Home , � Hari Ibu... Selamat Hari Ibu....Hari Ibu di Negara Islam...

Hari Ibu... Selamat Hari Ibu....Hari Ibu di Negara Islam...




Fatimah, Ibu dari Ayahnya

Kapan peringatan Hari Ibu di setiap negara tidaklah sama. Di Amerika Serikat dan lebih dari 75 negara lain, seperti Australia, Kanada, Jerman, Italia, Jepang, Belanda, Malaysia, Singapura, Taiwan, dan Hongkong, peringatan Mother’s Day jatuh pada hari Minggu kedua bulan Mei karena pada tanggal itu pada tahun 1870 aktivis sosial Julia Ward Howe mencanangkan pentingnya perempuan bersatu melawan perang saudara. Sementara peringatan Mother’s Day di sebagian negara Eropa dan Timur Tengah mendapat pengaruh dari kebiasaan memuja Dewi Rhea, istri Dewa Kronos, dan ibu para dewa dalam sejarah Yunani kuno. Maka, di negara-negara tersebut, peringatan Mother’s Day jatuh pada bulan Maret.

Sementara di Indonesia, Hari Ibu diawali dengan dibukanya Kongres Perempuan Indonesia I di Yogyakarta pada tanggal 22-25 Desember 1928. Peristiwa ini dianggap sebagai salah satu tonggak penting sejarah perjuangan perempuan Indonesia. Mereka berkumpul menyatukan pikiran dan semangat untuk berjuang menuju kemerdekaan dan perbaikan nasib kaum perempuan. Isu yang dibahas antara lain persatuan perempuan Nusantara, pelibatan perempuan dalam perjuangan melawan kemerdekaan, pelibatan perempuan dalam berbagai aspek pembangunan bangsa, perdagangan anak-anak dan perempuan, perbaikan gizi dan kesehatan bagi ibu dan balita, pernikahan usia dini bagi perempuan, dan sebagainya.

Sementara di Iran pasca-revolusi, Hari Ibu dipilih bertepatan dengan hari kelahiran Fatimah binti Muhammad saw., yakni tanggal 20 Jumadilakhir. Perubahan tanggal itu dilakukan untuk melawan Syah yang pada kurun waktu tersebut menjual nama “feminisme”, “kesetaraan gender”, padahal berakibat kerusakan moral. Untuk mengembalikan jati diri sebagai wanita, pemerintah Iran menjadikan Khadijah, Fatimah, dan Zainab binti Ali as. sebagai role model. Peringatan acara ini di sana biasanya diisi dengan pekan festival, ceramah, kado, hadiah, dan penghargaan bagi wanita berprestasi. Dari tiga wanita mulia tersebut, kenapa Fatimah? Bagi saya, salah satu gelar yang diberikan oleh Rasulullah saw. kepada Fatimah-lah yang menjadikannya unik: ummu abihâ (ibu dari ayahnya). Dr. Jalaluddin Rakhmat mengutip al-Khaqani menjelaskan bagaimana panggilan ummu abiha ini menjadi bagian dalam agama dan risalah, berikut ringkasannya:

  1. Rasul merupakan teladan ayah bagi Fatimah. Fatimah bagi rasul adalah teladan anak dan ibu sekaligus.
  2. Bukti kecintaan yang sangat besar dari seseorang yang tidak mencintai kecuali karena Allah; supaya kecintaan kepada Fatimah menjadi salah satu karakter yang membimbing langkah Islam setelah fitrah dan akal. Kata Nabi saw., “Fatimah bagian dariku…”
  3. Menjelaskan kedudukan perempuan bahwa dia seperti laki-laki sanggup menempuh perjalanan menunju kesempurnaan.
  4. Menunjukkan hukum Fatimah sebagai ibu sehingga wajib untuk menghormatinya. Jika penghormatan ini wajib bagi Rasulullah saw. karena kesucian Fatimah, maka penghormatan ini lebih wajib lagi bagi selain rasul.
  5. Fatimah menjadi tali yang menghubungkan nubuwwah (kenabian) dan imâmah. Tidak ada imâmah yang benar tanpa cahaya kenabian. Maka kenabian adalah ayah dan imâmah adalah ibu.

Saya tidak ingin banyak bercerita mengenai sejarah kehidupan Fatimah, bagaimana perannya dalam keluarga, agama, bahkan sosial-politik ketika ia harus berpidato di hadapan khalifah. Al-Khaqani berkata bahwa, “Suara Fatimah sesudah Ali adalah suara pertama ketika orang-orang tertindas berteriak agar tidak sabar lagi melawan kezaliman. Ia memberikan pelajaran bahwa diam pada langkah yang pertama akan membuka langkah berikutnya. Diamnya orang yang dizalimi adalah kezaliman bagi dirinya sendiri dan kezaliman bagi orang banyak.” Namun ini hanyalah pengantar agar kita kembali mengenal panutan bagi muslim dan muslimah dari sosok Pemimpin Wanita Semesta Alam.

Jika memang wanita harus memiliki hari, maka adakah hari yang lebih mulia dan lebih membanggakan selain hari kelahiran Fatimah az-Zahra? Ia adalah wanita kebanggaan rumah kenabian dan terbit laksana matahari di atas wajah Islam yang mulia. ~ Imam Khomeini qs.

Sumber:

Kenapa Wanita Sebaiknya Sombong, Penakut, dan Kikir?

Nahjul Balaghah adalah sebuah kitab yang berisi khotbah dan kalimat hikmah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib. Nahjul Balaghah sendiri berarti “puncak kefasihan”; sehingga tidak heran banyak kata-kata yang diucapkannya sulit dipahami orang awam. Salah satu ucapan Imam Ali berkenaan dengan wanita adalah, “Sebaik-baik perangai wanita adalah seburuk-buruk perangai pria; seperti sikap sombong, penakut, dan kikir.”

