Home , � Demi menjaga Citra rela melawan kebiasaan, menerobos kelaziman dan Revolusi Jogja pun terjadi !!!!! GAWAT!!!!!

Demi menjaga Citra rela melawan kebiasaan, menerobos kelaziman dan Revolusi Jogja pun terjadi !!!!! GAWAT!!!!!

Mengenal Watak Politik SBY-

Publik jangan suka mengira-ngira, pengamat jangan coba menduga-duga, dan media jangan sering menggiring-giring opini tentang hal yang akan diputuskan presiden. Kalau tidak mau SBY berkehendak lain, sehingga semua ramalan menjadi tidak berlaku sama sekali sering terjadi sepanjang pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. SBY kerap kali memutus lain dari yang diperkirakan banyak pihak karena ada proses yang tidak diketahui publik.

Data berikut menguak lembar demi lembar peristiwa yang menguatkan pandangan ini.

Pengangkatan Jaksa Agung Basrief Arief pada 26 November lalu adalah fakta yang benderang. Pelantikan mantan Wakil Jaksa Agung menjadi Jaksa Agung sempat merentangkan jeda selama dua bulan lebih.

Sejak Jaksa Agung Hendarman Supandji diberhentikan dengan hormat melalui Keppres pada 24 September 2010 lalu, polemik mengenai kekosongan kursi yang ditinggalkan di Gedung Bundar terus menggelinding.

Sebelumnya beredar kabar bahwa Presiden SBY akan melantik Jaksa Agung baru berbarengan dengan Kapolri. Ternyata tidak. Kapolri baru yang juga mengejutkan, ternyata justru dilantik lebih dulu pada 22 Oktober 2010.

Kemunculan Basrief Arief tidak saja "terlambat" dari waktu yang ditunggu-tunggu publik, tetapi juga sedikit tidak lazim. SBY mempekerjakan kembali seorang purnajaksa yang sudah 3 tahun meninggalkan Korps Adhyaksa.

Pengangkatan itu mengabaikan nama-nama calon dari eselon I kejaksaan yang hilir-mudik mewarnai prediksi dan pemberitaan media massa. Pilihan yang dijatuhkan pada Basrief Arief tak ubahnya pernyataan bahwa tidak ada jaksa aktif yang layak menggantikan Hendarman Supandji.

SBY memilih nama yang di luar dugaan, keluar dari kelaziman, dan abai pada kontroversi-kontroversi yang menyertai. Dan pada akhirnya banyak pihak yang akhirnya memahaminya. Cemooh yang mengiring hampir di setiap keputusan baru SBY bergeser menjadi apresiasi nantinya.

Kemunculan Basrief Arief pada awalnya dianggap aneh, nyatanya, setelah beberapa media menghadirkan selusuran rekam jejak yang bersangkutan, buah harapan menjadi bersemi kembali.

Wakil Jaksa Agung era Abdurrahman Saleh ini pernah gemilang saat memimpin tim pemburu koruptor pada kurun waktu tahun 2005 hingga 2007. Kegigihannya memburu koruptor kelas kakap yang berlarian ke luar negeri berhasil menyelamatkan triliunan rupiah uang negara.

Pembawaan pria Sumatera ini memang kalem, tapi rekam pekerjaan membuktikan bahwa ia pemburu koruptor tanpa ampun. Bandit sekelas Edy Tanzil, Sjamsul Nursalim hingga Hendra Rahardja telah dirampas semua asetnya untuk dikembalikan pada negara.

Kesemua prestasi itu barangkali, yang membuat SBY tak acuh terhadap semua keterkejutan banyak kalangan akan pilihan hatinya terhadap Basrief, mitra yang sangat dikenalnya saat ia menjadi Menkopolkam.

Masih mau cerita yang lain lagi tentang kenekatan SBY keluar dari kelaziman? Bagaimana ia menyulap mantan Kapolda Metro Jaya Timur Pradopo menjadi Kapolri dalam hitungan hari?

Kemunculan Timur Pradopo sebagai calon tunggal Kapolri begitu mengagetkan. Padahal, awal September lalu Kapolri Bambang Hendarso Danuri telah mengajukan dua nama calon penggantinya.

Pertama, Komjen Nanan Sukarna, Inspektur Pengawasan Umum Polri, dan kedua, Irjen Imam Sudjarwo, Kepala Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri.

