Home , , , , � Islam di tolak Islam dicari !!!

Islam di tolak Islam dicari !!!

Ini Dia Praktek Islamphobia Baru di AS-

Organisasi Muslim terbesar yang mengadvokasi kebebasan sipil di Amerika Serikat mengecam pemerintah Washington karena memanfaatkan jasa instruktur anti-Muslim untuk melatih polisi negara itu.

Council on American-Islamic Relations (CAIR) telah mengirim surat kepada Jaksa Agung Eric Holder yang berisi kritik terhadap Departemen Kehakiman AS karena mempekerjakan instruktur anti-Muslim dalam program pelatihan polisi kota dan negara bagian tentang metode menangani komunitas Muslim.

Dalam suratnya, Direktur Eksekutif CAIR, Nihad Awad mengatakan secara terbuka bahwa kelompok Muslim mengecam Pusat Kebijakan Keamanan yang dijalankan oleh tokoh Islamophobia Neo-konservatif, Frank Gaffney. Ia telah dipekerjakan oleh Departemen Luar Negeri AS untuk melatih polisi negara bagian dan federal yang nantinya akan berhubungan dengan komunitas Muslim.

Dia berargumen bahwa menggunakan uang pembayar pajak untuk menyewa kelompok-kelompok ekstremis seperti itu, sama dengan memberi informasi yang keliru terhadap orang yang mereka latih dan hal ini harus dihentikan.

"Yang mengejutkan kita adalah mereka yang memberi pelatihan kepada petugas negara dan yang berbicara soal Islam dan masyarakat Muslim di daerah kontra-teror justeru orang-orang yang memandang Islam sebagai musuh dan komunitas Muslim sebagai musuh Amerika Serikat," kata Awad dalam sebuah wawancara dengan Press TV.

"Jadi, mereka memberi informasi yang tidak akurat kepada pemerintah. Kami percaya ini adalah kebijakan yang kontraproduktif dan itu akan berdampak negatif terhadap kebijakan, sikap dan praktek instansi penegak hukum di semua tingkat terhadap masyarakat Muslim dan Islam itu sendiri," tegasnya.

Ia mengeluhkan pemerintah AS yang mempekerjakan para ahli yang secara terbuka telah merendahkan warga Muslim. Mereka melihat Muslim sebagai sebuah komunitas yang patut menjadi sasaran tuduhan. Orang-orang yang akan mengajar polisi adalah mereka yang menyebut Muslim radikal terlibat dalam sebuah "jihad" di Amerika Serikat untuk mengambil alih negara.

Direktur CAIR menolak tuduhan tersebut dan meminta Washington untuk memastikan kebenaran informasi yang diberikan polisi. "Ada agenda yang dijalankan, para aktivis anti-Islam memberikan informasi keliru kepada pemerintah tentang populasi Muslim dan Islam secara umum demi imbalan uang dari pajak yang kami bayar," protesnya.

CAIR mengatakan pihaknya berencana untuk mengirim surat ke Departemen Pertahanan dan Keamanan guna mengeluhkan praktek Islamophobia yang dilakukan Departemen Kehakiman. (IRIB/RM/AHF/22/12/2010)

Islam, Primadona Baru Pemuda Rusia

Koran Washington Post dalam laporannya mengungkap eskalasi kecenderungan pemuda Rusia kepada Islam.

Dalam laporannya Koran Washington Post menceritakan pengalaman seorang pemuda Rusia yang memeluk Islam. Rostam, 17 tahun asal Rusia sebelum masuk Islam hidupnya cukup rusak. Ia bukan hanya tidak beragama sebelumnya, bahkan tindakan amoral pun sudah menjadi rutinitas sehari-harinya. Setelah masuk Islam kehidupan Rostam mengalami perubahan drastis.

Ia menceritakan pengalaman pertamanya ketika memasuki masjid dan sambutan hangat umat Islam. Pengalaman ini menjadi salah satu faktor bagi Rostam untuk mengkaji Islam.