Membaca ucapan Imam seperti itu, orang awam mungkin akan ragu dengan keaslian kitab tersebut. Kok bisa Imam Ali, khalifah keempat suni dan imam pertama Syiah, mengucapkan kata-kata yang merendahkan wanita? Apalagi kalau tahu Imam Ali juga pernah mengatakan, “Wanita adalah kalanjengking yang sengatannya manis.”

Padahal, itulah yang disebut balaghah dalam bahasa Arab, dan Imam Ali memiliki puncak kefasihan dalam bahasa Arab. Alquran sendiri dalam salah satu ayatnya menyebutkan, “Sesungguhnya tipu daya setan itu lemah.” (QS. 4: 76). Tapi di ayat yang lain, Alquran menyebutkan, “Sesungguhnya tipu daya kamu (perempuan) adalah besar.” (QS. 12: 28). Lalu, perlukah kita meragukan ayat Quran?

Sombong, penakut, dan kikir. Tiga sifat tersebut tidak baik jika dimiliki oleh pria, tapi menjadi baik jika dimiliki wanita. Mengapa? Syahid Muthahhari pernah mencoba memberikan analisanya. Dalam bahasa Arab khususnya, sebuah lafaz tidak selalu berkaitan dengan kondisi kejiwaan. Misalnya ayat: “Allah akan (membalas) olok-olokan mereka…” (QS. 2: 15) Kata itu sebenarnya tidak cocok bagi Allah, namun digunakan agar dapat dipahami manusia bahwa Allah akan menghinakan mereka.

Pada etika dasarnya ketiga sifat di atas tidak baik untuk dimiliki oleh wanita maupun pria. Namun hadis yang menyebutkan bahwa wanita hendaknya berlaku sombong terhadap pria asing (bukan muhrim), bermaksud agar tingkah laku wanita tersebut sedemikian rupa agar “tinggi” dan berwibawa sehingga membuat pria asing menghormati, tidak mengganggunya sehingga dapat menjaga kehormatan wanita. Jadi, kesombongan di sini hanyalah tingkah laku dan bukan etika.

Sedangkan pengerti sifat penakut berasal dari keinginan untuk menjaga kesucian dan kehormatan diri wanita, bukan sifat penakut atau pengecut (al-jubn) sebenarnya. Anjuran kepada wanita agar lebih berlaku penakut harus ditafsirkan agar dia lebih mawas diri, bukan berarti takut dalam arti sebenarnya terhadap diri dan harta, tetapi dalam artian menjaga kesucian, karena kesucian diri merupakan sesuatu yang agung dan wajib dijaga. Sehingga dalam keadaan mendesak, untuk mempertahankan kesucian, wanita wajib memperlihatkan keberanian. Teladan Zainab binti Ali dalam Perang Karbala dapat dijadikan contoh.

Begitu juga sifat kikir yang dimaksud dalam ucapan Imam Ali, bukanlah kikir terhadap harta secara pribadi. Seorang istri, secara khusus memegang amanat untuk mengatur dan memelihara harta suami dan keluarganya. Oleh karena itu, dia tidak boleh cuek dengan urusan rumah tangga, namun dermawan atas nama rumah tangga. Suami dalam rumah tangga bertugas mencari nafkah, sedangkan istri bertugas mengatur rumah tangga. Karena itu, istri tidak boleh membelanjakan harta kecuali sesuai pada tempatnya, dalam artian menjaga amanah sesuai tugasnya. Wallahualam.

“Laki-laki beriman dan wanita beriman, sebagian mereka adalah pelindung sebagian yang lain, mereka saling menegakkan amar makruf nahi mungkar…” (QS. 9: 71)

sumber:http://ejajufri.wordpress.com/2010/04/27/kenapa-wanita-sebaiknya-sombong-penakut-dan-kikir/

Wawancara dengan Istri Ayatullah Khamenei

Tanya: Bisakah Anda ceritakan sedikit tentang masa-masa sekolah Anda?

Saya mempelajari hal-hal yang diperlukan dengan membaca buku, mempelajari permasalahan agama, seni dan kerajinan, dan membantu dalam pekerjaan rumah tangga keluarga besar kami.

Saya memiliki kenangan jelas tentang madrasah saya, termasuk guru Quran saya, Ibu Kaukale Pour Ranjbar, yang baru saja meninggal. Pakaian yang dikenakan wanita terhormat dan berwibawa ini unik. Meskipun beliau tidak mengenakan chador (pakaian islami yang menutup dari atas hingga bawah), tapi tetap memakai hijab islami yang sempurna (dan sopan). Jilbabnya besar, yang menutupi seluruh kepala dan lehernya, hingga ke pinggang. Wanita ini memiliki gaya yang inovatif dalam mengajar Alquran. Wajahnya, yang penuh dengan wibawa dan keanggunan, masih jelas di hadapan mata dan saya tidak bisa melupakannya.

Kenangan lain yang saya miliki juga masih di usia yang sama. Sebagian besar kegiatan agama, seperti membaca Quran di kelas atau berdoa dan salat di madrasah, dipercayakan kepada saya. Tentu, di sekolah menengah dan atas hari-hari itu, membaca Quran atau menyanyi nasyid tidak dilakukan, tapi karena sekolah kami adalah sekolah agama dan dijalankan oleh ustazah, kegiatan agama seperti itu dilakukan.

Tanya: Bagaimana Anda bertemu suami Anda?

Saya menikahinya tahun 1964. Tentu saja pernikahan ini terjadi sebelum kami berkenalan satu sama lain, karena sudah menjadi praktik agama keluarga saat itu. Ibunya datang ke rumah kami untuk melamar dan setelah pembicaraan seperti biasa, upacara pernikahan dilakukan.

