Home , , � Arab News: Amerika Kalah Menghadapi Israel- We will not go down

Arab News: Amerika Kalah Menghadapi Israel- We will not go down



Membongkar Skenario AS dalam Dialog Manama-
Pekan lalu, Konferensi Keamanan Regional ke-7 atau yang dikenal sebagai Dialog Manama digelar di Bahrain di tengah meningkatnya isu keamanan di kawasan Timur Tengah. Konferensi tiga hari yang berlangsung dari 3-5 Desember 2010 itu dihadiri lebih dari 600 pejabat pemerintah dan pakar dari 25 negara.

Kehadiran Menteri Luar Negeri Republik Islam Iran Manochehr Mottaki dan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Clinton dalam konferensi ini di tengah sengitnya tekanan Washington terhadap Tehran, tentu saja banyak mendapat sorotan media.

Dialog Manama merupakan konferensi keamanan regional yang diselenggarakan setiap tahun oleh Institut Internasional Kajian Strategis (IICS) yang berpusat di London bekerjasama dengan kementerian luar negeri Bahrain di Manama, ibu kota Bahrain. Konferensi ini digelar sebagai ajang untuk membicarakan berbagai isu-isu penting keamanan dunia terutama di kawasan Timur Tengah. Bisa dikata, Dialog Manama merupakan model Timur Tengah Konferensi Keamanan Munich yang digelar setiap Februari di Jerman.

Sejumlah isu penting seperti program nuklir sipil Iran, perkembangan terbaru soal terbentuknya pemerintahan baru di Irak, dan mandegnya perundingan damai Timur Tengah merupakan agenda utama Dialog Manama. Digelarnya konferensi tersebut menjelang tiga hari sebelum pelaksanaan perundingan Iran dengan Kelompok 5+1 di Jenewa menjadikan isu nuklir sipil Iran menjadi perhatian utama para peserta konferensi dan kalangan media massa.

Tak tanggung-tanggung, Menlu AS Hillary Clionton berusaha memanfaatkan semaksimal mungkin kesempatan di Manama kali ini untuk menebarkan isu Iranfobia. Isu tersebut menjadi salah satu ujung tombak utama kebijakan luar negeri AS di kancah global, terutama di kawasan Timur Tengah. Washington kerap menuding Iran sebagai ancaman bagi perdamaian dan keamanan regional dan selalu mengeksploitasi isu tersebut sebagai dalih untuk menjustifikasi kehadiran militernya di kawasan.

Sejatinya keamanan merupakan suatu konsep pelik dan multitafsir. Terciptanya keamanan merupakan harapan utama bagi setiap negara dan masing-masing berusaha menjamin keamanan negaranya dengan beragam cara. Bagi negara-negara yang terletak di kawasan strategis, tentu isu keamanan menjadi perhatian utama yang sangat mahal untuk diwujudkan. Lantas mengapa isu keamanan menjadi begitu penting bagi negara-negara Timur Tengah?

Tak ada satupun kawasan di dunia yang lebih strategis dan sensitif ketimbang Timur Tengah mulai dari sisi ekonomi, politik, budaya hingga geografis. Lebih dari 60 persen cadangan minyak dunia berada di kawasan ini. Tiga agama besar dunia: Yahudi, Kristen dan Islam juga lahir dari Timur Tengah. Kawasan di barat daya Asia ini juga menjadi tempat lahir dan tumbuhnya peradaban-peradaban besar dunia seperti peradaban Babilonia, Persia, dan Islam. Di sisi lain, munculnya Revolusi Islam Iran dan gelombang kebangkitan Islam serta beragam nilai strategis Timur Tengah lainnya mendorong negara-negara imperialis untuk berlomba-lomba menguasai kawasan yang kaya akan sumber energi ini.