Washington Post dalam tulisannya menambahkan, maraknya warga Rusia memeluk Islam membuat marah sejumlah perusahaan khususnya yang memproduksi minuman keras dan produk yang diharamkan Islam. Hal ini karena mereka kehilangan konsumen.

Masih menurut sumber ini, pemuda Rusia yang baru memeluk Islam meyakini bahwa Islam memberikan mereka pendidikan universal, mulai dari hal parsial hingga masalah pemerintahan.

Yang menarik dari pernyataan Rostam adalah pendapatnya mengenai kelompok takfiri seperti al-Qaeda dan kelompok salafi radikal lainnya. Seraya menolak kelompok seperti ini, Rostam menyebut kelompok tersebut cepat atau lambat pasti hancur.

Washington Post menjelaskan, pemuda muslim Rusia kini menfokuskan upayanya untuk mengkaji dan mendalami ajaran Islam. (IRIB/INN/MF/SL/22/12/2010)

Muharram di Qom

Maqam Fatima Masoumeh Qum

Dalam kedinginan 10°C, anak kecil itu dijulang ke udara. Di tengah kerumunan massa, ia tak menangis. Sembari dibaluti kain puteh, seperti kain kafan, dengan wajah yang terdedah pada similir angin, manakala pada dahinya pula terdapat lilitan hijau yang tertulis "ya Ali Asghar," di mana Ali Asghar adalah shahid termuda di Karbala, hanya 6 bulan. Demikian salah satu dari sejumlah panorama ketika dinihari 10 Muharram 1432H, di maqam Fatima Masoumeh, di Qom, di Iran.

Hari itu, adalah hari kemuncak Azadari, yang bermula sejak 1 Muharram dan berterusan sampai Arbain, 40 hari setelah kemuncak tersebut. Ini adalah hari yang terkenal sebagai Ashura. Setelah ribuan tahun, sejak 61H, Imam Husayn shahid dengan cemerlang di Karbala. Dengan 72 jiwa yang shahid, dan 128 jiwa yang terlibat, hanya semata-mata atas apa yang mereka namakan sebagai, "kebangkitan kembali agama." Kata ini seperti berlebihan. Kita, dengan nalar yang ada, tentu takkan mudah menerimanya, dan takkan berpuas hati menerima kata tanpa makna.

Lantaran itu, barangkali akan ada yang bertanyakan, "apakah perlu agama dibangkitkan kembali setelah risalah dari Nubuwwah?" Secara fenomenologi, kaedah menarik dari Husserl ini boleh jadi penyelamat. Kita mesti menulis tentang Ashura dari tubuh Ashura itu sendiri. Dari sejarahnya, dari falsafahnya, dari sumbernya; zurück zu den Sachen selbst. Setidaknya, dari mereka yang terlibat. Bukan dari mereka yang hanya mendengar jauh-jauh tentangnya.

Ashura, memang untuk Husayn, yang lengkap pada kalangan Shi'ah dikenali sebagai "Imam Husayn." Mereka, "takkan pernah melupakan Karbala," demikian salah satu kata yang berkumandang dalam kerumunan tersebut. Di medan bersejarah Fatima Masoumeh itulah, silih berganti para kumpulan mementaskan himbauan mengenai Karbala. "Terdapat ribuan kumpulan ini di Qom," kata Shahriyar Shojaeipour, yang kini bertugas di Islamic Research Institute for Culture and Thought, Qom. Setiap kumpulan dengan cara masing-masing. Lalu, dengan tradisi puisi Parsi yang tinggi, maka setiap bait menghimpit dinding medan, serta mengamit hadhirin.