Tanya: Berapa jumlah anak Anda?

Kami memiliki empat putra dan dua putri. Seluruh putra kami lahir sebelum Revolusi, dan dua putri kami lahir setelah Revolusi (Revolusi Islam di Iran).

Tanya: Ceritakan kepada kami sedikit tentang kehidupan Anda saat kebangkitan Islam melawan Syah Iran.

Saat itu merupakan masa-masa yang sulit dan ujian dari Allah. Saya telah mempersiapkan diri untuk segala kemungkinan kesulitan dan tidak pernah mengeluh tentang segalanya.

Saya ingat saat bulan pertama setelah pernikahan kami, suami saya bertanya, “Jika saya ditangkap, bagaimana perasaanmu?” Itu merupakan pertanyaan yang tak terduga dan awalnya saya menjadi tertekan dan terganggu, tapi beliau banyak berbicara tentang perjuangan, bahaya dan tantangannya, dan menjadi kewajiban setiap orang dalam hal ini, kemudian saya menjadi tenang. Beliau mengatakan ini di hari yang sama saat Imam Khomeini ditangkap dan dibawa ke Tehran dari Qom dan diasingkan ke Turki. Pada hari itu Tuan Khamenei dan beberapa orang lainnya mempersiapkan diri di Mashad untuk memprotes, dan saat itulah dia bertanya. Mulai hari itu juga, saya membuat diri saya siap mental untuk menghadapi bahaya atas perjuangan suami saya. Karenanya, setiap kali ia dipenjarakan atau diasingkan atau ketika dia harus menyembunyikan aktivitasnya, saya menanggung semua kesulitan dengan mudah.

Kemudian kami memiliki anak lagi, tentu saja, kehidupan sangat sulit saat itu, tapi Allah selalu menolong dan saya tidak pernah kecewa. Perjuangan, selain penjara dan pengasingan, memiliki kesulitan lain yang kurang lebih konstan. Kegelisahan, kemiskinan materi, pemulihan hubungan, dan beberapa kekurangan adalah akibat dari perjuangan dan kami mulai terbiasa dengan itu. Tentu, dukungan spiritual dan simpati dari keluarga saya dan keluarganya merupakan pelipur penting dan saya selalu bergantung kepada Allah.

Tanya: Bagaimana Anda membantu suami dalam perjuangannya?

Saya pikir, peran terbesar saya adalah tetap menjaga suasana rumah tenang sehingga beliau dapat melanjutkan pekerjaannya. Saya berusaha untuk tidak membuatnya cemas tentang saya dan anak-anak. Kadang, ketika saya mengunjunginya di penjara, saya tidak mengatakan tentang kesulitan yang kami hadapi dan dalam menjawab pertanyaannya tentang kondisi saya dan anak-anak saya hanya menceritakan kabar baik. Sebagai contoh, selama pertemuan di penjara atau dalam surat selama pengasingannya, saya tidak pernah mengatakan atau menulis apapun tentang penyakit anak-anak.

Tentu, saya juga aktif dalam berbagai wilayah, seperti menyebarkan selebaran, membawa pesan, menyembunyikan dokumen dan sebagainya, yang saya pikir tidak terlalu penting untuk diceritakan. Pada bulan-bulan terakhir perjuangan, saya sibuk berhubungan dengan penyampaian pesan-pesan dari Imam Khomeini di Paris, yang diberikan melalui telepon, dan saya menyerahkannya ke pusat untuk digandakan dan disebarkan ke Mashad dan kota lain, dan sayapun mengumpulkan berita dari Mashad dan kota lain seperti Khurasan dan menyampaikannya ke Paris. Tapi saya kira, pekerjaan paling penting istri pejuangan kemerdekaan pada waktu itu adalah dukungan spiritual, simpati, menjaga rahasia, dan bersabar dalam kesulitan.

Tanya: Apakah suami Anda membantu di rumah?

Saat ini beliau tidak memiliki kesempatan dan kamipun tidak mengharapkan darinya. Tapi sifat yang sangat baik darinya dan dapat menjadi teladan dan contoh bagi lainnya adalah ketika beliau ada di rumah, meskipun beliau lelah karena pekerjaan sehari-hari, beliau mencoba untuk tetap menjaga suasana rumah jauh dari masalah kantornya.

Tanya: Apakah Anda mematuhi suami tanpa bertanya?

Dalam beberapa urusan pribadi, saya berkonsultasi dengannya dan dalam beberapa kasus, berdasarkan kewajiban agama, saya meminta izin darinya. Saya tidak menyembunyikan urusan apapun darinya dan menyetujui pendapatnya dalam seluruh masalah yang dibutuhkan.

Tanya: Tipe ayah yang seperti apakah Ayatullah Khamenei?

Beliau sangat sensitif dalam hal agama, moral, dan pendidikan anak-anak dan mendorong anak-anak kami untuk salat, membaca Quran, dan berolah raga. Beliau selalu berkata mengenai pendidikan putri kami. Beliau ingin mereka menjadi dokter.

Tanya: Apakah Anda bekerja untuk pemerintah?

Sebagai wanita muslim di Republik Islam Iran, saya memiliki beberapa tugas yang sama seperti wanita lain dan melakukan yang terbaik sesuai kemampuan, tapi secara khusus saya tidak memiliki tanggung jawab resmi.

Tanya: Apa yang suami harapkan dari Anda?

Beliau mengharapkan ketenangan dan lingkungan keluarga yang bahagia dan sehat lebih dari apapun.

Tanya: Mohon ceritakan kepada pembaca kami pandangan Anda mengenai pakaian sederhana yang islami.

