Home , , , � Al-Husain Menjelang Asyura

Al-Husain Menjelang Asyura




Al-Husain Menjelang Asyura

Dr. Muhsin Labib, MA

Mulai hari ini saya akan menurunkan note narasi Karbala secara berseri . Semoga kita semua medapatkan anugerah spirit perjuangan Al-Husain.

Sejarah kehidupan Imam Husain dapat dibagi dalam dua fase. Fase pertama bermula sejak kelahiran hingga saat menerima wewenang imamah. Fase kedua bermula sejak ditunjuk sebagai imam hingga saat meraih kesyahidan.

Kehidupan Imam Husain pada fase pertama –yaitu sejak kelahiran hingga penenujukan sebagai imam- dapat dibagi dalam empat periode. Periode pertama: kehidupan beliau pada masa hidup Rasulullah saw., dari tahun ke 4 Hijriyah hingga tahun ke 10 Hijriyah. Peridoe kedua: kehidupan beliau pada masa tiga khalifah, dari tahun ke 11 Hijriyah hingga tahun ke 35 Hijriyah. Periode ketiga: kehidupan beliau pada masa khilafah Imam Ali as hingga saat meraih syahadah, dari tahun ke 35 Hijriyah hingga tahun ke 40 Hijriyah. Peridoe keempat: kehidupan beliau pada masa kepemimpinan Imam Hasan selama 10 tahun, yaitu dari bulan penghujung Ramadhan tahun ke 40 Hijriyah hingga permulaan bulan Shafar tahun ke 50 Hijriyah.

Kehidupan Imam Husain pada fase kedua dimulai sejak hari kesyahidan Imam Hasan as hingga kesyahidan beliau pada tanggal 10 Muharram tahun ke 61 Hijriyah di Karbala. Fase kedua ini dapat dibagi menjadi dua periode. Periode pertama: kehidupan beliau selama kekuasaan rezim Muawiyah yang ditandai dengan pakta perdamaian dan gencatan senjata antara Muawiyah dan Imam Hasan as, meski Muawiyah sering melakukan pelanggaran yang berpuncak pada pembunuhannya terhadap Imam Hasan melalui racun yang dibubuhkannya. Peridoe kedua: kehidupan beliau yang bermula sejak Yazid ditunjuk oleh Muawiyah sebagai penguasa umat Islam dan usahanya untuk memaksa beliau memberikan baiat dan dukungan atas kekuasaannya.

Suatu pagi, Ummu Ayman, sebagaimana mengeluh kepada Rasulullah karena mengalami mimpi yang membuatnya tidak bisa tidur semalam dan terus menangis karena melihat sebagian anggota tubuh Nabi berada di rumahnya. Rasulullah pun tersenyum sembari memberinya kabar gembira bahwa cucunya akan segera lahir dan ia akan menjadi ibu angkat karena akan menyusuinya. [1]

Pada suatu hari Rasulullah membisikan pada Fathimah as, bahwa Jibril memberitahu beliau bahwa ia akan melahirkan seorang bayi laki-laki. Beliau berpesan, bila ia lahir, jangan menyusuinya sebelum aku datang, meskipun harus menunggu sebulan. Kelak setelah terlahir dan sebelum disusui oleh ibunya, Rasulullah menjulurkan lidahnya yang suci, lalu bibir mungil bayi sempurna itu mengisp dan mengulumnya. Seusai itu, Rasulullah berkata kepada putrinya, “Allah swt telah menetapkan bahwa kepemimpinan akan berlanjut dari bayi ini.”[2]

Imam penyandang banyak gelar, seperti Ar-Rasyid, Al-Wafi, Az-Zaki ini, menurut sebagian besar sejarawan, dilahirkan di Madinah pada tanggal 3 Sya’ban tahun ke3 Hijriyah[3], atau pada tahun ke 4 Hijriyah. [4]

Ketika mendengar bahwa putrinya, Sayyidah Fahtimah, telah melahirkan bayi yang dinanti-nanti itu, Rasululllah, sebagimana disebutkan dalam I’lam Al-wara, segera bergegas ke rumah menantunya, Ali as. Sesampainya di sana, ia menyuruh Asma binti Umays, wanita yang mengabdikan dirinya sebagai pembantu Fatimah, untuk menyerahkannya. Nabi-pun mengendongnya lalu membungkusnya dengan sepotong kain putih lalu mendekapnya, kemudian mengumandangkan azan di telinga kanan dan iqamah di telinga kiri bayi yang yang berpendar-pendar itu. Tiba-tiba raut wajah Manusia teragung itu menampakkan kesedihan dan matanya melinangkan air bening. Ketika ditanya sebabnya oleh Asma’, beliau menjawab: “Hai Asma’, ia akan dibunuh oleh gerombolan pembangkang setelah wafatku. Allah tidak akan memberikan syafaatku kepada mereka.”

Beberapa saat kemudian, Rasulullah menegur menantunya, ‘Hai Ali, apa nama yang kau berikan untuk anakku ini? Suami Fathimah itu dengan nada santun menyahut: “Wahai utusan Allah, aku tidak akan pernah mendahului Anda untuk memberinya sebuah nama.”[5]

Berdasarkan prinsip kemaksuman yang meniscayakan semua keputusan Nabi adalah wahyu, maka beliaupun, atas petunjuk wahyu Allah swt, memberinya sebuah nama momnumental yang belum pernah disandang oleh siapapun, yaitu Al-Husain. Hingga kini pun nama Husain yang diawali dengan Al adalah hak personal dan abadi cucu Nabi yang dibantai di Nainawa itu.

Pada hari ketujuh sejak kelahiran, sebagaimana disebutkan dalam Al-Irsyad, Rasulullah mengunjungi rumah putrinya, Fathimah Al-Batul as, lalu melakukan serangkaian upacara ritual dan sosial yang sangat diagungkan dalam Islam, yaitu memnyembelih seekor kambing (disebut dengan aqiqah) lalu dibagikan kepada orang-orang miskin, terutama tetangga, lalu mencukur rambut dan menimbang potongannya dengan perak untuk dibagikan kepada orang-orang miskin, dan diakhiri dengan khitan.