Ini ditambah lagi dengan paluan Tabl (seperti gendang), gemincing Senj (seperti piring), hatta ada juga tiupan Vuvuzela, yang semuanya bersatu suara memecah kedinginan. Ini, memang sebuah festival. Ashura, yang hari sebelumnya adalah Tasua, ternyata, adalah sebuah festival, meski bermula dari sebuah kenestapaan. Tapi bukanlah sebuah kenestapaan yang mahu mereka ratapi. Mereka sekadar ingin menunjukkan bahawa pesan ilahiyyah tak pernah berakhir pada Nubuwwah. Kerana itu, nama Husayn tak lekang. Soalnya, mengapa Husayn? Dan, kenapa tak Muhammad?

Mereka juga punya jawapannya. Kerana mereka berpegang erat pada sebuah sabda: "Husayn mini wa ana min Husayn." Buat kalangan Shi'ah, mengenang, malah meneruskan risalahnya, adalah sebuah warisan perjuangan yang tak selesai dari Nubuwwah itu sendiri. Ini yang sering diabaikan. Jadi, ketika muslim berpencar pada saat Karbala, tapi saat itulah juga menjadi garis furqan buat mereka, yang dalam bahasa Hegel dikenal sebagai dialektika - pertempuran antara tesis dan anti-tesis. Fikiran dan tindakan, dari Karbala, tiada selain dari itu, bersatu dalam sejarah mereka. Menyebut Husayn, sama seperti menyebut Muhammad: "Husayn dariku dan aku dari Husayn."

Namun, dialektika Karbala ini mencabar GWF Hegel. Karbala, pada Shi'ah, adalah kritiknya buat Hegel. Sekiranya Hagel percaya akan kemunculan sintesis, yakni pada setiap pertarungan tesis dan anti-tesis, sebaleknya Karbala tidak! Pada Morteza Motahhari, Islam sama sekali tak mendukung sintesis. Tiada intersubjektiviti dalam kebenaran. Buat filsuf revolusioner ini, hanya ada dua pilihan; benar atau salah. Yang benar boleh saja bercampur dengan yang salah. Tapi, salah dan benar tetap dari dua ranah yang berbeza.

Bahkan, Ali Shariati, yang biarpun ada selisih dengan Motahhari dalam soal Marxisme Islam, juga percaya demikian. Kita mungkin dapat mengingatkan kembali sebuah ucapan yang mengegarkan dari Shariati di Husayniyyah Irshad pada 1970-an yang tertera dalam buku Shahadah-nya: sama ada bersama Yazid, atau besama Husayn yang shahid di mana Zaynab yang terus gigih melanjutkan risalahnya. Ternyata, masharakat Shi'ah bergulir dalam arus dialektika ini, yang juga dalam bahasa Hegel berhujung pada Sittlichkeit -- pertemuan antara tradisi dan hukum. Inilah tentuisme sejarah.

Maka, jika dikata Ashura adalah ritual budaya, itu benar. Dan, jika dikata lagi Ashura adalah ritual agama, itu juga benar. Keduanya adalah sama, lestari dalam sejarah yang satu.

Ashura, di Qom, tersimpan prestijnya. Malam-malam, selama 10 hari pertama Muharram, sama ada rumah, madrasah, dll, kota agama ini dipenuhi dengan acara yang dikenal sebagai Rozeh -- ceramah dan bacaan narasi tentang Imam Husayn dan Karbala. Dan, acara belangsungkawa inilah, seperti kata Annemarie Schimmel dalam Karbala and the Imam Husayn in Persian and Indo-Muslim literature menjadi tradisi Muharram yang merebak seluruh penjuru Islam, termasuk sampai ke Pariaman, Sumatera. Di sana, ada Tabut, juga sebuah ingatan buat Imam Husayn.

Memang, ketika Rozeh, ada tangisan yang melimpah. Aneh mungkin, mengapa mereka dengan mudah menangis tatkala diungkapkan mengenai Karbala? Tidakkah mereka penat dengan ulangan cerita yang sama? Ini adalah pertanyaan yang wajar. Mereka menangis seolah Husayn baru saja shahid kelmarin. Tapi kita barangkali takkan aneh, kalau melihat ada yang menangis ketika menonton Winter Sonata. Tapi, Iran, Karbala, Shi'ah, itu berbeza. "Kita takkan pernah memahami Iran, selagi kita belum menjadi Shi'ah," demikian kata Hashemi Rafsajani yang pernah dikutip Hooman Majd dalam The Ayatollah Begs to Differ.