Sudah sejak lama, negara-negara imperialis mengincar dan berusaha menguasai Timur Tengah, sebab jika kawasan yang sangat strategis ini bisa dikuasai sama artinya dengan menguasai seluruh dunia. Cukup dengan memperhatikan peran penting minyak dalam percaturan ekonomi global, maka nilai strategis Timur Tengah pun sudah bisa dilacak. Dengan kata lain, jika kontrol cadangan minyak di Teluk Persia bisa dikuasai, maka itu sama artinya dengan menguasai urat nadi kehidupan sebagian besar negara-negara di dunia.

AS sebagai kekuatan imperialis di tingkat global mulai menyadari bahwa pengaruh dan kekuatannya di Timur Tengah kian makin lemah. Kemenangan Revolusi Islam Iran dan meningkatnya kekuatan negara ini pasca revolusi merupakan faktor penting yang memperlemah hegemoni AS di kawasan. Selama hampir 32 tahun AS berusaha memukul Iran dengan berbagai cara mulai dari tekanan politik, militer, hingga ekonomi, namun semua itu tak juga berhasil dan justru membuat Tehran semakin tangguh dan berubah menjadi kekuatan baru regional yang paling disegani.

Kebijakan destruktif AS terhadap program nuklir Iran dan propaganda negatif Iranfobia yang gencar dilontarkan Washington di kancah regional dan global merupakan bagian dari upaya AS untuk mengucilkan Iran dari pergaulan dunia. Dengan cara itu, AS berusaha mendoktrin negara-negara kawasan bahwa keamanan mereka hanya bisa dijamin oleh AS dan sekutunya. Namun pertanyaan penting yang belum terjawab penuh dalam Dialog Manama adalah bagaimana keamanan Teluk Persia sebagai jantung sistem keamanan di Timur Tengah bisa terwujud?

Kawasan strategis Timur Tengah dalam beberapa dekade belakangan menjadi ajang peperangan besar yang telah menghancurkan potensi ekonomi negara-negara regional. Kalau saja seluruh potensi yang terbuang itu dimanfaatkan untuk membangun dan menyejahterakan kawasan, bisa dipastikan Timur Tengah kini jauh lebih aman dan maju ketimbang kondisi sekarang.

Jika ditilik dari sisi geopolitik, geoekonomik, dan geostrategis, Timur Tengah merupakan titik tumpu keseimbangan keamanan internasional. AS dan sekutunya berusaha memanfaatkan isu iranfobia dan keamanan untuk merealiasisikan ambisi kekuasaannya di Timur Tengah terutama untuk menghidupkan pasar persenjataan di kawasan. Dengan cara itu mereka bisa mengambil alih hasil penjualan minyak dan mengembalikannya kepada negara-negara produsen senjata terutama AS sehingga industri militer bisa terus bergerak menyokong roda perekonomian AS yang kini masih terus didera krisis.

Berdasarkan data-data resmi, semenjak tahun 2003 hingga setelahnya, negara-negara Timur Tengah telah menghabiskan dana hampir 500 miliar USD untuk membeli persenjataan di mana porsi negara-negara anggota Dewan Kerjasama Teluk Persia (PGCC) mendominasi pembelian tersebut. Angka tersebut belum termasuk kontrak-kontrak serupa senilai 100 miliar USD yang baru-baru ini ditandatangani oleh negara-negara tersebut dengan AS seperti kontrak penjualan senjata AS kepada Arab Saudi senilai 60 miliar USD.

Tak ayal, penjualan senjata yang demikian masifnya itu bisa menciptakan lapangan kerja baru bagi industri militer di negara-negara Barat, namun bagi negara-negara pembeli, hal itu justru memusnahkan modal besar negara-negara tersebut yang semestinya bisa dimanfaatkan untuk investasi di bidang pembangunan infrastruktur ekonomi dan memajukan sektor pendidikan dan riset. Investasi di bidang persenjataan dan perangkat militer tidak akan bisa diputar kembali ke dalam roda perekonomian lantaran senjata-senjata yang dibeli hanya akan ditimbun di gudang-gudang militer ataupun hancur dalam ajang peperangan. Pengalaman dan telaah selama lima dekade terakhir menunjukkan bahwa penjualan senjata dalam skala besar bukan hanya tidak akan bisa menjamin keamanan regional tetapi justru membuat situasi makin tidak aman akibat munculnya perlombaan senjata.