Kasih sayang dan perhatian yang dicurahkan Nabi kepada Al-Husain, demikian pula Al-Hasan as bukanlah semata-mata karena hubungan emosional belaka, namun sebagai pelajaran bagi kita yang semestinya memberikan perhatian dan mengungkapkan kegembiraan saat dianugerahi seorang cucu. Lebih dari itu, Nabi saw dalam berbagai kesempatan, sebagaimana disebutkan dalam ratusan riwayat, memberikan pernyataan tentang kedudukan penting Al-Husain dan pujiannya. Hal itu semata-mata sebagai upaya dini untuk mempersiapkan Al-Husain sebagai pemimpin dan penerusnya, sebagaimana disebutkan dalam berbagai buku sejarah dan biografi tokoh Islam dari berbagai aliran dan mazhab, antara lain Mustadrak karya Al-Hakim, Tarikh Ibn Asakir, I’lam Al-Wara, Majma’ Az-Zawa’id, Kanzul-Ummal, Siyar A’lam An-Nubala’, Shahih At-Turmudzi, Musnad Ahmad, bahkan dalam Shahih Muslim

Saat Rasulullah saw wafat

Masa kebersamaan Imam Husain dengan Rasulullah merupakan masa paling indah dalam sejarah Islam yang merupakan potret sebuah jalinan yang harmonis dalam sebuah keluarga sahaja, mandiri dan bersih. Al-Husain telah menjadi alumnus ketiga, setelah ayah dan saudara dalam akademi Risalah teragung. Betapa tidak, sejak bayi hingga remaja, ia menghirup semerbak wahyu yang setiap saat menghampiri rumah kakeknya, dan merasakan kehangatan karena cahaya Kenabian yang senantiasa mengubangi lingkungan hidupnya, Di akademi berbentuk rumah sangat sederhana inilah, ia tidak hanya diajarkan namun dicetak dengan aneka karakter mulia, seperti keberanian, pengorbanan, kedermawanan, kemandirian, keteguhan, kelembutan, kepandaian, kebijaksanaan dan kesantunan.

Dalam berbagai kesempatan dan persitiwa, Rasulullah saw juga menjadikan kecintaan kepada Al-Hasan dan Al-Husain sebagai bukti keterikatan kepada agama dan ketaatan kepada Allah. Anjuran-ajuran senada ini semua tidak lain adalah penegasan atas sikap dan keputusan beliau bahwa ketataatan kepada penerus beliau adalah sama dengan ketataatan kepada beliau. Sehingga apabila kecintaan demikian tidak ditanamkan sejak dini, maka sangat mungkin para penerus beliau tidak dapat melaksanakan tugas secara maksimal karena tidak diperlakukan sebagai orang yang dicintai. Oleh karena itulah, Rasulullah tidak henti-hentinya menunjukkan kecintaannya yang lebih dari sekedar ekspresi emosional dan menganjurkan setiap Muslim untuk membangun hubungan cinta spiritual dengan beliau dan para penerus kepemimpinan beliau.

Dakwah-dakwah yang telah dilaksnakan secara sempurna oleh Nabi sejak masa pertama Hijrah dan hambatan-hambatan eksternal dan internal yang dialaminya telah disaksikan dari dekat oleh Al-Husain dan dijasikan sebagai pelajaran-pelajaran berharga dan bekal tak ternilai kelak ketika ia memegang hak imamah dan wishayah.

Namun, masa kebersamaan ini terasa sangat singkat karena Nabi termulia dan manusia teragung itu harus meninggalkan umat, terutama cucunya yang amat dicintai dan dipersiapkannya, akibat ulah ganggungan fisik dan non fisik sekelompok manusia yang memang harus ada sebagai bagian dari lakon kebatilan sepanjang drama kehidupan. Muammad saw yang terbujur sakit akibat ulah sekelompok orang –kata sebagian sejarawan- tiba-tiba dilucuti haknya sebagai tuan rumah. Suaranya yang parau saat meminta secarik kertas dan setangkai pena dihalangi oleh tamun-tamu tak diundang yang berlagak lebih dari putri dan cucu-cucunya. Gerombolan ini bahkan seakan tak sabar menanti hembusan terakhir nafas manusia teragung ini dengan menganggapnya ‘hilang ingatan’ atau pikun. Gerombolan mantan pemakan bangkai ini sengaja menggagalkan sebuah suksesi damai dengan merekayasa kebisingan di rumah baliau dengan teriakan agar tuan rumah yang lunglai di atas ranjang reot itu tidak terganggu dan gagal melaksanakan niat sucinya, yang akan sangat merugikan kepentingan segerombolan orang oportunis itu. Rasullullah pun mengusir para perusuh itu karena telah melampaui batas toleransi, demi mengesahkan suskesi kepemimpinan dalam lingkungan orang-orang yang terpercaya. Dengan nafas tersengal, Ali dipanggil dan disuruhnya duduk di samping ranjangnya, lalu berpesan: “Kau adalah penerus kepemimpinanku. Aku titipkan dua mata hatiku dan dua tiang peyangga agamaku di dunia ini”. Ali tak kuasa menahan linangan air hangat yang mengguyur mata dan pipinya seraya menggenggam tangan mertua, guru dan ayahnya.[6]

Ketika rasa nyeri di lambungnya kian parah, Rasulullah memanggil Al-Husain, yang sejak tadi duduk sedih di samping ibunya yang menimang Zainab. Al-Husain pun merapatkan tubunya ke samping ranjang beliau. Kakek yang penuh sayang itu menarik tubuh Al-Husain lalu mendekapnya erat-erat lalu selama beberapa menit pingsan. Ketika siuman, ia menciumi kedua mata sembab Al-Husain yang tak hentinya mengalirkan butir-butir bening kesenduan, seraya bekata dengan nada terbata-bata: “Demi Allah, aku akan meminta pertanggungjawaban kepada para pembunuhmu di hadapan Allah.”[7] Dada Al-Husain seakan tersekat dan bibirnya bergetar menahan luapan kesedihan dan berusaha meringankan beban hati kakeknya tidak menangis dengan keras, tapi ia gagal karena kedua matanya dan saudaranya bak mata air yang terus menyembur.