Tentu, menjadi Shi'ah seperti mereka, buat kita, adalah tak mungkin. Kita dilahirkan berbeza, dari daerah berbeza, dari budaya berbeza. Islam yang kita terima, yang berbaur dengan budaya setempat, menjadikan kita lain. Tapi, bukanlah sebuah larangan untuk saling-belajar, dan saling-memahami. Justeru, kalau hanya seruan untuk mencintai Nabi dan keluarganya, itu sama sekali bukanlah keberatan. Malah, kita senang. Namun, apakah tenang hidup ini dengan mencintai Nabi dengan keluarganya? Apakah dengan melakukan hal seperti itu, bererti kita telah melengkapi Islam?

Dalam sejarah, yang membezakan dua tradisi besar Islam -- Shi'ah dan Sunni -- adalah Imamah. Motahhari sekali lagi, secara mudah mengungkapkan pemisah antara Shi'ah dan Sunni, "dengan menerima Ali sebagai warisan kepimpinan dari Nabi, itu memadai untuk menjadikan seseorang itu Shi'ah." Semudah itu. Tapi, mengapa harus Ali? Sukar untuk kita menerima kepimpinan Ali hanya atas dasar darah. Hanya atas dasar keluarga. Kita dengan akal sehat, pasti akan menolaknya. Hanya itukah hakikat dari Shi'ah? Hanya pada darah, dan keluarga? Melihat kepada falsafahnya, ternyata bukan demikian.

Iran, juga Shi'ah, dari ke hari membuktikan dirinya adalah ranah yang amat seni. Mereka menerima imamah Ali dan penerusnya, bukan kerana darah. Tapi, kerana karisma. Kerana kewibawaan. Kerana kecekapan. Ali adalah Ali. Sama seperti kata Shariati, "Fatima adalah Fatima." Masing-masing menjadi diri sendiri. Tanpa kelebihan kepimpinan, maka setitis garisan darah Nabi pun tak berguna. Betapa banyak kita lihat, mereka yang mengaungkan garis dari leluhur Nabi, tapi miskin akhlaknya. Sebab itu, Shi'ah tak pernah bermula dengan aqidah. Yang penting pada mereka, adalah akhlak.

Mohsen Ghanbali, adalah salah seorang akademia di al-Mustafa International University. Wajahnya membayangkan kepada kita Mahmoud Ahmadinejad, cekung pada matanya, tumis nipis, dan rendah. Tapi, ia sedikit berisi, berserban, dan berjubah. Di hadapan mahasiswanya di Qom, yang ada antaranya adalah Sunni, dibicarakannya tentang triniti penting dalam Islam: aqidah, ahkam, dan akhlak. Antara ketiga itu, buatnya, akhlak mendahului aqidah." Soalnya, mengapa akhlak lebih utama dari aqidah? Di sini, Albert Camus dalam La peste ada jawapannya.

Camus, di situ berkisah tentang peristiwa luar biasa yang menghentam penduduk kota Oran, sebuah kota di barat Algeria. Filsuf Perancis itu menanyakan: mengapa anak kecil akhirnya menerima kesan dari wabak? Dan, "apakah dosa anak kecil ini?" Maka, belajar dari pencarian Camus ini, kita akan akui bahawa jadi baik boleh saja tanpa agama. Berapa ramai yang bukan-muslim, mithalnya, tetap dapat berlaku baik. Dan, berapa ramai yang Shi'ah (kalau mereka dikatakan bukan-Islam), tetap dapat berlaku baik pada Sunni. Di Qom sendiri, penuh dengan masharakat Sunni, dari belahan dunia. Mereka hadhir hanya kerana sebuah hasrat: mendepa ilmu. Tiada seruan pun bahawa darah Sunni adalah halal untuk dibunuh.

