Kitabul Fitan Bab 1 dan 2.

SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG

7

kalangan para sahabat itu, kita Ahlussunnah menganggapnya itu adalah ijtihad sahabat.

Kemudian Kita ta ‘wilkan dan tafsirkan sampai akhirnya mereka dianggap mendapat pa

hala (sebagai orang yang mendapatkan fadhilah), dapat ganjaran. inisalnya sahabat

membunuh sahabat.

Muawiyah memerangi Ali sampai beberapa belas ribu orang sahabat gugur. Kita

mengatakan Muawiyah itu berijtihad dan ijtihadnya itu sampai memerangi Ali bin Abi

Thalib, dan kita mempunyal kaidah ushul:

Apabila hakim berjjtihad, kalau benar mendapat dua pahala, dan kalau salah mendapat

satu pahala.3

Jadi minimal Muawiyah bin Abi Sufyan mendapat satu pahala. Begitulah sikap kita

Ahlul-sunnah terhadap para sahabat. Tentu masing-masing Madzhab mempunyai

pendirian sendiri dalam beberapa masalah, dan kita yang berpendirian seperti ini

seharusnya menghormati pendirian orang lain.

Kalau Syi ‘ah mengkafirkan orang-orang munafik, kita tidak boleh mengkafirkan mereka,

karena mereka hanya mengkafirkan sebagian sahabat yang munafik yang telah dijelaskan

di dalam Al-Qur’an dan Hadits-hadlts. Mereka.punya dasar dan alasan, - setidaknya

mereka berijtihad dan berdasarkan nash yang ada pada kita juga, jadi tidak boleh kita

salahkan begitu saja. Kita boleh menerima atau tidak menerima pendapat itu. Kalau kita

tidak menerima pendirian mereka ini maka kita kembali kepada pendirian kita, Iaitu

semua sahabat itu “Udul” tanpa kecuali. inilah pendapat saya tentang masalah kedua ini.

Jadi masalah ini kita serahkan kepada pendirian kita sendiri dan bagaimana akal serta

logika kita mengkaji masalah-masalah seperti ini. Kalau Syi’ah kita anggap

mengkafirkan sebagian dan para saliabat lalu kita vonis mereka ini kafir ma ka hal ini

tidak benar. Sebab kita mesti tahu de ngan alasan apa mereka mengkafirkan itu? Kalau

alasannya berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits maka itu adalah fi’ak mereka dan kalau

kita tidak sependapat dengan itu, maka itu adalah hak kita.

Mahasiswa: Setelah mendengar keterangan dan Ustadz, kami jadi ingin bertanya lebih

jauh. Jika demikian, apa bedanya pendirian Syi’ah dan Ahlussunnah mengenai sahabat?

Ustadz Husein: Tadi sudah saya jawab bahawa perbedaan kita dengan mereka ialah

3 Bukhari, Kitabul I’tishom bil-kitabi wasunnah Ksb ajrul hakim izajtahada fa ashoba Ali ahto’a

SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG

8

bahwa Imamiyyah mengatakan, sahabat itu dibagi menjadi tiga kelompok (ditinjau dan

sudut keimanan mereka). Yang paling tinggi di antara mereka adalah para sahabat yang

tidak pernah berbuat sesuatu yang tercela dan mereka tidak pemah berbuat salah. Yang

kedua adalah mereka yang pernah membuat kesalahan sebagaimana yang telah saya

sebutkan tadi yakni sahabat membunuh sahabat, sahabat mencerca sahabat dsb. Yang ke

tiga yaitu sahabat yang munafik dan sifat mereka yang munafik ini sudah jelas tampak.

Namun sikap kita Ahlussunnah menganggap bahwa semua sahabat itu “Udul”. Kalau

sekiranya ada perbuatan yang menyimpang maka kita ta ‘wilkan, sehingga kadangkadang

terus saja saya ingin menegaskan ta ‘wil kita itu bertentangan dengan nash. Jadi

seakan-akan kita mengatakan bahwa syariat Islam ini tidak berlaku atas sahabat, dan ini

tidak pernah dilakukan atau diajarkan oleh Rasulullah Saww. Rasulullah sendiri pernah

bersabda:

Andaikata Fatimah binti Muhammad AS mencuri, niscaya akan aku potong tangannya’.4

Jadi, Fatimah yang merupakan sepenggal dari badan Nabi dan yang paling dicintai di

dunia ini di antara manusia-manusia yang hidup, andaikan beliau tercinta itu mencuri,

maka Nabi akan memotong tangannya! Maka saya kira sahabat yang lain pun tidak

berhak untuk mendapat kekebalan hukum atau kita menta ‘wilkannya.

Ketiga: Pertanyaan kami: “Benarkah Syi‘ah berpendapat bahwa Khalifah Abu

Bakar, Umar dan Utsman itu tidak sah?”

Mahasiswa: Kami masih ingin menanyakan tentang satu masalah, dan masih sekitar

masalah sahabat cuma kami lebih menyempitkan permasalahan ini. Pertanyaan kami:

Benarkah Syi‘ah berpendapat bahwa Khaltfah Abu Bakar, Umar dan Utsman itu tidak

sah?”

Ustadz Husein: Dalam masalah ini dua Madzhab ini mempunyai dua pendapat dan dua

pendirian. Dua pendirian itu tidak bisa dikompromikan sebab konsekwensinya seseorang

yang memegang pendirian harus tetap dan teguh atas dali-dalil yang diyakininya.

Sekarang kita mendapati ada dua golongan. Satu golongan yang meyakini bahwa Nabi

Saww dalam beberapa Hadits menunjuk Ali bin Abi Thalib menjadi pemimpin setelah

4 Muslim, Kitabul Hudud bab Qoth’i Yadia Sariq

SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG

9

Beliau, misalnya Hadith Ghadir yang berbunyi:

Barangsiapa menjadikan aku sebagai pemimpilnnya maka Ali juga pemimpinnya.5

Dan Hadits Tsaqalain yang berbunyi:

Aku :Tinggalkan pada kalian dua pusaka yang berharga, yaitu Al-Qur ‘an dan Itrah Ahli

Baitku. Kalau kalian berpegang teguh pada keduanya, niscaya kalian tidak akan sesat.”6

Kemudian Hadits Manzilah ketika menjelang perang Tabuk:

Kedudukan engkau dan aku sebagaimana kedudukan Harun dan Musa, hanya saja tidak

ada Nabi setelah aku.”7

Dan masih banyak lagi Hadits yang seperti itu yang jelas dan tidak bisa diragukan lagi

bahwa Nabi Saww menunjuk Ali dengan perintah Allah menjadi Khalifah setelah Beliau.

Jadi Nabi dengan tegas mengatakan sesudah Beliau hanya Ali sebagai penerusnya. Jika

ada orang lain menjabat itu maka menurut Syi’ah jabatan itu tidak sah. Sebab mungkin

seperti seorang gubernur yang menjabat sebuah propinsi karena desakan orang-orang

disekitarnya tanpa dia menerima surat keputusan dari presiden maka hal itu tentunya

tidak dianggap sah. Masalah ini menurut Syi’ah adalah masalah yang prinsip. Sebab

Imamah menurut mereka merupakan masalah yang sangat mendasar.

Kita -- Ahlus Sunnah tidak mengatakan seperti itu. Kita mengatakan bahwa Nabi tidak

meninggalkan pesan apapun, 8 sehingga untuk mengangkat pemimpin, sahabat

5 Turmudzy, Juz 2 hal. 298, Musnad Abmad, Juz I hal. 119, 152, Juz 4 hal. 368, 372, Juz 5 hal. 118, 330,

336, Mustadrak Al Hakim Juz 2 hal. 129, Juz 3 hal. 109, 110, 116, 371, Durul Mansur (Suyuthi) dalam

tafsir surat Al-Ahzab ayat 6. Hadits ini diriwayatkan oleh 110 Sahabat, 84 Tsbiln, 360 Ulama Ahlus

Sunnah. (A1-Ghadir Juz I hal. 14 .sampai 151).

6 Muslim, Kitab Fadhoilussahabah Bab Fadhoil Ali, Turmudzy Juz 2 hal. 308, Mustadrak Al-Hakim Juz 3

hal. 48, 109, Musnad Ahmad Juz 3 hal. 17, Nasa’i Kitab Khosois Imam Ali.

7 Bukhari, Kitab Badulkholk Bab Manaqib All, Muslim, Kitab Fadhoil Sohabat Bab Fadhoil All, Turmudzy

Juz 2 hal. 301. Mustadrak Al-Hakim Ju 2 hal. 337, Nasal dalam bukunya Khosois Imam Ali meriwayatkan

hadits ini dan 20 jalur.

8 Lihat Tarikh Al-Khulafa (Suyuthi) hal. 5-10, Murujuzzahab 2/330.

SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG

10

menjalankannya dengan musyawarah di antara mereka. Dan syuroh itu memilih Abu

Bakar sebagai Khalifah pertama.9 Kemudian oleh beliau jabatan selanjutnya diserahkan

kepada Umar Ra sebagai Khalifah kedua, menjelang wafat, Umar menunjuk 6 orang

untuk memilih seorang Khalifah. Kemudian Utsman menjadi Khalifah ketiga,10 di antara

4 Khalifah ini menurut sejarah kita Ahlussunnah hanya Ali saja yang dipilih secara

aklamasi oleh seluruh kaum muslimin tanpa terkecuali. Jadi pemilihan empat Khalifah itu

dilakukan dengan empat macam cara.

Hal ini oleh kaum muslimin sekarang khususnya Ahlus Sunnah merupakan cara yang

wajar dan cukup memadai serta tidak salah. DengAn demikian kita menganggap ketiga

Khalifah itu adalah sah, sedang Syi’ah tidak demikian. Mereka menginginkan Khalifah

yang ditunjuk oleh Rasulullah Saww.

Sedangkan kita seakan-akan tidak membenarkan adanya penunjukan. Padahal sebenarnya

kalau kita sabar meneliti dan membaca Hadits hadits sehubungan dengan itu, kita akan

tahu bahwa sebagian dan sahabat waktu itu mengakui adanya penunjukan. Di antaranya

terbukti ketika mereka berkumpul di tempat bernama Ghadir Khum, Nabi mengangkat

Ali sebagai wali sesudah beliau, maka Sayyidina Umar diriwayatkan datang kepada Ali

dan menjabat tangan beliau sambil mengatakan:

Selamat wahai putera Abu Thalib! Engkau hari ini menjadi wali tiap mu ‘min.”11

Bila demikian Hadits yang diucapkan oleh Nabi di Ghadir Khum, saya kira tidak bisa

disalahkan, jadi memang betul Hadith dan kejadian itu memang ada, namun sebagian dan

kita mengatakan tidak demikian.’ 12 Oleh karena itu mereka kembali kepada syuro

9 Tankh A1-Khulafa 27-77, Al-Kamali Fitarikh 2/291-292

10 Al-Kamil Fittarikh Juz 3 hal. 34-37

11 Tafsir Fahrurrozi dalam tafsiran ayat 67 Surat Al-Maidah Kitab inisykatul Mashobi’ Hadita No. 6094

jilid 3. Ucapan serupa juga disampaikan ot Bakar dan Sa’ad bin Abi Waqas, lihat Musnad Imam Ahmad

4/218 dan sahabat Al-Barra bin Azib. Tafsir Al-Kabir oleh Fahrurrozi Tarikh Bagdad oleh Al-Khatib Al

Baghdadi 8/290. Faidhul Ghadir fi Syarhi Jami’ua shagir Juz 6/217. Dakhoirul Uqbah hal. 68 Arriyadhu

Annadhiro Iuz 2 hal. 170 keduanya oleh Al-Muhib Atthabari dan juga dikutip oleh Hajar Al-Haitami dalam

bukunya Ashowaiq AI-Muhriiqoh. Cerita pengucapan selamat yang disampaikan oleh Abu Bakar dan

Umar kepada Imam Ali tercatat dalam 60 buku standar Ahlus Sunnah. Lihat Al-Ghadir Juz I hal. 272-283.

12 iumhur Ahlu. Sunnah meyakini adanya peristiwa tersebut tetapi mempunyai penafsiran yang lain.

SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG

11

(musyawarah).

Menurut Syi ‘ah Imamiyah, syuro semacam itu tidak memenuhi syarat sebab sahabatsahabat

yang berjumlah sekitar 100 ribu orang itu, yang ada di kota Madinah paling tidak

sejumlah 2000 orang dan dan jumlah itu yang hadir dalam musyawarah pengangkatan

Abu Bakar paling banyak 100 orang. Bahkan dan 100 orang itu tidak semuanya sepakat,

tidak kalamasi dan di antara mereka ada yang mengatakan: ininna Amir Wa ininkum

Amir (Dari kami harus ada pemimpin dan dari kalian angkatlah pemimpin sendiri.

Sehingga hampir-hampir terjadi tindakan kekerasan hingga Sayyidina Umar Ra berkata:

Bunuhlah Sa ‘ad bin Ubadah pemimpin Anshar itu!.”13

Dengan demikian tidak cukup memadai untuk syuro itu. Kemudian dikatakan pula syuro

tersebut tidak rnemadai karena ahli-ahli syuro dari Bani Hasyim, seperti Ali, Abbas dsb

tidak ada yang hadir dan kaum Anshar pun tidak semua nya hadir karena tidak tahu.14

Katena itu Umar pada akhirnya berkata: Bai‘at Abu Bakar itu adalah sesuatu yang

Faltah” 15(secara tergesa-gesa) yang Alhamdulil lah Allah menyelamatkan kita dari akibat

buruk nya. Jadi tampaknya seperti diatur supaya cepat, sebab kalau semua sahabat hadir

mungkin pemilihannya tidak seperti apa yang terjadi itu. Begitulah pendapat Syi ‘ah.

Keempat: Benarkah Syi’ah meragukan Hadith Abu Hurairah dan bahkah tidak

memakainya?

Mahasiswa: Sekarang kami lebih merasa puas dengan penjelasan Ustadz kami ingin

Sebagian Ahlu Sunnah mengatakan peristiwa itu adalah palsu yang dikutip dan Kitab Assunnah

Wamakanatuha Fitasyrik Al-Islami hal. 132, oleh Mustafa Syibai

13 Tarikhul Umam Walmuluk oleh Thabari Juz 3 hal. 210.

14 Mereka sedang sibuk menyiapkan untuk pemakaman RaeuluIlah Saww. Lihat Ar-

Saqifah Wal Khilafah oleh Abdul Fatah Abdul Maqsud hal.114-115.

15 Bukhari, Kitabul Muharibin inin Ahlikufri warriddah Bab Rojmul Hubia Juz 4 hal. 179. Tarikh Thabari

pada kejadian th. 11 H. Dan Syarh Nahjul Balaghah oleh Ibnu Abil Hadid Juz. 1 hal 122.

SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG

12

bertanya tentang Abu Hurairah. Kita sama tahu bahwa sekarang ini Abu Hurairah sedang

diteliti kembali. Pertanyaan kami: Apakah benar Syi ‘ah Imamiyah ini meragukan Hadits

hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan bahkan tidak memakainya? Apakah

dengan membuang Hadits-hadlts riwayat Abu Hurairah, Islam ini tidak lenyap? Dan

bagaimana akhirnya?