Tujuan lain dari isu iranfobia yang ditebarkan AS adalah menciptakan polemik tanpa ujung soal program nuklir Iran, dan memunculkan konflik antar kelompok, etnis, dan aliran keagamaan. Dengan cara itu, AS bisa dengan mudah memperoleh dalih untuk membenarkan kehadiran militernya di kawasan. Jika dulu di era Perang Dingin, AS menjadikan isu ancaman komunisme sebagai dalih untuk melebarkan hegemoni militernya di dunia, maka kini isu ekstrimisme Islam dan terorisme menjadi dalih andalan untuk mengusung armada militernya di kawasan sebagaimana yang terjadi di Afghanistan dan Irak.

Semestinya Dialog Manama bisa menjadi ajang dialog yang sangat bermafaat jika benar-benar serius digunakan untuk mengkaji bagaimana cara mewujudkan keamanan di kawasan Timur Tengah secara mandiri lewat kerjasama regional tanpa melibatkan kekuatan asing. Ironisnya, konferensi tersebut ternyata hanya dimanfaatkan oleh AS dan sekutu-sekutunya untuk menebar rasa saling curiga dan ketakutan di antara negara-negara regional.(irib/9/12/2010)

Arab News: Amerika Kalah Menghadapi Israel

Koran berbahasa Inggris, Arab News terbitan Arab Saudi menilai Amerika Serikat "menyerah" di hadapan rezim Zionis Israel.

Dalam laporan utamanya edisi Kamis (9/12) koran itu menyebutkan, "Keputusan Washington untuk tidak mendesak Tel Aviv menghentikan pembangunan permukiman Zionisnya merupakan bentuk kepasrahan dan kekalahan besar."

Menyinggung kebijakan Presiden AS Barack Obama mengendurkan sikapnya terkait permukiman Zionis di wilayah Palestina, koran terbitan Riyadh itu menambahkan, "Dalam sejarah hubungan AS-Israel, tidak ada seorang presiden Amerika yang selemah saat ini."

Arab News juga memprediksikan pergerakan Timur Tengah akan tergoncang mengingat kegagalan seluruh upaya perundingan damai akibat berlanjutnya pembangunan permukiman Zionis.

Progres di Timur Tengah dinilai koran Arab Saudi itu mengacu pada titik "bahaya dan ambigu". Hal yang pasti terjadi adalah kemarahan dan kebangkitan luas bangsa Palestina dan Arab serta akan terbuka peluang lebar bagi kelompok-kelompok resistensi.

Arab News mengusulkan agar seluruh negara dunia mengikuti langkah yang diambil Brazil dan Argentina dalam mengakui independensi Palestina sampai rezim Zionis Israel mundur dari politik agresifnya.(IRIB/MZ/MF10/12/2010)

Konspirasi Baru AS Soal Guantanamo

Dewan Perwakilan Rakyat AS menyetujui rancangan undang-undang yang akan mencegah pemindahan tahanan dari penjara militer di Guantanamo ke fasilitas di wilayah AS. Keputusan ini merupakan pukulan telak terhadap rencana Presiden Barack Obama untuk meliburkan penjara di Guantanamo dan menyidangkan para tahanan di pengadilan AS. RUU ini juga melarang pemerintah mengeluarkan anggaran untuk memindahkan atau membiayai fasilitas penahaan bagi para tahananan Guantanamo di Amerika.

Pemerintah federal sebelumnya mengizinkan pemindahan sejumlah tahanan Guantanamo, salah satunya adalah aktor utama Peristiwa 11 September, Khalid Sheikh Mohammed yang menjalani persidangan di AS.

Pada bagian lain RUU itu disebutkan bahwa Kementerian Kehakiman AS tidak diperbolehkan menggunakan undang-undang ini atau hukum lain untuk membeli masa penahanan orang-orang yang ditahan di Guantanamo dengan memakai dana kementerian itu.