Dalam pandangan saya, pakaian terbaik bagi wanita di luar rumah adalah chador. Tentu, tidak ada larangan menurut agama untuk memakai jenis pakaian lain asalkan menutup tubuh dengan sempurna dan tidak ketat. Tapi secara keseluruhan, saya lebih memilih chador. Untuk di dalam rumah cukup berbeda. Tentu saja pakaian, dalam hal apapun, haruslah sesuai dengan kesopanan Islam.

Tanya: Gaya hidup seperti apa yang Anda miliki?

Selama bertahun-tahun kami benar-benar menghilangkan barang mewah dari rumah. Keindahan itu bagus, tapi kita tidak boleh menikmati hidup mewah hanya untuk kepentingan diri. Di rumah, kami tidak memiliki dekorasi dalam arti biasa, tidak juga karpet, tirai, furnitur berharga, dan sebagainya. Kami telah melepas diri dari hal seperti itu sejak lama. Dalam hidup, kami mencoba untuk menyediakan segala sesuatu berdasarkan kebutuhan yang sebenarnya. Orang tua Tuan Khamenei adalah teladan dalam hal ini dan ibunya mengkritik hal seperti itu dan saya memiliki pandangan yang sama. Saya selalu menasihati anak saya bahwa mereka harus bertindak seperti ini dalam perilaku pribadi mereka. Kami percaya bahwa pengeluaran untuk barang-barang mewah tidaklah diperlukan.

Tanya: Apakah Anda, atau pernahkah Anda, bekerja di luar rumah?

Pekerjaan dalam arti umum, tidak. Jika melayani dianggap sebagai kerja menurut penafsiran Anda, maka harus saya katakan bahwa saya bekerja di luar rumah setiap waktu.

Tanya: Bagaimana dengan pekerjaan sosial?

Dalam pandangan saya, seseorang haruslah mendekati secara langsung kaum miskin untuk membantu mereka. Jika semua orang melakukan ini dengan benar maka tidak dibutuhkan lagi organisasi resmi untuk membantu orang-orang miskin. Pemeriksaan ke daerah miskin, mengunjungi rumah-rumah, lokakarya, dan sekolah-sekolah di daerah itu memberikan setiap orang kesempatan untuk membantu orang-orang miskin dan kurang mampu.

Tanya: Ada pesan untuk pembaca kami?

Pesan saya untuk seluruh wanita dari seluruh bangsa dan agama adalah bahwa mereka harus menjaga kehormatan dan keagungan wanita melalui perbuatan dan perilaku mereka, dan melalui ketaatan terhadap kesucian dan kemurniaan feminitas. Wanita muslim harus memahami nilai-nilai pakaian islami yang sederhana dan sopan, dan jangan menyerah terhadap godaan musuh mengenai hijab. Nasihat saya lebih lanjut untuk wanita muslim agar mereka tidak menarik diri dari aktivitas sosial dan politik. Di Iran, kehadiran wanita di beberapa tempat menghasilkan keberhasilan Revolusi, dan saat ini wanita berpartisipasi dalam semua kegiatan negara, baik itu sosial, politik, ataupun ilmu pengetahuan.

Penerjemah: Ali Reza Aljufri © 2010
Sumber: Mahjubah, The Magazine for Muslim Women, 1992; islam-pure.de

sumber:http://ejajufri.wordpress.com/2010/09/06/wawancara-dengan-istri-ayatullah-khamenei/

Fondasi Moral Rumah Tangga

Di banyak kehidupan masyarakat, misalnya, di bagian tertentu suatu kota kita menemukan seorang ayah meninggalkan anak-anak mereka dalam usia muda, memaksa sang ibu untuk bekerja ekstra-keras agar mendapatkan makanan di meja mereka. Contoh seperti ini membuktikan bahwa ibu memainkan peran penting dalam membentuk sebuah rumah tangga. Sebuah masyarakat dengan fondasi ibu yang kuat akan memimpin masyarakat dengan pemimpin kuat untuk masa depan. Inilah sebabnya memahami peran seorang ibu dan perilaku yang tepat seorang suami kepada istri-istri mereka memainkan peran penting dalam mendidik anak-anak.

Di banyak kehidupan masyarakat, pengorbanan yang dilakukan oleh seorang ibu merupakan kekuatan pendorong dibalik keberhasilan dan prestasi yang diraih. Seseorang mungkin bertanya: apa peran ibu di dalam rumah tangga? Memasak? Bersih-bersih? Hal seperti itu nampaknya tidak butuh pemikiran, dan bukan syarat yang harus dipenuhi oleh seorang istri. Memasak dan membersihkan dilakukan karena cinta kepada keluarga, bukan karena dipaksa. Sebab, peran utama seorang ibu adalah mendidik anak-anak dengan baik di dalam rumah tangga.

Di awal pernikahan, kita menemukan seorang ayah bekerja keras sepanjang hari untuk memberikan kehidupan, meninggalkan istri di rumah dengan anak-anak yang pada kenyataannya lebih mendominasi sepanjang hari. Cara seorang ibu berperilaku sebagai individu dan cara dia menghadapi anak-anaknya sejalan dalam menentukan bagaimana seorang anak akan tumbuh.

Inilah sebabnya mengapa penting bagi seorang ibu untuk menjadi fondasi moral sebuah rumah tangga. Kita melihat pada hari ini, di masyarakat, para ibu yang paling sukses adalah mereka yang setia kepada keluarga dan diri sendiri, terus-menerus menjaga keluarga dan memberikan cinta kepada anak-anaknya. Anak-anak dengan ibu seperti ini adalah individu yang tegak-lurus dan pemimpin dalam masyarakat.