Ustadz Husein: Tentang Abu Hurairah, kaum Imamiyah mempunyai jalur riwayatriwayat

beliau, sejarah atau biografi beliau. Dan hal ini telah diungkapkan oleh kedua

belah pihak bahkan kita memiliki juga riwayat-riwayat tentang Abu Hurairah di dalam

kitab-kitab Al-Isti ‘ab karya Ibnu Abdil Bar, Al-Ishobahnya oleh Ibnu Hajar dll. Juga

beberapa kitab tarikh meriwayatkan juga tentang Abu Hurairah ini secara rinci.

Kesimpulannya, sahabat ini oleh Ahlul Sunnah juga termasuk orang yang diragukan.

Namun sebagaimana yang telah saya katakan tadi, bahwa pendirian kita Ahlul Sunnah

menganggap semua sahabat Nabi itu “ Udhul”. Dengan demikian, maka Abu Hurairah

juga diusahakan untuk diberi “excuse” sehingga kita tnengatakan bahwa Abu Hurairah

ini harus kita percayai karena Hadits-hadits yang diriwayatkannya banyak sekali.

Dia meriwayatkan mungkin lebih dan 5000 buah Hadits. Adapun pertanyaan anda:

Apakah hal ini tidak sampai mengurangi syariat?

Jawabannya saya kira tidak, sebab Hadits hadlts yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah

juga diriwayatkan oleh sahabat-sahabat yang lain dan diriwayatkan pula melalui jalurjalur

Imamiyah secara khusus. Jadi bukan Abu Hurairah saja yang meriwayatkannya

tetapi juga sahabat-sahabat lain.

Misalnya saja tentang Bab Wudhu atau Bab Tayamum Abu Hurairah meriwayatkan,

sahabat-sahabat lain yang dipercaya oleh Jmamiyah juga meriwayatkan, Demikian juga

sahabat-sahabat selain Abu Hurairah yang dianggap semua nya “Udul” oleh Ahlussunnah

juga meriwayat kan, dan tidak mesti dan jalur Abu Hurairah saja. Juga Abu Hurairah ini

oleh Syi ‘ah dianggap sebagai perawi yang suka menambah.

Yakni menguatkan pendirian Nabi dengan pendirian beliau sendiri inisalnya Hadits yang

berbunyi:

Ummatku di hari kiamat nanti akan dlbangkitkan oleh Allah dalam keadaan wajah,

kedua tangan dan kakinya serta tempat-tempat yang terkena air wudhu akan bersinar.”16

16 Bukhari, Kitab Wudhu Bab Fadhlul wudhu wal qhurul muhajjalin.

SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG

13

Kemudian Hadits ini ada tambahannya:

Barangsiapa yang bisa menambah selain dan itu maka lakukanlah.”

Jadi menambah batas wudhu bukan hanya batas siku tetapi ditambah hingga ke pangkal

lengan karena tambahan itu nanti menyala juga di hari kiamat: Ketika Abu Hurairah

ditanya tentang hal ini, ia menjawab bahwa yang terakhir tambahan itu bukan dan Nabi

tetapi dan Abu Hurairah sendiri. Ahlussunnah meriwayatkan dan menerima seperti itu,

sedang kaum Syi’ah tidak menerima hal itu. Sebab menurut mereka, kita tidak boleh

menambah sabda Nabi. Jadi apa yang dibawa oleh Rasul sebagaimana ayat yang

mengatakan …sampaikan apa yang diturunkan kepadamu. . . kita juga menyampaikan

apa yang dibawa oleh Rasul tanpa kita tambah, walaupun mungkin niat Abu Hurairah

baik, yang maksudnya menambah agar tidak sampai persis dan juga untuk hati-hati (lil

ihtiyat) jangan sampai ngepas.

Tetapi Syi’ah tidak bisa menerima hal yang Seperti ini. Syi’ah itu bermaksud

menghendaki ketegasan dan kejelasan dan mengatakan ini tidak betul dan kami tidak mau

tambahan ini. Karena itu mereka mengatakan bahwa Hadits riwayat Abu Hurairah di atas

ini adalah tambahan.

Dan ada lagi di dalam Hadits Bukhari, ketika Abu Hurairah ditanya -- di dalam Bab Nafa

qah -- apakah ini dan sabda Nabi? Dia menja wab tidak, ini dan kantong Abu Hurairah.

Menurut Imamiyah, hal ini fatal. Dalam hal-hal seperti ini Syi’ah tidak bisa menerima.

Bukan hanya orang-orang lmamiyah saja yang tidak percaya dengan Abu Hurairah

bahkan Sayyidina Umar bin Khattab sendiri pernah meragukannya. Ketika Abu Hurairah

dipanggil dari Bahrain oleh Khalifah Umar, ia datang sambil membawa oleh-oleh berupa

barang dan harta benda, kemudian ditanya oleh Sayyidina Umar:

Apa ini semua? Dia menjawab: ini kuda-kuda saya yang beranak dan ini hadiah-hadiah

dari orang-orang itu.” Umar bin Khattab menolaknya: Tidak, semua ini harus kau

kembalikan ke Baitul Mal. Ia menjawab lagi: Wahai! Amirul Mu’minin, ini hadiah! Kata

Amirul Mu’minin:

Kalau kau tidak memegang jabatan itu dan kau tinggal di rumah tanggamu, apa ada

kiranya orang-orang yang memberi kamu hadiah? Kembalikan semuanya ke Baitul Mal!

Abu Hurairah bersikeras: Saya akan mewakafkannya. Umar marah, Kembalikan ke

SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG

14

Baitul Mal sebelum aku pukul engkau. Kamu boleh mewakafkan sesuatu yang datang

dari ayahmu atau dan warisan ayahmu, tetapi ini adalah hak kaum muslimin dan kamu

harus mengembalikannya kepada mereka.17

Hadits-hadits dan riwayat-riwayat semacam ini kita yang meriwayatkan. Kita tidak boleh

menyalahkan Syi’ah, kita tidak boleh gegabah, bukankah hal-hal seperti itu kita sendiri

yang meriwayatkannya? Kalau kita konsekwen menyalahkan Syi’ah, kita harus

menghapus hadits-hadits yang ada dalam Bukhari dll. Yang berkenaan dengan Abu

Hurairah ini.

Kesimpulannya, kita tidak boleh menyalahkan Ahlussunnah -- yang menganggap Abu

Hurairah itu orang yang “Udhul” dan juga tidak boleh menyalahkan Syi’ah -- karena

mereka melihat adanya riwayat yang meragukan.

Saya kira dua Madzhab ini masih ada dalam jalur yang wajar dan sehat, menurut ilmu

pengetahuan dan ijtihadnya masing-masing.

Sebagaimana kita, Syi’ah juga menghendaki segala sesuatu yang datang kepada mereka

dan para sahabat, seharusnya sudah selektif (terpilih), tidak sembarang sahabat.

Mereka tahu bahwa yang datang kepada mereka itu adalah masalah agama atau Ad-Din

yang harus dibawa oleh orang-orang yang sangat jujur, tidak sombong, tidak korupsi dls.

Maka dari itu mereka menganggap bahwa kriteria ini tidak dimiliki oleh Abu Hurairah

17 Disebabkan banyaknya hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, banyak dari kalangan sahabat dan

para ulama menaruh curiga atas kebenaran riwayat-riwayat Abu Hurairah. Diriwayatkan bahwa Umar

berkata kepadanya: Wahai Abu Hurairah kau telah banyak mengobral riwayat dari Nabi, maka pantaslah

jika kau sebagai pembohong. Dirivaysikan Juga bahwa Umar mengancamnya akin mengusirnya dari

Madinah dan akan dipulangkan ke kampung halamannya, jika Ia telap masih banyak mengobral hadits Nabi

Saww din Abu Hurairah sendiri — disebabkan ancaman Umar — mengatakan: Saya tidak bisa mengatakan:

Nabi bersabda ... kecuali satelah Umar mati dalam kesempatan lain ia mengatakan: (Hari-hari ini) aku

membawakan hadits dari Nabi Saww yang sekiranya aku utarakan di zaman Umar pasti saku dipukul

dengan batang pelepah kurma. Syeikh Rasyid Ridha berkata seandainya Abu Hunairah mati sebelum Umar

maka tidak mungkin akan sampai kepada kita (tumpukan) hadits yang banyak dari Abu Hurairah. (Al-

Adhwa oleh Abu Royya hal. 174). Dan di antara mereka yang meragukan kejujuran Abu Hurairah adalah

Utaman bin Affan, Aisyah dan Imam Ali As. Imam Ali As berkata: “Paling pendustanya makhluk hidup —

atas nama Nabi -- adalah Abu Hurairah (Al-Adhwa oleh Abu Royya hal. 176-179).

SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG

15

sehingga kita dengan mereka berbeda dalam masalah Abu Hurairah.

Sedangkan masalah agama tidak ada hubungannya dengan masalah ini sebab haditshadits

tentang agama (hukum) diriwayatkan oleh sahabat-sahabat yang lain. Walaupun

umpamanya Syi‘ah meniadakan riwayat Abu Hurairah secara keseluruhan dan

meniadakan riwayat sahabat-sahabat. yang memerangi Sayyidina Ali yang akan merebut

Khalifah secara kudeta, serta mengeroyok Utsman bin Affan, kita tidak boleh kita

salahkan mereka. Sebab orang yang ingin menyalahkan Syi’ah dalam hal ini maka tidak

ada kesetiaannya terhadap ukhuwah dan kepada Islam.

Mahasiswa: Selain riwayat Abu Hurairah, riwayat-riwayat siapa lagi dan sahabat Nabi

yang tidak dipakai oleh Syi ‘ah?

Ustadz Husein: Imamiyah tidak memakai riwayat yang disampaikan oleh orang-orang

yang hadir bersama Sayyidatuna A’isyah Ra di dalam peperangan Onta untuk memerangi

Ali dan juga yang hadir di dalam peperangan Siffin bersama Muawiyah yang memerangi

Imam Ali di Siffin.

Imamiyah menganggap Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang seperti mereka

ini adalah tidak kuat, sebab orang-orang ini melanggar perintah Rasul Saww:

Barangsiapa yang keluar (membatalkan) bai ‘atnya, maka apabila Ia mati, maka matinya

mati jahiliah.18”

Jadi mereka yang memerangi Ali dianggap Imamiyah sebagai orang-orang yang

kesalahan nya luar biasa (tidak dimaafkan), mereka ini hadits-haditsnya tldak dipakai.

Alhamdulillah, jalur-jalur selain mereka masih cukup sehingga syariat Islam sampai

kepada kita dan sampai pula kepada Imamiyah. Kita bisa melihat apakah mereka

kekurangan?

Kalau kita masih meragukan, bila kita tolak Hadits-hadits yang dibawa oleh Abu

Rurairah kemudian Syariat Islam akan hilang separoh? Kita lihat saja Imamiyah yang

sama sekali tidak memakai Hadits-hadits Abu Hurairah. Walaupun mereka menolak Abu

Hurairah dan sekian banyak sahabat lainnya, toh Fiqih mereka lengkap, Ushul dan

Tauhid mereka komplit. Semua ini diambil oleh mereka dari jalur para Imam mereka dan

pam sahabat yang simpati kepada Ahlul Bait.

18 Bukhari, Kitabul Fitan Rab Satarauna Ba’di Umron Tunkiruna ha dari Ibnu Abbas juz 4 hal. 222.

SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG

16

Insya Allah di kalangan saudara-saudara yang berkecimpung di dalam bidangbidang’ilmu

pengetahuan dengan cara ilmiah tidak akan sulit meneliti Hadits-hadits yang

dibawa oleh Syi ‘ah Imamiyah dan Hadits-hadits yang ada di tangan kita. Insya Allah hal

ini tidak sukar bagi saudara apabila ada waktu untuk mempelajarinya.

Mudah-mudahan apa yang saya teràngkan tentang Abu Hurairah ini, khususnya juga

yang dlriwayatkan di dalam kitab-kitab shahih Bukhari-Muslim sebenamya membuat kita

Ahlussunnah? meragukannya, sebab beliau mengatakan - sebagaimana yang telah saya

katakan tadi -- ketika ditanya “Apakah kamu mendengar ini dari Rasulullah?” Beliau

menjawab: Tidak, -- sambil bergurau -- ini berasal dan kantong Abu Hurairah, anda bisa

melihat ini dalam Shahih Bukhari juz 7 hal. 63 di kitab Nafaqah (Bab Wujubun Nafaqah

ala Ahli wal Iyal). Dengan demikian oran bisa ragu, tetapi karena kita sudah terlanjur

mempunyai kaidah semua sahabat “Udul”, maka kita tidak bergerak dart kaidah itu, dan

hal itu tidak ada masalah, yang penting kita tidak memaksa orang lain untuk percaya pada

sistem atau cara Imamiyah dalam menanggapi sahabat seperti Abu Hurairah dan lain

sebagainya.

Juga kita tidak bo!eh mencaci atau mengkafirkan mereka kalau mereka menganut sistem

atau aliran itu. Yang penting kita harus berdiri di tengah dan memikirkan ukhuwah,

jangan sampai terpecah hanya karena masalah-masalah seperti ini.

Kelima: Hadits Qur ‘an wa Sunnati atau Hadits Qur ‘an wa Ithrati?

Mahasiswa: Kami pernah satu hadits tetapi ada dua pengakuan terhadap hadith tersebut

adalah Hadits Tsaqalain yang menyebutkan tentang Kitabullah wa sunnati mohon

penjelasan?

Ustadz Husein: Sebenarnya hal itu ada dua Hadits yang satu menurut jalur Ahlul Bait

atau Imamiyah yang berbunyi sebagai berikut:

Aku tinggalkan pada kalian dua pusaka yang berharga, Al-Qur’an dan Ithrah Ahli Baitku,

kalau kali an berpegang teguh pada keduanya kalian tidak akan sesat.

Menurut Syi‘ah Imamiyah hadits tersebut hampir dikatakan mutawatir, bukan hanya

shahih saja. Kalau hadits ini kita tinjau dan kitab-kitab standar kita Ahlussunnah (lihat

catatan kaki no. 6) maka kita menganggap hadits ini yang menyebutkan “Ithrati”, kita

Ahlussunnah menganggap nya shahih. Hampir semua kitab hadits meriwayatkan hadits

Ithrah ini kecuali Bukhari. Imam Muslim meriwayatkannya dalam Kitab Fadhoil Ahlul

SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG

17

Bait; Imam Turmudzy, An-Nasa’i dalam kitabnya Al-Khoshois, dan Ahmad dalam

Musnadnya, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, Kanzul Ummal, Ath-Thobakot dll Dan jug

di dalam tafsir lbnu Katsir, Jama ‘ul Ushul dll.

Tadi kita Ahlus Sunnah sendiri menganggap Hadits ini shahih: Sedangkan hadits serupa

tetapi menyatakan kitabullah wa sunnati dan itu pun hanya terdapat pada dua jalur saja.

Kita Ahlul Sunnah membenarkannya dan tidak mau mengambil yang lain yakni

kitabullah wa ithrati pada hal hadits itu lebih kuat dan lebih banyak, 19 tetapi hanya

kitabullah wa sunnati” yang dipakai.

Hadits kitabulah wa sunnati rasulihi maksudnya ialah “Kami meninggalkan dua hal bagi

mu, Kitab Allah dan Sunnahku, Hadits ini menurut kita Ahlussunnah shahih dan bahkan

kita berpegang dengannya.