Nanan lebih unggul dari sisi popularitas, sementara Imam memiliki hubungan kekerabatan dengan SBY. Namun keduanya tersingkir oleh munculnya Timur Pradopo yang namanya baru disebut kurang dari 24 jam sebelum pengumuman pencalonannya.

Pangkat komisaris jenderal juga baru diperoleh saat Kapolri Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri mengangkatnya sebagai Kepala Badan Pemeliharaan Keamanan Senin sore 4 Oktober, beberapa jam sebelum namanya dikirimkan Presiden ke DPR sebagai calon Kapolri. Akrobat politik yang menarik dan mencengangkan kala itu.

Meski juga terperanjat, melalui Komisi III toh DPR menerima kelebihan seorang Timur sebagai Tribrata I. Perjalanan kariernya yang nyaris tanpa cacat menumbuhkan harapan dapat membantu menyelamatkan korps bhayangkara dari keterpurukan wibawa akibat aksi para mafia di dalamnya.

Satu-satunya catatan DPR yang menyangsikan Timur adalah kemungkinan keterlibatannya dalam tragedi Trisakti pada 1998. Namun, prasangka DPR mereda saat Timur menyampaikan klarifikasi bahwa posisinya sebagai Kapolres Jakarta Barat hanya menjalankan perintah atasan.Setelah itu. Kontroversi mengenai pemilihannya pun usai.

Tapi, gaya lembut lelaki Jombang itu tetap menyisakan ragu. Pria tegap berkumis tebal ini punya pembawaan lembut. Bahkan, wartawan yang menyegatnya usai Sidang Paripurna DPR tentang pengesahan dirinya sebagai Kapolri terbengong-bengong mendengar suara lirihnya.

Pimpinan sidang kala itu pun sempat menertawai gaya hormat Timur layaknya dirijen orkestra. Sosok perwira polisi yang jauh dari kesan garang. Mampukah ia melibas para mafia yang telah berurat akar di lingkungan kepolisian?

Demi kesempurnaan pandangan tentang kegemaran SBY "mengelabuhi" publik, ada baiknya simak juga kisah pengangkatan Menteri Kesehatan yang menghebohkan itu.

Adalah dokter spesialis mata Nila Juwita Moeloek yang telah mengikuti audisi menteri di Cikeas pada 20 Oktober, sehari sebelum formasi kabinet diumumkan. Keesokan harinya kabar tidak lolosnya guru besar Fakultas Kedokteran UI ini menyeruak.

Benar saja, saat susunan Kabinet Indonesia Bersatu jilid II diumumkan, muncul nama yang sama sekali baru, Endang Rahayu Sedyaningsih yang masih eselon II di Kementerian Kesehatan. Dia tiba-tiba menempati posisi Menteri Kesehatan yang sedianya diperuntukkan bagi Nila Moeloek. Proses uji kelayakan dan kepatutan seperti calon menteri lain pun belum sempat dilakoninya.

Isu tak sedap mengenai turut campurnya Namru (Naval Medical Research Unit milik AS) menjadi-jadi semenjak pembatalan mendadak Nila Moeloek. Apa mau dikata, anjing menggongong kafilah berlalu. Semua kontroversi akhirnya mereda seiring berlalunya sang waktu.

Kalem dan Santun

Jika ada waktu untuk merunut nama-nama pejabat penting yang diangkat dalam rentang masa pemerintahan SBY, maka akan kita dapati orang-orang dengan karakter serupa SBY.

Sebut dulu Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum. Anas adalah politisi muda asal Blitar nan kalem dan santun. Menilik gaya kepemimpinannya, mantan anggota KPU ini dijuluki SBY junior.

Kemudian Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono yang dilantik pada 28 September melalui mekanisme yang mulus nyaris tanpa riak. Mantan Kepala Staf Angkatan Laut ini tak lain adalah putra kota Blitar juga.

Bisa ditebak, karakternya tak jauh beda dari SBY. Terlalu santun untuk ukuran tentara. Saat wawancara "door stop" para wartawan sahut-menyahut meneriakkan pertanyaan, tetapi panglima tetap saja lembut menyahutnya.

"Opo ta, arep takon apa?" tanyanya pada wartawan suatu ketika. Kelembutan yang mengagetkan karena muncul dari seorang panglima TNI.