DPR AS saat ini berada di bawah kendali Partai Demokrat dan kemungkinan besar Senat juga akan meloloskan rancangan undang-undang tersebut. Diperkirakan Obama juga bakal menandatangani RUU itu.

Obama setelah gagal untuk meningkatkan pajak kelompok kaya dan mengurangi pajak kalangan menengah dan miskin masyarakat Amerika, penentangan DPR terhadap penutupan penjara Guantanamo merupakan kegagalan kedua Presiden AS dari Partai Demokrat dalam mewujudkan janj-janji kampanyennya.

Presiden Obama dua hari setelah memasuki Gedung Putih, menandatangani sebuah rancangan tentang penutupan penjara Guantanamo hingga tanggal 22 Januari 2010. Hampir satu tahun setelah Obama menyatakan komitmennya, namun hingga kini puluhan tahanan masih mendekam di penjara kontroversial itu. Kebanyakan tahanan Guantanamo bahkan tidak pernah diadili meski telah menjalani penyiksaan dan interogasi selama bertahun-tahun.

Beberapa bulan setelah hadir di Gedung Putih, Obama dalam kunjungannya ke Markas Besar Dinas Intelijen Pusat AS (CIA), memberi kekebalan hukum kepada para pembuat keputusan dan pelaku penyiksaan di penjara Guantanamo. Penolakan DPR AS terhadap penutupan penjara Guantanamo adalah bukti bahwa kubu Demokrat juga sama dengan kubu Republik, mereka sama-sama membenarkan perlakuan tidak manusiawi dan ilegal dengan para tahanan Guantanamo.

Salah seorang anggota kubu Demokrat yang sudah lama mengetahui praktek penyiksaan tahanan Guantanamo dengan menggunakan cara-cara yang mematikan adalah Ketua DPR AS, Nancy Pelosi. Namun Pelosi mengklaim bahwa dirinya ditipu oleh CIA, tapi klaimnya ditolak oleh kebanyakan anggota kubu Republik dan bahkan Demokrat.

Beberapa anggota kubu Republik telah meminta Pelosi bersaksi dalam sidang Kongres. Permintaan juga disampaikan anggota Demokrat Steny Hoyer. "Saya rasa semua fakta dan dugaan harus dijelaskan untuk menjernihkan suasana," ujar Hoyer di Washington. (IRIB/RM/SL/9/12/2010)

Senandung Cinta untuk Gaza

We will not go down
In the night, without a fight
You can burn up our mosques and our homes and our schools
But our spirit will never die
We will not go down
In Gaza tonight

(Michael Heart)

"Ibu...kasihan ya anak itu sakit"
Celoteh putraku yang baru berusia tiga tahun, saat melihat poster besar seorang bayi Gaza terluka dalam pelukan ayahnya yang dipasang di pintu masuk utama Universitas Tehran.
"Iya, kasihan sekali, tapi ia akan bertemu Feresteh (malaikat)"
Hiburku sambil mengelus kepalanya yang tertutup rapat topi musim dingin.

Sambil menyusuri jalan Enqelab untuk bergabung dengan para peserta long march lainnya, aku masih merenungkan kejadian tadi. Kubayangkan, bagaimana bila anak yang ada dalam gambar itu adalah putraku dalam pangkuan ayahnya, Siapkah aku untuk berkata hal yang sama? Sepertinya, begitu mudah lisan ini melafalkan sebuah kalimat langit "Ia akan bertemu malaikat". Kenyataannya, aku hanyalah seorang ibu biasa sebagaimana ibu-ibu lainnya yang sangat terikat pada putranya, yang selalu berharap melihat anak dan suaminya baik-baik saja ketika bangun di pagi hari. Masihkah aku mengingat kata-kata itu bila kejadian yang sama menimpaku. Ah...begitu sulit untuk dibayangkan.