Namun bagi Imamiyah yang saya anggap mereka itu teliti sekali, mengatakan bahawa

justru hadits -- wa sunnati -- ini tidak tepat dan tidak sesuai dengan keadaan serta

kenyataan di saat itu (Lihat Kitab: Li akuna ma’ashodiqin oleh Muhammad At-Tijani As-

Samawi).

Menurut kenyataan sejarah, Nabi melarang sahabat menulis hadits Beliau. Sayyidina Abu

Bakar, Umar dan Utsman pun melarang menulisnya sehingga sunnah Nabi yang

merupakan ucapan Beliau, pengakuan suatu tindakan yang dilakukan sahabat atau

ikrarnya, kemudian perbuatan Beliau sendiri. Ketiga-tiganya itu tidak pernah terbukukan

19 Jalur (sanad) hadits -- kiiabullah wa ithrati — mencapai 60 jalur lebih dan sudah disepakati

keshahihannya oleh Ulama-ulama Ahii Sunnah wal Jama’ah. lbnu Hajar berkata datam buku Showaiq Al

Muhriqah: Ketahuilah, bahwa hadits tsaqalain memiliki banyak jalur yang datang dan 20 sahabat. Sekali

beliau SAWW mengucapkan di Arafah juga pernah di Ghadir Khum, di kamar Beliau ketika sedang sakit

yang membawanya wafat, ketika pulang dan Thaif semuanya tidak ada pertentangan satu sama

lainnya, pengulangan itu menunjukkan betapa perhatian Beliau kepada Al-Quran dan Al-Ithrah.. Adapun

Hadits — wa sunnati -- hanya diriwayatkan oleh dua atau tiga ulama di antaranya Imam Malik dalam

Muwathanya, Ath-Thabari dalam Musnad Kabirnya

dan Ibnu Hisyam dalam buku Sirahnya. Untuk Iebih jelasnya lihat buku Hadits Tuaqalain yang diterbitkan

oleh kelompok pendekatan antar Madzhab Dar At Taqrib

SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG

18

sebab ada 1arangan.20

Walaupun larangan itu oleh sebagian golongan sebagai sesuatu yang naif sebab dikatakan

khawatir bercampur aduk dengan Al-Qur’an. Hal ini saya kira mustahil sebab Allah telah

berjanji akan memelihara Al-Qur’an itu dan segala gangguan dan juga bahasa Al-Qur’an

itu dan sastranya demikian indah dan jauh berbeda dengan hadits.

Kalau orang Arab apalagi yang hadir di zaman Nabi khususnya yang muslim, tidak

mungkin keliru atau salah membedakan antara hadits Rasulullàh Saww dan Al-Qur’an.

Oleh karena itu konon diriwayatkan bahwa Nabi tidak pernah mengajarkan sunnahnya.21

Ja di bila Nabi bertindak atau bersabda maka sahabat mencatatnya.22 Tetapi. kadangkala

tidak semua sahabat hadir pada waktu itu sehingga kadang-kadang satu sunnah Nabi

hanya disaksikan oleh seorang sahabat saja. Sehingga banyak sahabat misalnya tidak

faham tentang cara tayammum.23 Ada sahabat yang tidak tahu bagaimana cara mengusap

sepatu dalam berwudhu, sebab mereka tidak melihat Rasulullah Saww berbuat demikian.

Jadi praktis yang terbukukan waktu itu yang berwujud kitab hanyalah Al-Qur’an.24

20 Nabi bersabda,” Janganlah kalian menulis apa-apa kuucapkan selain al-Qur’an, maka ia harus

menghapuskannya.”(Sunan Ad-Darimy – Muslim – Ahmad – Turmudzy – dan Nasai – dari sahabat Nabi

Abu Sa’id al-Khudri.

21 Li Akuna Ms’shodiqin oleh: Muh. At-Tijani As-Samawi.

22 Larangan penulisan itu dianggap oleh sementara golongan sebagai suatu hal yang tidak tepat, mereka

meragukan keshahihan hadits

larangan itu, sebab telah diriwayatkan bahwa Nabi jucteru memerintahkan penulisan hadits-haditsnya dan

sahabat-sahabat pun mencatat semua yang beliau ucapkan. Bukhari meriwayatkan

maka datang seseorang diri pendudnk Yaman dan berkata: “Tuliskan buatku ya. Rasulullah Nabi bersabda:

(Wahai sahabatku) tuliskan buat si Fulan ini (Kitab Ilm bab Kitabatul Ilm Juz 1 hal. 23). Diriwayatkan dari

Amr bin Syu’aib dan ayahnya dan kakeknya berkata, saya berkata: “Wahai Nabi apakah semua yang. kau

ucapkan perlu saya tuliskan? Nabi menjawab: “Ya”. Saya berkata, dalam keadaan ridha dan marah? Nabi

menjawab “Ya”, karena sesungguhnya aku tidak mengucapkan kecuali yang benar.” (Sunan Turmudzy Juz

5 hal. 39 kitabul Ilm bab Maja’afi arrukhsoh fihi).

23 Bukhari Kitabul Tayammum Juz I hal. 70, Al-Muhalla,Ibn Hazm Juz I hal 339 cet. Matbaul lmam

(Mesir).

24 Nabi setiap turun atasnya ayat-ayat Al-Quran, memerintahkan pada para penulis wahyu utnutk

SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG

19

Oleh karena itu Nabi bersabda: Aku tinggalkan padamu Kitab Allah dan Ithrahku.”

Kalau sunnah Beliau benar-benar tidak tercatat, tidak mungkin orang berpegangan

dengan sesuatu yang tidak ada (belum terwujud saat itu).

Ketika Nabi sedang sakit keras dan beliau minta kertas dan tinta -- sebagaimana yang

telah diriwayatkan Bukhari25 Untuk menuliskan wa

siat. namun Sayyidina Umar menjawab: “Ya Rasulullah. Cukup bagi kami Al-Qur’an.

Dengan susunan .kalimat Sayyidina Umar ini -- “Yakfina Kitabullah” -- dan sama sekali

tidak menyebut Sunnah, berarti -- kalau kita mau jujur dan berprasangka baik --

Sayyidina Umar tidak akan berpegang dengan Sunnah yang memang waktu itu belum

tercatat dan belum terbukukan.

Jadi Sayyidina Umar bukan menolak Sunnah walaupun ada Syi‘ah yang radikal mengata

kan Umar menolak Sunnah, jadi termasuk ingkar sunnah tetapi sebagian lain mengatakan

tidak demikian, sebab Umar pada waktu itu belum melihat adanya sunnah, sehingga dia

bilang “cukup Al-Qur’an”. kemudian sunnahnya bagaimana?

Sunnahnya tentunya apa-apa yang ada di dada mereka, yang mereka ingat. Dan ini relatif

tidak bisa apalagi yang memimpin tidak All round (menguasai sepenuhnya) dalam

menghafal semua sunnah. Karena itu dengan prasangka yang baik kita harus menganggap

bahwa -- waktu itu sunnah belum terbukukan -- Jika umpama sunnah waktu itu sudah ada

(terbukukan) maka kita bisa menghukum Sayyidina Umar kafir, karena dia menolak

sunnah. Oleh karena sunnah belum ada maka Umar berpegangan dengan apa yang sudah

ada yakni Al-Qur’an.

mencatatnya dan disimpan di rumah beliau setelah diadakan pengoreksian dengan mencocokkan antara

penulisan dengan bacaannya.

25 Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA ia berkata: ‘Ketika Nabi sakit keras beliau berkata “Berilah aku

selembar kertas aku akan tulis wasiat niscaya kamu tidak akan sesat setelahku nanti Umar berkata Nabi

terlalu parah sakitnya sehingga tidak terkontrol ucapannya dan kita sudah punya Kitabullah — Al-Quran

cukup bagi kami Kitabullah, lalu ributlah penghuni kamar beiiau sehingga Beliau mengusir mereka dan

berkata: Pergilah kalian dariku tidak sepantasnya terjadi keributan di hadapanku. ‘ lbnu Abbas berkomentar:

Bencana terbesar adatah terhalangnya Nabi dari penulisan wasiat itu. (Bukhari Kitabul Ilm bab Kitabatul

Ilm Juz 1 hal. 33).

SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG

20

Alasan lain ialah ketika Nabi Saww hidup, Beliau tidak pernah mengajarkan sunnahnya

kepada ummatnya tetapi Beliau hanya mengajarkan Al-Qur’an.26

Jadi yang dikatakan sunnah adalah ucapan Beliau dan lain-lainnya itu belum ada yang

mencatat (membukukan)nya dan belum terdaftar oleh semua sahabat. Kadangkala

sebagaimana yang telah saya katakan tadi sunnah itu hanya didengar oleh seorang

sahabat saja. Jadi Nabi tidak mengajarkan sunnah itu.

Sunnah baru dibukukan dan ingatan para sahabat kira-kira satu abad setelah Nabi Saww

wafat. Tepatnya di zaman Bani Abbas.

Perbedaan pendapat antara sahabat tentang memerangi kaum murtad di zaman khalifah

Abu Bakar adalah salah satu bukti bahwa sebagian sahabat lupa akan sunnah Nabi yang

belum terbukukan saat itu.

Peristiwa peperangan dengan kaum Riddah atau kaum murtad yang terjadi pada bulanbulan

pertama masa pemerintahan Abu Bakar yaitu menghadapi orang-orang yang

menolak mengeluarkan zakat. Abu Bakar memutuskan untuk memerangi mereka dan

Umar sedianya menolak dengan alasan mereka itu tetap mengucapkan syahadat, tetapi

akhirnya Umar setuju. Pada awal nya Umar berdalil untuk menentang tindakan Abu

Bakar, akhimya karena kuat dan kerasnya pendirian Abu Bakar maka Umar tertarik

dengan pendirian Abu Bakar dan diserbulah Ahll Riddah (yang tidak mau membayar

zakat) itu.

Andaikata sunnah Nabi pada waktu itu sudah dibukukan tentu kedua sahabat besar ini

tidak akan lupa akan peristiwa yang disaksikan oleh kedua beliau itu sendiri dan mereka

tahu bahwa kejadian itu sampai turun ayat Al-Qur ‘an: “Yaitu peristiwa Tsa ‘labah.”

Tsa’labah adalah salah seorang sahabat yang tidak mau mengeluarkan zakat di zaman

Nabi dan dihadapi oleh Nabi sendiri sampai ada ayat yang turun karena peristiwa itu,

namun terhadap Tsa’labah ini Nabi tidak membunuhnya. Jadi membunuh orang yang

tidak mengeluarkan zakat tidak cocok dengan sunnah Nabi pada waktu itu. Tidak ada

sa.habat yang tidak tahu tentang masa lah Tsa’labah ini, termasuk sahabat Abu Bakar

dan Umar. Hal mi menunjukkan bahwa sunnah Nabi tidak terbukukan, kalau memang

terbukukan tentunya mereka akan merujuk ke sunnah itu.

Oleh karena itu hadits yang menyebut “ sunnati” ‘itu menurut mereka tidak bisa dipasti

26 Kitab Li Akuna Ma’ashodiqin oleh Mohd. Tijani as-Samawi

SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG

21

kan benar. Selain itu ada beberapa alasan yang terbaca oleh kita dalam hadits-hadits baik

dari amalan-amalan sahabat yang bertentangan dengan sunnah Nabi andaikata mereka

tahu, niscaya tidak akan mereka lakukan dan kita tidak berani mengatakan bahwa mereka

sengaja bertindak dengan ijtihad sedangkan nash ada tetapi mungkin saja mereka ijtihad

kerana sunnah tida ada atau tidak terdaftar, sedang yang bersangkutan tidak ingat sunnah

itu. Jika mereka benar-benar tidak tahu tentang sunnah beliau dalam beberapa masalah

maka bagaimana Nabi memesankan agar berpegangan dengan sunnah yang belum ada itu?

Setelah lama Rasulullah Saww wafat baru sunnah Nabi itu terbukukan. Orang yang

pertama membukukannya adalah Imam Malik dan pembukuan tersebut dilaksanakan

setelah terjadinya peperangan Jamal, perang Siffin dan perang Nahrawan dan juga setelah

peristiwa Al-Harra di mana ketika itu Madinah Rasulullah Saww dibuka bagi kaum

angkara murka. Banyak sahabat yang terbunuh dalam peperangan-peperangan dan

peristi’wa itu. Ummat Islam saat itu terpecah menjadi dua kelompok:

Kubu Ali dan keluarga Nabi Saww dan kubu sahabat-sahabat pada umumnya. Yang lebih

parah lagi adalah perpecahan antara kubu Ali dan Muawiyah. Para perawi yang ada

mendekati Muawiyah, dan oleh Imamiyah hadits-hadits mereka tidak dipakai.

Jadi hadits “ sunnati” menurut Imamiyah tidak ada, yang ada hanya hadits “Wa ithrati hal

ini bisa dipertanggungjawabkan oleh kita Ahlus sunnah maupun oleh mereka kaum

Syi’ah.

Dalam hadits “wa itrah” Nabi Saww seakan akan menyatakan, “Qur’an itu kutinggalkan

atau Kitabullah itu saja yang aku tinggalkan padamu, adapun mengenai pelaksanaannya

yaitu mandatarisnya adalah Ahlul Bait dalam arti keseluruhan.

Oleh karena itu, Ali oleh Imamiyah dianggap sebagai sahabat yang paling alim dan hal

ini sudah diaksiomakan di zaman Abu Bakar, Umar dan Utsman. Ketiga sahabat ini kalau

menghadapi suatu masalah pasti pergi menjumpai Ali dan bertanya kepadanya. Nabi

bersabda:

Aku kotanya ilmu dan Ali adalah pintunya.”27

27 Mustadrok A1-Hakim Juz 3 hal. 126 dan a mengatakan bakwa hadita itu shahih. Tarikh Baghdad oleh

Al-Khathib A1-Baghdadi juz 4 hal. 348 mengatakan bahwa hadits itu shahih. Ushul Ghobah oleh ibnu Al-

Atsir Juz 4 hal. 22, Tadzhibudtahdzib okh lbnu Hajar Juz 7 hal. 427.

SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG

22

Karena itu menurut Syi’ah, lebih aman berpegang teguh kepada Itrah. Ahlus sunnah juga

meriwayatkan “wa itrati” dan Syi’ah Imamiyah juga meriwayatkan hadits wa ithrati, jadi

kita menemukan titik temu dengan Syi‘ah dalam masalah ini walaupun antara kita dan

mereka mempunyai jalur masing-masing. Adapun “wa sunnati” hanya ada pada jalur kita

dan itupun hanya dua atau tiga jalur. Karena itu Syi‘ah menolak nya dengan alasan-alasan

sebagaimana yang telah saya paparkan yakni pada waktu itu sebelum dibukukan atau

belum ada.

Mahasiswa: Sebenarnya jawaban Ustadz tadi cukup jelas dan gamblang. Secara pribadi,

saya bisa menjawab mana yang lebih shahih dan yang lebih bisa diterima antara hadits

Sunhati” dan “Itrati”. Namun saya ingin mendapat penjelasan yang lebih pasti dan

Ustadz. Yakni mana yang lebih shahih, hadits “Sunnati” atau “Ihtrati”?

Ustadz Husein: Saya sendiri menganggap bahwa kedua pendapat Sunnah dan Syi ‘ah itu

sudah cukup jelas. Kalau pendapat Imamiyah “wa sunnati” tidak mungkin diucapkan oleh

Nabi sebab Nabi tidak akan mungkin meninggalkan sesuatu yang tidak berwujud (konkrit)

atau lengkap.

