Home , , , � Apakah Kristus as Mengabarkan Kedatangan al-Husain as? “Roh Tuhan ada padaku, oleh sebab Ia telah mengurapi aku.”

Apakah Kristus as Mengabarkan Kedatangan al-Husain as? “Roh Tuhan ada padaku, oleh sebab Ia telah mengurapi aku.”

Karbala, Padang Cinta

(Serial Artikel Asyura 1)


Mulai tanggal 1 Muharram saya akan mempublish artikel-artikel istimewa seputar Asyura dan Karbala. berikut Artikel Dr. Haidar Bagir. Semoga bermanfaat.

”Agama adalah cinta dan cinta adalah agama”

(Imam Ja’far al-Shadiq)

”Orang yang paling rahim adalah yang memaafkan padahal sebetulnya ia mampu membalas-dendam”

(Imam Husayn)

”Agama adalah cinta dan cinta adalah agama”. Imam Ja’far sesungguhnya hanya sedang mengungkapkan prinsip dasar, yang melandasi semua saja ajaran-ajaran dan prinsip agama Islam. Memang, siapa bisa membantah bahwa di atas semuanya Islam adalah agama cinta?

Karena itu. Apa saja yang dilakukan oleh para penghulu agama ini tak mungkin dapat dilihat dengan benar kecuali dengan kaca mata cinta. Bukan hanya ketika Nabi saw. Mengampuni orang-orang Tha’if yang memprosekusinya, atau ketika ia memaafkan semua kafir Quraisy yang menindasnya justru ketika ia gilang-gemilang menaklukkan mereka di Fath Makkah, tapi bahkan ketika ia saw. memerangi mereka.

Penghukuman, peperangan, bakan pembunuhan adalah bukan saja bagian dari kecintaan kepada kemanusiaan dan upaya menyelamatkannya dari kerusakan yang dibuat orang-orang yang telah menganiaya diri (fitrah)-nya, tapi juga bagian dari kecintaan kepada pelakunya. Ia harus dihukum agar mendapat pelajaran demi perbaikan dirinya. Bahkan jika ada yang harus dibunuh, maka tujuannya adalah mencegahnya dari lebih jauh menganiaya diri sendiri, yang akan menyengsarakannya di dunia dan di kehidupan yang lain kelak setelah kematiannya.

Persis inilah yang dilakukan Imam Husayn ketika ia meninggalkan Makkah untuk pergi ke Kufah, dan akhirnya syahid di tengah perjalanan – Karbala – bersama nyaris semua anggota keluarga dan segelintir pengikut-setianya. Peristiwa Karbala, karena itu, pasti bukan persoalan ambisi untuk berkuasa.

Imam Husayn, seperti ayahnya, pastilah seorang fataa. Seorang kesatria-sufi. Ungkapan Nabi Muhammad saw. -- laa fataa illaa ’Ali (tak ada kesatria seperti Ali) -- tentu tak kurang-kurang sesuai untuk putranya ini. Karena, bukankah Nabi yang sama mengatakan tentang sang putra, bahwa ia Tuan dari seluruh martir (sayyid al-syuhada)? Tapi, seperti fataa, bukan saja dia adalah ahli perang dan pemberani didikan sang ”singa” (haydar) Ali. Tapi, seperti ayah, ibu, dan kakeknya pula, dia adalah teladan ”penyangkalan diri” sempurna, dan simbol-puncak kecintaan kepada Tuhan.

Inilah katanya :

”Butalah mata seseorang yang tidak menganggap bahwa Engkau mengawasinya. Merugilah peniagaan seseorang yang belum memperoleh cinta-Mu sebagai labanya”

Atau :

”Apakah gerangan yang diperoleh seseorang yang kehilangan Diri-Mu. Masih adakah kekurangan bagi seseorang yang mendapatkanmu?”

Memang fataa sama sekali bukan hanya kesatria perang yang sakti mandraguna dalam menaklukkan musuh-musuhnya. Sama sekali tak bisa diperbandingkan dengan itu semua, fataa adalah penakluk diri sendiri, ego angkara-murka yang selalu cenderung mendorong ke arah pembangkangan kepada Allah.

Dia tentu adalah mujahid. Tapi bukan hanya mujahid dalam peperangan, melainkan mujahid al-nafs (kesatria perang melawan diri sendiri). Itu sebabnya dikatakan, tak ada peperangan di medan tempur(jihad ash-ghar atau jihad kecil) yang dilakukan tanpa didahului peperangan –hati melawan nafsu angkara-murka (jihad besar atau jihad akbar).

Sebagai seorang fataa seperti ayahnya, dia adalah sayyid al-fityan, simbol keberanian, kedermawanan, dan ketanpa-pamrihan. Seperti kata Nabi saw. kepada Ali ra. (yang dikutip banyak sufi) : ”Wahai Ali. Seorang fataa adalah orang yang jujur, percaya, amanah, pengasih, pelindung kaum papa, amat dermawan dan santun, gemar berbuat amal-amal baik, dan berpenampilan sederhana.” Seorang fataa memiliki harga diri (muruwwah). Bukan saja harga diri di depan orang lain, melainkan harga diri sebagai manusia, yang tak hendak menurunkan kemanusiannya dengan menganiaya fitrahnya. Seorang fataa, meneladani Tuhannya, mendahulukan kasih sayang atas kemurkaan. Seperti Tuhan yang siap mengampuni semua dosa, ia tak putus asa terhadap orang-orang. Dan ini sama sekali tak bertentangan dengan prinsip keadilan. Seperti dikatakan Reza Shah-Karemi, dilihat dari perspektif ontologis, kasih sayang adalah satu aspek keadilan.