Sebaliknya, kita juga menemukan para ibu yang tidak peduli dalam mendekati keluarganya. Kebutuhan materialistis menjadi lebih penting dibandingkan membesarkan anak. Ketika hal ini terjadi, anak-anak terabaikan dan tidak ada yang membimbingnya. Anak-anak yang tumbuh dengan ibu macam ini akan tersesat di dalam masyarakat yang penuh jebakan. Secara moral, anak-anak ini akan mengikuti unsur-unsur setan karena mereka tidak akan mampu mengatasi godaan untuk berbuat pelanggaran. Di masyarakat kita, keluarga berada dalam kekacauan karena kurangnya fondasi moral di dalam rumah tangga.

Memahami peran ibu dalam rumah tangga sangatlah penting, tapi perlakuan yang tepat terhadap istri oleh suami juga sama pentingnya. Cinta haruslah timbal-balik dalam sebuah hubungan. Tanggung jawab suami adalah menunjukkan cinta kepada istrinya secara konsisten. Cinta timbal-balik oleh dua sisi membawa kedamaian lebih dan hubungan yang seimbang. Ketegangan antara istri dan suami akan memiliki dampak dalam perjalanan membesarkan anak. Rumah tangga yang dipenuhi ketegangan akan menggiring perpecahan rumah tangga di mana anggota keluarga tidak akan saling berbicara.

Hari ini, banyak pria memiliki pikiran bahwa wanita adalah pelayan utama dalam sebuah hubungan. Mentalitas terbelakang ini haruslah dicabut. Dikisahkan bahwa sepanjang kehidupan pernikahannya, Imam Khomeini tidak pernah meminta istrinya segelas air sekalipun. Dalam kisah seperti ini banyak pesan yang dapat dipelajari. Pria harus paham bahwa wanita bukanlah mesin yang dapat melakukan sepuluh pekerjaan sekaligus. Kita harus membantu dan menolong di dalam rumah untuk meyakinkan bahwa istri-istri kita tidak terlalu terbebani. Jika mencuci pakaian atau bahkan mencuci piring setelah makan malam dapat mengurangi beban sang istri, maka suami harus dengan senang hati melakukan tugas ini. Seorang pria harus melakukan segala sesuatu semampunya untuk menjaga istrinya bahagia, karena dialah satu-satunya yang bangun di tengah malam untuk memberi makan sang bayi dan menjaga anak ketika demam atau sakit.

Memahami dinamika keluarga adalah penting bagi setiap orang di segala usia. Kemajuan hubungan keluarga sudah pasti menghasilkan masyarakat yang berakhlak dan secara moral menegakkan pemimpin masa depan.

Penerjemah: Ali Reza Aljufri © 2010

sumber:http://ejajufri.wordpress.com/2010/07/01/fondasi-moral-rumah-tangga/

Hari Perempuan atau Hari Ibu?


Oleh: Gayatri Wedotami Mutthahari

Fitrah seorang perempuan adalah menjadi seorang ibu.

Hajar dan Ismail

Walaupun seorang perempuan memutuskan tidak menikah, atau dia memutuskan menjadi seorang rahib (bikhuni atau biarawati), tetapi dia tidak pernah mampu mengingkari nalurinya sebagai seorang ibu.

Contohnya, Bunda Theresa dan Master Cheng Yen. Mereka berdua menjadi rahib, seakan-akan bagi kita mereka telah mengingkari fitrah mereka sebagai perempuan, sebagai ibu. Namun, kita bisa melihat betapa mereka berdua tetap tampil sebagai ibu. Ibu bagi umat mereka, ibu bagi orang-orang yang tertindas, mereka yang miskin, anak-anak yang malang, dan orang-orang yang hidup menderita.

seorg biarawati yg juga guru anak-anak yatimpiatu

Itu artinya, tak seorang pun perempuan bisa melepaskan diri dari karakter dasarnya. Ia bisa saja menolak terikat dalam kehidupan pernikahan, tetapi mungkin bukan karena dia mengingkari kodratnya sebagai manusia untuk mencintai; sebaliknya mungkin dia menolaknya karena institusi atau ikatan perkawinan itu. Dan, ada banyak alasan bagi mereka menolaknya, baik karena alasan budaya, keyakinan, sosial, pribadi, dan masih banyak lagi. Sebaliknya, dalam kesendiriannya, hanya seorang perempuan yang tidak normal saja yang tidak menyukai anak-anak, dan hanya seorang perempuan yang tidak normal saja yang tidak bersikap layaknya seorang ibu.


R.A Kartini

Pada tanggal 21 April, bangsa Indonesia selalu memperingati Kartini sebagai tokoh emansipasi wanita. Belakangan ini makin banyak pihak yang tidak menyetujui beliau disandarkan sebagai tokoh emansipasi wanita di Indonesia, atau kalau perlu, tidak usah lagi 21 April dirayakan. Tulisan saya kali ini tidak ingin terjebak dengan kekonyolan yang sama. Bagi saya “Di taman semua bunga indah.” Kalau pun dari kejauhan pada suatu masa yang tampak hanya mawar-lah yang indah, bukan berarti orang lain melihat melati-lah yang indah. Tetapi, karena tidak mungkin meletakkan semua hari lahir para pendekar perempuan hebat sebagai hari peringatan, maka saya kira tidak perlulah mempersoalkan 21 April-nya tetapi semangat dasar memilih Kartini sebagai ikon, bukan ikon-nya itu sendiri.

Kritik terhadap pemilihan Kartini sebagai ikon dapat saya terima sepanjang kritik itu tidak menjatuhkan citra Kartini itu sendiri. Beliau telah meninggal dunia Saudara, biarkan beliau beristirahat dengan tenang di alam sana.