Fathimah Az-Zahra, yang sejak tadi sibuk melayani dan menyuapi ayahnya, kini tak kuasa menyembunyikan rasa keterasingan yang akan dirasakannya beberapa saat lagi. Betapa tidak, riuh tadi menjadi bukti yang cukup bahwa akan terjadi penelikungan. Umat Muhammad telah membunuh Muhammad!

Saat Fathimah wafat

Kepergian Rasulullah saw merupakan babak pertama derita Ahlul-Bait, terutama Al-Hasan dan Al-Husain. Fatimah bagai pesakitan yang diertawai dan didustakan patron-patron Abu Sufyan dan antagonis-antagonis penindas perempuan. Sejak wafat Nabi, Fathimah terlihat pucat, dadanya sesak, tubuhnya kurus dan matanya senantiasa basah. Fathimah sering kali mengajak Al-Hasan dan Al-hasan ke Baqi’ lalu menengadahkan wajah yang sedih ke langit seraya menumpahkan keluh kesahnya. Ia baru pulang setelah dijemput dan dirayu oleh Ali, suaminya.[8]

Tak lama kemudian wanita termulia sepanjang sejarah itu jatuh sakit akibat serangkaian gangguan fisik dan mental. Di atas ranjang, Fathimah dengan nafas tersengal, menarik lengan suaminya seraya berbisik: “Tidak lama lagi kau akan menjadi duda setelah kematianku. Anak-anak kita masih banyak, terutama Zainab. Kawinlah dengan Ummul-Banin, karena ia akan melahirkan anak yang kelak akan melindungi putrimu Zainab.” Ali tersedu-sedu mendengar ungkapan tulus istri yang amat dicintainya. “Maafkan aku, karena tak dapat menemanimu mengaruhi kehidupan yang tentu akan sangat sulit bagimu.” Tak lama kemudian jiwa suci itu melayang menemui Allah di samping suaminya.

Sesaat kemudian Al-Hasan dan Al-Husain diperbolehkan masuk. Mereka terkejut melihat ibundanya tak bergerak. Kepada Asma’, mereka bertanya: “Mengapa ibu kami tidur pulas”. Meledaklah tangis Asma’ yang sejak tadi berusaha mengendalikan rasa sedihnya, seraya berkata: “Ibumu tidak tidur, namun jiwanya terbang menemui kakekmu, Rasululullah”.

Saat Ali dikhianati

Berdasarkan rekomendasi rapat luar biasa di Saqifah, Haidar, yang dideklarasikan sebagai pengganti di Ghadir Khum oleh Rasulullah, harus dikucilkan. Kekal iapun harus diganggu dan disibukkan dengan keculasan Thalhah, Zubair, keserakahan Muawiyah dan kroninya, dendam Aisyah. kepandiran Khawarij dan kepengecutan para pendukung palsu.

Skenario pertama adalah menanggap Ali sebagai penanggjawab pembunuhan terhadap Utsman bin Affan, atau bahkan sebagai dalang di balik peristiwa itu. Dengan dalih dan slogan membela Utsman, Muawiyah melancarkan pemberontakan dan menjadikan Damasukus sebagai basis perlawanan dengan kekuatan harta hasil korupsi pada masa pemerintahan saudara misannya. Namun, skenario ini tidak berjalan dengan lancar, karena ternyata Ali didaulat secara aklamasi sebagai khalifah keempat.

Ternyata skenario Saqifah masih berlanjut karena tujuan, yaitu membumihanguskan Ali dan keturunannya, belum tercapai. Iapun harus berhadapan dengan istri Nabi, Aisyah, yang terprovokasi oleh aktor-aktor ambisius yang enggan berhadapan secara langsung dengan Ali. Dirancanglah perang buatan bernama ‘perang onta. Ali yang jawara dalam medan tempur harus ‘meladeni’ pasukan yang dikomandoi oleh Thalhah, Zubair dan Aisyah. Skenario inipun tidak membuahkan hasil yang terlalu menggembirakan. Suatu saat Amr bin Ash berpapasan dengan Aisyah. Amr berseloroh dengan nada kesal: “Oh, alangkah indahnya bila kau terbunuh saat bertempur melawan Ali di perang Jamal..” Aisyah memprotes: “Bukankah kita mitra saat itu? Mengapa kau mengharapkan kematianku?” Amr membongkar: “Sejak semula kami telah merancang rencana ini dengan matang agar kau terbunuh dalam perang Jamal. Dengan demikian, kami tidak lagi terganggu oleh keberadaan Ali karena ia akan dicap sebagai pembunuh istri Nabi. Namun, Ali tidak terpengaruh. “

Akhirnya, cara kekerasan yang lebih keji ditempuh, diciptakanlah gangguan-gangguan baru, seperti kelompok khawarij, disusupkanlah ke dalam barisan Ali para pendukung palsu, dan dibentuklah sebuah persusahaan hadis palsu yang didanai secara besar-besaran dengan satu tujuan merusak citra mulia Ali, bahkan keluarganya, termasuk mengkafirkan ayahnya, Abu Thalib, yang sangat berjasa dalam dakwah Nabi, sekaligus memasukkan Abu Sufyan dalam daftar para pembela Islam. Skenario ini berjalan lancar meski tidak terlalu efektif, karena sebagian kecil sahabat Nabi yang tulus melancarkan kampanye tandingan membersihkan nama baik Ali di seluruh jazirah, seperti Abu Zar, Miqdad, Salman dan lainnya.

Skenario terakhir adalah mengajak Ali berdamai dengan juru runding tunjukan kubu Muawiyah, yaitu Abu Musa Al-Asy’ari. Ali yang telah kehilangan banyak pendukung akibat serentetan perang dan pemberontakan dan pengkhianatan yang terrencana, tidak dihadapkan pada satu pilihan.