Bukan hanya Islam, bahkan (atau, seharusnya, tentu) mazhab Syi’ah, adalah mazhab cinta. Bukankah, kalau kita harus menyebut satu saja ciri mazhab ini, itulah mesti ”wilayah”? Wilayah adalah kepemimpinan, ketundukan kepada pemimpin. Tapi wilayah juga sepenuhnya berarti kecintaan, pengasihan. Kecintaan dan pengasihan kepada pimpinan, sekaligus kecintaan pemimpin (waliy) kepada yang dipimpinnya. Kecintaan pemimpin sebagai perpanjangan tangan Wali-Puncaknya, yaitu Allah Swt.?

Orang boleh mengira bahwa lawannya cinta adalah kebencian. Sehingga, untuk mencintai seseorang, atau mencintai Allah, kita harus membenci musuh-musuh orang itu atau musuh-musuh Tuhan.. Tapi, hemat saya, lawannya cinta bukanlah kebencian. Cinta adalah keseluruhan. Tak ada ruang di luar cinta. Tak ada lawan-kata untuk cinta. Kalau pun mesti ada kosa kata ”kebencian” maka itu hanya layak ditujukan kepada perbuatan, bukan kepada orang-orang. Kita boleh, bahkan harus, benci kepada perbuatan buruk. Tapi tetap oleh kecintaan kita agar tak ada manusia apa pun yang terus terjebak ke dalam keburukan. Kita harus membenci perbuatan orang, kita tentu saja boleh memperingatkan, bahkan menghukum jika diperlukan. Tapi, kebencian kepada perbuatan buruk, peringatan, bahkan hukuman tetap harus ditetskan dari sumber cinta.

Karena itu, sudah pasti, Karbala bukan persoalan kebencian. Karbala boleh jadi melibatkan kejahatan dan kekejian terbesar sepanjang sejarah kemanusiaan, tapi tetap saja ia adalah persoalan cinta. Persoalan cinta Tuhan, dan melebur (kembali) ke dalam Dia. Persoalan memaafkan, dan bukan kebencian. Persoalan memaafkan, dan menjadi seperti Tuhan. Karena itu, Karbala tentu bukan hanya persoalan memukul-mukul dada, apalagi melukai tubuh sendiri. Dan sudah pasti Karbala bukan hanya soal laknat-melaknat.

Satu lagi. Tragedi Karbala bukan hanya bukan persoalan orang-orang yang mengaku sebagai pengikut mazhab Syi’ah atau mazhab Ahl al-Bayt (Keluarga Rasul) saja – apalagi tak ada sesungguhnya Muslim yang boleh merasa sebagai bukan pengikut Keluarga Rasul. Siapa pun akan mengerdilkan peristiwa Karbala jika tak melihatnya sebagai memiliki tujuan kemanusiaan universal. Bahkan tak hanya terbatas pada kaum Muslim belaka. Inilah kata Muthahhari, seorang ulama besar yang telah membaktikan diri sebagai pengikut Imam Husayn r.a dengan cara mendedikasikan hidupnya bagi perbaikan kemanusiaan dan mengorbankan dirinya sbagai syahid untuk misinya itu :

(“Salah satu) syarat bagi suatu gerakan suci (seperti Karbala) adalah bahwa ia tak semestinya memiliki tujuan yang besifat personal, yang (hanya) terkait dengan kepentingan individual. Ia harus bersifat universal dan meliputi seluruh kemanusiaan dan spesies manusia. .... Seseorang yang melancarkan perjuangan seperti ini sesungguhnya mewakili semua manusia. ... Inilah sebabnya Rasul saw. menyatakan : “Husayn adalah (bagian) dariku dan aku (bagian) dari Husayn”. (Yakni, bukankah Allah Swt, memfirmankan bahwa Rasul saaw. diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam?).

Buku ini terutama adalah upaya, seperti kata Rumi, untuk melihat Karbala dengan memusatkan perhatian kepada Imam Husayn, pusat-agung dari semua peristiwa ini. Kepada teladan kecintaan sempurna kepada Tuhan dan kemanusiaan universal, serta penyangkalan diri habis-habisan di hadapannya. Bukan kepada peperangan, pertumpahan darah, kejahatan, kekejaman, kehewanan, dan nafsu ingin balas dendam. Bahkan juga bukan semata-mata duka dan kesedihan. Buku ini adalah tentang kita belajar cinta kepada Tuhan, dari Tuan-Nya Para Penghulu Syuhada ini.

Seperti Iqbal saja, kita bisa berkata : Peran Husayn di Karbala begitu agungnya sehingga ia memupuskan gagasan-buas tentang kekejaman dan keberdarah-dinginan. Gelombang darah Husayn, kata penyair anak-benua pencinta Keluarga Nabi ini, telah menciptakan taman yang menyimbolkan pengorbanannya bagi pelestarian kebebasan dan kebenaran. Persis seperti yang diungkapkan Zaynab ra., di tengah bau anyir darah keluarga Imam Husayn di padang Karbala : ”Aku mencium harum bau surga di sini.” Sehingga, seperti kata Rumi tentang peristiwa ini :

“… kalau ini persoalan menyawang (dunia ruhani), kenapa tidak berani, kenapa tak menyokong (orang lain), kenapa tak berkorban-diri, dan sempurna terpuasi?”

