Home , , , � Tabiat teknologi bangsa Indonesia dari kaca mata Yanuar Nugroho, Ph.D, ilmuwan dan peneliti inovasi dari Universitas Manchester, Inggris

Tabiat teknologi bangsa Indonesia dari kaca mata Yanuar Nugroho, Ph.D, ilmuwan dan peneliti inovasi dari Universitas Manchester, Inggris

Membedah Tabiat Teknologi Orang Indonesia: Ponsel Rasa Kenthongan?

Sungguh menarik tulisan yang diangkat harian Kompas mengenai tabiat teknologi bangsa Indonesia dari kaca mata Yanuar Nugroho, Ph.D, ilmuwan dan peneliti inovasi dari Universitas Manchester, Inggris. Dalam kritikannya, ilmuwan pertama dari Asia Tenggara penerima fellowship bergengsi ini sejak 1944 itu menilai, Bangsa Indonesia memang dikenal sebagai pengguna teknologi canggih, namun sayangnya hanya terbatas pada hal itu. Dalam penggunaannya, teknologi pun hanya dilihat sebagai alat. Padahal teknologi bukan sekadar alat atau "benda", tetapi mencakup kesatuan cara berpikir, cara budaya, cara berperilaku, cara merasa, bahkan cara bersosialisasi. Sayangnya, Indonesia hanya mengimpor teknologi sebagai alat, tercerabut dari tempat berpijak dan melahirkan absurditas.

"Inovasi adalah bidang kajian, merupakan kombinasi antara filsafat, ekonomi, sosiologi, dan filsafat," ujar Yanuar di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Dengan menggambar grafik, dijelaskan, perkembangan teknologi selalu eksponensial, tetapi perkembangan sosial, ekonomi, politik, pembangunan, dan logika berpikir berjalan linier. "Di sini, inovasinya kita ambil, tetapi kita lepaskan dari seluruh gagasan dan konteksnya."

Akibatnya, kesenjangan di antara keduanya kian membesar. Teknologi tercerabut dari tempat berpijak; suatu negeri dengan berbagai indikator sosial yang rendah, seperti tingginya angka kemiskinan dan angka kematian ibu melahirkan.
"Studi inovasi selama ini didominasi gagasan-gagasan inovasi yang sifatnya teknologi tinggi, soal nano, space, nuklir, rekayasa genetika, yang menurut saya, ya baik saja. Tetapi, jarang orang bicara soal inovasi yang berkaitan dengan pembangunan, khususnya di negara-negara berkembang."

Yanuar menegaskan, "Inovasi bukan sekadar adopsi teknologi dan difusi. Saya mendapat fellowship karena gagasan itu dianggap punya dampak ekonomi dan politik yang besar dalam kajian inovasi."

Yanuar, yang bergumul di dunia pendidikan dan riset, tahu betul bahwa isu ketercerabutan inovasi dengan gagasan dan konteksnya terjadi sejak 1970-an.
"Bedanya, jenis teknologi sekarang sudah berlipat, tetapi logika berpikirnya hanya linier. Masalahnya jadi berlipat ganda," ujarnya. "Mulai dari cara berpolitik. Kampanye politik pencitraan SBY itu meniru persis (kampanye) Obama, tetapi perilakunya tetap Indonesia. Politik pencitraan diambil, yang lain diabaikan."

Ada kaitan antara handphone dan hilangnya hutan jati di Wonosari. Yanuar bertemu pak lurah dan ngobrol dengan warganya. Handphone kan lambang orang maju dan status sosial. Kita impor itu dari sana. Bahkan, orang Wonosari pun merasa kurang afdal kalau tak punya HP. Caranya? Paling gampang tebang pohon jati, jual, beli motor dan HP demi gaya hidup. Tukang becak sudah tidak ada. Sekarang turun dari bus, telepon pakai HP, minta dijemput tukang ojek.

BLT, bantuan langsung tunai, di sana menjadi bantuan langsung telas (habis). Dapat duit Rp 300.000 dari kantor pos langsung beli HP. Orang beli pulsa mengabaikan kebutuhan lain meski pendapatan pas-pasan. Ini kan absurd. Selera kita dibentuk, kalau mau maju itu begini, lho.

Yanuar ingin terlibat untuk membumikan atau "menanam kembali" inovasi di Indonesia yang diupayakan dengan sengaja dan terencana melalui kebijakan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) dan pembangunan, sesuai tahap perkembangan masyarakat Indonesia dan berpihak kepada rakyat biasa.

"Hallsworth Fellowship mengindikasikan bahwa inovasi yang 'tertanam' jauh lebih efektif membawa kemajuan dalam hidup bersama," ujarnya.

Soal kebijakan energi, misalnya. Di Eropa, sinar matahari yang jatuh cuma pada sudut 27 derajat dijadikan energi alternatif karena jangka panjang mereka mau meminimalkan nuklir. Target tahun 2030, energi terbarukan, tetapi rumah-rumah yang menggunakan panel surya diberi insentif, pinjaman bebas bunga, pajaknya dipotong. Pemerintah berinvestasi. Jadi terintegrasi mulai dari inovasi teknologi di photovoltaics sampai ujung, perpajakan. Ini yang ia maksud dengan gagasan "tertanam".