Sunni sejati seperti talabeh-talabeh lain di Qom. Mereka mencari ilmu bagai hikmah yang hilang, dan siap meredah daerah yang berbahaya, kalau benarlah Qom adalah sebuah daerah berbahaya untuk mereka. Kota ini menyambut mereka dengan ramah. Bak kata Nezami, pujangga besar Parsi:

Seluruh dunia adalah jasad, dan Iran adalah ruhnya
Kami semua tak malu-malu untuk mendakwanya
Lalu, sebagaimana Iran adalah ruh atas dunia, dan kekal demikian
Maka ruh juga lebih unggul atas jasad, dan itu adalah kepastian

Shahdan, ilmu itu tak kenal wilayah. Tak hanya di Qom. Hatta, seluruh alam. Namun, tetap akhirnya ilmu sujud pada akhlak, kerana itu adalah buahnya. Jika kita percaya kebaikan adalah manifestasi Tuhan, maka tentu saja akhlak juga adalah manifestasi rahmatan lil alamin. Ingatkah kita pada sebuah sabda, "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia?" Jika kita ingat itu, maka kita tahu bahawa ateisme juga punya aqidah. Maka, aqidah bukanlah pemisah pertama. Sebaleknya, adalah akhlak.

Di Qom, kota ini memang mengajar akhlak. Mendidik dengan kekhasannya pula. Sampai saja, kita akan sangat terkesan dengan cara taaruf masharakat Iran yang bitara, dengan tangan kanan yang meletak di dada, sambil kadang-kala tunduk tanda hurmat. Itu akhlak pertama mereka, dan menarik. Kesan dari Ashura. Kesan dari tafsiran Islam yang santun.

Di jalan Chaharmardan tak jauh dari maqam Fatima Mashoumeh, ketika 10 Muharam itu, penuh manusia berlatmiyah, persis seperti taaruf masharakat Iran tersebut. Manakala ada pula yang lain sambil berzanjir memukul diri. Tak sakit. Tak luka. Tak berdarah. Malah, boleh senyum. Di sekeliling bangunan yang penuh artistik dan klasik itu, tiada setitis pun darah yang ditemui. Setidaknya, hanya cat berwarna merah yang bergenang di jalan. Ali Khamenei sendiri, yang lebih dikenal sebagai Rahbar di sini, bahkan melarang sebarang perlukaan diri ketika Ashura.

Arakian, kita pula mudah jatuh kepada ketakmengertian mengenai Shi'ah. Untuk itu, kita harus bertasamuh, elak dari angkuh. Insaf, bahawa kita juga adalah manusia yang tohor. Kita tak tahu semua. Kita tak pernah menyelami dalam tubuh falsafah mereka, bahawa Husayn juga bahagian penting dari sejarah mereka. Sebab itu, usah kita hairan, dalam Rozeh, mereka bangun dan bertawassul secara berdiri. Mereka akan mengadap pada tiga arah. Satu, tentu pada Makkah, dua, pada maqam Fatima Mashomeh di Qom, dan ketiga, pada Mashhad, letaknya maqam Imam Reza, juga kekanda kepada Fatima Mashomeh.

Justeru, dengan sejarah yang tertanam kemas ini, maka apakah mungkin untuk kita hadhir dan berkata tepat ke muka mereka, "ini adalah sesat!" Sulit, bahkan ada sebuah anekdot yang menceritakan bahawa betapa Nik Abdul Aziz Nik Mat pernah akur, "sekiranya ambo dilahirkan di Iran, maka ambo juga akan jadi Shi'ah." Tak tahu, adakah anekdot itu benar, atau salah. Tapi, logiknya tetap ada.