Semoga Allah Swt. membuka dada kita selapang-lapangnya untuk dapat merasakan luapan cinta Imam Husayn, dan meneladaninya, meski mungkin besarnya cuma setetes dibanding samudera yang dibentangkannya.

“Bumi bergetar, berguncang; langit meraung-raung

Ini bukan perang, ini adalah pengejawantahan cinta”

“Kesusahan syahadah, dengar!, adalah hari suka-cita.

Yazid bahkan tak peroleh sezarah cinta ini

Kematian adalah hujan untuk anak-anak Ali”

“Kesusahan syahadah adalah seluruh musim hujan penuh suka-cita

Yazid tak temukan jejak-jejak cinta ini

Untuk dibunuh adalah keputusan Imam sendiri

sejak mula-mula sekali”

“Surga adalah kediaman merka

dalam kejayaan mereka telah mangkat ke surga

Mereka telah malih fana dalam Tuhan

dengan-Nya mereka telah jadi Dia”

(Abdul-Lathif dari Bhit,1689-1752)

sumber:oleh Muhsin Labib pada 07 Desember 2010 jam 13:17

Husain dan Yesus (Serial Artikel Asyura 2)


Wahai para pembunuh Husain

Ketahuilah, kalian akan dapatkan azab dan siksa

Kalian telah dilaknat melalui lisan putra Daud

dan Musa serta pembawa Inji.

Yesus Kristus telah melaknat para pembunuh al-Husain as dan memerintahkan Bani Israil agar melaknat mereka. Ia berkata,

“Barangsiapa yang hidup pada zamannya, hendaklah ia ikut berperang bersamanya. Maka, ia akan menjadi seperti orang yang mati syahid bersama pada nabi yang terus maju pantang mundur. Seakan-akan aku melihat tempatnya. Setiap nabi pasti mengunjunginya. Ia berkata, ‘Engkau adalah tempat yang memiliki banyak kebaikan. Padamu akan dikuburkan bulan yang cemerlang.’”[Kâmil al-Ziyârat, Ibn Quluwaih, hal. 67].

Kutipan ini mengandung tiga butir penting:

1] Laknat Kristus terhadap para pembunuh al-Husain as dan perintahnya kepada Bani Israil agar melaknat mereka;

2] Dorongan untuk berperang bersamanya dengan menjelaskan bahwa kesyahidan dalam perang ini adalah seperti berperang bersama para nabi;

3] Penegasan tentang ziarah para nabi ke tanah Karbala dengan penegasan yang sempurna bahwa “setiap nabi” pasti menziarahinya.

Beberapa sumber sejarah [di antaranya lihat Ikmâl al-Dîn karya al-Shaduq, hal 295.] menyebutkan bahwa Yesus putra Maria as pernah melewati tanah Karbala. Ia berdiri di tempat tragedi itu, mengutuk para pembunuh al-Husain as, dan orang-orang yang telah mengalirkan darahnya yang suci di atas tanah tersebut.

Ketika Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as melewati serta menyinggahi Karbala dalam perjalanannya ke Shiffin, ia menunjuk ke suatu tempat dan berkata, “Di sinilah tempat pemberhentian mereka dan tempat penambatan kendaraan mereka.” Ia menunjuk ke tempat lain dan berkata, “Di sinilah tempat darah mereka tertumpah; sungguh beban bagi keluarga Muhammad yang singgah di sini.” [Rijâl al-Kasyi, hal. 13]

Kemudian, ia berkata lagi,

“Beruntunglah engkau, wahai tanah! Padamu, orang-orang yang akan masuk surga tanpa dihisab akan berkumpul.”

Ia menangis, dan orang-orang yang ikut bersamanya ikut menangis pula. Lalu ia memberitahukan kepada mereka bahwa putranya, al-Husain, akan gugur di sini, yaitu ia beserta keluarganya dan sahabat-sahabatnya.

Menurut kriteria-kriteria kemanusiaan konvensional, setiap individu yang memiliki sifat tertentu pasti tersentuh ketika mengunjungi tempat-tempat yang biasa dikunjunginya; atau ketika berkumpul bersama para pengunjung lainnnya; atau ketika menantikan orang seperti dia datang ke sana. Sementara itu, menurut kriteria-kriteria kemuliaan Ilahi, amanat-amanat kenabian serta kesyahidan sering diucapkan oleh para nabi dan berputar di antara lisan para imam. Maka, mereka membuka jalan untuk kepentingan tersebut dan membiasakan diri untuk menerima hal yang serupa dengan apa yang mereka nantikan, yang menyempurnakan apa yang telah mereka rintis dalam kesempatan yang telah dipersiapkan oleh Allah bagi mereka.

Seorang nabi seperti Yesus as dan seorang syahid seperti putra Maria as pasti mengetahui perkara Sang Syahid yang akan datang sepeninggalnya untuk menyempurnakan apa yang telah dirintisnya, yaitu penegakkan kebenaran, pembelaan bagi kaum teraniaya, dan pembebasan manusia dari perbudakan.

Lembaran yang dibaca Yesus as tentang kedatangan al-Husain as juga dibaca oleh Yohanes Pembaptis ketika menantikan kedatangan Kristus as. Diilhamkan kepada keduanya perkataan yang jelas dan nubuat yang nyata.

Yesus as berkata,

“…yang datang kemudian daripadaku. Membuka kasutnya pun aku tidak layak.”