Kehidupan Kartini sendiri, seperti para filosof terkemuka yang pernah saya baca, sebenarnya dapat dibagi menjadi beberapa fase dan tiap-tiap fase itu menggambarkan perempuan priyayi Jawa pada masa-nya, dan kegelisahan-kegelisahannya dalam tiap-tiap fase masih relevan dibahas dengan keadaan sejumlah perempuan Indonesia masa kini yang terjebak di antara banyaknya pilihan dalam hidupnya. Pada fase terakhir hidupnya, karakter “keibuan” Kartini sangat menonjol, karena dia sedang mengandung, dan Kartini sangat haus akan pengetahuan agama, yang pada masa itu ter-distorsi dari dirinya karena setting sosial dan setting zamannya. Tetapi, perlu diingat, bahwa R.A Kartini sebagai keturunan bangsawan Jawa secara nasab adalah keturunan para wali (biasa dikenal sebagai walisongo, walaupun tidak mesti 9 jumlahnya) dan karena itu saya yakin beliau masih keturunan Fatimah az-Zahra, walaupun dari garis perempuan, seperti halnya para pangeran dan putri bangsawan Jawa pada umumnya, walaupun kalangan sejarahwan menolak klaim-klaim ini semata karena secara empiris bukti-buktinya tidak lengkap, tetapi penyusun-penyusun silsilah telah meriwayatkan bahwa para sultan Nusantara adalah keturunan Ahlul-Bait (keturunan Rasulullah SAW dari Fatimah) baik dari garis perempuan maupun dari garis lelaki. Jadi, mari bagaimanapun saya ingin menghormati beliau dengan segala kelemahan dan kekurangan beliau.

Rasuna Said

Bagaimana dengan tokoh-tokoh perempuan lain? Mereka memiliki kelebihan masing-masing karena mereka berasal dari ladang yang berbeda dari Kartini, setting sosial yang berbeda, tantangan yang berbeda, dan kapasitas (baik intelektual dan fisik) yang berbeda pula. Adalah sukar mengatakan Suhrawardi lebih hebat daripada Ibnu Sina, atau Mulla Sadra lebih canggih daripada Ibnu Arabi, atau Rumi lebih keren daripada al-Ghazali.

Tetapi, jika ukurannya bukan manusia biasa, baru kita bisa mengatakan tentu saja, adakah perempuan setelah Fatimah az-Zahra yang mampu menandingi keunggulannya, yang sedikit pun tak ada cacat celanya?

Saya lebih suka membahas bahwa semangat dasar dari memilih ikon Kartini adalah semangat dasar meletakkan perempuan pada kedudukan yang istimewa seistimewa kedudukan yang Tuhan berikan kepadanya. Apalagi kalau bukan sebagai ibu?

Saya pernah menulis:

1. PEREMPUAN SEBAGAI IBU

Ayatullah Khomeini, seorang almarhum ulama Muslim yang paling disegani di dunia (setelah mengalahkan kekuatan Amerika Serikat dan mendirikan sebuah republik Islam) menyatakan,

“ Dalam sistem Islami, seorang perempuan sebagai makhluk hidup dapat secara aktif berpartisipasi bersama-sama pria untuk membangun sebuah masyarakat Islam…..Ketika seorang perempuan menekuni secara bertanggungjawab bidang apapun, perkembangan bidang itu pasti akan berkali-lipat.”

Seorang perempuan yang saya kenal mengatakan betapa ternyata melelahkan mengurus dua bayi sekaligus, sementara dirinya sedang mengandung. Namun, dia dengan penuh rasa syukur menyatakan bahwa baginya kehidupan ia jalani saat ini adalah ladang bagi beramal saleh.

Seorang perempuan yang saya kenal mengatakan betapa dia tidak pernah menyangka telah menjalani hidup sebagai wanita karir di negeri asing karena mengikuti suaminya, dengan empat orang anak yang masih kecil-kecil, tanpa pernah dibantu oleh seorang pembantu, sampai hari ini anak-anaknya telah besar. Tatkala mengingatnya kembali dia tidak tahu apakah dia sanggup mengulang semuanya kembali.

Siapapun perempuan itu: apakah dia seorang ibu rumah tangga, ataukah dia seorang wanita karir, bagi saya mereka semua sangat mulia apabila mereka menjalani kehidupan mereka dengan dedikasi tinggi – pengabdian, kerja keras, pantang menyerah, serta penuh rasa syukur.

Bagi saya adalah salah jika memandang remeh pekerjaan seorang ibu rumah tangga, terutama apabila mereka tidak memiliki pembantu. Bayangkan mereka bekerja 24 jam sehari tanpa digaji, sementara pembantu dan baby sitter bekerja dengan digaji.

Polisi (wanita) di Iran

Namun, bagi saya adalah salah pula jika menganggap para perempuan yang memilih berkarir adalah para perempuan yang menyalahi kodrat mereka sebagai perempuan.

Pertama, kondisi finansial setiap rumah tangga berbeda-beda dan jika memungkinkan perempuan ikut membantu perekonomian keluarga itu adalah suatu pilihan yang mulia.

Kedua, masyarakat membutuhkan tenaga dan fikiran mereka: para ibu guru, bidan, suster, dokter, polisi khusus (seperti yang menangani kasus pemerkosaan), dll. Ketiga, perempuan adalah manusia seperti laki-laki yang memiliki bakat dan kemampuan yang perlu disalurkan, karena kondisi setiap orang berbeda, menyalurkan bakat dan minatnya itu merupakan bagian dari kebutuhan hidupnya.