Ternyata pakta damai adalah skenario paling ampuh. Ali secara sepihak diturunkan dari khilafah yang sejak semula bersifat semu dan ‘mainan’. Meski telah berkuasa dan menari-nari diatas kehoramatan Islam, keberadaan Ali dan keluarganya masih dianggap sebagai ancaman bagi Muawiyah dan para aktor Saqifah. Gerbang kota ilmu itu pun dirobohkan di Kufah pada malam lailatul-Qadr di masjid Kufah, lalu akibat racun yang memasuki tubuhnya, dua hari setelah itu, Maula Al-Muttaqin Ali bin Abi Thalib menghempus nafas mulia setelah mengucapkan ‘Demi Tuhan Pemelihara Ka’bah, aku sungguh beruntung..”.

Ringkasnya, sejak rapat penelikungan di Saqifah, pedagang hadis bermunculan bak cendawan di musim hujan. Para bromocorah yang dianggap thulaqa’ mulai mengambil-alih pusat-pusat informasi,. Kemesuman dan maksiat kembali membisingkan malam-malam Mekkah dan Madinah. Para mantan budak dari Afrika kini diperlakukan lagi sebagai setengah manusia, para imigran dari Persia, Afrika dan para tunawisma mengalami keyatiman massal. Bilal menyepi, Ammar mengungsi ke rumah-rumah Bani Hasyim, Salman diintimidasi, Malik bin Nuawirah dimurtadkan, dan Abu Zar dikirim ke altar kematian dicekik dahaga. Mereka menyempurnakan lakon Saqifah dengan serangkaian kebiadaban. Al-Husain yang kian matang dalam episode-episode kehidupan kakek, ibunda dan ayahnya, menyaksikan itu semua dengan mata kepala. Semuanya telah direkamnya dan dianalisis untuk membuahkan sebuah kebijakasanaan dan keputusan yang tepat dan revolusioner di kemudian hari.

Muawiyah telah bercokol dengan congkak di atas mimbar Rasululah. Khilafah yang merupakan simbol kelanggengan wilayah Allah telah dijadikan sebagai podium pembodohan dan penelikungan atas nama Jama’ah yang didukung oleh sahabat-sahabat pemenang tender produksi massal hadis palsu, Ahlul-bait Nabi bukan hanya tidak dihormati, namun dianggap sebagai musuh dan tidak berhak hidup di atas bumi. Al-Hasan bin Ali yang lembut dan pemaaf bagi Isa itu menggelepar-gelepar dan memuntahkan darah setelah racun bingkisan Muawiyah memasuki setiap pembuluh darah di sekujur tubuhnya. Inna lillah wa inna ilahi rajiun.

Semenjak Al-Hasan bin Ali wafat, sepak terjang Muawiyah membuat masyarakat resah. Baitul Mal dan kekayaan negara dijadikan sebagai milik pribadi dan keluarga. Muawiyah memperlakukan masyarakat secara berbeda berdasarkan daerah asal dan garis keturunan dengan ancaman kematian atau rayuan harta.Rumah-rumah Bani Hasyim tidak lagi menjadi pusat kunjungan. Para sahabat Anshar, penduduk asli Madinah, telah diperlakukan sebagai warga kelas dua oleh sebagian Muhajirin yang dulu datang sebagai imigran. Selama beberapa tahun sejak muktabar luar biasa Saqifah, lalu penunjukan personal khalifah pertama, dan arisan kekuasaan ala lotre di bawah kepanitiaan Ibn Auf hingga penobatan Kaisar Arab, Muawiyah. Kepongahan akibat perluasan daerah atau aneksasi dan penjajahan atas nama ‘penyebaran Islam’ telah membuat sebagian besar mantan prajurit Uhud menjadi serdadu-serdadu yang bengis, berdarah dingin dan memperlakukan para tawanan sebagai barang dagangan. Ajaran Muhammad berubah menjadi kisah-kisah horor dan dan para pendakwah itu adalah pemilik rumah lelang budak-budak bermata peirus dari Nesyapur dan Sevilla.

Muawiyah yang sejak semula telah menjadikan Al-Hasan bin Ali sebagai musuh utama telah berhasil melaksanakan rencananya. Al-Hasan bin Ali wafat akibat racun yang dimasukkan ke dalam minumannya oleh cecunguk-cecunguk Muawiyah.

Semenjak Al-Hasan bin Ali wafat, kekuasaan Muawiyah semakin kuat. Sepak terjang dan tabiat buruknya membuat masyarakat resah. Baitul Mal dan kekayaan negara dijadikan sebagai milik pribadi. Muawiyah memperlakukan masyarakat secara berbeda berdasarkan daerah asal dan garis keturunan.

Saat sakitnya bertambah parah Muawiyah mengirimkan surat wasiat kepada Yazid yang sedang menjadi gubernur di wilayah Humas, di Syam.

Dalam surat itu, Muawiyah berpesan agar mewaspadai empat tokoh, terutama Al-Husain bin Ali. Muawiyah menyuruh Yazid agar bersikap baik dan hormat kepada Al-Husain apabila bersedia menyatakan baiat atas kekhalifahannya. Jika tidak bersedia, atau kepemimpinannya ditentang, maka Muawiyah menganggap Al-Husain layak untuk dilenyapkan.

Di Damaskus, Muawiyah menjadi bunga ranjang. Sebagian tubuhnya mulai membusuk. Tak lama berselang, anak Abu Sufyan itu mati akibat serentetetan penyakit dalam tubuhnya. Setelah kematian bapaknya, Yazid kembali ke Damaskus. Ia nyatakan dirinya dirinya sebagai Kaisar.

Yazid melaksanakan pesan bapaknya. Ia berusaha memperkokoh kekuasaannya dengan mengganti sejumlah gubernur. Yazid menyuruh gubernur Madinah, Walid bin Uqbah, untuk mengambil kata baiat dari Al-Husain bin Ali.

Pada bulan Sya’ban tahun 60 Hijriyah, Al-Husain bersama keluarganya pergi dengan leluasa meninggalkan Madinah, setelah berpamitan kepada kakeknya, Rasullah saw. Al-Husain bertemu dengan sejumlah tokoh masyarakat yang menyatakan keberatan atas tindakannya Namun Al-Husain bersikukuh pada rencananya, yaitu menunaikan ibadah haji dan menghindari fitnah di Madinah.

Warga Mekkah menyambut kedatangan Al-Husain dan keluarganya dengan sukacita. Mereka sangat gembira karena dapat melaksanakan shalat jamaah di belakang beliau.