[Yohanes 1:27-28]

Dalam ayat al-Quran yang mulia disebutkan, Ketika Kami mengambil perjanjian dari para nabi dan juga darimu, dari Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan mengambil dari mereka perjanjian yang kokoh.

Ini menunjukkan bahwa perjanjian para nabi dan syuhada diambil dari mereka sebelum mereka ada, dan bahwa tidak ada tempat menghindar dari kejelasan perjanjian ini sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah Swt.

Dalam Injil Yohanes, Kristus mengabarkan kepada murid-muridnya tentang akan diutusnya mu’ayyid (penghibur) bagi kesyahidannya, yang menyempurnakan pengibaran panji kebenaran Ilahi sepeninggalnya di atas dosa, kebaikan, dan penghakiman. Maka Yesus as berkata:

Tetapi sekarang aku pergi kepada Dia yang telah mengutusku, dan tiada seorang pun di antara kamu yang bertanya kepadaku, “Ke mana engkau pergi?” Tetapi karena aku mengatakan hal itu kepadamu, sebab itu hatimu berduka cita. Namun benar yang kukatakan ini kepadamu, “Adalah lebih berguna bagi kamu, jika aku pergi. Sebab jikalau aku tidak pergi, penghibur (mu’ayyid) itu tidak akan datang kepadamu. Tetapi jikalau aku pergi, aku akan mengutus dia kepadamu.” Dan kalaupun dia datang, dia akan menginsafkan dunia akan dosa, kebenaran, dan penghakiman.[Yohanes 16:5-8]

Sebagian Lahutiyyûn (mistikus Kristen—peny.) menafsirkan mu’ayyid dengan “Roh Kudus”. Akan tetapi, makna-makna yang dirujuk dengan kata “Roh Kudus” yang disebutkan dalam empat Injil (Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes) berbeda dengan makna kata mu’ayyid. Sebab, sekiranya kita membuka lembaran-lembaran Injil dan mencermati nasihat-nasihat serta tamsil-tamsil Kristus, maka hal itu akan menjelaskan kepada kita bahwa Kristus mengucapkan kata mu’ayyid hanya sebelum pengembaraannya, dan karena dalam semua nasihatnya, ia menyebut Roh Kudus dengan “Roh Kudus”, tidak dengan nama lain yang memungkinkan penakwilan dan penafsiran mu’ayyid sebagai “Roh Kudus”.

Dalam Injil Yohanes disebutkan bahwa Kristus as bercakap-cakap dengan seorang perempuan Samaria. Ia berkata:

Tetapi saatnya akan datang dan sudah tiba sekarang, bahwa penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran…Allah itu Roh dan barangsiapa menyembah Dia, harus menyembahnya dalam Roh dan kebenaran.[Yohanes 4:21-24]

Di sini ada isyarat yang jelas bahwa Roh adalah kebenaran (al-Haqq). Ketika Kristus menyingkap rahasia Roh Nikodimus, ia berkata:

Apa yang dilahirkan dari daging adalah daging, Dan apa yang dilahirkan dari Roh adalah roh. [Yohanes 3:6]

Dalam Injil Lukas, ada penjelasan yang lebih baik tentang makna “Roh Kudus”, yaitu ketika Kristus berkata kepada murid-muridnya:

Apabila orang menghadapkan kamu ke majelis-majelis atau kepada pemerintah-pemerintah dan penguasa-penguasa, janganlah kamu khawatir bagaimana dan apa yang harus kamu katakan untuk membela dirimu. Sebab pada saat itu juga Roh Kudus akan mengajar kamu apa yang harus kamu katakan. [Lukas 12:11-12]

Dalam frase: “Roh Kudus akan mengajar kamu”, terdapat isyarat bahwa Roh Kudus adalah sesuatu yang bersifat khayûlî yang tidak bisa diraba dan dilihat. Ketika ia hadir, maka ia hadir sebagai ilham dan inspirasi, bukan fisik materi.

Inilah yang dikuatkan dengan ucapan Kristus kepada murid-muridnya di Nazaret: “Roh Tuhan ada padaku, oleh sebab Ia telah mengurapi aku.”

Kristus bisa saja mengganti setiap apa yang diucapkannya tentang Roh Kudus dengan kata mu’ayyid, sehingga ia berkata, “Mu’ayyid akan mengajar kamu”, untuk menggantikan mengganti kata “Roh Kudus”.

Dalam semua nasihatnya, Kristus berbicara tentang Roh Kudus dengan kata “yang paling kuat” dan “yang paling tinggi”. Ia menempatkan dirinya pada tempat “yang paling hina” dan “pelaksana”. Maka Roh Bapa datang kepadanya, sedangkan Roh Kudus memberi pengajaran kepada murid-muridnya.

Namun ucapannya, “Sebab jikalau aku tidak pergi, penghibur (mu’ayyid) itu tidak akan datang kepadamu,” ditafsirkan sebagai satu hal yang berada di bawah kekuasaan Kristus yang bisa didatangkan kapan saja. Hal ini berbeda dengan makna-makna yang dijelaskan sebelumnya, yang di dalamnya ia berbicara tentang Roh Kudus dan menyebutnya sebagai Bapa Surganya (Tuhan Bapa) yang diilhamkan dan diajarkan kepada murid-muridnya, tanpa ada kekuasaan atasnya. Kekuasaan Roh adalah yang tertinggi di atasnya. Sementara itu, di atasnya tidak ada sesuatu apa pun, kecuali ketundukan kepadanya.