Di Indonesia, matahari jatuh 90 derajat, tak ada insentif. Mobil dengan mesin yang menerima bahan bakar hibrid dianggap mobil mewah, pajaknya tinggi. Ini kan terbalik-balik. Kalau negara bilang pro-energi terbarukan, kan tidak sekadar jual biofuel keluar, tetapi bagaimana memanfaatkan itu dalam seluruh kerangka kebijakan. Itu yang ia bayangkan sebagai gagasan "menanam kembali teknologi".
Agenda teknologi, antara lain, kabel disebar ke timur, jangan berkutat di barat saja. Orang bisa berargumen kita sudah maju karena pakai wireless. Nanti dulu. Wireless digunakan negara maju setelah kabelnya 100 persen. Kita baru 30 persen dan condong pada kepentingan yang kapitalistik.

Lebih cepat dapat untung dengan bikin tower BTS (base transceiver station). Pasang jebret, lahan dibebaskan, pemda dapat uang. Namun, dalam jangka panjang, jebol negara ini kalau caranya begini. Jenis ekonomi, corak ekonomi, corak interaksi masyarakat yang dimediasi kabel dengan wireless itu beda.

Bandwidth (lebar pita telekomunikasi) berapa sih (ia menunjuk handphone). Ini ekonomi konsumtif. Ekonomi produksi membutuhkan bandwidth lebih besar. Dalam teknologi, kita ini fakir bandwidth. Kita boleh bermimpi punya teknologi nano, biogenetik, semua boleh, tetapi "menanam teknologi' ini penting karena tidak hanya teknologi komunikasi, tetapi juga di banyak bidang, kita ini bukan hanya pasar yang besar, tetapi juga laboratorium besar. Teknologi baru sebelum dijual ke Barat, dicobakan dulu di sini.

Berapa banyak perusahaan kosmetik bereksperimen di sini? Kapas transgenik milik korporasi multinasional yang dibakar petani di Sulawesi pada 2002 harus dibaca secara bijak. Di negara lain, untuk hal-hal seperti ini diterapkan precaution. Di sini tidak.

Yanuar sependapat, inovasi canggih yang diterapkan di Indonesia tak membuat bangsa ini sungguh-sungguh maju karena ketercerabutan teknologi itu. "Teman-teman bilang, yang dipegang handphone, tetapi perilakunya kenthongan," ujarnya.

Kaitannya tali temali antara beberapa hal. Pertama, logika kapitalistik. Mereka kan bersaing. Intinya, pasar paling murah kalau bisa dihomogenisasi. Kalau selera diseragamkan, keuntungan akan cepat.

Kedua, kita belum melewati tahap dari masyarakat agraris. Jadi, meski teknologinya melompat, meski bisa menciptakan teknologi nano, perilaku adopsi tidak nyambung dengan perilaku sosial. Kita bisa melompat, tetapi tak bisa melawan fisikalitas.
Ketiga, lebih ekonomi-politik. Urusan teknologi bukan persoalan orang pandai, atau teknologinya, tetapi pada kebijakan yang melindungi kepentingan warga. Siapa bisa memastikan Indonesia berdering tahun 2014 karena kabel, bukan karena handphone.

Berdasarkan Palapa Ring, gagasan menghubungkan semua pulau ini dengan kabel, bukan dengan GSM (global system for mobile communication) atau BTS. Ekonomi politik kita terjebak pada cara berpikir jangka pendek. Tidak ada public guardian ketika menyangkut teknologi yang berpengaruh pada corak produksi dan corak perilaku masyarakat. Semakin lama semakin susah memisahkan antara yang alamiah dan yang tidak.

Keponakannya, usia dua tahun, merengek-rengek minta McDonald's. Anak kecil minta dengan menangis itu alamiah, tetapi kalau yang ditangisi McD, itu urusannya ideologi. Bagaimana bisa anak usia dua tahun sudah punya referensi tentang merek? Ini karena mereka dihajar iklan terus. Anak 12 tahun nonton TV 20.000 jam per tahun.

Jadi, ada kait-mengait antara logika kapitalistik, sifat teknologi yang berkembang eksponensial sementara masyarakatnya agraris, kemudian soal ekonomi politik. Mungkin secara tidak sengaja, negara melindungi kepentingannya sendiri.

Saya melihat inkompetensi negara dalam persoalan ruwet, seperti teknologi; ruwet karena mereka tidak kompeten. Blog, Google, mau diblok segala, ini dagelan. Pada dasarnya orang memang ingin yang lebih mudah, tetapi tidak ada yang mendidik. (Kompas/irib/15/11/2010)

Tags: , , ,

0 comments to "Tabiat teknologi bangsa Indonesia dari kaca mata Yanuar Nugroho, Ph.D, ilmuwan dan peneliti inovasi dari Universitas Manchester, Inggris"

Leave a comment