Mekkah, 10 Ramadhan tahun 60 Hijriyah

Sejak Yazid menobatkan dirinya sebagai khalifah, warga Kufah menyatakan simpati dan dukungannya atas Al-Husain sebagai pelanjut kepemimpinan Al-Hasan, saudaranya.

Al-Husain menerima utusan yang menyerahkan surat warga Kufah. Dalam surat tersebut, Sulaiman bin Shard Al-Kuza’iy, atas nama warga Kufah untuk kesekian kalinya mengundang Al-Husain untuk pergi ke Kufah dan memimpin pemberontakan terhadap Nu’man bin Basyir dan rezim Yazid. Mendengar reaksi warga Kufah, Al-Husain mengutus Muslim bin Aqil pergi ke Kufah guna melihat dari dekat kesungguhan warganya. Muslim berangkat ke Kufah. Kepergiannya dilepas oleh Al-Husain dan keluarganya dengan perasaan haru. Muslim ditemani dua pembantu dan seorang pemandu jalan untuk melintasi samudra sahara Jazirah.

Pada tanggal 5 Syawwal tahun 60 Hijriyah, Muslim bin Aqil memasuki gerbang Kufah. Warga dan para tokoh kota itu menyambutnya bagai pangeran. Setiap orang berebut untuk menyatakan dukungan atas Al-Husain di hadapannya.

Melihat sambutan warga Kufah kepada utusan Al-Husain, Nu’man bin Basyir, gubernur Kufah, mengancam akan menindak setiap orang yang berusaha melawan pemerintahannya.

Atas keterangan dari mata-matanya, Yazid menganggap sepak terjang Nu’man bin Basyir tidak mampu mempengaruhi warga Kufah. Ia segera menggantikannya dengan Si Penjagal berdarah dingin, Ubaidillah bin Ziyad. Sehari setelah menjadi Gubernur Kufah, Ubaidillah menebar ancaman maut kepada siapa saja yang menentang Yazid. Mendengar ancamannya, keteguhan warga Kufah mulai luntur. Perlahan-perlahan Muslim bin Aqil mulai dihindari demi menyelamatkan diri. Orang-orang yang semula menyambut dan mengundangnya, sedikit demi sedikit meninggalkan utusan Al-Husain itu.

Muslim disembunyikan oleh segelintir orang yang masih teguh dan setia. Ubaidillah mulai menyisir Kufah. Ia memburu Muslim bin Aqil dan para pendukungnya. Dikerahkannya mata-mata agar menyusup ke dalam gerakan bawah tanah Muslim bin Aqil.

Ubaidillah, melalui mata-matanya, Ma’qal, berhasil membongkar jaringan bawah tanah Muslim bin Aqil. Satu demi satu pendukung setia Muslim ditangkap dan disekap. Gerak Muslim bin Aqil di Kufah kian sempit. Ia sangat menyesal karena telah mengirimkan surat kepada Al-Husain tentang sambutan hangat dan kesungguhan warga Kufah. Ia tak habis pikir atas perubahan mencolok sikap mereka. Orang-orang yang menyembunyikannya kini mulai berkurang karena ditahan dan dibunuh. Mukhtar Al-Tsaqafi ditangkap. Sulaiman melarikan diri.

Hani bin Urwah, sesepuh masyarakat Kufah yang buta sebelah, akhirnya menanggung resiko dengan menyembunyikan Muslim bin Aqil di rumahnya. Ubaidillah bin Ziyad, atas informasi dari Ma’qal, mengetahui bahwa Hani bin Urwah, sahabat lamanya, telah menjadikan rumahnya sebagai tempat persembunyian buronannya, Muslim bin Aqil.

Meski agak terheran-heran karena diundang ke istana tengah malam, Hani bin Urwah datang ke istana dan menemui Ubaidillah, sahabat lamanya. Setelah dipertemukan dengan Ma’qal, Hani tidak dapat menyembunyikan sikapnya. Hani disergap dan dikeroyok dalam istana. Tubuhnya dicincang dan merelakan jiwanya terbang dalam kesyahidan. Inna lillah wa inna ilaihi raji’un.

Muslim meninggalkan rumah Hani bin Urwah pada malam itu juga, karena tahu bahwa pasukan Ibnu Ziyad akan segera kembali dan menggeledah rumah tersebut. Muslim bin Aqil yang nyaris putus asa disapa oleh nenek tua di sebuah lorong yang sunyi. Wanita itu sungguh sedih setelah mengetahui bahwa lelaki yang mirip gembel itu ternyata adalah utusan Al-Husain yang beberapa pekan lalu disambut laksana pangeran oleh warga Kufah. Wanita berhati mulia itu memohon beliau untuk beristirahat di rumahnya. Muslim tak kuasa menolak permohonannya setelah ia berkali-kali mendesaknya.

Putra wanita tua itu ternyata adalah pegawai istana Ubaidillah. Meski ibunya memohon padanya agar merahasiakan keberadaan Muslim di rumahnya, pemuda itu pada pagi hari datang bersama pasukan ke rumahnya dan berencana menyeret Muslim bin Aqil ke istana Ubaidillah.

Wanita tua pecinta Ahlul-Bait itu terjerembab tatkala berusaha menghalangi pasukan memasuki pintu rumahnya. Ia menangis sedih karena merasa malu menjadi ibunya. Muslim membesarkan hatinya dengan menjanjikan syafaat Rasulullah padanya.

Muslim memberikan perlawanan sengit dan berhasil mengurangi jumlah pasukan yang mengepungnya. Namun perlawanan tak seimbang itu membuat Muslim tak kuasa melanjutkan pertempuran. Tali yang mengikat melukai kedua tangannya. Tubuh Muslim diseret dengan kuda. Seiring derap kaki kuda, Muslim menyapu bebatuan sepanjang lorong dan jalan hinggga anak-anak tangga istana Ubaidillah. Warga Kufah, yang pernah mengundang dan menyambutnya, kini menutup mata, mereka hanya membisu menyaksikan pemandangan yang mengharukan itu.