Perbedaan itu jelas dan nyata di antara frase: “Roh Kudus memberi pengajaran kepada kamu” dan “jikalau aku tidak pergi, penghibur (mu’ayyid) itu tidak akan datang kepadamu.” Roh Kudus, pada frase pertama, adalah tiupan khayûlî yang berhubungan dengan pemikiran dan batin, dan Kristus tidak memiliki kekuasaan atasnya. Bahkan, ia tunduk kepadanya. Sementara itu, mu’ayyid pada frase kedua adalah esensi materi yang memiliki beberapa dimensinya, dan Yesus memiliki kekuasaan untuk mendatangkannya kepada manusia.

Untuk menguatkan makna ini, ditegaskan makna bahwa Roh Kudus adalah tiupan khayûlî, tidak seperti penafsiran bahwa mu’ayyid adalah apa yang disebutkan dalam nyanyian Zakaria: “Dan Zakaria, ayahnya, penuh dengan Roh Kudus, lalu bernubuat, katanya, ‘Terpujilah Tuhan…’” (dan seterusnya). [Lukas 1:67]

Juga, ketika Maria putri Imran, yang dilamar oleh Yusuf sebelum mereka tinggal bersama, didapati telah hamil dari Roh Kudus, yaitu tiupan dari Allah, dan dengan perintah dari sisi-Nya.

Dalam al-Quran disebutkan, Jika mereka bertanya kepadamu tentang ruh, katakanlah bahwa ruh adalah urusan Tuhanku [QS. Al-Isra: 85] dan Kami memberi penjelasan kepada Isa putra Maryam dan mengokohkannya dengan ruh kudus.[QS. Al-Baqarah 87]

Dalam Injil Matius ada kalimat, “Dialah yang membaptis dalam Roh Kudus.”

Dalam Injil Lukas ada kalimat, “Sesungguhnya Bapak Surga (Tuhan Bapa) akan memberi orang yang memintanya dengan nama Roh Kudus.”

Dalam Injil sendiri dikatakan, “Sesungguhnya Roh Kudus akan berkata dengan bahasa kamu tentang ketidakadilan.”

Dalam Injil Yohanes dikatakan, “Sesungguhnya Roh Kudus akan membimbing kamu kepada kebenaran;” “Roh Kudus akan menundukkan alam;” dan “Ambillah Roh Kudus oleh kamu.”

Kata mu’ayyid tidak disebutkan kecuali pada akhir dari keempat Injil. Dalam sebagian kandungannya, kata itu ditafsirkan dengan “Roh Kudus”, yang tidak memberikan celah bagi keraguan bahwa penafsiran itu lemah dan tidak mencapai sasaran yang dimaksud oleh ucapan Kristus as. Jika kita mencermati frase tersebut, maka “Roh Kudus” disebutkan dalam banyak tempat dari keempat Iinjil dalam makna yang bertentangan dengan sifat mu’ayyid berkaitan dengan tingkatan dan aspek kemampuan keduanya.

Jika kita mengaitkan kata mu’ayyid dengan klausa “aku datangkan kepada kamu” dan “dan kalaupun dia datang, dia akan menginsafkan dunia akan dosa, kebenaran, dan penghakiman,” maka akan menjadi jelaslah bagi kita bahwa mu’ayyid adalah seorang manusia dan esensi materi yang dikuatkan oleh Yesus as dan diberi bendera kebenaran yang deminya ia mati syahid.

Setelah Kristus as, datanglah Muhammad saw sebagai penutup para nabi. Setelah risalah Islam, tidak akan ada lagi rasul dan pemberi petunjuk kepada manusia.

Apakah Kristus as Mengabarkan Kedatangan al-Husain as?

Dari penafsiran sebelumnya, kita tahu bahwa mu’ayyid adalah esensi materi yang menguatkan kesyahidan Yesus as. Penguatan kesyahidan hanya bisa terjadi dengan kesyahidan lain yang serupa, yang penderitaan dan bentuknya berpangkal pada kekerasan jiwa orang-orang pada zaman yang dialaminya. Sekiranya kita merenungkan, maka kita akan melihat bahwa tidak ada kesyahidan besar yang terjadi setelah kesyahidan Yesus as selain kesyahidan putra kesayangan Nabi Muhammad, keturunan kenabian, dan orang yang diberi makan melalui ibu jari beliau. Itulah kesyahidan yang disebutkan melalui lisan Syahid Kristus, dan yang membawa Kristus ke tempat kesyahidannya di Karbala beberapa abad sebelum kita.

Seakan-akan, ketika menerawang kejadian-kejadian mengerikan yang akan dialami oleh al-Husain as di tanah yang dikunjunginya itu, Yesus as sangat emosional dan mengutuk orang-orang yang membunuhnya dan memerintahkan Bani Israil agar mengutuk mereka. Ia juga menganjurkan kepada orang-orang yang mengalami hidup pada zaman al-Husain agar ikut berperang bersamanya.

Apa nilai kriteria kesyahidan al-Husain as dalam perjalanan postulat-postulat ketuhanan dan keseimbangan-keseimbangan kemanusiaan?

Sebagai sebuah kesyahidan, keagungan dan kepentingan hasilnya memasuki batas-batas kenabian dan kesyahidannya mencapai batas-batas kekudusan serta keabadian yang ada dalam kenabian, sehingga al-Husain menjadi personifikasi kenabian. Ya, al-Husain as menjadi serupa dengan para rasul.