Ada juga Menteri Keuangan Agus Dermawan Wintarto Martowardojo, bankir kelahiran Amsterdam yang sangat Jawa. Setiap kali menghadapi wawancara keroyokan, ia tetap fokus menjawab pertanyaan satu per satu secara detil dan tanpa buru-buru. Lalu ia menoleh ke segala arah untuk menanyai balik wartawan yang mengerumuninya.

"Silakan, ada pertanyaan lain?" begitu ia selalu menawari.

Masih ada pejabat lain di atasnya yang tak kalah kalem. Tak perlu berpikir jauh-jauh. Bagaimana dengan Boediono? Sekali lagi, pria kalem kelahiran Blitar inilah yang dipilih menjadi pasangan dalam memimpin negeri ini.

Waktu itu yang melamar sebagai cawapres datang silih berganti dari sejumlah tokoh, tetapi pilihan hati SBY jatuh pada Boediono. Kini setiap kali Wapres Boediono menghadiri suatu acara, seringkali para pejabat yang mengundang atau mendampingi menjadi kikuk dibuatnya. Gaya "tawadhu" yang ditampilkan membuat orang di sekitarnya salah tingkah.

Cerita tentang orang-orang kalem dan santun di sekitar SBY, terus berlanjut hingga pemilihan Kapolri Jenderal Polisi Timur Pradopo dan Jaksa Agung Basrief Arief.

Jangan mendikte

Walau terkesan lemah dan peragu, sejarah membuktikan SBY acapkali menentang selera massa dalam memutuskan suatu pilihan. Beberapa kejadian mengingatkan, betapa ia membiarkan opini berkembang liar di luar, padahal dia tengah mempertimbangkan hal lain.

Dibiarkannya nama Nanan Sukarna dan Imam Sudjarwo beredar mewarnai bursa calon Kapolri, padahal ia sedang menimang nama lain yang lantas dimunculkan saat injury time.

SBY juga tak bisa didikte dalam soal waktu. Beberapa kali media dikelabui ketika memprediksi kapan Jaksa Agung pengganti Hendarman diangkat, kapan nama calon Kapolri atau Panglima TNI disetor ke DPR.

Selalu saja perkiraan itu meleset dan membuat media berulang-ulang meralat pemberitaan. Lalu, di suatu waktu yang tidak terduga, Presiden tiba-tida mengumumkan keputusannya.

SBY juga tak segan-segan menerobos pekatnya opini kontroversi yang menyertai pilihan dan keputusannya. Masih ingat, tatkala ia menyingkirkan Kasad Ryamizard Ryacudu yang sebelumnya diamanahkan Presiden Megawati untuk menjadi Panglima TNI?

SBY malah memilih Marsekal Joko Suyanto sembari mempersiapkan Joko Santoso yang belum memenuhi syarat untuk diangkat. Joko Santoso saat itu masih berpangkat mayor jenderal dan baru menjabat Wakil Kepala Staf Angkatan Darat. Jalan panjang untuk mengantarkan adik kelasnya sewaktu di Akademi Militer Nasional menuju tampuk pimpinan TNI ditempuh SBY.

Jika SBY berkehendak, ia tak mudah ditebak. Meski senantiasa menjaga citra, ia tak ragu melawan kebiasaan, menerobos kelaziman. Kalimat di atas sejatinya merupakan penutup tulisan ini. Namun peristiwa terkini mengenai polemik Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta terlalu berharga untuk tidak diakomodasi.

Bermula dari sidang kabinet 1 Desember kemarin, tatkala presiden menyampaikan pengantar sidang tentang RUU Keistimewaan Yogya. Ada muncul kata "monarki" dalam rangkaian penjelasan mengenai formula yang tengah dicari untuk tata kelola pemerintah daerah Yogyakarta dalam konteks Negara hukum, demokrasi, NKRI dan keistimewaan Yogya.

Sontak polemik monarki terburai. Gelombang kemarahan menghajar SBY dari segala arah dan kalangan. SBY bereaksi cepat dengan menggelar konferensi pers di istana Negara keesokan harinya. Dalam upaya klarifikasi itu ia tidak meminta maaf seperti yang dikehendaki masyarakat Yogya via media.

Malah dengan gagah berani ia ulang dengan persis kata demi kata termasuk kata monarki di dalamnya yang disampaikannya pada waktu pembukaan sidang itu.