Muslim bin Aqil dengan nafas tersengal dan terputus-putus mengajukan tiga permohonan. Dengan ucapan terbata-bata Muslim berbicara kepada Ubaidillah. “Hai putra Marjanah! Jangan mengancamku dengan kematian! Aku adalah keponakan Ali bin Abi Thalib. Sebelum kau laksanakan kehendakmu, aku punya 3 permohonan kecil. Karena itu, aku perlu seseorang dari suku Quraisy yang dapat melaksanakannya.”

Kepada Umar bin Sa'd bin Abi waqqash, Muslim menyebutkan tiga keinginan dan pesannya. Pertama, mengucapkan syadahatain; kedua, memberi kabar Al-Husain di Madinah tentang perubahan sikap warga Kufah sejak kedatangan Ubaidillah; ketiga, menjual baju perangnya dan hasil penjualannya diberikan kepada seseorang yang meminjaminya uang selama berada di Kufah. Tentu saja, Umar tidak melaksanakan pesan kedua dan ketiga. Muslim meneteskan air mata tatkala melihat Umar meringis dan menolak melaksanakannya. Muslim bin Aqil tertunduk sedih karena permohonan untuk melaksanakan shalat sebelum menjalani hukuman mati ditolak. Sesaat kemudian dua algojo menyeret tubuh utusan Al-Husain yang penuh luka itu. Tanpa daya Muslim diseret menyusuri tangga menara. Kepala, Badan dan kakinya membentur anak-anak tangga yang mengantarnya secara paksa ke ujung menara. Ketika hitungan hadirin sampai pada angka terakhir, tubuh kemenakan Ali yang malang itu didorong dari atas menara. Tubuh yang penuh luka itu bagai baling-baling berputar sebelum akhirnya remuk akibat benturan keras di tanah, depan halaman istana. Para algojo yang bengis itu menghampiri tubuh muslim. Mereka berebut perhatin dengan memamerkan ketangkasan dan memainkan pedang, mencincang tubuh Muslim dan menggorok lehernya. Muslim yang masih setengah sadar menjalani penyiksaan perlahan-lahan. Ia mengerang lirih sebelum kepalanya berpisah dari tubuhnya. Dan jiwanyapun melambung tinggi disambut oleh Rasulullah SAW. Inna lilla wa inna ilaihi raji'un.

Al-Husain mendengar berita tentang kematian Muslim dari salah seorang pelaksana haji yang baru datang dari Irak. Al-Husain segera menghentikan thawafnya. Di hadapan mereka, penghulu para pemuda sorga itu berpidato: Puji atas Allah. Shalawat atas Muhammad dan keluarganya yang suci. Salam atas kalian semua. Barang siapa berdiam diri melihat penguasa zalim melanggar hukum Allah dan Sunnah Nabi-Nya, maka akan diletakkan di tempat yang layak baginya, neraka dengan kemurakaanNya. Jika kalian mengikutiku, maka ketahuilah aku adalah Al-Husain, putra Fathimah putri Muhammad SAW, Nabi termulia. Aku adalah ka’bah yang sesungguhnya. Aku adalah jaminan bagi keselamatan kalian kelak. Aku tidak merasa perlu meminta dukungan kalian agar menang, karena yang kucari bukanlah kemenangan atau kekuasaan. Aku akan pergi bersama keluargaku, para wanita dan anak-anak demi membuktikan kepada sejarah bahwa darah daging Muhammad siap menjadi tumbal dan tebusan. Sesungguhnya aku melihat hidup sebumi dengan para penganiaya sungguh mejemukan, sedangkan kematian adalah jalan tunggal menuju kebahagiaan sejati.

Wahai, umat datukku, ketahuilah, aku tidak hanya menentang Yazid dan para pegawainya, tapi aku juga menentang kebisuan dan kepengecutan umat kakekku, yang telah mengentas kalian dari kebiadaban dan kebinatangan menjadi bangsa yang beradab dan disegani. Tidakkah kalian lihat sendiri kebenaran telah diinjak-injak dan kebatilan telah dipuja-puja. Ketahuilah, kematian di mata putra Haidar lebih indah dari pada meringkuk dalam kehinaan di bawah kekuasaan para pendosa. Sampai jumpa kelak di hadapan kakek, ayah dan ibuku…!!!”

Al-Husain segera kembali ke rumahnya dan berkemas untuk melakukan sebuah perjalanan panjang, perjalanan syahadah. Ummu Salamah berlari dan mengejar Al-Husain yang siap bergerak meninggalkan Mekkah. Isteri setia Rasul itu memeluk Al-Husain penuh keharuan. Ummu Salamah tidak menahan kepergiannya, karena ia telah mengetahui bahwa Al-Husain pasti melakukan perjalanan ini, sebagaimana pesan Rasul tatkala menyerahkan sebuah bejana berisikan tanah Karb dan Bala. Al-Husain mengelus nenek berhati mulia itu penuh sayang.

Mekkah, Sabtu tanggal 8 Dzul-Hijjah tahun 60 Hijriyah.

Al-Husain dan rombongan keluarganya bergerak melintasi gerbang kota suci Mekkah. Perlahan-lahan menara Masjid Al-Haram terlihat kian kecil dan akhirnya lenyap.

Dusun demi dusun telah disinggahi. Kota demi kota pun dilalui. Kini samudera fatamorgana menganga lebar terhampar di hadapan mereka. Kafilah syahadah berarak menjejakkan kaki merajut sahara. Irama syahadah mengalun lirih iringi derak sekedup wanita-wanita Ahlul-Bait. Dewi-dewi berbusana serba hitam tampil memperagakan busana Duka Bencana!

Di tengah perjalanan, Al-Husain menyuruh rombongan yang terdiri dari keluarga dan para pengikutnya yang setia itu berhenti untuk melepas letih. Di situ Al-Husain berpidato: “Amma ba’du. Jalan terjal dan bukit-bukit pasir telah kita lalui, demi seteguk kebenaran dan sekerat keadilan. Kini, setelah mendengar berita tentang kematian Hani dan Muslim, aku tawarkan kepada kalian semua dua pilihan, yaitu tetap menyertaiku atau meninggalkanku melanjutkan perjalanan. Ketahuilah, aku tidak akan pernah menyalahkan kalian bila kalian memilih berpisah dariku. Namun aku juga menerima, bila kalian tetap bersamaku, megarungi perjalanan istimewa ini.”