Nabi hanya meninggalkan sesuatu yang konkrit yaitu Al-Qur’an. Jadi para sahabat

walaupun yang buta huruf tidak bisa baca Al-Qur’an, kemudian mereka memerlukan satu

ayat, mereka bisa bertanya kepada orang-orang yang hafal (huffadz), tetapi masalah

sunnah mereka memerlukan keterangan dan waktu itu tidak ada satu pun kitab yang bisa

dijadikan rujukan oleh mereka, sedangkan mereka memerlukan sunnah itu. karena, pada

waktu itu sunnah terpencar-pencar di dada para sahabat dan tidak semua sahabat hadir

ketika Nabi mengucapkan sesuatu, maka sulit kita percaya bahwa Nabi meninggalkan

sesuatu yang belum konkrit, masih abstrak, yang masih diingat oleh satu orang sedang

orang lain tidak ingat. Nabi tidak meninggalkan barang seperti itu tetapi beliau

meninggalkan Al-Qur’an.28

Bahkan kalau saya tidak salah, Bukhari sendiri menyatakan ketika ditanya apakah Nabi

28 Dalam shahlh Bukhari ada sebuah hadits riwayat dari Thalhah bin Masyraf yang mengatakan bahwa

beliau bertanya kepada Abdullah bin Abi Aufa: Apakah Nabi pernah berwasiat? Abdullah bin Abi Aufa

menjawab, “Tidak”. Kemudian Thalhah bertanya:

Bagaimana beliau menyuruh orang lain agar berwasiat aedangkan beliau sendiri tidak melakukannya?

Dijawab oleh Abdullah: Beliau mewasiatkan Kitabullah.’ Bukhari Juz 3 hal. 168.

SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG

23

meninggalkan wasiat atau tidak, Nabi hanya mewasiatkan Kitabullah (tanpa wa sunnati).

Saya kira riwayat Bukhari ini lebih tepat dipegangi oleh Ahlussunnah.

Keenam: Apakah Mungkin di Zaman Setelah Nabi SAWW, ada pemalsu-pemalsu

Hadits?

Malzasiswa: Dengan keterangan Ustadz itu akhirnya kami merasa bingung, karena

Ustadz mengatakan “Kitabullah wa sunnati”; ternyata sunnah-sunnah zaman Nabi tidak

dibukukan. Tetapi mengapa toh sampai juga kepada kita dan dipakai oleh kita

Ahlussunnah Kemudian, apakah mungkin di zaman itu ada pemalsu-pemalsu hadits?

Ustadz Husein: Bila kita telah membaca sejarah dengan teliti tanpa ada rasa fanatisme

dan taqlid, maksudnya kita benar-benar bersikap neutral, maka bisa saja kita menerima

pendapat itu.

Setelah sahabat dengan sahabat berperang. Muawiyah mempunyai klik (kelompok) untuk

memerangi Ali sedangkan Ali dan Ahlul Bait Nabi Saww yang ditinggalkan Nabi sebagai

Sesuatu yang hidup atau sunnah yang hidup dan berjalan bersama A1-Qur’an yang

nantinya ditafsirkan oleh Ali. Ali dan Al-Qur’an sudah merupakan dua peninggalan yang

paling baik. Tetapi setelah hal itu dilanggar, kemudian Ali dirongrong dan dibunuh,

sampai Hasan dan Husein di bunuh, maka di zaman itu banyak orang yang sebenarnya

diragukan imannya kepada Allah dan Rasul-Nya.

Saudara jangan menganggap ini adalah pendapat saya. Seorang sahabat yang

kesaksiannya dianggap dua orang oleh Rasulullah Saww. Yaitu Huzaifah bin Yaman

pernah mengatakan:

Sesungguhnya kemunafikan itu ada pada zaman Nabi, namun di zaman kita sekarang

adalah kekafiran setelah Iman.”

Artinya mereka itu sudah keluar dan garis iman, dan itulah kafir setelah mereka beriman.

Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari pada juz 9 Kitabul Fitan. Jadi kalau ada orang yang

dikualifikasikau oleh Huzaifah sebagai keluar dan iman -- kafir sesudah beriman -- jelas

orang-orang Seperti itu dapat melakukan pemalsuan hadits? Justru mereka mencari dalih

agar dapat menyingkirkan, menyudutkan dan meninggalkan Ali serta tidak membai’atnya

sebagai khalifah pertama, ada alasan.

Tidak bisa meninggaikan hadils “wa itrati’ sebab mereka sendiri meriwayatkannya dan

Syi ‘ah juga meriwayatkannya. Bagaimana alasannya hadits tersebut dibuang dan “wa

SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG

24

itrati” di ganti dengan “Wa sunnati”? Mereka lupa bahwa waktu itu sunnah belum

terbukukan, jadi mereka menambah. “Wa Sunnati” juga tidak diterima. Tampak jelas

bahwa ini merupakan sisipan atau suatu interpolasi, begitu kata penulis-penulis Imamiyah

Itsna Asyariyah.29

Hal ini bisa menjadi bahan pertimbangan bagi saudara-saudara. Nabi itu orang yang

realistis tidak hanya idealis. Beliau tidak akan meninggalkan sesuatu yang belum ada dan

Beliau tahu bahwa sunnah belum terbukukan bahkan ada riwayat yang menyatakan

bahwa Beliau merasa pernah melarang menulis sunnahnya. Lalu bagai mana beliau

meninggalkan sunnah itu kepada kita? Jadi yang ditinggalkan adalah Al-Qur’an dan

manusia Allround (serba bisa) yang akan menjalankan A1-Qur’an, yaitu Imam Ali dan

Itrah, itulah sebabnya ada hadits Ghadir dan lain-lain.

Ahlussunnah menganggap tidak demikian dan memang kita berhak mengatakan demikian.

Oleh karena itu yang menolak hadits “ wa sunnati” yakni Syi’ah, kita tidak boleh kita

mengkafirkan dan yang mau memegangi “Wa sunnati” juga kita tidak menganggapnya

kafir. Hanya sekarang masing-masing kita melihat konsekuensi dan meninggalkan “wa

itrati” dan apa konsekuensi dan berpegang kepada “ sunnati”.

Nyatanya dalam masalah Perang Riddah para sahabat berselisih, sebab tidak ada buku

standar dalam sunnah. Tentu saja dalam A1-Qur’an tidak merinci masalah itu hanya ia

menyebutkan:

maka bunuhlah mereka yang durhaka.” (Q.S.49: 9)

Karena itu kita tidak boleh menyalahkan Abu Bakar yang mengatakan: Orang-orang yang

tidak mengeluarkan zakat adalah kafir dan harus dibunuh. Sedangkan Umar mengatakan

tidak demikian, sebab ada hadits “yang boleh kita bunuh adalah orang yang belum

nzengucapkan syahadat sedangkan Ahli Riddah mengucapkan syahadat dan Malik bin

Nuwairah dan suku bani Tamim seorang yang kuat imannya -- kata Syi’ah -- dia tidak

mengeluarkan zakat kepada Abu Bakar karena dia bukan khalifah yang patut dipilih

tetapi Malik menunggu sampai Ali menjabat kekhalifahan. Kemudian Malik bin

Nuwairah cs. diperangi, menurut sebagian sumber sejarah. Baik itu terjadi atau tidak,

yang jelas sahabat berihtilaf dan berselisih faham tentang hal itu dan masih banyak lagi

para sahabat berselisih faham tentang masalah-masalah atau hukum seperti itu.

Padahal kita ingat Tsa’labah, juga seperti kasus Malik bin Nuwairah cs. yang tidak

29 Kitah Li Akuna Ma’ashodiqin oleh M. Tijani As-Samawi.

SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG

25

mengeluarkan zakat, tetapi Rasulullah Saww tidak membunuhnya dan dibiarkan tetap

hidup.

Ketujuh: Apakah ithrah itu? Apakah yang dimaksudkan ithrah itu sampai

keturunan sekarang atau mungkin ada batasnya?

Mahasiswa: Apakah ithrah itu sebenarnya? Sebab kami dengar keturunan Rasulullah itu

masih ada sampai sekarang ini. Apakah yang dimaksudkan ithrah itu sampai kepada

keturunan Rasulullah yang sekarang ini atau mungkin ada batas-batasnya?

Ustadz Husein: Perlu saya tegaskan bahwa pertanyaan anda tentang Itrah itu memang

penting. Saya juga perlu menegaskan bahwa saya akan menjawabnya berdasarkan

pendapat Madzhab Ahlul Bait. Sebab Ahlus sunnah mempunyai pendapat yang masih

Abstrak, belum konkrit betul.

Madzhab Ahlul Bait mengatakan bahwa Nabi dengan keluarganya mempunyai tiga

(dibagi tiga) istilah:

1. Ahlul Bait yaitu; yang dikatakan Ahlul Kisa, yakni manusia-manusia yang pada

saat -- sebagaimana riwayat Bukhari, dan lain-lain -- di selimuti oleh Nabi Saww

dengan sorban Beliau, lalu mereka satu persatu dipanggil masuk ke dalam sorban

tersebut. Kemudian Rasul Saww berdo’a:

Ya Allah, mereka ini adalah Ahlul Baitku, maka lenyapkan dari mereka ini noda dan

dosa dan bersihkan mereka sebersih-bersihnya.”

Ini dinamakan Ahlul Bait. Ketika Ummu Salamah, isteri Nabi Saww berada di luar

dan bertanya: Ya Rasulullah, bolehkah saya masuk? Nabi menjawab: “Kamu

tennasuk orang yang baik. Jadi ada lima Ahlul Kisa yang dikepalai oleh Rasulullah

Saww, kemudian Ali Fatimah, Hasan dan Husein. Ini keluarga dan Allah SWT

mewajibkan cinta kepada keluarganya menurut semua madzhab. Tak ada satu pun

madzhab yang mengingkari hadits-hadits yang menyuruh ummat Islam mencintai

keluarga Rasul Saww lebih dan mencintai dirinya sendiri hingga -- saya kira --

Khawarij pun tidak mengingkarii hadits hadits ini.

2. Dzurriyah adalah nama (istilah) dari keturunan kelima manusia suci tersebut, saya

juga Sependapat dengan orang-orang yang mempunyai silsilah keturunan mereka

hingga orang-orang ini bisa dianggap dzurriyah dan Ahlul Bait. Dzurriyah yakni

yang sampai sekarang mempunyai silsilah nenek moyang sampai kepada Ali dan

SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG

26

Fatimah, ini dikenali dengan Dzurriyah Ahlul Bait.

3. Itrah ialah para Imam yang berjumlah 12 orang, ini disebut Nabi Saww, yang

dimulai dan Ali, Hasan, Husein dan seterusnya hingga Imam yang kedua belas,

yang sekarang belum muncul dan ghaibnya yaitu Imam Mahdi. Begitulah ke

percayaan Syi ‘ah Imamiyah. Oleh karena itu mereka disebut Imamiyah karena

mereka berpegangan dengan Itrah. Mereka mengakui juga bait wa Itrah ini

mempunyai dzurriyah atau keturunan juga.

Kedelapan: Di mana turunnya ayat yang berkenaan dengan peristiwa Ghadir

Khum dan berkaitan dengan peristiwa apa?

Mahasiswa: Selanjutnya kami ingin menanyakan tentang ayat yang turun sehubungan

dengan peristiwa Ghadir Khum. Pertanyaan kami di mana turunnya ayat itu? (Yang

berkenaan) dengan peristiwa Ghadir Khum dan berkaitan dengan apa?

Ustadz Husein: Masalah ini antara Sunnah dan Syi’ah mempunyai riwayat dan pendapat

masing-masing. Kalau kita Ahlus Sunnah mengatakan bahwa ayat “Al-Yauma Akmaltu

diturunkan kepada Nabi Saww ketika beliau sedang berdiri di Arafah pada waktu Haji.

Riwayat ini dan Sayyidina Umar yang tercantum dalam shahih Bukhari juz 5 bahkan

disebutkan di kitab itu bahwa ada seorang Yahudi berkata: “Hai kaum muslimin,

andaikan ayat ini turun kepada bangsa kami, maka hari itu akan kami jadikan hari raya

sepanjang sejarah.” Umar bertanya: “Ayat yang mana? Jawab Yahudi: “Aya Al-Yawna

Akmaltu...” Aku tahu, kata Umar, turunnya ayat itu. Ayat itu diiturunkan atas Rasul-Nya

yang sedang wukuf di bukit Arafah.30 Ayat tersebut berbunyi:

Pada hari itu Aku sempurnakan bagimu agamamu dan aku cukupi buat kamu

ni‘mat-Ku dan Aku relakan kepadamu islam sebagai agamamu. (Q.S.S: 3).

Riwayat lainnya dari Ahlussunah juga dinwayatkan oleh Isa Ibnu Hanitsah Al-Anshari:

Ketika kami -- para sahabat sedang duduk-duduk, tiba-tiba datang seorang Nasrani

sambil berkata: “Wahai kaum Muslimin, ada satu ayat yang telah turun kepada kalian.

30 Tafsir Ad-Durul Mantsur oleh Imam Suyuthi Juz 3 hal. 17 dan ia mengatakan: “Riwsyat ini diriwayatkan

banyak Ulama antara lain Bukhari, Muslim, Turmudzy, Nasal, Thabary, Baihaqi, ibnul Mundzir, Ibnu

Hibban dan Imam Ahmad.

SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG

27

Seandainya ayat tersebut diturunkan kepada kami, maka hari itu dan saat itu akan kami

jadikan sebagai hari raya bagaimana pun juga keadaannya asalkan selama masih ada dua

orang Nasrani di atas bumi ini. Perawi hadits ini berkata: Tak seorang pun di antara kami

yang menjawab perkataan Nasrani itu. Kemudian aku bertemu dengan Muhammad bin

Ka‘ab al-Kurodi dan kutanyakan kepadanya masalah tadi, dan dia pun menjawab:

Mengapa kalian tidak menanyakan kepada Umar? Setelah ditanyakan kepada Umar, ia

menjawab: Ayat itu diturunkan kepada Nabi Saww, di saat Beliau berdiri di atas bukit

Arafah. Dan hari itu memang kita jadikan hari raya dan dijadikan hari raya oleh kaum

muslimin. Kalau tidak salah Imam Suyuthi juga mengutip hadits ini dalam kitabnya Ad-

Durul Mantsur dalam ayat “Al-Yauma Akmaltu”.31

Riwayat yang lain adalah riwayat Ahlul Bait. Riwayat ini menyatakan bahwa ayat ini

bukan turun di Arafah tetapi turun di Ghadir Khum. Jadi Syi 'ah mengatakan bahwa ayat

ini untuk menentukan wasiat kepada Ali bin Abi Thalib. Jadi rinciannya, sebelum ayat ini

turun Nabi menerima wahyu berupa ayat “Tabligh”

Wahai Rasul, sampaikanlah semua yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu Jika

kamu tidak melakukannya, bererti engkau tidak menyampaikan semua risalahmu, Dan

Allah akan menyelamatkanmu dari (kejahatan) manusia.” (Q.S. 5: 67)

Kemudian Beliau mengangkat Ali dan menunjuk Ali sebagai Walinya bahkan Nabi

bersabda:

Siapa yang menganggap aku sebagai pemimpinnya maka Ali adalah pemimpinnya pula.”