Aku yakin, para ibu di Gaza sudah sangat terdidik oleh situasi "tak terduga" yang selalu akan menerbangkan spiritualitasnya. Tapi, sekuat apapun hati mereka, luka itu akan tetap menggores hidupnya, sebuah luka karena ketidakadilan. Seperti sering diliput TV Iran, para ibu di Palestina terisak menyuarakan kepada ibu-ibu di dunia untuk tidak diam dengan ketidakadilan. Sepertinya panggilan itu terasa begitu berat, para ahli diplomasi dunia saja tak mampu melemparkan logika-logika mereka dan berbagai resolusi hanya berakhir di meja sidang. Faktanya, Gaza masih dikepung dan darah masih terus mengalir di sana.

Tapi, seberat dan sepahit apapun sebuah perubahan perlu aksi nyata meski berangkat dari hal sederhana. Sejak kuliah dulu, aku berusaha untuk menghadiri event-event Palestina baik aksi di jalanan, pementasan seni, konser musik amal dan berbagai acara penggalangan dana. Sayangnya, saat itu geliat pembelaan Palestina di tanah air hanya terasa di sekitar radius kampus dan beberapa ormas saja. Kotak-kotak media itu telah menyamarkan suara-suara Palestina dengan hingar bingar dunia hiburan.

Ketika aku menjejakkan kaki di negeri Persia, terutama di kota Qom, potret kehidupan Palestina tersuguh sedemikian dekat dalam keseharian. Pada setiap pemberitaan, Palestina menjadi ‘menu wajib' harian yang menghiasi berbagai media, terutama radio dan televisi. Di acara-acara doa bersama, misalnya doa Kumail di malam Jum'at atau doa Nudbah di pagi harinya, nama Palestina akan hadir bersama negeri-negeri lain yang terluka. Sebuah gedung teaterpun dinamakan Palestina, agar masyarakat tetap tersadarkan bahwa di tengah kebahagiaan yang mereka rasakan, ada sesamanya yang masih berduka.

Puncak penggalangan solidaritas bagi rakyat Palestina adalah dinobatkannya Jumat terakhir bulan Ramadhan sebagai hari Quds Sedunia. Sudah lebih dari 30 tahun, masyarakat terfasilitasi untuk mengekspresikan solidaritas mereka bagi bangsa Palestina. Berbagai lapisan masyarakat tua, muda juga perempuan turut bergabung.

Aku sering tak dapat menahan haru saat melihat demonstran cacat yang didorong dalam kursi rodanya, turut bergabung dalam aksi Palestina. Tidak sedikit pula para ibu yang membawa bayinya turun ke jalan, padahal terkadang musim kurang mengijinkan, saat panas mentari terlalu kuat membakar atau angin dingin begitu mencengkram. Entah semangat apa yang ada dalam diri ibu-ibu sederhana itu, berjalan cepat sambil sesekali menyuarakan yel-yel "Marg bar Israel Marg bar Amrika" (yel-yel yang mengutuk keterlibatan kedua negara itu dalam kekacauran di Timur Tengah) menempuhi jarak yang tidak pendek, membelah jalan Azadi hingga bundaran Palestina.

Barangkali, sebuah semangat sama yang saat ini mengantarkanku dan keluarga kecil ini ke jalan Enqelab untuk bergabung dalam aksi damai mendukung perjuangan rakyat Palestina dan Gaza melawan penjajah Israel. Dalam dekapan angin musim dingin, kaki ini bersama puluhan kaki-kaki lain terus bergerak menyuarakan empati untuk Gaza, terutama bagi perempuan-perempuan yang berduka.

Sejak penyerangan rezim Israel ke Gaza pada akhir Desember 2008 lalu yang menelan korban lebih dari 700 orang dan sebagian besar adalah perempuan serta anak-anak, dukungan untuk Palestina terus mengalir dari seluruh penjuru dunia. Yel-yel "Save Palestine" atau "Free Free Palestine" terdengar dari sudut-sudut kota di Amerika Latin hingga ke jantung Eropa. Terlebih, empati ini kian memuncak di negara-negara muslim yang memang sejak awal mendukung perjuangan bangsa Pelestina, seperti Iran. Aksi-aksi semacam ini kerap digelar di berbagai tempat dari mulai sekolah-sekolah dan kampus, masjid-masjid hingga puncaknya hari ini masyarakat berduyun menuju bundaran Palestina selepas menunaikan shalat Jum'at.