Al-Husain tak kuasa membendung air hangat kesedihan tatkala satu per satu dari barisan pengikutnya mulai memisahkan diri. Kini cucunda Rasul termulia itu hanya dikelilingi oleh para wanita, anak-anak, sepasang suami isteri budak, beberapa lelaki tak dikenal. Al-Husain mengajak sisa rombongannya melanjutkan perjalanan lalu berhenti di dusun Ats-Tsa'labiyah. Dari arah utara lamat-lamat terdengar derap kawanan kaki kuda berlarian mendekati mereka. Pasukan berkuda berjumlah besar menyeruak dari balik bukit. "Siapakah anda? Dan mengapa anda datang dengan membawa pasukan yang banyak?" tanya salah seorang peserta rombongan Al-Husain. "Namaku Al-Hur bin Yazid Ar-Riyahi. Kami ditugaskan oleh Ubaidillah bin Ziyad, Gubernur Kufah, untuk mengawal kafilah anda menuju Kufah," jawabnya sopan.

Esok hari, tatkala rombongan Al-Husain dan pasukan Al-Hur bersiap untuk melanjutkan perjalanan, dari arah Kufah seorang penunggang kuda datang lalu menyerahkan surat kepada Al-Hur. Isi surat berbunyi:

"Dari Ubaidillah bin Ziyad untuk Al-Hur bin Yazid. Sesampainya surat ini ke tanganmu, desaklah Al-Husain dan kafilahnya menuju Kufah. Aku sengaja memerintahkan pembawa surat ini untuk tetap bersamamu guna memastikan perintah ini dilaksanakan."

Telapak kaki Al-Husain dan karavannya kembali memahat padang pasir dan menangkal sinar surya, melintasi dusun demi dusun. Tiba-tiba kuda Al-Husain berhenti, enggan bergerak. Al-Husain berusaha memacunya, namun tak juga bergeming. Setelah gagal mencoba beberapa kuda lain, Al-Husain menyapu dusun itu dengan tatapan penuh makna. "Apa nama dusun ini?" tanyanya memecah kesunyian.

"Al-Ghadhiriyah," sahut beberapa pengikutnya."Adakah nama lain untuk dusun ini?," tanya Al-Husain seakan tak percaya. "Syathi'ul Furat," sahut mereka. "Adakah nama lain?" "Nainawa," "Adakah nama lain?" "Karb (Duka) dan Bala (Bencana) Karbala.." jawab mereka serentak. Al-Husain menarik nafasnya dalam-dalam lalu berkata dengan nada tinggi: "Inilah Karb dan Bala…Di bumi tandus inilah tangisan gadis-gadis Ali akan terdengar! Di dusun inilah yatim-yatim Muhammad akan dianiaya!! Di sinilah wanita-wanita Ahlul-Bait akan dikejar-kejar!! Di sinilah aku dan para pengikutku dicincang dan dibantai Di sinilah aku akan dikunjungi!!

Sambil melompat dari atas punggung kudanya, al-Husain bersyair:

Hai zaman! Celaka kau!

Kau saksi bisu

Kala saksikan kekasih merana karena janji palsu

Kala pangeran didaulat lalu terhenyak lesu

Kala tamu dipaksa meneguk racun bercampur madu

Hanya Tuhan-lah tempat mengeluh dan mengadu

Dialah sumber cinta dan muara rindu

Mendengar syair pilu itu, Zainab lari menghampirinya seraya memekik sedih, "Saudaraku, oh seandainya kematian datang menyambarku.. Biarlah maut merenggutku agar tak kusaksikan bencana ini!! Angin kencang menerpa wajah Zainab yang sembab. Al-Husain dengan lembut mengelus kepala adiknya sambil menghiburnya, "Adikku, jangan biarkan setan melenyapkan ketabahanmu! Seluruh penghuni dunia pasti akan berhenti pada titik terakhir kehidupan. Kakek dan ayahmu, meski manusia-manusia sempurna, juga mengalaminya. jangan mangoyak-oyak baju dan menarik-narik rambut karena kematianku." Al-Husain menuntun Zainab menuju kemahnya. Para peserta kafilah sibuk menyalakan api unggun dan mendirikan tenda-tenda dalam jarak yang berdekatan.

Sementara itu, di Kufah, Ubadillah menunjuk Umar bin Sa'd bin Abi Waqqash sebagai panglima pasukan terdiri atas lima ribu tentara yang dikerahkan untuk mengepung dan memaksa Al-Husain dan kafilahnya untuk mengakui Yazid sebagai pemimpin. Debu-debu mengepul menutupi udara. Umar bin Sa'd dan pasukannya meninggalkan halaman istana Ubaidillah bin Ziyad menuju Nainawa. Pesta perburuan segera dimulai!!

Sejarah menggelar drama nyata…

“Pesta darah” di penghujung Dzil Hijjah…

Bumi tandus tampilkan konvoi “Duka Bencana”…

Hujan matahari guyur paras-paras tak berdosa…

Musafir-musafir dahaga ratakan bukit tandus Nainawa…

Kafilah kesucian berarak tinggalkan dunia fana…

Nafas-nafas tersengal iringi desau angin gurun di sana…

Tubuh lunglai Sukainah

Wajah pasi Shafiyyah

Mata sembab Atikah

Suara parau Ummu Kultsum

Langkah-langkah gontai Zainab

Karavan gembel-gembel nan tampan

Menggoyang genangan fatamorgana…

Bumi Duka Bencana, Karbala…

Selamat datang di Karbala!!!



[1] Bihar Al-Anwar

[2] Bihar Al-Anwar.

[3] Tarikh Ibn Asakir, Maqatil Ath-Thalibiyyin, Usdul-Ghabah dan majma’ Az-Zawa’id,

[4] Al-Isti’ab dan Al-Kafi.

[5] Uyun Akhbar Ar-Ridha dan I’lam Al-Wara

[6] Bihar Al-Anwar. Yang dimaksud oleh beliau adalah Al-Hasan dan Al-Husain.