Setelah pengangkatan Ali tersebut turun ayat “Al Yawma...” Jadi turunnya bukan di

Arafah dan dan sini banyak juga orang yang meragukan riwayat Sayyidina Umar yang

meriwayatkan ayat mi turun di Arafah.32 Sebab kalau turunnya pada hari Arafah dan

dikatakan sebagai hari raya, maka hal itu tidak benar. Arafah itu adalah hari kesembilan

31 Bukhari, Kitabut Tafsir Juz 4 hal. 123, Durul Mantaur Juz 3 hal. 18, diriwayatkan oleh Ibnu Jarir At-Thabari dalam tafsirnya

32 Sebab riwayat Umar Ra ini selain kandungannya kurang sesuai dengan kenyataan dan bertentangan

dengan riwayat-nwayat lain yang lebih kuat kcdudukannya, juga sanadnya (pembawa riwayatnya) ternyata

belum memenuhi standar sebuah riwayat yang boleh dikatakan sahih.

SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG

28

bulan haji dan bukan hari raya, hari raya itu adalah hari kesepuluh haji. Karena kesalahan

ini maka kemungkinan hadits ini juga di anggap oleh Imamiyah sebagai hadits yang perlu

dikoreksi lagi. .Mustahil Sayyidina Umar tidak tahu bahwa hari Arafah’ itu merupakan

hari wukuf. Dan populer di kalangan kita kaum muslimin bahwa han kesembilan bulan

haji bukanlah hari raya.

Sayyidina Umar berkata: “Memang benar bahwa ayat tersebut saya tahu bahwa Ia turun

di Arafah dan kita kaum muslimin menjadikannya sebagai hari raya. “Hal ini tidak benar

dan tidak cocok dengan kenyataan, maka hadits mi masih perlu dikoreksi kebenarannya.

Imamiyah tidak menerima hadits ini karena mereka bias memastikan bahwa ayat itu turun

di Ghadir Khum.

Ada juga riwayat-riwayat Ahlus sunnah yang paralel dengan riwayat mereka (Syi‘ah)

dalam masalah pengangkatan Ali tersebut. 33 Cuma kita menganggap hal itu bukan

pengukuhan Ali dan penunjukan Ali sebagai pemimpin, tetapi penafsirannya yang

dirubah: “Man kuntu maulahu…” -- yakni “siapa yang mencintai aku atau aku mencintai

dia maka dia harus juga mencintai Ali.” Kata Syi’ah: “Kalau hanya itu maksud Nabi,

maka tidak mungkin Beliau mengumpulkan sampai sebanyak 120,000 sahabat, itu terlalu

memboroskan tenaga jika hanya untuk mencintai Ali saja. 34 Masalah ini termasuk

masalah yang masih dikoreksi Syi’ah.

Syi ‘ah mempunyai pendirian bahwa ayat tersebut turun di Ghadir Khum (di satu tempat

di antara Makkah dan Madinah).

33 Hal ini dimuat dalam 30 Buku Standar Ablus Sunnah di antaranya adalah Syawahidit Tanzil Li Qowaidit

Tafsil wal Tanzil oleh Al Hafiz Al-Hakim, Tafsir Faidhul Ghadir oleh Al-Qadhi As-Saukani Juz 3 hal. 56,

Tafsir Al-Manar oleh Syeikh Raayid Ridha Juz 6 hal. 463, Asbabun Nuzul oleh Al-Wahidi (w:465) hal.

150, Tafsir An-Nisaburi oleh Nidhomuddin Al-Qumi An-Nisaburi juz 6 hal. 170. jadi riwayat turunnya ayat

A1-Yauma... • bukan hanya shahih menurut pandangan para Ulami Ahlus Sunnah bahkan mencapai derajat

yang mendekati mutawatir. Untuk lebih jelsenya baca Dialog Sunnah-Syi’ah, dialog ke-55 dan 56 oleh

Syarafuddin Al-Musawi.

34 Lihat Dialog Sunnah — Syi’ah, dialog ke 57, 59 dan 62.

SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG

29

Mahasiswa: Ayat yang Ustadz bacakan tadi yakni: “Ya Ayyuhal Rasul” apakah benar

ayat itu turun berkenaan Ali bin Abi Thalib?

Ustadz Hussein: Menurut Imamiyah ayat itu jelas turun untuk mendesak Nabi agar

menyampaikan wahyu Allah untuk mengangkat Ali sebagai pemimpin.35 Bahkan ada

tuduhan dari pihak kita bahwa dalam Qur’an Syi’ah ada tambahan sehubungan dengan

ayat itu “Ma unzila ilaika minrrobbikafi Ali”.

Sebenarnya tuduhan itu tidak tepat. Kalau kita mau membaca kitab-kitab tafsir, maka

kata kata “fi Ali” itu ada di antara tanda kurung. Jadi kata-kata itu tidak termasuk ayat

A1-Qur’an tetapi hanya tafsirannya saja.

Kadang-kadang mushaf para sahabat Nabi disertai juga dengan asbabun nuzulnya tetapi

mereka tahu perbedaannya dengan ayat aslinya dan kata “fi Ali” itu lebih mirip dikatakan

aibabun nuzulnya, bukan kata tambahan buat ayat itu dan ini bisa dipahami. Jadi mereka

bukan menambah dalam ayat A1-Qur’an tetapi hanya keterangan seperti dalam kurung

walaupun mereka tidak memasang tanda kurung di antara kata-kata itu sebagaimana

dahulu Al-Qur’an tidak diberi tanda-tanda seperti titik dan harakat tetapi orang

memahaminya.

Kesembilan: Apakah benar,bahwa Syi ‘ah menambah dan mengurangi ayat-ayat

Al-Qur’an dan melakukan perubahan-perubahan?

Mahasiswa: Setelah Ustadz menyebut tentang penambahan ayat Al-Qur’an, maka

mengingatkan kami pada satu masalah yang akan kami tanyakan yakni permasalahan

perubahan ayat-ayat A1-Qur’an yang dituduhkan kepada Syi’ah.

Apakah benar tuduhan bahwa Syi’ah menambah dan mengurangi ayat-ayat A1-Qur’an

dan melakukan perubahan-perubahan? Saya mendengar bahwa salah satu pemimpin

Syi’ah yakni Ja’far Shadiq mengatakan bahwa Al-Qur’an itu berjumlah hampir 20,000

ayat. Dalam hal ini apakah Ustadz dapat menjelaskan kepada kami?

35 Lihat Dialog Sunnah -- Syi’ah, dialog ke 57, 59 dan 62.

SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG

30

Ustadz Husein: Dalam hal mi kita harus benar-benar memperhatikan apa yang pernah

diucapkan oleh Syi’ah sendiri. Jadi kita tidak boleh memutuskan berdasarkan teks-books

kita atau ,riwayat-riwayat yang kita terima dan berbagai golongan dan perawi, kemudian

kita vonis bahwa mereka itu mempunyai Al-Qur’an sendiri. Kita harus mengerti juga

bahwa yang dikatakan mempunyai Al-Qur’an’ sendiri itu bukan Ali saja tetapi ada

mushaf Abu Bakar, mushaf A’isyah, mushaf Utsman, mushaf Umar yang dititipkan

kepada Hafsah dan ada beberapa mushaf-mushaf lainnya.

Menurut kita Ahlus Sunnah mushaf-mushaf tersebut jelas tidak mengandung kelebihan

atau kekurangan. Kalau kita mau teliti lagi, menurut Syi‘ah justru yang melakukan tahrif

itu adalah Ahlus sunnah sendiri. Jadi kalau kita melempar kan tuduhan tahrif kepada

mereka maka mereka akan menyatakan bahwa sebenarnya yang melakukan tahrif itu

adalah kita Ahlus sunnah.

Syi ‘ah mengatakan, kita melakukan tahrif misalnya, kita memiliki dua surat di dalam

Al- Qur’an menurut sumber-sumber kita sendiri.36

Dua surat ini kata Syeikh Raghib Asfahani dalam risalahnya adalah dua surat qunut. Dua

surat ini dipakai oleh Sayyidina Umar dalam qunut. Dua surat ini ada dalam mushaf lbnu

Abbas dan mushaf Zaid bin Tsabit.

Bila di dalam mushaf-mushaf mereka ini ada dua surat qunut maka mushaf-mushaf ini

termasuk ada tambahannya.

Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dari Ubay bin Ka ‘ab: “Beberapa kamu

membaca surat Al-Ahzab? Surat Ahzab in biasanya berjumlah 70 ayat lebih sedikit

namun kami pernah membacanya bersama Rasulullah seperti surat Al-Baqarah atau lebih

dari itu.37 Dalam surat Al Baqarah ada “ayat Rajm ternyata sekarang tidak ada.38

Apakah surat Al-Ahzab yang berjumlah 72 ayat menurut Ahlus Sunnah itu kurang?

Mestinya 200 ayat lebih? Riwayat-riwayat ini tercatat dalam kitab-kitab kita Ahlus

36 Al-ltqon oleh Suyuthi juz I hal. 67 dan Juz 2 hal 26. Ad-Durul Manthur

37 Talkhisul Mustadrak Juz 4 hal. 359 oleh Adz-Dzahabl, Al-liqan Juz 2 hal. 25, Urwah bin Zubair

meriwayatkan dari A’isyah ia berkata: “Dulu surat Al-Ahzab di zaman Nabi Saww sebanyak 200 ayat akan

tetapi setelah Utaman memerintahkan untuk menulis Al- Qur’an, kita tidak bisa mendapatkannya kecuali

yang sekarang.ini 72 ayat saja.

38 Bukhari, Kitabul Hudud bab rajmul hubla.

SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG

31

Sunnah.

Ketika Sayyidina Umar berkhotbah: “Wahai manusia, jangan kamu tinggalkan orangorang

tua kamu, kalau kamu tinggalkan mereka maka kamu jadi orang kafir.” Umar

menganggap ini ayat dan dibacanya di atas mimbar.39 Ada juga ayat “Wadzakari wa

untsa” tanpa kata wama kholaqo.40 Semua riwayat in! dan kita Ahlus Sunnah sendiri.41

Mengapa hal ini tidak kita anggap tahrif juga? Kalau yang begini tidak dianggap tahrif

maka hal ini merupakan sesuatu yang sulit, sedangkan kita sendiri belum bisa

membuktikan apa yang mereka tulis.

Kalau kita mengatakan mereka, kalau kita katakan apa yang kita maksud dengan tahrif,

tadi saya contohkan mereka menulis “ma unzila ilai ka fi Ali” ini bukan tahrif, tetapi

hanya menambah penjelasan dan asbabun nuzulnya, tetapi dalam A1-Qur’an mereka,

sampai sekarang ini tidak pernah ada yang menyebut adanya tambahan atau pengurangan.

Di dalam Aqo’id Imamiyah yang ditulis oleh Syeikh Al-Mudhafar, dia mengatakan:

Kami percaya bahwa Qur’an itu wahyu Ilahi yang di turunkan Allah kepada Nabi

Muhammad Saww dan di dalamnya mengandung keterangan tentang segala sesuatu. Dia

adalah salah satu mukjizat Nabi Saww yang paling besar dan abadi yang semua manusia

tidak akan bisa menandinginya baik dalam bahasa maupun sastranya. Tidak pula bisa

menandinginya tentang apa yang dikandungnya dari kebenaran-kebenaran dan

kenyataan-kenyataan serta pengetahuan-pengetahuannya yang hebat yang tiada mampu

disentuh oleh kebatilan atau perubahan atau tahrif Dialah Qur’an yang ada di tangan kita,

yaitu Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saww. Siapa pun yang mengakui

selain ini maka ia adalah melanggar Sunnah Nabi atau masih kabur dalam masalah ini.

Kami kemudian mendengar bahwa musuh-musuh Syi’ah selalu menuduhnya melakukan

tahrif berdasarkan kitab-kitab Muhammad Taqi An-Nuri At-Thabrasi (wafat 1320 H) dan

dia orang Syi’ah.

Mereka mengatakan bahwa orang tersebut mengatakan adanya tahrif dalam Al-Qur’an.

Seorang penulis Syi’ah yang mengatakan adanya tahrif di dalam fahamnya kemudian kita

39 Bukhari, Kitabul Hudud bab rajmul hubla.

40 Bukhari juz 6 hal. 211.

41 Selain riwayat-riwayat tersebut d atas ada lagi riwayat dan Nafi’, Is berkata, bahwa lbnu Umar berkata:

Janganlah seorang dari kalian berkata, saya telah menghafal Al-Qur’an semua, tahukah ia apa semua itu?

Sudah banyak sekali ayat Al-Qur’an yang telah hilang dan sirna, akan tetapi hendaklah is mengatakan, saya

menghafal apa yang ada. (Al-Itqan Juz 2 hal. 25).

SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG

32

menyatakan bahwa semua orang Syi’ah juga melakukannya, hal itu merupakan

kesimpulan yang gegebah.42

Di dalam beberapa kitab Ahlus Sunnah menyatakan adanya tahrif tetapi Syi’ah tidak

menuduh Sunni mentahrif Qur’an. Kita sebenarnya tidak adil atau tidak jujur, sebab

sebaiknya kita melihat kepada diri kita sendiri sebelum mengkritik orang lain dan lebih

baik membentangkan ayat-ayat lain yang menentang adanya tahrif. Kalau kita melihat

diri kita sendiri, maka akan kita jumpai tahrif itu di dalam Ahlus Sunnah ini, misalnya

ketika Sayyidina Abu Bakar menjelang wafat dia membaca sebuah ayat Al-Qur’an tetapi

Ia tidak membacanya “waja-at sakaratul mauti bil haq melainkan membaca “ sakaratul

haqqi bil maut”.

Apakah dengan demikian A1-Qur’an telah di rubah selain itu, ada juga ayat “wadz

dzakara wal untza” tanpa “wama khalaqa...” Bukankah ini sesuatu kekurangan?

Walhasil nampaknya kita Ahlussunnah ini hanya ingin mengkafirkan Syi‘ah saja, kita

harus jujur. Cara kita menganalisa dan sikap kita terhadap Syi‘ah tidak “saintifik” ( saya

sendiri menyesali hal ini, setiap saat saya berusaha untuk neutral -- apalagi saudara-

42 Memang benar di kalangan Syi’ah ada yang mengatakan adanya tahrif dalam Al-Quran akan tetapi

pendapat itu dibantah oleh mayoritas Ulama Imamiyah yang terdahulu maupun yang hidup di abad ini

antara lain:

I. Syekhut Thoifah (pimpinan tertinggi Syiah) At-Thusi penulis tafsir At-Thibyan 50 jilid.

2. Syeikh Shaduq Ibnu Babawaih Al-Qumi.

3. Syeikh At-Thabrasi penulis Tafsir Majma’ul Bayan.

4. As-Syarif Al-Murtadho Alamul Huda.

5. Syeikh Jawad Balaghi penulis tafsir alaur-Rahman.

6. As-Sayyid Abul Qosim Al-Khu’i (Pimpinan tertinggi Syi’ah di Iraq pada zaman mi) penulis tafsir Al-

Bayan.