Tidak ada yang aneh dalam hal ini selama tidak keluar dari apa yang telah diwasiatkan Yesus as kepada Bani Israil dan yang dianjurkannya kepada mereka agar berperang bersama al-Husain, dengan menjelaskan bahwa kesyahidan bersamanya adalah “seperti kesyahidan bersama para nabi”.

Tidak juga ada yang aneh dalam keserupaan al-Husain dengan para rasul selama tidak keluar dari apa yang dinyatakan oleh Nabi Muhammad dengan sabdanya, “Husain dariku dan aku dari Husain.” Nabi saw mengawali pernyataannya dengan mengarahkan perhatian kepada keberadaan al-Husain sebagai bagian darinya sebelum menyatakan bahwa beliau adalah bagian dari al-Husain.

Untuk mengetahui lebih jelas mengenai penyebutan mu’ayyid yang dijanjikan oleh Kristus as dengan mendatangkannya untuk menjadi syahid bagi kebenaran, hendaklah kita memperhatikan bahwa ia menyebutnya sebagai mu’ayyid, bukan mu’ayyad.

Menurut kamus bahasa, mu’ayyid adalah ‘orang yang meneguhkan, menguatkan, dan membantu orang lain’. Misalnya adalah kalimat, Ayyada fulânun fulânan, artinya ia berdiri di pihaknya dan mendukung pendapat serta sikapnya di hadapan orang lain.

Sementara itu, mu’ayyad artinya orang yang didukung pendapat dan sikapnya. Dalam hal ini, ia sebagai ism maf‘ûl bih (yang dikenai pekerjaan), sedangkan mu’ayyid sebagai ism fâ‘il (yang melakukan pekerjaan).

Sekiranya Yesus as menyebut mu’ayyad, maka dialah yang menjadi mu’ayyid-nya dalam posisi fâ‘il, dan orang yang akan didatangkannya adalah maf‘ûl bih.

Dalam Injil yang ditulis dalam bahasa Yunani, disebutkan kata bârâkiltus, artinya mu‘azzî dan mu’ayyid (orang yang menguatkan). Mu‘azzî dalam bahasa Arab sama artinya dengan mu’ayyid.

Jadi, menafsirkan mu’ayyid menjadi “Roh Kudus” tidaklah tepat karena berada dalam kekuasaan Kristus as untuk mendatangkannya agar menjadi syahid baginya, yaitu pengertian yang bertolak belakang dengan penafsiran tersebut. Selain itu, justru Roh Kudus-lah yang menguasai Kristus. Inilah yang ditegaskan oleh Kristus as kepada murid-muridnya dalam jamuan terakhir. Ketika itu, ia berkata:

Kebenaranlah adalah kebenaran yang aku katakan kepada kamu: Sesungguhnya seorang hamba tidaklah lebih tinggi daripada tuannya. Dan seorang utusan tidaklah lebih tinggi daripada dia yang mengutusnya. [Yohanes 13:16]

Karena yang mengutusnya adalah Allah, maka dia berbicara dengan kalam Allah.

Orang-orang pilihan Allah telah diistimewakan dengan pelaksanaan secara jujur dan mutlak apa yang Allah tampakkan kepada mereka dan yang Dia perintahkan kepada merkea. Mereka pun melaksanakan tugas mereka menurut ilham dari Roh Kudus. Dalam berbuat, mereka bukan alat yang tuli tanpa tanggung jawab, dan tidak bersikap kepadanya dengan sikap yang netral.

Mereka adalah pribadi-pribadi merdeka yang dipilih oleh Allah untuk menerima wahyu Ilahi dan menyampaikannya kepada generasi-generasi berikutnya. Dalam berpikir, berbicara, dan berbuat, mereka berbuat dengan gerakan dari Roh Kudus dan dengan pertolongan-Nya. Sebab, Dia menerangi akal mereka dan menguatkan kehendak mereka untuk menggunakan kemampuan-kemampuan pikiran mereka agar dapat mengungkapkan wahyu Ilahi, serta mengokohkan langkah mereka ketika tiba batas waktu perjalanan yang telah diilhamkan.

Al-Husain as adalah cucu Nabi Muhammad, penghulu pemuda penghuni surga, bapak syuhada sepanjang umur manusia. Ia adalah salah satu dari mereka yang diberi keistimewaan oleh Allah Swt dengan ilham internal untuk memperbaiki urusan agama dan memandu manusia yang tesesat dari jalan keselamatan mereka. Dia maju dengan tegar ke tempat dan arena kesyahidannya.

Dari tuntutan kelebihan-kelebihan yang dikhususkan oleh Allah Swt kepada orang-orang pilihan-Nya, kita menemukan bahwa mu’ayyid yang diucapkan Kristus as adalah nama yang digunakan untuk menunjukkan esensi manusia pilihan.

Susunan dan tingkatannya secara universal berbeda dari karakteristik Roh Kudus yang digunakan untuk menunjukkan Zat Allah Yang Mahatinggi. Sebab, tidak mungkin dan tidak masuk akal bila Kristus mengatakannya dengan maksud bahwa dialah yang akan mengutus rasul dari sisinya kepada Tuhannya Yang Mahatinggi.

Demikian pula, tidak logis bila yang dimaksud oleh Kristus as adalah mengutus rasul lain seperti dia. Namun, pengertian yang paling dekat pada penafsiran yang logis adalah kuasa Kristus as untuk mengutus orang yang tingkatannya berada di bawah dia sebagai seorang nabi.