Presiden justru mengharap balik kepada khalayak banyak khususnya warga Yogya untuk mencerna kata-katanya, karena kata monarki hanya terselip diantara bentangan kalimat panjang yang harus dicermati dan dimengerti secara utuh.

Begitulah SBY...

(Antara/Siti Zulaikha. Penulis adalah reporter ANTARA TV/11/12/12010/irib)

Kata Monarki Yang Kontroversial Itu

Pekan awal di bulan penghujung tahun 2010 ini seperti menjadi Pekan Kemarahan. Orang marah-marah secara serentak di mana-mana. Bahkan hampir tak ada ruang yang terbebas dari orang marah. Di jalan, di warung, kafe hingga di kantor-kantor yang dihuni orang-orang terdidik.

Celakanya, sasaran kemarahan mereka tertuju pada satu orang, yakni orang yang telah berani-beraninya menyebut kata "monarki" yang membuat alergi warga Yogya.

Kata monarki meluncur dari penjelasan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengenai Rancangan Undang-Undang Keistimewaan (RUUK) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Dalam pengantar sidang kabinet pada 26 November 2010 yang membahas RUUK DIY, presiden memaparkan model tata pemerintahan daerah Yogya yang formulanya tengah dirancang.

SBY menghendaki adanya suatu pranata yang menghadirkan sistem nasional NKRI, keistimewaan DIY yang harus dihormati dan dijunjung tinggi, serta nilai-nilai demokrasi dalam RUU tentang Keistimewaan DIY.

Lalu, kata-kata yang kontroversial itu menyusul.

"Nilai-nilai demokrasi tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu, tidak boleh ada sistem monarki yang bertabrakan dengan konstitusi maupun nilai-nilai demokrasi," kata Presiden.

Dari sinilah petaka itu berawal. Bak bara tersiram bensin, amarah itu berkobar, menjalar ke segala arah. Dari Jakarta merebak ke Yogya. Dari Sultan menular ke para kawula. Dari media, pengamat sampai orang yang tidak memiliki kepentingan (langsung) pun turut menyemarakkan pesta kemarahan kolosal ini.

Kegaduhan ini kian gemuruh oleh pemberitaan media yang mebombardir ruang layar kaca, halaman koran dan monitor laman-laman berita. Semua jenis berita disajikan, dari berita selintas, analisa hingga talkshow siaran langsung.

Segala macam pengamat dihadirkan, untuk mengurai kata "monarki" dari berbagai sudut dan cara pandang. Kajian bahasa, analisa politik juga aneka komentar.

Kata "monarki" semakin naik daun, jadi buah (banyak) bibir dan bahan pergunjingan yang meruncing.

Untuk jadi penonton saja rasanya memusingkan kepala, laksana iklan obat sakit kepala yang melingkar-lingkar berputar itu. Apakah harus sedemikian gegap-gempita untuk membahasnya? Hingga harus mengerahkan seluruh tenaga dengan bambu runcing untuk meresponnya.

Perlukah menggelontorkan segala caci-maki untuk menanggapi dan menumpahkan sumpah-serapah untuk mengumbar amarah?

Galeri Reaksi

Di sini hanya tersedia ruang untuk menampung reaksi yang berasal dari pihak-pihak pemangku kepentingan atas RUUK DIY (saja). Sedangkan media yang disesaki provokator hanya bisa membakar suasana tanpa iktikad meredam setelahnya.

Maka, reaksi pertama yang wajib dikemukakan adalah yang berasal dari Sri Sultan Hamengku Buwono X. Ngarso Dalem merupakan pihak yang merasa terkena sasaran tembak oleh kata "monarki" itu. Meski berbalut gaya kelembutan, tapi kata-kata raja Yogya ini menyiratkan ketersinggungan yang amat.

"Kalau sekiranya saya dianggap pemerintah pusat menghambat proses penataan DIY, jabatan gubernur yang ada pada saya ini akan saya pertimbangkan kembali," ujar Sinuhun.

Sayangnya, Sultan tidak berkenan memperjelas pernyataanya. Malah, ia mempersilakan publik menafsirkan sendiri.

Ketika media menanyakan pada Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengenai hal ini, ia menilai telah terjadi misintepretasi.

"Saya kira Presiden menyatakan kita harus memperhatikan beberapa aspek. Beliau mengatakan ada monarki, ada nilai demokrasi, dan ada juga nilai-nilai konstitusi yang harus dipertimbangkan secara keseluruhan pada perumusan undang-undang baru ini. Nah, apa yang salah dari situ?" kata dia.