1. Syeikh Fadhil Al-Lankaroni murid Imam Khomaini penulis A1-Madkho fi ulumil Quran.

S. Imam Khomaini berkata: Seaungguhnya orang yang merenungkan betapa perhatian kaum muslimin

dalam hal pengumpulan A1-Qur’an dan penghafalannya akan tahu kesalahan anggapan tentang adanya

tahrif sebab pendapat ini tidak pantas diyakini kebenarannya oleh orang-orang yang sedikit memiliki akal

yang waras, adapun riwayat-riwayat yang ada tentang hal itu adakalanya dho’if atau maudhu’ (palsu) yang

nampak jelas sekali tanda-tanda kepalsuannya. Tetapi adakalanya Shahih akan tetapi hanya merupakan

tafsiran (buka penambahan). Dan kami sudah jelaskan bahwa Al-Qur’an adalah yang ada di mushaf-mushaf

ini adapun perselisihan antara Quro’ (ahli qira’at) tidak ada sangkut pautnya dengan yang dibawa oleh

Jibril As kepada Rasulullah Saww.” (Lihat Tadzibul Ushul Juz 2 hal. 96 — Kuliah Ushul Fiqih Imam

Khomaini - yang kemudian dibukukan oleh Ayatullah Ja’far Subhani dalam bukunya Ma’alimun Nubuwah

Juz 5 hal. 396 dan Kasyful Asrar (Kitab Imam Khomajni dalam bahasa Parsi).

SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG

33

saudara kalangan mahasiswa ini -- Saya sama sekali tidak menganjurkan agar saudara

masuk Syi ‘ah bahkan simpati pun tidak. Saran saya hanya jangan mencerca dengan dasar

sesuatu yang belum anda kuasai seluruhnya karena sikap itu tidak terpuji dan tidak

menguntungkan kita, bahkan menguntungkan kaum Nasrani.

Dan mereka yang sekarang ngotot mengkafirkan Syiah di segala tempat. Bahkan mereka

mempropagandakan untuk mengkafirkannya di alun-alun, untuk itu mereka menyebarkan

selebaran-selebaran seperti mereka menyebarkan iklan-ikian bioskop.

Mereka nampak benar sebagai orang-orang yang nafas wahabismenya besar. Sedang ciri

dan nafas wahabisme itu adalah mengkafirkan semua madzhab atau sekte dan semua

aqidah Islam di dunia ini termasuk kita dikafirkan dan dicap sebagai musyrikin. Misalnya

bila kita melakukan tawasul, mengangkat tangan, apalagi di kuburan Nabi Saww maka

tidak ada ampun bagi kita, langsung saja clicap “syirik”. Rupanya ada tangan-tangan

kotor Wahabi yang bergerak di Indonesia ini dengan begitu gigih untuk menjadikan

Indonesia mi agar tidak mau mendengar Syi ‘ah sama sekali.

Menurut saya hal itu terlalu jauh untuk di jangkau, sesuatu yang tidak mungkin terjadi,

sebab Syi ‘ah ini telah ada sebelum madzhab Ahli sunnah. Syi’ah Ali. Apalagi ajaranajaran

Syi’ah telah lama dibukukan dan bisa dibaca oleh semua orang yang bisa bahasa

Arab, Persi, Inggris atau lainnya. Orang bisa membaca bahwa di situ tidak ada sedikit

pun kandungan syirik yang dituduhkan Wahabi itu.

Kalau mereka menghormati Ali karena Nabi menyuruh mencintainya, itu adalah hak

mereka. Kalau mereka membenci orang-orang yang memerangi Ali itu pun hak mereka,

sebab memerangi Ali sama dengan memerangi Nabi sebagaimana sabdanya:

Aku memerangi orang yang memerangi engkau (Ali dan damai bersama orang yang

damai denganmu.”43

43 Dalam riwayat lain Nabi bersabda kepada Ali, Hasan, Hussein dan Fatimah As: Aku perang melawan

orang yang memerangi kalian, dan damai dengan orang yang damai dengan kalian. Hadith ini diriweyatkan

oleh:

1. Turmudzy Juz 2 hal 319 dari sahabat Zaid bin Arqam.

2. Ahmad bin Hambal dl Musnadnya luz 2 hal. 442 dari sahabat Abu Hurairah.

3. Al-Hakim dalam Mustadraknya. Juz 3 hal 149.

4. Muttaqi Al-Hindi Al-Kanzul Ummal iuz 6 hal. 216. Dinukil dari riwayat lbnu Hibban dan di Juz 7 hal.

102 menukll d riwayat dan lbnu Abi Syaibah, Turmudzy, lbnu Majah Ibni Hibban, Thabrani, Al-Haklm dan

Ad-Dhiya’ A1-Magdisi.

5. lbnu Atsir dalam Usdul Ohobah Juz 3 hal. II dan sahabat Umi Salama.

SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG

34

Namun apa yang terjadi? Ketika Ali diangkat menjadi khalifah, beliau dikeroyok. Mereka

yang memerangi Ali menurut Syi’ah adalah orang-orang yang tidak bisa dipakai lagi

riwayat-riwayat mereka dan agama mereka.44

Kita tidak bisa menyalahkan pendirian ini kalau kita masih tetap memakai mereka itu hak

kita tidak ada masalah.

Kalau kita menyatakan bahwa Syi ‘ah itu kafir, hanya kita disuruh oleh segolongan

tertentu dan luar negeri khususnya Wahabi itu, itu tidak benar karena Syi ‘a sudah jelas

kedudukannya dan tidak bisa dikafirkan. Dan ketika kita mengkafirkan Syi‘ah sebenamya

kita sudah termasuk perangkap intrik politik Timur Tengah dan kita harus waspada dan

menolak maksud mereka agar kita mendiskreditkan Iran, karena Iran nampaknya tidak

bisa dirobohkan dengan dentuman senjata yang modalnya dan orang-orang Arab seluruh

Timur Tengah.

Karena gagal cara ini mereka menyerang madzhabnya atau personnya Khomaini dicerca

dan difitnah habis-habisan tetapi nyatanya mereka tidak berhasil. Slogan-slogan Arab

melawan Persi dan Nasionalisme Arab juga tidak merobah keadaan. Dengan demikian

Yahudi dapat kesempatan memasukkan ide-ide kotor kepada orang orang yang dangkal

ilmunya dan sempit akhlak nya, juga menteror madzhab-madzhab dan yang kena adalah

kita sendiri.

Saya mengakui bahwa kita telah masuk perangkap ini. Walhasil, kita harus sebisa

mungkin mengkaji Islam ini dan segala madzhab agar pandangan kita lebih luas dan tepat.

Saya mengumpamakan madzhab-madzhab yang banyak, yang ada ini seperti sebidang

kebun yang di dalamnya terdapat berbagai macam buah-buahan yang lezat dan segar,

seperti durian, mangga, duku, manggis, apel dan lain sebagainya.

Bila ada orang masuk kebun itu dan dia memetik serta memakan manggis, jangan

dilarang berilah kebebasan sekehendak seleranya yang penting kebun ini sudah jelas

milik kita ummat Islam.

Kalau misalnya ada masalah-masalah berat dalam satu madzhab maka saudara boleh

memilih madzhab lain yang membahas masalah itu. Misalnya saudara sering tersentuh

6. Al-Muhib At-Thabari dalam Ar-Riyadhun Nadhiroh Juz

hal. 199 dan sahabat Abu Bakar.

7. Al-Suyuthi dalam tafsir ayat 33 dalam surat Al-Ahzab.

44 Al-Iqthisod ila dinir rosyad oleh Syeikh Thusi.

SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG

35

perempuan yang bukan mahrom maka kalau saudara keberatan jangan mengikuti

madzhab yang membatalkan wudhu saudara bila saudara bersentuhan dengan perempuan,

saudara boleh mencari pandangan madzhab lain dalam masalah itu. Agama itu mudah

dan ihtilaf di sini merupakan rahmat asal saja jangan memvonis madzhab lain dengan

dasar teks-books madzhab saudara.

Contoh lain adalah Abu Hanifah melarang orang membaca satu huruf pun di belakang

Imam ketika ia shalat, kemudian saudara katakan Abu Hanifah itu bodoh, tidak mengerti

hadits yang berbunyi:

Tidak dianggap shalat bila seseorang yang shalat tidak membaca Ummul Kitab (Al-

Fatihah.”.”45

Ahmad bin Hanbal juga berpendapat bahwa menyentuh perempuan yang bukan mahrom

tidak membatalkan wudhu, kemudian saudara katakan bahwa dia tidak mendengar haditshadits

yang menyatakan masalah itu. Jadi kalau kita memakai madzhab kita untuk

menghakimi madzhab lain, tentu saja kita mengatakan madzhab lain itu salah, nyatanya

ada masing-masing madzhab mempunyai pendapat yang berbeda-beda, bila ada 8

madzhab berarti ada 8 pendapat, dan kalau ada delapan pendapat pasti masing-masing

pendapat itu saling berbeda, tetapi jangan saling mengkafirkan.46

Mahasiswa: Ustadz, pertanyaan tadi tentang pernyataan Ja’far Shadiq belum terjawab.

Ustadz Husein: Masalah Imam Ja’far Shadiq pernah saya baca dalam Kitab Al-Kafi di

sana beliau menyatakan bahwa Al-Qur’an terdiri dan 17,000 ayat. Hal ini dimaksud

dalam tafsiran Syi’ah (dalam catatan kaki dan kitab itu dijelaskan bahwa setiap waqafwaqaf

(tempat berhenti itu dianggap satu ayat) misalnya kita dapat melihat dalam ayat

kursi (A1-Baqarah ayat 255) kita menganggapnya satu ayat dan Syi’ah menganggapnya 8

ayat.

Tetapi jangan lupa bahwa Sayyidina Umar pernah berkata bahwa Qur’an mi berjumlah

seribu-ribu huruf47 yakni maksudnya satu juta Sedangkan huruf yang ada sekarang hanya

sepertiganya. Dan mana yang dua pertiga lainnya? Dengan demikian Syi‘ah bisa

menuduh kita tahrif. Saudara bisa baca dalam kitab “Al-Itqan

ulumul qur’an”. Sebaiknya kita tidak menyatakan bahwa kita melakukan tahrif demikian

45 Bukhari Kitabu Shalah Bab Wujubul Qira’ah. ..Juz 1 hal. I38

46 Kecuali dalam masalah-maaalah yang telah disepakati oleh semua madzhab atau mutafaqun alaihi.

47 At-Thabari meriwayatkan dari Umar bin Khattab dan Nabi Saww A1-Qur’an terdiri dan 1,027.000 huruf,

barangsiapa membacanya dengan sabar den ikhlas akan mendapatkan pahala setiap hurufnya satu bidadari

(Al-Itqan juz I hal. 72).

SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG

36

pula kita tidak menuduh madzhab lain melakukannya, masing-masing punya bukti dan

argumen.

Mahasiswa: Mengapa Syi’ah Imamiyah shalat tiga waktu? shalat tiga waktu? Dulu kami

pernah tahu di Indonesia ada agama tiga waktu, apakah mungkin keduanya ada kesamaan?

Ustadz Husein: Saya kira tidak ada persamaan antara Syi ‘ah dan agama tiga waktu itu,

sebab kita (Ahlus Sunnah) sendiri membolehkan cara demikian itu. Pertama Ahlus

sunnah sepakat tentang bolehnya jamak di Arafah. Antara Dhuhur-Asar dan kita namakan

jamak takdim.

Kedua kita menjamak shalat Maghrib-lsya’ di Mudzdalifah yang dinamakan jamak takhir.

Pendapat ini telah disepakati oleh kaum muslimin, termasuk Syi ‘ah. Ahlus sunnah

membolehkan jamak takdim dan takhir dua fardhu kalau kita dalam perjalanan atau safar.

jadi shalat jamak Dhuhur Ashar di waktu Dhuhur atau di saat Ashar. Maghrib-Isya’ di

waktu Maghrib atau telah masuk waktu Isya’. Shalat-shalat ini boleh dijamak kalau kita

dalam perjalanan,’ tetapi Syi’ah tidak demikian.

Syi’ah mengatakan walaupun seseorang tidak dalam perjalanan Ia boleh menjamak shalat

shalatnya. Selain ‘itu ada satu madzhab yang berbeda dengan yang lain dalam

Ahlussunnah tentang masalah ini. Yakni Madzhab Ima,n Syafi’i yang menyatakan,

Orang boleh menjamak shalat shalat Dhuhur-Ashar, Maghrib-fsya’ walaupun dia tidak

dalam perjalanan. Tidak ada halangan hujan dan tanpa alasan apa pun. Cuma beliau

nenyatakan bahwa hal itu tidak boleh dijadikan kebiasaan.”48

Kalau menurut Imamiyah, kita boleh menjadikannya kebiasaan sepanjang tahun. Dalam

masalah ini mereka tentunya berdasarkan hadits-hadits yang shahih. Yakni Hadits yang

menyatakan bahwa Rasulullah Saww pernah menjamak antara Dhuhur dan Ashar

sebagaimana diriwayatkan Muslim.49 Maksud Nabi hanya untuk meringankan ummatnya,

48 M.Hafidh Ibnu Hajar berkat. dalam buku ‘Fathul Bari: Sekelompok Ulama (para Imam) mengambil

Hadith itu (hadits dibolehkannya jama’ tanpa ada alaasan atau udzur) sebagai bukti dan mereka

membolehkan menjama’ shalat dalam keadaan bermukim secais mutlak jika diperlukan, asal tidak

dijadikan sebagai kebiasaan.Dan di antara mereka yang membolehkan hal itu adalah: Ibnu Sirrin ‘Ra,

Robi’ah, Asyhab bin Mundzir, Al Qoffal Al-Kabir. Al-Khottobi menceritakan atau mengutip pendapat itu

dari sekelompok ulama ahli hadita (Tuhfazul Ahwazi oleb: Al-Mubarokfuri Al-Hindi Juz I hal. 558,

Anjazul Masalik ii. Muwatto’i Malik oteh: Maulana Muhammad Zakaria Al Kandahliawi Juz 3 hat. 79.

Syarh Zarqoni II. Muwatho’i Malik okh: Muhammad Zarqoni Iuz I hal 294. Shahih Muslim Syarh Nawawi

Juz 5 hal. 218-219.

49 Dari Jabir bin Zaid dari Ibnu Abbas sesungguhnya Rasulullah Saww menjama’ shalat di Madinah tujuh

dan delapan rakaat antara Dhuhur-Ashar serta Maghrib-lsya’ (Muslim Bab Jamak baina shalatani Fil

SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG

37

kalau kita mau mengkaji kitab-kitab hadits kita yang shahih maka kita akan. tahu bahwa:

Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah Saww pernah menjama’

shalat-shalat beliau di Madinah sedangkan beliau dalam keadaan tidak dalam

perjalanan.50

Di dalam kitab Imam Malik “Al Muwatha” 51 Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa

Rasulullah Saww shalat Dhuhur dan Ashar dijamak, juga Maghrib dan Isya’. Tanpa

alasan perang atau perjalanan, Imam Muslim dalam shahihnya bab jamak antara dua

shalat di dalam kota. Juga dan Ibnu Abbas Rasulullah Saww pernah shalat Dhuhur-Ashar,

dan Maghrib-Isya’ di Madlnah tanpa alasan apa pun dan dijamak di kotanya sendiri.52

Juga Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah Saww shalat jamak antara Dhuhur-

Ashar dan Maghrib-Isya di Madinah tanpa ada satu alasan pun. Kemudian perawi hadits

ini bertanya kepada Ibnu Abbas:

Mengapa beliau berbuat begitu? Ibnu Abbas menjawab: Agar ummat Islam tidak merasa

sulit.”53 Sekarang banyak pegawai dan sebagainya yang ketika pulang ke rumah sudah

jam 3 sore sedangkan saat itu waktu Ashar telah masuk, kalau dia tidak jamak shalat

Dhuhur Ashar, mungkin shalatnya tercecer, juga orang yang bekerja di bengkel-bengkel

dan berlepotan minyak dls.