Jadi, masalah kita bukanlah pada Shi'ah. Masalah kita yang sebenar adalah kegagalan untuk menguruskan perbezaan. Selain itu, kegagalan untuk menjiwai pesan-pesan universal dari Nubuwwah. Jika masharakat Shi'ah terus utuh dengan sejarah mereka, kita juga boleh mengutip hikmah ini dari mereka. Menurut Ahmad Shalabi, sejarawan Mesir: jika Abbasiyyah, Andalusia, seluruh dinasti Islam telah runtuh mahkota keilmuannya, sebaleknya tradisi keilmuan masharakat Shi'ah terus berkembang, segar, ranum, dan itu tersemi di Najaf. Malah, sekarang bertambah lagi di Qom.

Lantas, apa yang kita belajar dari Muharram? Seperti yang telah Mahatma Gandhi belajar darinya, "Saya belajar dari Husayn bagaimana mencapai kemenangan meski dalam keadaan yang tertindas." Inilah semangat untuk belajar sesama, serta terus-menerus mencungkil pesan-pesan universal darinya. Dalam bahasa Juergen Habermas, pesan-pesan universal ini mengusung penalarannya yang tersendiri. Setiap budaya, ada nalarnya. Usah mudah membuang Lebenswelt (dunia-kehidupan), demi untuk sebuah sistem yang subjektiviti.

Seperti juga Ludwig Wittgenstein, setiap bahasa (yang merupakan jiwa bangsa) ada hukumnya. Maka, terpulang pada kita sama ada untuk mengambil jalan singkat, atau jalan terhurmat. Jalan singkat, mudah melemparkan kesesatan. Jalan terhurmat, melakukan kritik atas sumbernya. Tanpa kritik, yang muncul adalah dogma. Namun, dogma Shi'ah, kekal bertahan dalam arus kritik, zaman-berzaman. Fahamnya jadi sebuah dogma yang aneh. Dogmanya melahirkan kebersamaan, yang kerana itu Habermas amat yakin, agama adalah harapan bagi projek pencerahan yang belum sudah. Dan, kalangan Shi'ah juga yakin, inilah rahsia kekuatan mereka selama ini.

Walau bagaimanapun, dalam kesedaran untuk belajar antara sesama, tiba-tiba ada di kalangan kita yang cuba memiliknegarakan iman. Walhal, iman bukanlah hak negara. Iman adalah ranah peribadi, yang tak siapa tahu apa dhamir-nya. Negara tak pernah mampu untuk menentukan imam para warga-nya. Selagi tak ada unsur diskriminasi dalam amalan faham, yang seperti saran Habermas lagi, maka negara (sistem) tak berhak menentukan segalanya. Negara bukan serba tahu. Yang tahu, adalah jiwa itu sendiri.

Sebab itu, Ashura adalah sebuah misteri yang merupakan jurang bagi sebuah ketaktahuan massa. Sama ada di Qom, atau di Gombak, keduanya menyimpan rantaian sejarah yang cuba menemukan dirinya dalam sebuah kesatuan. Justeru, apa sikap kita dengan raksasa sejarah ini? "Jika kita tak dapat mengungkapkan dengan baik, maka lebih baik diam," demikian anjuran Wittgenstein. Saran filsuf matematik itu sesuai sebagai nasihat kepada kalangan agamawan kita yang tampaknya kemaruk untuk memikul kata mutlak.

Tapi, ternyata, dalam keghairahan agamawan untuk menunggalkan segala "yang lain" ini, ia rupanya telah terlupa ada sesuatu yang lebih besar. Ruhollah Khomeini benar, "memang mudah untuk jadi agamawan, tapi sulit untuk jadi manusia". Muharram adalah saksinya, betapa ramai agamawan yang akhirnya kecundang dari menjadi manusia. [JalanTelawi, 20 Disember 2010]
Aqil Fitri
http://selak.blogspot.com/

Irib/22/12/2010

0 comments to "Islam di tolak Islam dicari !!!"

Leave a comment