Dua frase: “yang kuutus” dan “yang mengutusku”, keduanya dirangkaikan dengan kata “mu’ayyid”. Selanjutnya, frase itu dirangkaikan dengan dua frase: “dia yang bersaksi untukku” dan “dia membimbing kamu kepada kebenaran seluruhnya”, yang mendefinisikan dengan jelas dan menentukan tugas utama dan satu-satunya dari mu’ayyid tersebut.

Hal itu diabstraksikan dalam penguatan terhadap kesyahidan Yesus as dan bimbingan kepada kebenaran yang dikabarkannya. Penguatan ini hanya bisa terjadi dari inti tujuan yang dimaksud.

Dengan demikian, kesyahidan itu tidak dikuatkan kecuali dengan kesyahidan yang serupa, dan kepahlawanan tidak dikuatkan kecuali dengan kepahlawanan juga. Atas dasar kriteria ini, hal-hal yang memiliki karakteristik-karakteristik yang sama adalah identik.

Jika kita membandingkan semua pernyataan di atas dengan pernyataan al-Husain as: “Barangsiapa yang menerimaku dengan menerima kebenaran, maka Allah lebih berhak atas kebenaran itu,” maka pertanyaan yang logis, yang didukung oleh kepuasan aksiomatis, masuk ke dalam pemahaman-pemahaman yang logis. Agar bisa keluar darinya secara lebih transparan dan lebih jelas, hendaklah dikemukakan pertanyaan ini: Apakah yang dimaksud oleh Yesus as dengan mu’ayyid itu adalah al-Husain as?”

Sebelum akal manusiawi dan wahyu internal kita menunjukkan jawaban yang logis terhadap pertanyaan ini, kita harus menafsirkan apa yang dimaksud dari ucapan Yesus as tentang pengutusan mu’ayyid. Mudah-mudahan, pada akhir perjalanan ini bersama logika dan akal, kita sampai kepada pemahaman batiniah dan logis yang jelas tentang esensi mu’ayyid tersebut.

Yesus as berkata, “Dan kalaupun dia datang, dia akan menginsafkan dunia atas dosa, kebenaran, dan penghakiman”.

“Atas dosa”… karena dosa itu akan menghitam dan menjadi aksioma dalam perasaan esensi manusia. Dosa menjadi sangat keji di suatu tempat pada zaman kedatangan mu’ayyid, dimana dia akan menghapusnya dengan kesyahidannya yang menggema.

“Atas kebenaran”… karena kebenaran tidak dipraktikkan. Kebenaran dijauhi oleh jiwa manusia. Sebaliknya, manusia taat kepada setan, meninggalkan ketaatan kepada Tuhan, dan menampakkan kerusakan, menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah, dan mengharamkan apa yang dihalalkan-Nya.

“Atas penghakiman”… karena penghakiman (pemerintahan) hampir berhasil mencabut akar agama Allah Yang Mahaesa selama zaman risalah ketiga—Islam. Akar ini harus dikembalikan kepada tanah Ilahinya.

Marilah kita merenungkan ucapan al-Husain as yang dipekikkan terhadap upaya pencabutan ini: “Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman menolak hal itu untuk kita.”

Jika kata kebenaran dan penguatnya mengalir pada lisan Yesus as, maka hal itu merupakan ajakan kepada kita agar kita mencermati secara mendalam “penerimaan kebenaran”. Ungkapan itu pula yang mengalir pada lisan al-Husain as. Maka, kebenaran adalah milik Allah dan keagungan-Nya lebih pantas atasnya. Keagungan itulah yang membawa bendera tiga risalah samawi-Nya, dan kebenaran itu adalah satu-satunya bilangan penyebut yang padanya risalah itu didakwahkan dan untuknya disebarkan.

Dalam rahasia ini tersembunyi ucapan Syahid al-Husain as: “Allah lebih berhak atas kebenaran itu.” Ia tidak mengatakan, “Muhammad, Yesus, atau Musa, dan tidak pula Islam, Kristen, atau Yahudi. Akan tetapi, ia berkata, “Allah.” Sebab, Dialah yang mengirim risalah-risalah dari sisi-Nya, yang mengatur ucapan dan perbuatan kebenaran, dan yang memilih para pembawa dan syuhadanya.

Yesus mengucapkan perkataan ini semata-mata setelah ia melihat dengan matanya, mendengar dengan telinganya, dan meraba dengan tangannya bagaimana kebenaran itu tidak dipraktikkan dan kebatilan tidak dicegah.

Ia mengajak orang-orang pada kebenaran Ilahi dengan perbuatan baik dan keteladanan yang suci. Ia berkata, “Aku mengajak kalian untuk menghidupkan ajaran-ajaran kebenaran. Jika kalian menyambutnya, maka kalian ditunjuki di jalan yang benar.”

Ketika Kristus as berbicara kepada murid-muridnya bahwa akan datang mu’ayyid serta menjanjikan kepada mereka tentang kesyahidannya dan bimbingan untuk mereka kepada kebenaran, maka sebutan “mereka” yang ia maksudkan bukan hanya murid-muridnya tetapi juga manusia dari generasi-generasi yang akan datang, orang-orang yang tertindas setelah mereka. Ia datang sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi petunjuk kepada semua manusia, bukan hanya kepada dua belas muridnya.