Bukhari juga meriwayatkan dalam bab waktu shalat Maghrib.54 Dalam Shahihnya beliau

Hadhor Juz 2 hal. 152)

50 Musnad Ahmad Juz I hal. 221 cet. Maktab Islami Beirut th. 1391 H (1978M) bunyi Haditsnya sama

seperti di atas.

51 Muwatha’ Malik Bab AI-Jam’u baina shalatain hadits No. 328.

52 Diriwayatksn dan lbnu Abbas berkata: “Rasulullah Saww menjamak antara Dhuhur dan Ashar serta

antara Maghrib dan Ishak tanpa ada sebab, baik takut (diserbu lawan secara mendadak) maupun udzur

berpergian atau safar (Muslim dalam Shahihnya Bab Al-Jam’u Bainas shalataini fil Hadhor Juz 2 hal. 150

cet. Darul Ma’rifah Beirut).

53 Diriwayatkan dan Syaqiq, da berkata: “Pada suatu hari lbnu Abbas memberikan ceramah mulai dan

setelah Ashar hingga matahani tenggelam dan bintang-bintang pun bermunculan lalu onang-orang berteriak

mengajak shalat, ia (perawi) berkata: Lalu datanglah seorang dan bani Tamim dengan sikap kasar dan

berteriak shalat-shalat, kemudian lbnu Abbas menjawab: “Apakah anda datang untuk mengajarku sunnah,

mudah-mudahan ibumu mati (la umma lak), ia(Ibnu Abbss)berkata: ‘Rasulullah menjamak antara shalat

Dhuhur dan Asar serta Maghrib dan Isya, Abdullah (perawi) berkata mendengar ucapan Ibnu Abbas itu aku

belum merasa puas, kemudian aku datang pada Abu Hurairah dan kutanyakan kepadanya tentang hal itu

dan ia pun membenarkan ucapan lbnu Abbas. Muslim meriwayatkan hadits ini dari dua jalur. Sunan

Turmudzy Juz I hal. 354 cet. Al-Halabi Mesir 1398 H(1978 M).

54 Shahih Bukhari Kitabul Sholah bab waqtul maghrib juz I hal. 107

SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG

38

berkata, Amer bin Dinar berkata: Saya dengan Jabir bin Zaid, dan Ibnu Abbas berkata:

Nabi Saww shalat tujuh dan delapan raka ‘at (tujuh, Maghrib-Isya sedang delapan,

Dhuhur-Ashar) di Madinah.

Cuma dalam masalah ini tidak qashar, demikian pula Imamiyah. Saya kira dalil-dalil ini

cukup menunjukkan bahwa Ahlussunnah juga membenarkan shalat jamak. Yang jelas

yang dikatakan tiga waktu itu bukan tiga shalat tetapi lima shalat dalam tiga waktu, dan

kita harus membedakan keduanya itu. Fatwa Imam Khomaini menyatakan, lebih afdhal

masing masing shalat dilakukan pada waktunya. Fatwa tersebut ada dalam kitab beliau

Tahrir Al. Washilah” (juga ulama-ulama mujtahidin Syi’ah yang lainnya seperti Sayyid

Abul Qasim al-Khu’I memfatwakan hal yang sama).

Kesebelas: Bagaimana menurut faham kita Ahlus sunnah tentang masalah Rajah?.

Mahasiswa: kami melihat nampaknya Ustadz sudah lelah tetapi rasanya kami tidak

bosan-bosan untuk semakin banyak menimba ilmu dari Ustadz. Ada satu lagi pertanyaan

kami yaitu masalah “Raj’ah” bagaimana menurut faham kita Ahlus sunnah?

Ustadz Husein: Ahlus sunnah sama sekali tidak meyakini masalah “Raj’ah”. Raj’ah itu

artinya kembali hidup lagi di dunia ini. Nanti di zaman Imam Mahdi akan melihat hal itu.

Musuh-musuh Ahlul Bait akan dihidupkan dan akan diberi balasan oleh Allah, kemudian

mati lagi semuanya. Kalau ada orang yang menyatakan bahwa Raj ‘ah itu adalah satu

faham reinkarnasi itu tidak betul, sebab reinkarnasi itu artinya roh orang yang menyusup

ke tempat lain seperti binatang atau makhluk lain, sedangkan reinkarnasi itu menurut arti

kamus bermakna penjelmaan kembali makhluk yang telah mati. Sedangkan Raj’ah adalah

orang-orang yang telah mati itu dihidupkan kembali, bukan menjelma. Tidak mustahil

bahwa anggapan Syi’ah itu benar, 55 hanya Syi’ah saja yang menyakini faham ini

sedangkan madzhab lain tidak.

Kedua belas: Apa sebenarnya makna Rafidhah?

Mahasiswa: Mungkin Ustadz tahu apa sebenar makna Rafidhah?

Ustadz Husein: Rafidha dan Rawafidh yang bentuk tunggalnya adalah Rafidhi, sering

disalah gunakan oleh kita Ahlussunnah. Mereka menganggap Syi ‘ah Imamiyah ini

Rafidhah, padahal tidak demikian. Awal mula munculnya Rafidhah adalah orang-orang

yang bersama Imam Zaid bin Ali bin Husein yang bai’at kepada Imam, kemudian

meninggalkan beliau. Anda bisa membaca masalah-masalah ini dalam kamus “Tajul

Arus” jilid 2 atau 3 bab Rafadha. Jadi Rafidza ini tidak ada hubungannya dengan yang

55 Pendapat Syi’ah tentang Raj’ah ini kami lampirkan pada akhir pembahasan ini.

SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG

39

dituduhkan Wahabi kepada Syi ‘ah. Wahabi menuduh bahwa Rafidha adalah orang yang

mengatakan Ali lebih afdhol dart Abu Bakar” dan dia itu adalah kafir.

Yang benar, Rafidha itu adalah bala tentara Imam Zaid yang meninggalkan beliau. Imam

Zaid bin Ali adalah paman Imam Ja’far Shadiq. Seandainya Rafidha ini ditafsirkan orang

yang tidak menerima khilafah Abu Bakar dan Umar sebagai khalifah yang sah, dia juga

tidak dapat kita katakan kafir. ini menurut semua madzhab kecuali madzhab yang fanatik.

Sebab ada yang mengatakan bahwa sahabat ini ada yang melakukan kekeliruan, orang

tersebut juga tidak kafir. Ada orang bertanya, mungkinkah hal itu terjadi? Bisa saja,

sebab sahabat itu juga melakukan ijtihad, bahkan kita Ahlusssunnah menganggap bahwa

Nabi berijtihad. Sahabat memilih sesuatu selain yang dipilihkan Nabi, itu mungkin saja.

Sebab terbukti bahwa beberapa sahabat seakan-akan mengajari Nabi.

Syi’ah Jmamiyah tidak berpendapat demikian, bahkan menentangnya. Satu misal

menurut Ahlus sunnah: Sayyidina Umar datang kepada Nabi Saww seraya berkata, “Ya

Rasul Allah perintahkan istri-istrimu agar memakai Hijab”, di sini nampaknya Sayyidina

Umar lebih cemburu dalam masalah agama dibanding dengan Nabi.

Setelah beberapa saat kemudian turunlah ayat “Hijab” yang membenarkan Sayyidina

Umar. Begitu riwayat kita Ahlus sunnah. Syi ‘ah menyatakan mustahil ada orang yang

mengajari Nabi seperti itu.

Pendapat itu tidak benar, bertentangan dengan akal, kalau Nabi diajari atau Nabi lupa

dalam shalatnya. Nabi ditegur oleh “Dzulyadain” dalam hadits yang ‘diriwayatkan oleh

Abi Hurairah ketika Nabi lupa dalam shalatnya padahal menurut sejarah bahwa Abu

Hurairah saat itu berada di Bahrain. Ini juga salah satu sebab Abu Hurairah diragukan

sebagai membawa sesuatu yang tidak tepat.

Selain itu ada juga riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah Saww menempelkan

pipinya kepada pipi A’isyah setelah mengajaknya menonton orang-orang Habsyah

bermain tombak.

Kata Syi ‘ah, Nabi tidak mungkin berbuat senista itu, kita saja malu apalagi beliau yang

mengajar akhlak kepada kita dan dipuji akhlaknya oleh Allah.

Banyak hadits-hadits seperti itu dikritik oleh Syi’ah, lantas kita marah. Ada satu riwayat

yang lebih dahsyat lagi, yang diriwayatkan oleh Muslim. Seorang wanita datang kepada

Rasulullah Saww, bernama Sahla dan berkata: Ya Rasulullah, saya punya anak asuh

namanya Salim, tentunya dia keluar masuk rumahku dan saya bukan muhrimnya, kadang

kadang saya sendirian di rumah. Kemudian Nabi menjawab: “Susuilah dia”. Shala

menjawab: Ya Rasulullah orang itu sudah berjanggut, sudah dewasa, bagaimani saya bisa

menyusuinya? Nabi berkata: ‘Kamu susui dia”, hadits ini ada di dalam Shahih Muslim,

SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG

40

salah satu kitab standar kita Ahlussunnah. Andaikan ini benar ada di dalam kitab itu, hal

ini tidak betul, mustahil Nabi yang mengajarkan malu kepada wanita, tidak boleh

bersalaman, melihat laki-laki dengan syahwat dsb tiba-tiba menyuruh membuka

payudaranya untuk diisap oleh lelaki yang bukan muhrim itu. Kata Syi’ah hal ini

merupakan hal yang mustahil, tetapi Ahlussunnah meriwayatkan ini.

Di sini perbedaan antara keberanian Syi ‘ah mengkritik dengan ketaatan kita kepada apa

yang ada. ini semua bermula dan penutupan pintu Ijtihad yang kita lakukan.

Sesudah 4 .madzhab Ahlus sunnah sepakat untuk membatasi upaya ijtihad dan tidak

boleh ada Mujtahid lagi, kärena sudah cukup empat orang ini dan tidak ada lagi yang

mampu selain mereka itu. Mungkin setelah itu tidak ada lagi orang yang bisa

menggunakan pikirannya untuk Ijtihad karena itu mereka taqlid saja dan sampai sekarang

khususnya di kalangan pondok pesantren.

Jangan diharap kita dapat merubah secara cepat pendirian berbagai masalah seperti di

atas apalagi masalah Taqiah yang kita katakan sebagai perbuatan munafik dan bohong.

Menurut Syi’ah, maksud Taqiah itu adalah menjaga agar diri kita tidak musnah.’ Kalau

agama kita mau dirusak kemudian kita tidak mampu berbuat apa-apa maka kita

dibolehkan taqiah, bukan justru sebaliknya kita mendekal kepada kaum kafir untuk

mendapat satu keuntungan dan mereka, itu namanya bukar taqiah tetapi nifaq atau

munafik.

Mungkin kita keliru menamakan taqiah dengan perbuatan munafik. Jadi kita tidak boleh

menuduh orang atau madzhabnya sekehendak kita tetapi harus kita kaji sendiri atau

berdiskus secara final dengan mereka.

Kalau perlu kita undang beberapa ulamn dari Iran yang bisa diandalkan oleh kedua belah

pihak dan bisa diajukan kepada forum diskusi untuk penjelasan segala masalah. Dalil

merela akan lebih lengkap dan apa yang saya utarakan ini.

Mahasiswa: Terima kasih sekali kepada yang mulia Ustadz Hussein yang telah

memberikan keterangan kepada kami dengan demikian jelas. Walaupun Ustadz sendiri

menyatakan bukan bermadzhab Syi’ah, tetapi kami benar-benar telah merasa puas

dengan jawaban-jawaban Ustadz atas pertanyaan kami. Memang tadi kami dating kemari,

kami menyangka bahawa Ustadz ini bermadzhab Syi’ah. Kerana kami mendengar

perbicaraan orang-orang yang menuduh Ustadz bermadzhab Syi’ah. Sekali lagi kami

ucapkan terima kasih kepada Ustadz, untuk penutup, mungkin Ustadz akan memberikan

nasihat kepada kami atau lainnya?

Ustadz Husein: Saudara penanya, saya ini sudah sering dituduh Syi’ah, hingga akhirnya

SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG

41

saya mengatakan: “Saya bukan Syi’ah dan bukan Sunni tetapi saya muslim.”

Entah, saya masih diterima sebagai muslim atau sudah dikafirkan, yang jelas saya

katakana bahawa saya ini Muslim. Sering saya katakana bahawa saya ini bukan Syi’ah,

saya Sunni dan lihatlah pesantren saya. Segala yang ada di sana guru-guru pondok saya

hamper 80% ke atas adalah berasal dari alumni pondok-pondok pesantren baik dari

Sidogiri, Langitan atau daerah Jawa Tengah.

Kurikulum kami dan kitab-kitab pelajaran yang kami gunakan dan lain sebagainya cukup

kiranya membuktikan bahawa kami tidak ada hubungannya dengan Syi’ah.

Walaupun demikian dalam kelas-kelas fiqih yakni Aliyah diadakan pelajaran fiqih

perbandingan madzhab-madzhab. Kemudiajn di antara lima madzhab yang ada terdapat

juga di sana fiqih dari madzhab Syi’ah Imamiyah. Jangankan kami, IAIN Sunan Ampel

juga memasukkan madzhab Imamiyah sebagai bahan studinya.

Studi perbandingan madzhab itu tidak ada masalah dan anak-anak di sana kami bebaskan

untuk mempelajarinya, melihat, mendengar dan membacanya sendiri kitab-kitab dan dua

belah pihak. Kalau ada madzhab madzhab selain itu boleh saja mereka membaca, itu

memang kami bebaskan. Dan sini belum boleh orang menuduh kami Syi’ah, tetapi kami

sebenamya lebih tepat dikatakan netral.

Tetapi banyak orang yang tidak menghendaki demikian, ada satu peristiwa yang telah

terjadi di Tegal sehubungan dengan kami. Ketika itu ada dua orang masuk ke sebuah

majelis kami tanpa alam atau salaman, tiba-tiba mereka mengeluarkan tape/recorder

sambil serta merta bertanya, “Ustadz ini Syi’ah atau Sunni?” Saya jawab, saya Sunni,

kemudian mereka tanya macam-macam sehingga terjadi seperti huru hara.

Terus terang saya akui memang mereka itu brutal, tidak berakhlak sedikit pun. Esok

harinya mereka datang lagi sambil membawa beberapa orang termasuk beberapa Kiyai.

Saya akan melayani mereka dengan cara yang balk dengan moderator dan sebagainya,

tetapi ternyata tuan rumah menyatakan keberatan, sebab mereka cenderung membuat

keramaian terus. Kemudian saya tinggalkan mereka, tetapi kaset yang hanya terisi lima

menit itu kemudian dibawa pulang oleh mereka dan diisi sendiri dengan pcmbicaraan

mereka yang bohong dan mendiskreditkan saya, tetapi mereka sama sekali tidak adil,

sebab saya tidak berdaya menjawab karena saya tidak ada di sàna.

Di antara perkataan mereka di dalam kaset tersebut ialah seorang Habib dan Hadramaut

mengatakan “lepas tangan dan madzhab Zaidiyah sampai mereka kembali beriman

kepada Allah yang Esa.”