Terhadap kata "monarki" Gamawan memandang penafsiran kata ini diperbesar, tanpa melihat nilai demokrasi dan konstitusi yang disebut bersamaan rangkaian kata dalam kalimat tersebut. Ini merupakan satu kesatuan yang menurutnya harus dipertimbangkan secara utuh.

"Hanya saja, orang melihat, kenapa Presiden menyebut monarki. Padahal bukan sekadar itu. Presiden menyebut secara utuh akan mempertimbangkan aspek monarki, aspek konstitusi, dan nilai demokrasi," bela Mendagri.

Namun, Wakil Ketua DPR RI Pramono Anung berpendapat, pernyataan terbuka Presiden Susilo Bambang Yudhoyono soal monarki dalam konteks Kesultanan Yogyakarta sangat serius. Bagi dia, keistimewaan Yogyakarta tidak boleh diganggu gugat.

Bagaimanapun, kata Pram, kesepakatan antara Bung Karno dan Sultan Hamengkubuwono IX yang tertuang dalam Maklumat 5 September 1945 merupakan bagian dari sejarah.

Tetapi bila pernyataan kontroversial SBY berujung tuntutan referendum oleh rakyat Yogya, Pram tidak mendukungnya. Referendum, ia khawatirkan akan mengganggu bingkai NKRI.

Maka, politisi PDIP ini mendorong pemerintah untuk menyudahi polemik monarki agar tidak terjadi disinformasi kelewat jauh.

Menjawab kehendak banyak pihak, presiden pun memberi klarifikasi sepekan kemudian. Di hadapan media dan seluruh menteri anggota Kabinet Indonesia Bersatu II yang diundangnya di Istana Negara, SBY menyampaikan pembelaannya.

Tapi ia berupaya menenangkan suasana tidak dengan kata "maaf" seperti yang diinginkan para kawula Yogya. Malah, kata "monarki" yang menimbulkan alergi itu diucapkannya lagi. Tanpa ragu-ragu ia eja kata-demi kata seraya mengharap publik mendengar dengan cermat dan lalu memperoleh pemahaman sejalan dengan yang ia pikir dan maksudkan.

Pada bagian lain, Presiden juga meminta agar persoalan ini tidak digeser-geser ke ranah poltik dan direduksi hanya pada masalah penetapan kepala daerah.

Kemarahan masyarakat Yogya memang mereda tapi tetap saja meninggalkan ganjalan. Pertama karena kata "monarki" terlanjur terucap. Kedua, tidak ada kata maaf untuk menyabutnya.

Dan pertanyaan yang muncul kemudian, apakah kalau presiden meminta maaf lantas selesai perkara? Apa tidak justru meneguhkan bahwa ia mempunyai maksud buruk atas pengucapan kata itu? Sebab, sebuah kata tidak bisa diartikan secara mandiri dan harfiah begitu saja. Ada konteks kalimat dan semangat serta suasana kebatinan yang melingkupi sebuah kata terungkap.

Mendata Kesalahan SBY

Walau bagaimanapun kecerobohan SBY melontarkan kata "monarki" adalah salah. Salah waktu, salah tempat dan salah strategi.

Salah waktu karena masyarakat Yogyakarta baru saja dilanda bencana letusan gunung Merapi yang belum usai melewati tahap rehabilitasi. Juga salah waktu, sebab rancangan undang-undang ini sudah lama tertunda-tunda.

Bahkan kegagalan DPR periode 2004-2009 mengesahkan RUUK ini terhalang oleh Fraksi Demokrat, partai yang dilahirkan dan dibina SBY. Dari tujuh hal terkait keistimewaan Yogyakarta, enam di antaranya sudah disepakati dan hanya menyisakan soal mekanisme pemilihan kepala daerah yang belum disepakati.

Jadi, bagaimana mungkin SBY meminta publik untuk tidak mereduksi persoalan keistimewaan Yogya hanya pada tataran suksesi gubernur.

Memang tinggal masalah itu yang menggantung selama sewindu sejak konsep RUUK berada di tangan pemerintah. Mereka sudah jengah menanti usainya pembahasan RUUK ini dan lalu disulut dengan kata "monarki".