Dalam kunjungan Yesus as ke Karbala, tempat kesyahidan al-Husain as, ia mengabarkan kesyahidan Sang Syahid ini, melaknat para pembunuhnya, dan meminta orang-orang yang hidup pada masa tersebut agar ikut berperang bersamanya. Lalu, sebelum kematiannya, Yesus as berjanji akan mengutus mu’ayyid yang akan menjadi syahidnya di tengah manusia. Hal itu agar kehendak Tuhan Yang Mahatinggi dan Mahakuasa sampai ke tangga keabadiannya, menyempurnakan nubuat-nubuat para nabi, menempatkan tiga risalah samawi di dalam batin manusia, dan menyebarkan akidah agama yang universal ini ke dalam relung-relung dada tiap manusia secara final, sehingga semua kesesatan tidak mengalahkannya.

Inilah yang dikuatkan oleh bukti-bukti dalam zaman dan kemanusiaan. Inilah yang dimantapkan dengan pergantian waktu, sehingga risalah-risalah itu mengungguli kekuatan-kekuatan kejahatan, dan keyakinan-keyakinan agama tumbuh di dalam jiwa sehingga tidak mudah dicabut.

Dengan melihat sepintas kepada jutaan orang beriman yang mendatangi kuburan al-Husain as dan tempat-tempat ziarah Ahlulbait as di mana pun, sudah cukup bagi kita untuk mendukung pendapat ini, bahwa kekuatan akidah semakin besar dan semakin kokoh di dalam jiwa. Dalam kecintaan orang-orang beriman untuk bernaung di bawah kesyahidan al-Husain as, terdapat panas yang menyala-nyala, yang tidak akan dingin di dalam hati mereka untuk selamanya selagi mereka beriman dan menempuh jalan yang lurus.

Sekiranya tidak ada kesyahidan al-Husain, maka bagaimana mungkin kebatilan akan tampak batil? Sekiranya tidak ada pilihan Ilahi terhadapnya, dan sekiranya kakeknya, Nabi saw, tidak mendidiknya dengan pendidikan kenabian, bagaimana mungkin akhlak Sang Syahid ini bisa terbentuk? Sehingga kemanusiaannya naik ke tempat (maqam) kenabian sang kakek: “Aku dari Husain”, dan kenabian sang kakek turun ke tempat kemanusiaan cucunya: “Husain dariku”.

Tidak ada yang aneh dalam hal itu. Karakteristik-karakteristik bawaan berpindah dari kakek ke ayah lalu ke ibu. Sang cucu, al-Husain, dalam hal ini mewarisi karakteristik-karakteristik kakeknya dalam bentuk pemuliaan terhadap agama dan kesiapan untuk mengorbankan apa pun yang paling berharga untuk membelanya.

Sabda Nabi Muhammad, “Husain dariku dan aku dari Husain” dan “Ya Allah, cintailah ia karena aku mencintainya” bermakna kesyahidan dan tugas.

Kesyahidan…karena Nabi saw telah mengamanatkan bendera Islam kepadanya, kepada cucunya, al-Husain yang merupakan bagian darinya.

Tugas… karena anak yang dicintainya dimohonkan kepada Tuhan agar mencintainya dengan kesyahidan hingga mampu melindungi akidah dan membela ruh agama dari penyia-nyiaan dan peremehan yang bisa menyebabkan kesirnaannya. Dengan demikian, kesyahidan ini, dan tugas ini, merupakan simbol yang besar dan abadi bagi kebangkitan sang cucu dalam membela akidah sang kakek, sehingga: “Islam, permulaannya adalah Muhammadi dan kelangsungannya adalah Husaini.”

Al-Husain as, belahan jiwa kerasulan, melaksanakan tugas yang tidak kalah pentingnya dari tugas kakeknya. Ia mempertahankan Islam sebagaimana dikabarkan oleh kakeknya yang mulia. Ia menyimpan titipan yang berharga itu di dalam hati kaum Muslim dan membangunkan mereka dari tidur lewat kewajiban untuk menjaga titipan itu sebagai sesuatu yang paling berharga dari segala yang mereka miliki.

Akidah, seperti semua pengetahuan, merupakan satu faktor yang senantiasa menyertai kehidupan. Dengan kehidupan, faktor itu beraksi untuk hidup, dan bergerak bersamanya untuk naik. Jika keduanya tidak saling berinteraksi, kehidupan akan tetap berupa kedurhakaan dan akidah akan tetap berupa nyala api yang terbalik sehingga cahayanya padam dan panasnya hilang, alih-alih menjadi mercusuar yang cahayanya dapat menuntun penglihatan yang buta.

Demikianlah, al-Husain Sang Syahid as adalah syahid yang paling mirip dengan Kristus as dan kesyahidannya paling dekat kepada substansi kekristenan. Dengannya, disempurnakan kesyahidan-kesyahidan besar yang memiliki kegunaan untuk mengubah perjalanan agama-agama dan akidah-akidah manusia.

Apakah Kristus as mengabarkan al-Husain as ketika ia berbicara tentang mu’ayyid?

Marilah kita renungkan![]



Antoane Bara adalah pemikir Kristen Suriah yang menggeluti sejarah dan sastra Arab. Ia adalah pemimpin suratkabar Syabakah al-Hawâdits dan juga anggota Persatuan Penulis Arab. Tulisan ini diterjemahkan dari sebagian buku Al-Husayn fi al-Fikr al-Masihi (Nurul Kautsar, 2004)

sumber:oleh Muhsin Labib pada 07 Desember 2010 jam 13:50

0 comments to "Apakah Kristus as Mengabarkan Kedatangan al-Husain as? “Roh Tuhan ada padaku, oleh sebab Ia telah mengurapi aku.”"

Leave a comment