Mendengar itu saya beristighfar kepada Allah, saya katakan berita-berita semacam m

SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG

42

harus kita teliti kebenarannya, siapa yang membawa? Kadang-kadang yang membawa

berita itu adalah Yahudi, kita sudah terbiasa menerima berita tanpa seleksi. Kemungkinan

besar Al-Habib Ali Al-Idrus tidak mengatakan Zaidiyah melainkan Yazidiyah.

Saya tahu pasti bahwa madzhab Zaidiyah adalah Madzhab yang paling dekat dengan

Ahlus sunnah dan kalangan Syi ‘ah dan ini sudah populer diketahui.

Kalau anda tanya kepada saya tentang madzhab atau sekte Syi ‘a yang paling dekat

dengan Ahlussunnah maka saya segera menjawab bahwa itu adalah madzhab Zaidiyah.

Mungkinkah Sayyid Ali Al-Idrus seorang Ulama Hadramaut itu mengkafirkan Zaidiyah?

Saya yakin yang dimaksud beliau adalah Yazidiyah. Kalau madzhab Yazidiyah itu,

memang kafir. Madthab Yazidiyah ini adalah salah satu sekte Ahlus sunnah yang

mendewakan Yazid bin Muawiyah bin Abi Sofyan. Saya mempunyai Kitab standarnya

yang dicetak di Saudi Arabia (pusat Wahabi di dunia). Sehingga tidak mungkin ditambah

atau dikurangi.

Yazid bin Muawiyah ini termasuk orang yang tidak salah menurut Wahabi. Yazidiyah ini

adalah satu kelompok yang mendewakan Yazid dan menjadikan setan sebagai

lambangnya, burung merak sebagai simbolnya. Di dalam kitab itu disebut semuanya, juga

di jelaskan tentang madzhab ini di dalam kitab “Ensikiopedia madzhab-madzhab dan

filsafat filsafat”. Kesempitan ilmu dan minus Akhlak menyebabkan orang-orang berbuat

itu. Mereka mengisi kaset-kasetnya sendiri sehingga saya tidak bisa menolak pendapatpendapat

mereka itu. Alhamdulillah sejak awal tadi saya perhatikan dalam majelis mi,

saudara nampak bersikap sangat simpatik, dan memang saya tidak heran’ karena saudara

dan kalangan mahasiswa, pantas bersikap demikian, sebab mungkin saudara nanti

menyampaikan apa yang telah saya katakan kepada kalangan saudara sendiri, mungkin

saudara masih mengoreksi lagi kata-kata saya, saya persilahkan. Ada satu masalah

penting sebelum saya akhiri, yakni saya akan menambab penjelasan masalah tahrif tadi

yang benar-benar perlu kita fahami.

Kesimpulannya: Perselisihan beberapa riwayat tentang adanya tahrif dari kedua belah

pihak yang saling menuduh tahrif, akhirnya mereka sepakat bahwa riwayat-riwayat kita

Ahlus sunnah mengenai tahrifnya Syi ‘ah dan yang ada pada kita sendiri atau riwayat

Imamiyah tentang tahriif itu, baik yang mengatakan tambahan dan pengurangan dalam

A1-Qur’an, semua riwayat itu dianggap Dha’if (lemah) oleh kedua belah pihak dan

bahkan maudhu’ (buatan) yang sama sekali tidak boleh digunakan. Akhirnya Sunnah dan

Syi’ah kembali kepada Al-Qur’an yang ada pada ummat Islam sejak zaman itu sehingga

sekarang yaitu Qur’an kita ini. Ini semua berdasarkan firman Allah:

Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan Kamilah yang akan

menjaganya. (Q.S. 15:9).”

Jadi kita tidak perlu mengambil riwayat riwayat yang Dha‘if atau Maudhu’ itu untuk

saling menuduh, sebab itu tidak benar. Adik-adikku sekalian, saya cukupkan sekian.

SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG

43

Mudah-mudahan apa yang saya sampaikan itu bermanfaat bagi saya dan saudara-saudara;

dan menambah ilmu kita. Jika ada keterangan saya yang salah, maka kesalahan itu dari

saya sendiri, dan saya mengucapkan Astaghfirullah. Bila benar maka kebenaran itu dari

Allah SWT. Wassalam.

RAJ ‘AH MENURUT PANDANGAN SYI‘AH IMA MIYAH

Raj’ah ialah: “Kebangkitan kembali sekelompok manusia dan ummah Rasulullah Saww

yang memang tinggal derajat keimanannya dan kedurjanaan, untuk menenima sebagian

balasan mereka di dunia ini.”

Mereka yang beriman akan mendapatkan kejayaan sedang yang fasik akan dihinakan dan

diberi siksaan. Hal ini akan terjadi pada masa bangkitnya Imam Mahdi (Imam dari

keturunan Imam Ali dan Fatimah) sebagaimana yang telah dijanjikan oleh Nabi dalam

Hadits-hadits yang mutawatir menurut seluruh Ulama Syi‘ah dan sebagian besar menurut

Ulama Ahlus sunnah.

Setelah dibangkitkan mereka akan dimatikan kembali kemudian akan dibangkitkan

kembali pada hari kiamat.

Keyakinan tentang Raj’ah hanya diimani oleh orang-orang Syi’ah saja. Adapun Ahlus

sunnah tidak meyakininya bahkan menganggapnya sebagai suatu i’tiqad (keyakinan)

yang dapat menjadikan tercemarnya kemurnian iman seseorang dan sebagai salah satu

faktor tidak dipakainya nwayat seorang perawi (Apabila ada seorang perawi yang

mempercayai atau meyakini tentang Raj’ah ini, maka riwayatnya tidak dapat dipakat).

Tentunya hat ini disebabkan tentang masalah fahaman mereka, yang menganggap Raj ‘ah

itu sebagal Reinkarnasi. Anggapan ini tidak benar.

Dalil-dalil Tentang Adanya Raj’ah

Dalam masalah pembuktian tentang adanya Raj’ah (faham Raj’ah) ada dua hal yang

penting yang harus dibahas:

1. Apakah kejadian Raj’ah itu adalah suatu yang mustahil atau tidak?

2. Apakah ada ayat atau hadits yang dapal dijadikan sebagai dalil tentang adanya Raj‘ah?

Untuk menjawab pertanyaan pertama adalah sebagai berikut:

Raj’ah tidak berbeda dengan kebangkitan (Al-Ba ‘ats) ummat manusia pada hari kiamat

kecuali dalam hal ruang dan waktu.

Raj’ah terjadi di dunia dan sebelum hari kiamat tiba, sedangkan Al-Ba’ats (Kebangkitat

SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG

44

sejati) teijadi setelah hari kiamat dan bertempat di alam akhirat.

Adapun dalil-dalil aqli (akal atau rasio) yang pernah diutarakan oleh teolog-teolog Islam

untuk membuktikan kebenaran Al-Ba’ats itu juga dapat digunakan untuk membuktikan

adanya Raj ‘ah secara akal.

Untu menjawab pertanyaan kedua adalah:

Dalam A1-Qur’an banyak ayat-ayat yang menegaskan bahwa pada zaman Nabi-nabi

terdahulu, sering terjadi semacam Raj’ah yaitu bangkit atau hidupnya seorang atau

sekelompok manusia setelah mereka mengalami kematian.

Pertama:

Dinyatakan dalam A1-Qur’an bahwa Nabi Isa As memiliki mu ‘jizat dapat

menghidupkan orang yang sudah mati. Dalam ayat yang berbunyi:

... dan aku menghidupkan orang yang mati dengan seizin Allah ... (Q.S.3: 49).

Kedua:

Seorang dan bangsa Yahudi pernah melalui (lewat) pada suatu desa yang sudah hancur

dan binasa penduduknya, lalu ia bertanya-tanya siapa gerangankah yang akan

membangkitkan semuanya ini? Lalu orang ini dimatikan oleh Allah selama 100 tahun,

kemudian dibangkitkan kembali untuk membuktikan bahwa Allah Maha Kuasa atas

segalanya ini. Disebutkan dalam ayat yang berbunyi:

Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang orang yang melalui suatu negeri yang

(temboknya telah roboh menutupi azapnya. Dia berkata, ‘Bagaimana Allah

menghidupkan kembali negeri ini setelah roboh? Maka Allah mematikan orang itu

seratus tahun. Kemudian menghidupkannya kembali Allah bertanya: “Berapakah

lamanya kamu tinggal di sini ?“ la menjawab, saya telah tinggal di sini sehari atau

setengah hari” Allah berfirman: Sebenarnya kamu telah tinggal di sini seratus tahun

lamanya lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum lagi berubah dan lihatlah

keledai kamu (yang telah menjadi tulang-belulang); Kami akan menjadikan kamu tandatanda

kekuasan Kami bagi manusia dan lihatlah kepada tulang-belulang keledai itu,

bagaimana Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami menutupnya dengan daging.”

Maka talkala setelah nyata kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati)

Dia pun berkata:

Saya yakin bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Q.S.2: 259).

Ketiga:

Al-Qur’an menceritakan ada sekelompok dan bani Israel yang melarikan diri dan kota

mereka kanena takut mati terserang oleh wabak yang tersebar luas, lalu Allah mematikan

mereka semua, kemudian setelah menjadi tulang belulang dan musnah dimakan tanah

mereka dibangkitkan dan dihidupkan sebagaimana semula, untuk menjadi bukti

kebenaran “Al Ba ‘ats. Ibnu Katsir berkomentar:

SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG

45

Dihidupkannya mereka itu merupakan bukti yang kuat dan nyata bahwa kebangkitan

jasmani pada hari kiamat itu benar-benar akan terjadi.”

Kisah di atas kami kutip dan Tafsir Jbnu Katsir juz 1 hal 298.

Ayat-ayat yang dipakai oleh Ulama Imamiyah sebagai dalil Raj’ah.

Dan (ingatlah) hari (ketika) Kami kumpulkan dan tiap-tiap ummat segolongan orangorang

yang mendustakan ayat-ayat Kami, lalu mereka dibagi-bagi (dalam kelompokkelompok).

(Q.S.27: 83).

Ayat tersebut di atas menurut pandangan Ulama-ulama Syi‘ah jelas menunjukkan adanya

Raj’ah, sebab Allah berfirman: “Bahwa Ia akan membangkitkan sekelompok manusia

yang mendustakan ayat-ayat-Nya, hal itu dapat dipahami secara jelas dan kata “min”

yang beranti sebagian ( ). Jadi yang dibangkitkan hanya sekelompok ummat saja, tidak

semua ummat manusia, dan ini jelas berbeda dengan kebangkitan total yang terjadi pada

han kiamat yang diberitakan dalam Al Qur’an bahwa tidak ada yang tersisa seorang pun

dalam firman-Nya:

Dan akan Kami kumpulkan seluruh manusia dan tidak Kami tinggalkan seorang pun dan

mereka. (Q.S.18: 47). Lihat Tafsir Majma’ul Bayan jilid 4 Juz 7, hal. 234-235 diterbitkan

oleh maktabah Ayatullah Al-Udzma Al-Mar’asi -- Qum, Iran -- Tahun 1403H.

Hadits atau riwayat-riwayat Ahlul Bait yang menyatakan hal ini cukup banyak dan kuat

kedudukannya dan itu merupakan hal yang diakui secara luas dalam ajaran Ahlul Bait.

Sebagaimana yang dinyatakan oleh Syeikh Muhammad Ridha Al-Mudhaffar dalam

bukunya “Aqo’id Al-Imamiyah” hal. 71. Kemudian beliau menambahkan bahwa faham

Raj’ah bukan merupakan ajaran pokok (Ushul) Madzhab Syi’ah Imamiyah. Hanya saja

kita (orang-orang Syi ‘a meyakini hal itu disebabkan adanya riwayat-riwayat Shahih yang

tak terbantahkan, yang datang dan jalur Ahlul Bait dan itu termasuk perkara Ghaib

(belum terjadi) yang mereka .sampaikan kepada kita. Dan penjelasan di atas akan nampak

jelas kesalahan mereka yang berpendapat bahwa Raj’ah adalah ajaran Yahudi yang

tersisip ke dalam ajaran Syi‘ah sebagaimana yang dinyatakan oleh Ahmad Amin penulis

buku “Fajrul Islam”.

Tidak semua kesamaan yang ada pada suatu ajaran dengan ajaran lainnya itu berarti

mengambil dari yang lain. Kalau memang demikian, orang dapat mengatakan bahwa

beberapa pokok ajaran Islam itu diambil dan ajaran Nasrani dan Yahudi dikarenakan

adanya kesamaan. Bukankah Al-Qur’an itu untuk membenarkan dan menetapkan

sebagian dan ajaran Nasrani dan Yahudi dalam ayat:

Dan Kami telah turunkan kepada Al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan

apa yang ada sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya). (Q.S.5: 48).

Kalau memang benar bahwa Raj’ah itu disadap dan ajaran Yahudi, walaupun hal itu tidak

pernah dapat dibuktikan berdasarkan kajian ilmiah. Inilah keterangan singkat tentang

faham Raj’ah beserta dalil-dalilnya. Mudah-mudahan dapat sedikit memberi penjelasan

bagi mereka yang belum mengerti (memahaminya). Adapun untuk lebih puasnya kami

SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG

46

persilahkan pembaca langsung merujuk tulisan-tulisan, kajian ulama-ulama Syi’ah

tentang hal ini.

Wallahu a’lam.

sumber:http://rezaalaydrus.blogspot.com/2009_04_01_archive.html

Tags: ,

2 comments to "Syi'ah dan Sunni sesat, Wahabi yang benar !!!!! Karena Tawasul dan Ziarah Kubur???"

  1. Anonymous says:

    henandri ekwantyo wibawa,se saya sangat setuju persatuan ini dengan meningkatkan sistem Plularisme sistem GUS DUR atau kyai haji Abdur Rahman wahid

  2. Numero Uno says:

    Nice ^_^ kata-kata bijak :

    Apakah Anda tidak senang akan keberagaman Islam, Sunni , Syi'ah serta Wahabi bersatu demi Islam...apakah kalian senang menumpahkan darah kaum muslimin, sehingga zionis dan kroninya senang , karena jadi mudah menghancurkan Islam.
    Kalau Wahabi paling benar, InsyaAllah akan banyak pengikutnya
    kalau Syi'ah paling benar, InsyaAllah akan banyak juga pengikutnya, begitu juga
    Kalau Sunni paling benar, Insya Allah akan banyak pengikutnya
    Jadi para ulama tidak usah takut akan kehilangan ummat, biarkanlah ummat sendiri yang memilih jalannya dan memahaminya sendiri.
    Janganlah kita secara tidak sengaja menjadi corong Zionis dan kroninya untuk membantai sesama kaum muslimin dan mengkafirkannya.
    Ketika Pengikut Sunni atau Syi'ah atau Wahabi melakukan kemungkaran, apakah seluruh pengikut Sunni atau Syi'ah atau Wahabi adalah sesat, tentu tidak saudara ku.
    Jadi berhati-hatilah dan berhentilah menjadi corong Zionis yang selalu ingin Islam terpecah , sehingga Islam kembali terkungkung dan di lecehkan oleh Zionis dan kroninya.
    Seandainya Islam bersatu diseluruh dunia, negara yang berkiblat dengan Zionis dan kroninya pun tidak akan berani menjajah negara-negara kaum muslimin...oh seandainya....Islam bersatu.....

Leave a comment