Salah tempat, tidak seharusnya SBY yang bergelar doktor itu menyebut kata "monarki" menyangkut keistimewaan Yogya. Padahal biasanya ia paling bisa menempatkan diri, dengan siapa berhadapan dan kata apa yang pantang diucapkan.

Presiden mestinya sangat mafhum bagaimana kawula Yogya telah lama nyaman hidup dalam model pemerintahan kerajaan. Pengabdian adalah hal terluhur yang mereka punya dan lakukan terhadap baginda raja terpuja.

Dan jangan ada yang mengusik hukum kekekalan raja, maka mala petaka akan tiba. Dan benar saja, SBY tersandung kata "monarki" yang lantas memanen cercaan seketika.

Salah strategi, karena sidang kabinet itu terbagi dalam dua sesi. Pada sesi pengantar bersifat terbuka dan diliput media. Lalu break dan dilanjutkan sidang tertutup dengan bahasan yang lebih mendalam. Dan sewaktu sidang kabinet tentang RUUK DIY, kenapa presiden melempar kata yang sensitif itu pada sesi pengantar yang dikonsumsi media?

Jika ia seorang penjaga citra, seyogyanya hanya memilih kata-kata yang aman saja demi terkesan baik.

Telaah RUUK DIY

Sungguh, media tidak dalam kapasitas dan posisi membela presiden, sultan atau siapapun. Dan sangat disayangkan jika, massa telah mengerahkan amarah akibat terluka oleh persepsi sendiri. Adalah sesuatu yang sia-sia, bukan?

Maka, untuk lebih obyektif mengkritisi, intip saja poin-poin penting yang terkandung dalam konsep RUUK tersebut.

RUUK ini hendak memisahkan antara kekuasaan Raja di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dengan Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta selaku Kepala Daerah.

Karena keduanya memiliki karakteristik kepemimpinan yang bertolak belakang. Raja memiliki kedudukan kultural tertinggi di wilayah Yogyakarta yang karena kedudukannya itu ia dilayani oleh rakyat. Sedangkan Gubernur adalah penyelenggara pemerintahan daerah. Untuk memenuhi syarat demokrasi, jabatan ini dipilih oleh rakyat. Dan karena rakyat yang memiliki daulat maka seorang kepala daerah berkewajiban melayani rakyat.

Jika kedua jabatan ini dirangkap oleh sultan, tentulah terjadi kerancuan peran. Kalau saja masyarakat Yogyakarta memahami konsep melayani dan dilayani dari kedua jabatan tersebut, apakah masih rela rajanya "direndahkan" dengan menjadi gubernur?

Setelah memisahkan kedua jabatan ini masih dari konsep RUUK Sri Sultan HBX bersama dengan Adipati Paku Alam IX selanjutnya tetap diletakkan sebagai orang nomor satu dan dua di wilayah DIY dengan sebutan Pengageng.

Hal ini termaktub dalam pasal 11: "Pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta terdiri atas Pengageng, Pemerintah Daerah Provinsi, dan DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta."

Pengageng di sini bukan simbol semata, tapi mereka berdua dilengkapi dengan hak veto. Pasal 13 dari RUUK ini memberikan kewenangan bagi Pengageng untuk memberikan persetujuan atau penolakan terhadap rancangan Perdais yang telah disetujui bersama oleh DPRD Provinsi DIY dan Gubernur.

Hak veto juga untuk persetujuan atau penolakan terhadap perorangan bakal calon atau bakal-bakal calon Gubernur dan/atau Wakil Gubernur, bahkan yang dinyatakan telah memenuhi syarat kesehatan dan administratif oleh KPU Provinsi DIY.

Lalu Pengageng berhak pula memberikan saran dan pertimbangan terhadap rencana perjanjian kerja sama yang dibuat oleh Pemerintah Daerah Provinsi dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat.

Tak hanya itu, pasal 18 memberikan kekebalan hukum bagi Pengageng. Berdua memperoleh pengawalan protokoler setingkat menteri. Seluruh informasi mengenai kebijakan dan/atau informasi yang diperlukan untuk perumusan kebijakan juga berhak ia peroleh. Mereka pun dapat mengusulkan pemberhentian Gubernur dan/atau Wakil Gubernur.

Sedangkan satu-satunya larangan yang disyaratkan pasal 20 RUUK DIY ini adalah Pengageng tidak diperkenankan menjadi pengurus dan anggota partai politik.