Empat orang relawati TzuChi merawat seorg nenek sebatang kara

Pun, bagi perempuan-perempuan yang lebih beruntung, seperti ibu-ibu rumah tangga yang memiliki banyak waktu luang dan uang berlimpah, tetapi tidak bekerja, amat disayangkan apabila mereka tidak berpartisipasi aktif dalam kehidupan masyarakat – seperti relawati-relawati Tzu Chi di Taiwan yang banyak juga disertai oleh ibu-ibu dari kalangan konglomerat dan kelas menengah keatas yang merasa perlu mengisi waktu luang dengan lebih bermanfaat: yaitu membantu sesama. Bahkan banyak juga para relawati berasal dari kalangan menengah biasa.

Saya selalu berharap dan terus mengatakan hal ini: melihat kesungguhan sang bidan perahu yang rela bertaruh nyawa demi membantu persalinan di pulau-pulau jauh dari desanya; dan ibu-ibu Tzu Chi Taiwan yang merupakan istri-istri bos kaya yang rela berkotor-kotor dan berpeluh-peluh untuk menolong sesama; ladang berkah tempat perempuan menanam benih kebaikan adalah dunia yang luas terbentang ini. Betapa egoisnya ketika perempuan memiliki kesempatan, apakah itu berbentuk tenaga, ilmu, pikiran, uang atau apapun, tetapi perempuan tidak ikut bersumbangsih dalam masyarakat.

Namun, negara melalui kakitangannya (baca: pemerintah) harus mampu memberikan fasilitas yang terbaik, baik bagi kaum ibu rumah tangga, maupun para wanita karir, untuk menunjang segala aktivitas mereka. Taman-taman bermain anak yang biayanya terjangkau, tempat-tempat penitipan anak yang tidak komersial, ruangan khusus ibu menyusui di ranah publik seperti rumahsakit, pasar, mall, dll, perpustakaan-perpustakaan dimana ibu dan anak bisa bercengkrama bersama, serta berbagai fasilitas lain (terutama Undang-Undang dan sanksi-sanksi) sehingga apa pun pekerjaan yang dipilih seorang ibu, ia masih dapat memberikan perhatian kepada anaknya, sekaligus mengembangkan ilmu dan menyalurkan kemampuannya.

Apakah bangsa kita ini ingin semena-mena menuntut perempuan ikut berpartisipasi dalam pembangunan bangsa, tetapi negara tidak menyediakan sarana dan prasarana pendukungnya, itu sama artinya membangun bangsa yang kelihatan gagah tetapi sebenarnya rapuh dan kapan saja bisa roboh – anak-anak tidak lagi mendapat ASI, ibu-ibu menjadi TKW ke luar negeri, serta banyak lagi masalah rumah tangga.

para perawat di Irak

Ataukah umat Islam kita ini ingin sewenang-wenang memaksa perempuan diam di rumah, terlarang bagi mereka keluar untuk bekerja; tetapi pada saat yang sama ada kebutuhan mendesak akan tenaga perempuan di bidang medis dan pendidikan bagi perempuan itu sendiri, seperti bidan, guru, dokter kandungan, dan berbagai macam dokter spesialis?

Untuk sementara waktu, saya mengagumi sistem yang diberlakukan di beberapa negara sosialis Eropa dan Republik Islam Iran dalam upaya mereka menjawab dua tantangan tersebut. Sistem yang sangat manusiawi karena berupaya memenuhi dua hal yang tidak dapat dipisahkan dari seorang perempuan: ia adalah ibu yang memiliki kewajiban mengurus anak-anaknya dan ia juga adalah manusia yang memiliki kewajiban kepada sesama umat manusia. Ketika mereka menjatuhkan pilihan, misalnya berkarir, negara melalui semua sarana dan prasarana pendukungnya berusaha mendukung pilihan mereka. Bahkan, ada sebuah negara yang menggaji para ibu rumah tangga sebagai bentuk penghargaan mereka!

MASIH segar dalam ingatan kita berita seorang ibu yang harus berlari mendorong gerobaknya sambil membawa balitanya dari kejaran aparat satpol PP. Balitanya jatuh tersiram air panas dan meninggal dunia. Beberapa bulan yang lalu, berita seorang ibu yang harus dipenjara secara mendadak atas sebuah masalah sepele (bukan membunuh atau merampok), menjadi berita nasional paling hangat. Ibu muda itu, Prita Mulyasari, masih menyusui balitanya.

Kisah ibu yang kehilangan anaknya karena tersiram kuah bakso adalah potret ibu yang berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun, di mana pemerintah ketika melindungi sang ibu dan anaknya demi memenuhi kebutuhan hidupnya? Begitu pun di mana pemerintah ketika memaksa seorang anak kehilangan haknya mendapat ASI sementara ibunya dipenjara? Kita cenderung menyalahkan sang ibu, tetapi kita seharusnya berpikir bahwa peristiwa-peristiwa di atas adalah persoalan yang bisa terjadi pada siapa saja, bahkan harus selalu dihadapi oleh seorang ibu: Antara membantu mencari nafkah, menyusui bayinya, dan menjaga anak-anaknya yang masih kecil.

Kedua kasus itu menjadi gambaran bagi lepas tangannya pemerintah dalam melindungi hak dasar seorang anak, sebelum jauh kita berbicara tentang pendidikan dasar, kekerasan terhadap anak, maupun pekerja di bawah umur. Seorang anak berhak memperoleh nutrisi yang terbaik bagi dirinya, serta pendidikan pertama yang lengkap dengan kasih-sayang dan nilai-nilai moral.