[7] Mutsir Al-Ahzan.

[8] Bihar Al-Anwar

sumber:http://www-id.icc-jakarta.com/artikel/sejarah/1121-al-husain-menjelang-asyura-.htmlTerakhir Diperbaharui ( Senin, 14 Desember 2009 16:51 )

Fakta Dibalik Tragedi Karbala

Bertalian dengan Tragedi Karbala, saya ingin mengemukakan titik-titik temu di antara kaum Muslimin berkenaan dengan peristiwa besar ini, sehingga tidak satu pun dari kita yang masih beranggapan bahwa kejadian asyuro hanya berkaitan langsung dengan orang-orang Syiah dan tidak ada titik temu dalam memandang hal ini di antara mazhab lain. Padahal jika kita telusuri maka kita temukan banyak kesepakatan dalam melihat perstiwa ini. Titik temu yang saya maksud adalah:


1-Semua kaum Muslim sepakat bahwa Imam Husain berasal dari keluarga paling terhormat di antara para sahabat. Ayahnya adalah Ali bin Abi Thalib, menantu Nabi saw dan ibunya adalah Fatimah, putri tercinta Rasul saw.

2-Semua sepakat bahwa Imam Husain di samping sahabat besar, juga salah satu ahlul bait Nabi saw yang untuknya surat al Ahzab ayat 33 diturunkan.

3-Semua sepakat bahwa Rasul saw (kakek Imam Husain) sangat mencintai cucunya ini bahkan beliau memanggilnya dengan sebutan “anakku”.

4- Semua sepakat bahwa Nabi saw tidak pernah memuji Yazid dan siapapun yang terlibat dalam pembunuhannya. Bahkan beliau justru mengecam keras dan mengutuk mereka yang membantai cucunya. Sementara Nabi melontarkan minimal puluhan pujian kepada Imam Husain seperti hadis yang mengatakan bahwa “Husain adalah penghulu pemuda surga.”

5-Tidak ada satupun mazhab atau aliran atau bahkan agama manapun yang membenarkan kejahatan perang yang dilakukan tentara Yazid. Misalnya, pemisahan kepala dari badannya, dan pemisahan anggota tubuh lainnya. Perlu dicacat bahwa perihal pemisahan kepala Imam Husain ini sudah menjadi rahasia umum di kalangan para sejarawan manapun, dan tak ada satu pun yang membantahnya. Dan kepala suci ini disodorkan ke hadapan Yazid dan menurut versi sejarah, Yazid memukul kepala yang sering dicium oleh Nabi ini dengan tongkatnya.Kejahatan perang lainnya, tentara Yazid mengharamkan setetes air pun bagi pasukan Imam Husain, bahkan bayi yang mungil pun menjadi korban kebiadaban ini dimana bayi tersebut bukan hanya tidak dihilangkan dahaganya saat ayahnya membanya ke hadapan musuh dengan memelas agar kiranya hati mereka melunak dan memberinya air namun mereka dengan bengis mengakhiri hidup bayi putra cucu Nabi tak berdosa itu dengan lemparan panah yang menembus ulu hatinya.

Dan masih banyak kejahatan-kejahatan perang lainnya yang tidak dapat saya ungkap satu persatu dalam tulisan singkat ini. Untuk lebih jauh, silakan Anda membuka kembali buku-buku sejarah yang mengungkap hal ini.

6-Semua sepakat bahwa peristiwa Asyura adalah fakta dan bukan cerita fiktif.

7- Semua sepakat bahwa Imam Husain bukan berhadapan dengan kaum kafir atau musyrik, namun berhadapan dengan pasukan bergamis, bersorban, bertasbih dan berjenggot lebat (pasukan Muslim).

8-Semua sepakat bahwa jumlah pasukan Imam Husain tidak melebihi 100 orang, dan berhadapan dengan ribuan tentara Yazid.

9-Semua sepakat bahwa bersedih atas tragedi Karbala adalah hal yang lumrah jika melihat kualitas kekejaman yang dilakukan tentara Yazid terhadap Imam Husain dan keluarganya.

10-Semua sepakat bahwa membunuh orang Muslim tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariat adalah dosa besar, apalagi bila yang dibunuh adalah cucu tercinta dan keluarga Nabi saw.

11- Semua sepakat bahwa mayat seorang Muslim itu harus disholati dan dikebumikan sesuai dengan tuntutan syariat. Sementara pada tragedi Asyura, sejarah mencatat bahwa mayat Imam Husain dan para keluarganya dan sahabat-sahabat setianya dibiarkan begitu saja dan tidak dikebumikan oleh para pembunuhnya.

12-Semua sepakat bahwa secara riil (pandangan kasat mata) Imam Husain kalah. Sebab, di samping beliau terbunuh, semua pasukannya pun meninggal di Karbala. Namun semua tidak sepakat berkenaan dengan apakah tujuan beliau tercapai atau tidak? Dengan kata lain, apakah beliau secara batin menang? Perlu dicatat bahwa saat keluar menuju Karbala, beliau menegaskan: “Aku keluar bukan sebagai orang yang lalim, tapi aku ingin memperbaiki umat kakekku.”

13-Semua sepakat bahwa beberapa gerakan Islam kontemporer terilhami dan terpengaruh baik secara langsung atau tidak langsung dengan revolusi Imam Husain. Contoh paling pas dan ter-gres adalah kemenangan revolusi Islam Iran dimana sang pemimpinnya, Ayatullah Khomaini menegaskan bahwa revolusi yang diraih masyarakat Iran berangkat dari “semangat Husaini”.

14-Semua sepakat bahwa tawanan perang harus diperlakukan secara terhormat. Sementara sejarah mencatat bahwa pasukan Yazid mengiring para tawanan wanita keluarga Nabi saw secara biadab dan merantai mereka serta menghinakan mereka.[]

Mas Alkaff [1]
[1] . Beliau adalah Mahasiswa S1. Jurusan Filsafat Irfan di Universitas Imam Khomeini Qom, Iran.

sumber:http://konspirasi.com/peristiwa/fakta-dibalik-tragedi-karbala/


0 comments to "Al-Husain Menjelang Asyura"

Leave a comment