Setelah menilik segala keistimewaan yang dilimpahkan RUUK terhadap Pengageng, ada yang masih keberatan?

(Antara/ Siti Zulaikha/irib/12/2010)

Ada Revolusi Kecil di Yogyakarta

Berbagai persiapan dilakukan di Gedung DPRD DI Yogyakarta menjelang digelarnya Sidang Paripurna DPRD DIY, Senin (13/12/2010). Sidang tersebut akan memutuskan sikap politik DPRD DIY tentang dukungan terhadap penetapan Sultan Hamengku Buwono X dan Paku Alam IX sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY.

Panggung besar sudah didirikan di halaman DPRD DIY bertuliskan "Rakyat Yogyakarta 100 Persen Propenetapan. Sri Sultan Gubernur, Paku Alam Wakil Gubernur".

Tenda (tratag) juga didirikan di halaman Gedung DPRD DIY yang akan menjadi tempat ribuan warga DIY datang menghadiri Sidang Paripurna DPRD DIY. Dengan tenda-tenda itu, warga akan terbebas dari guyuran hujan dan sengatan terik matahari.

Tiang-tiang tenda dipasang janur-janur kuning. Janur kuning ini mengingatkan peristiwa janur kuning pada masa perjuangn mempertahankan kemerdekaan melawan Belanda. Saat itu ribuan warga Yogyakarta mengenakan tanda janur kuning untuk merebut Yogyakarta dari tangan Belanda.

Puluhan aparat kepolisian sudah mulai berdatangan ke Gedung DPRD DIY untuk mengamankan aksi massa. Sementara itu, ruas trotoar Jalan Malioboro di sekitar Gedung DPRD DIY, yang biasanya penuh dengan sepeda motor dan pedagang kaki lima, hari ini kosong. Ini untuk memberi ruang lebih luas kepada masyarakat yang akan hadir.

Diperkirakan ribuan, bahkan puluhan ribu, warga DIY akan menghadiri Sidang Paripurna DPRD DIY yang akan memutuskan dukungan terhadap penetapan Sultan HB dan Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Hal itu merupakan wujud dukungan warga DIY terhadap penetapan Gubernur-Wakil Gubernur DIY.

Bendera Setengah Tiang

Wali Kota Yogyakarta Herry Zudianto di kediaman pribadinya mengibarkan bendera Merah Putih setengah tiang sebagai wujud keprihatinan bahwa masalah RUU Keistimewaan DIY ini telah menimbulkan gejala perpecahan bangsa Indonesia, Ahad (12/12/2010). Ia juga mengimbau agar warga Kota Yogyakarta mengibarkan bendera setengah tiang selama seminggu penuh.

Tentang pengibaran bendera setengah tiang itu, Ketua Paguyuban Lurah dan Pamong Desa Ing Sedya Memetri Asrining Yogyakarta (Ismaya) DIY Mulyadi menganggapnya sebagai hal yang bagus guna menjadi penguatan bahwa warga Yogyakarta benar-benar melihat pemerintah pusat yang tak mendengarkan aspirasi rakyat. "Pusat agar tahu," katanya.

Sebelumnya, Mulyadi mengatakan, pihaknya akan mengerahkan 15.000 orang untuk menghadiri Sidang Paripurna DPRD DIY yang akan menetapkan Sultan Hamengku Buwono X dan Paku Alam IX sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY, Senin (13/12/2010). Mulyadi mengatakan, inti kehadiran mereka adalah untuk menunjukkan, dukungan terhadap penetapan memang aspirasi warga DIY.

Aksi ini merupakan wujud dukungan rakyat terhadap keistimewaan DIY yang menginginkan penetapan gubernur dan wakil gubernur, bukan pemilihan seperti diwacanakan pemerintah pusat.

Alun-Alun, Ajang Aksi

Ribuan warga Yogyakarta dari sejumlah paguyuban, Senin (13/12/2010) siang ini, telah berkumpul di Alun-alun Utara Keraton Yogyakarta untuk menyatakan dukungannya terhadap penetapan Sultan sebagai pemimpin.

Rencananya, mereka akan berjalan kaki dari Alun-alun Utara menuju kantor DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) di Jalan Malioboro untuk mengetahui sikap anggota DPRD terhadap Rancangan Undang-Undang Keistimewaan (RUUK) DIY dalam rapat paripurna.