Seorang Ibu di India & dua anaknya

2. GENERASI MASA DEPAN

Karena itu, pertama, kita harus sepakat bahwa ASI sebagai cairan emas bagi tumbuh-kembang seorang anak. Sampai detik ini, belum ada yang dapat menggantikan manfaat ASI. Seorang bayi harus minum ASI saja sampai berumur enam bulan, kemudian harus tetap memperoleh ASI sampai ia berumur dua tahun. Seorang ibu berkewajiban memenuhi hak dasar anak ini, sementara ayahnya wajib mendukung memfasilitasi sebaik-baiknya demi hak anak ini. Seperti memberi makanan bergizi kepada istrinya yang sedang menyusui, atau membantu melakukan pekerjaan rumah tangga apabila istrinya masih menyusui.

lukisan kontemporer - Hajar dan Ismail

Kita juga harus sepakat bahwa sebaik-baiknya sekolah pertama bagi seorang anak adalah ibunya sendiri. Namun, itu bukan berarti seorang perempuan harus dikungkung di dalam rumahnya sebagaimana yang lazim terjadi. Mustahil untuk mengabaikan kenyataan bahwa pada zaman sekarang, dengan kondisi perekonomian sekarang, sebuah rumah tangga kelas menengah hanya mengandalkan gaji seorang suami. Selain itu, juga sangat disayangkan apabila perempuan-perempuan yang berpendidikan tidak memberi kontribusi kepada masyarakat luas sesuai ilmu yang ia miliki. Kita tidak bisa membayangkan dunia tanpa bidan, dokter, perawat dan guru perempuan.

Namun, sayangnya, kendati pemerintah kita telah membuka akses selebar-lebarnya bagi perempuan untuk memenuhi tanggungjawab sosialnya, pemerintah kita tidak memberi perlindungan yang memadai bagi anak-anak mereka. Masyarakat juga lazimnya menganggap bahwa adalah risiko bagi para ibu pekerja yang menitipkan anak-anak mereka kepada keluarga, pengasuh atau pembantu rumah tangga mereka.

Akibatnya, seperti dua kasus tadi, anak-anak terpaksa ikut bersama ibu yang berdagang menghadapi banyak bahaya. Atau, sejahat apa pun perbuatan seorang ibu tidaklah manusiawi membiarkan seorang anak yang masih menyusui dipisahkan dari ibunya. Dalam hukum Islam misalnya, hukuman mati atau rajam untuk seorang perempuan harus ditunda sampai anaknya selesai menyusui.

St. Anne

Pada umumnya, persoalan yang dihadapi oleh perempuan dari kelas menengah dan kelas bawah adalah ketika mereka harus membantu ekonomi keluarga, tetapi tidak ada yang menjaga anak-anak mereka sementara mereka bekerja beberapa jam. Kemudian, anak-anak bayi yang harus ditinggalkan juga dengan terpaksa tidak lagi mendapat ASI dari ibunya karena kurangnya sosialisasi manfaat ASI serta fasilitas untuk ibu yang masih menyusui.

Tak ada kewajiban bagi pabrik atau kantor menyediakan fasilitas tersebut, misalnya, tempat menyimpan ASI dan tempat layak untuk memerah ASI. Bahkan, tak ada kewajiban bagi pabrik menyediakan taman penitipan anak (TPA) gratis bagi para karyawannya. Padahal, jika tersedia TPA yang lebih dekat, pada jam istirahat para ibu memiliki kesempatan untuk berkumpul dengan anak-anaknya.

Saya mengetahui ada sebuah pasar di Jakarta yang menyediakan TPA murah-meriah untuk para pedagang pasarnya yang berasal dari golongan bawah. TPA semacam inilah yang lebih dibutuhkan oleh masyarakat kita, sebab tidak semua orang tua mampu membayar, katakanlah, limapuluh ribu sehari seperti TPA-TPA di kota besar pada umumnya. Pemerintah dan masyarakat harus memikirkan untuk membuka TPA yang layak serta terjangkau.

Di samping itu, juga perlu ada kewajiban bagi semua perusahaan dan sarana umum untuk menyediakan fasilitas bagi ibu menyusui. Sungguh sangat disayangkan bangsa yang besar ini mengabaikan. Sementara kita berharap perempuan bisa ikut membangun negara ini sekaligus melahirkan dan mendidik anak-anak sebagai penerus bangsa ini dengan baik. Yang lebih memprihatinkan lagi, ketika pemerintah mengizinkan para ibu muda dengan anak-anak yang masih kecil harus menjadi TKW di luar negeri demi membantu ekonomi keluarga.

Jika anak-anak Indonesia tidak lagi memperoleh ASI dan mereka dijauhkan dari kasih-sayang ibu mereka, kita tidak bisa berharap akan kemajuan yang sempurna secara fisikal maupun spiritual bagi bangsa ini pada masa yang akan datang. Telah banyak contoh bagaimana anak-anak yang tidak memperoleh ASI dan tidak memperoleh pendidikan pertama yang baik, kelak akan tumbuh dewasa.

Sebagai masyarakat kita harus memperjuangkan hak ASI dan TPA yang layak bagi anak-anak kita. ASI dan kasih sayang seorang ibu sebagai sekolah pertama seorang anak adalah hak dasar setiap anak manusia yang harus kita perjuangkan demi generasi Indonesia mendatang.

Karena hal itulah, untuk Ibuku, untuk semua saudariku, siapa pun engkau, profesi apapun yang engkau pilih, di rumah atau pun di luar rumah:

“Semoga Ladang Berkahmu adalah Ladang Berkah Bagi Umat Manusia.”

Dan, saya lebih suka memandang Hari Perempuan sebagai Hari Ibu. Bukan sekedar ibu dalam pengertian sempitnya, tetapi ibu dalam pengertian seluas-luasnya. Yang itu artinya hari bagi seluruh anak manusia…hari bagi masa depan kita, hari bagi keberlangsungan peradaban manusia, peradaban bagi seluruh umat manusia tanpa kecuali.

salam damai.

Master Cheng Yen, Pendiri Tzu Chi

0 comments to "Hari Ibu... Selamat Hari Ibu....Hari Ibu di Negara Islam..."

Leave a comment