Debu-debu jalanan yang menari dan berputar di angkasa, juntaian kain-kain hitam dari lautan manusia membawaku pada sebuah lorong waktu di tahun 61 hijriah, saat tanah Karbala baru saja memerah. Di lorong-lorong Kufah iring-iringan perempuan dan anak-anak berjalan gontai di kawal pasukan lengkap bersenjata. Mereka diperlakukan bak tawanan setelah sebelumnya menyaksikan langsung darah bersimbah di tubuh orang-orang yang dicintainya, sebuah luka sejarah. Peristiwa yang mencabik-cabik hati nurani setiap manusia yang membacanya.

Tapi ajaib, Zainab binti Husain, pemimpin perempuan dalam rombongan itu sungguh berhati teguh. Saat menjawab pertanyaan penguasa Kufah tentang perasaannya, ia berkata lantang: "Aku tidak melihat semua ini, melainkan keindahan" Sejarah lalu mengabadikan nama Zainab lewat pidato panjang yang dinilai berhasil meruntuhkan kepongahan penguasa saat itu. Zainab pula yang membawa pesan Karbala hingga bertahun-tahun kemudian tetap dikenang oleh puluhan generasi setelahnya. Hari-hari ini, para perempuan di dunia Islam mengunduh semangat yang dulu pernah diledakkan srikandi bernama Zainab.

Antara Gaza dan Karbala, terpisah rentangan waktu yang teramat panjang, tapi ada banyak kesatuan cerita yang menghubungkan dua peristiwa besar sejarah itu, tentang ketidakadilan, tentang perlawanan dan tentang perempuan-perempuan yang gemilang di tengah ladang kedukaan. Dari sudut jalan Enqelab ini, bersama Michael Heart ingin kulantunkan sanandung cinta untuk saudara-saudarku di Gaza sana "You can burn up our mosques and our homes and our schools. But our spirit will never die"

Oleh: Afifah Ahmad

Tehran, Desember 2009
Ditulis setahun lalu saat mengikuti demonstrasi mengenang perlawanan masyarakat Gaza atas Invasi Israel.(IRIB/9/12/2010)


Karavan Asia untuk Gaza Tiba di Kerman

Karavan Asia untuk mengakhiri boikot atas Gaza tiba di kota Kerman, Iran selatan dan disambut secara meriah oleh warga setempat. Televisi al-Alam melaporkan karavan yang membawa bantuan kemanusiaan untuk warga Gaza itu disambut warga Kerman dengan yel-yel anti Israel. Warga menyatakan pembelaan penuh kepada Gaza dan rakyat Palestina. Mereka juga mendesak boikot atas Gaza segera diakhiri.

Feroze Mithiborwala yang menjadi penanggung jawab Karavan Asia dalam jumpa pers Rabu lalu di kota Zahedan, Iran tenggara mengatakan, berakhirnya boikot atas Gaza dan penyelamatan rakyat Palestina dari kejahatan kaum Zionis hanya bisa diwujudkan dengan upaya yang serius gerakan anti imperialisme dan zionisme masyarakat dunia.

Karavan yang bergerak dari India ini diikuti oleh delegasi dari berbagai negara Asia termasuk puluhan wartawan dan aktivis. Dari Iran, karavan yang sudah singgah sebelumnya di Pakistan ini akan melanjutkan perjalanan ke Turki, Suriah lalu pelabuhan El Arish di Mesir sebelum masuk ke Gaza lewat perbatasan Rafah. (IRIB/AHF/10/12/2010)

0 comments to "Arab News: Amerika Kalah Menghadapi Israel- We will not go down"

Leave a comment