Elemen masyarakat Yogyakarta itu di antaranya dari Paguyuban Kepala Desa Yogyakarta, Paguyuban Dukuh Yogyakarta, Paguyuban Tukang Becak dan Wisata Yogyakarta, serta Persaudaraan Janda-janda Indonesia (PJJI).
Ketua Paguyuban Dukuh se-Yogyakarta Sugiman menuturkan, Paguyuban Dukuh se-Yogyakarta akan berada di belakang memperjuangkan pro-penetapan. Ia siap mengarahkan dan mengerahkan massa untuk datang ke Malioboro, Senin, 13 Desember 2010, pukul 10.30 WIB.

"Kami berharap kepada Jakarta, terutama kepala negara Indonesia, supaya kembalilah ke jalan yang benar. Kalau tidak tahu sejarah, tinggal menunggu waktu. Perjuangan tidak akan berhenti sampai penetapan dilaksakan. Kalau tidak ditetapkan, kami akan menetapkan sendiri penetapan ini. Kami akan de facto sendiri, aturannya kami bikin sendiri," serunya.

Ketua Paguyuban Kepala Desa Yogyakarta Mulyadi juga mengatakan bahwa haram hukumnya kalau tidak mendukung penatapan. "Hukumnya haram kalau nggak mendukung penetapan," katanya.

Terkait aksi massa, hari ini, adik kandung Sultan Hamengku Buwono X, Prabukusumo, tidak akan memimpin gerakan tersebut. Namun, ia ikut berpartisipasi dan turun ke jalan. Menurutnya, gerakan itu adalah aksi spontanitas masyarakat Yogyakarta yang mendukung penetapan dan menentang pemilihan. "Suara rakyat itu melebihi segalanya. Suara Prabokusumo itu nggak ada apa-apanya," tegasnya.

Kendati demikian, Prabukusumo mengatakan akan tetap mendukung penetapan. Perjuangan itu tentu sangat berat. Namun, ia mengimbau kepada segenap elemen masyarakat Yogyakarta tetap cerdas dan santun dalam memperjuangkan pro-penetapan tersebut.
Partai Demokrat di Yogyakarta

Sementara itu, Partai Demokrat Kabupaten Gunung Kidul mengikuti aspirasi rakyat Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan mendukung penetapan Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paku Alam IX sebagai gubernur dan wakil gubernur provinsi ini.

"Kami mendukung penetapan Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paku Alam IX sebagai pasangan Kepala Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)," kata Sekretaris DPC Partai Demokrat Gunung Kidul Djunendro, usai rapat koordinasi dengan pengurus struktural dan fungsional partai ini, di Wonosari, Minggu.

Ia mengatakan sikap tersebut diambil atas dasar mandat dari Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrat yang memerintahkan agar pengurus Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Demokrat provinsi dan kabupaten menyerap aspirasi rakyat.

"Ketua Umum DPP Partai Demokrat memang tidak memerintahkan untuk menentukan sikap apakah mendukung penetapan atau mendukung pemilihan. Namun, menginstruksikan untuk menyerap aspirasi rakyat, jadi kalau rakyat DIY menginginkan penetapan, maka kami juga mendukung penetapan," katanya.

Menurut dia, keputusan untuk mendukung aspirasi rakyat DIY itu merupakan hasil rapat koodinasi yang dilakukan dengan pengurus struktural dan fungsionaris DPD Partai Demokrat DIY pada Sabtu malam (11/12), yang menyatakan mendukung aspirasi rakyat provinsi ini yang menginginkan penetapan.

"Pengurus DPD provinsi dan semua DPD kabupaten/kota se DIY juga sudah melakukan koordinasi untuk menentukan sikapnya, dan hasilnya semuanya mendukung aspirasi rakyat untuk penetapan," katanya.

Menurut Djunendro, hasil rapat koordinasi itu sudah disampaikan kepada anggota Fraksi Partai Demokrat DPRD provinsi sebagai masukan Rapat Paripurna DPRD DIY yang digelar pada Senin (13/12) dengan agenda menyikapi Rancangan Undang-undang Keistimewaan (RUUK) provinsi ini. (Kompas/Antara/IRIB/AR/13/12/2010)

Tags: ,

0 comments to "Demi menjaga Citra rela melawan kebiasaan, menerobos kelaziman dan Revolusi Jogja pun terjadi !!!!! GAWAT!!!!!"

Leave a comment