Home , , , � Para Ksatria Karbala ( Tahun Baru Islam adalah momen mengingat terbantainya penghulu pemuda surga dan mengungkap rahasia sejarah itu, demi ISLAM)

Para Ksatria Karbala ( Tahun Baru Islam adalah momen mengingat terbantainya penghulu pemuda surga dan mengungkap rahasia sejarah itu, demi ISLAM)


Image









Perjalanan sejarah telah dipenuhi oleh figur-figur teladan dan tokoh-tokoh besar yang namanya abadi dan tindak-tanduknya layak diteladani. Lembaran hidup mereka mementaskan kepahlawanan, kedermawanan, keramahan, dan kebesaran. Di saat-saat genting sekalipun, kebesaran jiwa mereka tetap menjadi panutan. Kisah tragedi pembantaian keluarga Nabi di Karbala meski menjadi luka yang dalam bagi umat Islam sepanjang sejarah, namun penuh dengan hikmah. Tragedi Karbala adalah pertarungan antara kebenaran dan kebatilan, antara kemanusiaan dan kebinatangan, antara kemuliaan dan kehinaan, antara kebebasan dan keterbelengguan.
* * *

Hurr bin Yazid Al-Riyahi

Di padang tandus Nainawa, figur-figur besar semisal Hurr bin Yazid Al-Riyahi, Habib bin Madhahir, Ali bin Al-Husein, Wahb bin Abdullah dan lainnya mengajarkan kepada umat manusia di sepanjang zaman tentang makna sejati dari kebesaran, keberanian, kepahlawanan, kehormatan, dan kesetiaan. Pada kesempatan kali ini, kami akan membawa Anda ke masa itu, saat lakon-lakon Karbala mementaskan drama kesucian. Kami akan mengajak Anda untuk mencermati fragmen-fragmen yang mereka mainkan.

Hurr bin Yazid Al-Riyahi, komandan pasukan Ubaidillah bin Ziyad. Dengan sekitar seribu orang yang dipimpinnya, Hurr mendapat perintah untuk menghadang gerak Imam Husein dan rombongannya yang sedang menuju Kufah dan menggiring mereka menghadap Ibnu Ziyad. Untuk beberapa hari pertama setelah pasukannya berhadapan dengan rombongan Imam Husein a.s, mungkin Hurr dipandang sebagai orang yang paling berdosa terhadap keluarga Nabi itu. Sebab dengan menjalankan perintah demi perintah yang diterimanya dari Ibnu Ziyah, Hurr telah membuat posisi Imam Husein dan keluarganya terjepit sampai mereka kehabisan air minum.

Namun sikap hormatnya kepada keluarga Rasul dan kebesaran jiwanya telah membuat dia terbangun dari tidur yang hampir membuatnya celaka. Hurr sadar bahwa dia berada di tengah pasukan yang berniat membantai Al-Husein dan keluarganya. Jika tetap bersama pasukan ini berarti dia akan mencatatkan namanya dalam daftar orang-orang terlaknat sepanjang masa. Hurr melihat dirinya berada di persimpangan jalan. Dia harus memilih, mati tercincang-cincang dengan imbalan surga atau selamat dan kembali ke keluarga dengan membawa cela dan janji akan siksa neraka. Hurr memilih surga meski harus melewati pembantaian sadis pasukan Ibnu Ziyad.

Dengan langkah mantap Hurr memacu kudanya ke arah perkemahan Imam Husein a.s. Semua mata memandang mungkinkah Hurr komandan yang pemberani itu akan menjadi orang pertama yang menyerang Imam Husein? Namun semua tercengang kala menyaksikan Hurr bersimbuh di hadapan putra Fatimah dan meminta maaf atas kesalahannya. Sebagai penebus kesalahannya, Hurr bangkit dan dengan gagah berani mencabik-cabik barisan musuh. Hurr gugur sebagai syahid dengan menghadiahkan darahnya untuk Islam. Imam Husein memuji kepahlawanan Hurr dan mengatakan, “Engkau benar-benar orang yang bebas, seperti nama yang diberikan ibumu kepadamu. Engkau bebas di dunia dan akhirat.”

Muslim bin Ausajah

Muslim bin Ausajah termasuk kelompok orang-orang tua yang berada di dalam rombongan Imam Husein. Muslim adalah sahabat Nabi yang keberanian dan kepahlawanannya di berbagai medan perang dipuji banyak orang. Ketika Imam Husein mengumumkan rencananya untuk bangkit melawan pemerintahan Yazid, Muslim bin Ausajah mendapat tugas mengumpulkan dana, membeli senjata, dan mengambil baiat warga Kufah. Di padang Karbala, ketuaan Muslim sama sekali tidak menghalangi kelincahan geraknya. Satu-persatu orang-orang yang berada di hadapannya terjungkal. Akhirnya pasukan Ibnu Ziyad mengambil insiatif untuk menghujaninya dengan batu. Muslim tersungkur bersimbah darah. Sebelum melepas nyawa, dia memandang sahabatnya, Habib bin Madhahir dan berpesan untuk tidak meninggalkan Imam Husein.

Habib bin Madhahir

Di Karbala, Habib bin Madhahir mungkin yang paling tua diantara para sahabat Imam Husein. Meski tua, Habib adalah pecinta sejati Ahlul Bait. Kehadirannya di tengah rombongan keluarga Nabi memberikan semangat tersendiri. Di malam tanggal sepuluh Muharram, atau malam pembantaian, wajah Habib terlihat berseri-seri. Tak jarang dia melempar senyum kepada anggota rombongan yang lain. Ada yang mempertanyakan mengapa dia tersenyum di malam yang mencekam ini? Habib menjawab, “Ini adalah saat yang paling indah dan menyenangkan. Sebab tak lama lagi, kita akan berjumpa yang Tuhan.”

Di bawah terik mentari Karbala, Habib berlaga di tengah medan. Usia lanjut tidak menghalangi kelincahannya memainkan pedang. Habib sempat melantunkan bait-bait syair yang menunjukkan keberanian dan kesetiannya kepada Nabi dan kebenaran risalah Nabi. Jumlah pasukan dan kelengkapan militer yang ada di pihak musuh tidak membuatnya gentar. Sebab baginya, kemenangan bukan hanya kemenangan lahiriyah. Kematian di jalan Allah adalah kemenangan besar yang didambakan para pecinta seperti Habib. Ayunan pedang tepat mengenai kepala putra Madhahir dan membuatnya terjungkal. Darah segar membahasi janggutnya yang putih. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, Habib sempat melempar senyum ke arah Al-Husein yang memberinya kata selamat menjumpai surga. Habib gugur setelah melagakan kepahlawanan dan kesetiaan.

Nafi’ bin Hilal

Nafi’ bin Hilal, adalah pahlawan Karbala yang dikenal sebagai perawi hadis, qari, dan sahabat dekat Imam Ali a.s. Kesetiaannya kepada Ahlul Bait telah ia tunjukkan dalam perang Jamal, Siffin, dan Nahrawan dalam membela Imam Ali a.s., ayah Imam Husain. Di Karbala, bersama Abul Fadhl Abbas dan lima puluh orang sahabat Imam Husein, Nafi’ memporak-porandakan barisan musuh untuk sampai ke sungai Furat. Setelah melalui pertempuran sengit, pasukan Imam Husein berhasil mengambil air dan mengirimnya ke perkemahan. Sahabat setia Al-Husien ini dikenal sebagai pemanah mahir. Setelah berhasil membunuh 12 orang dan melukai beberapa orang lainnya, Nafi’ bin Hilal gugur sebagai syahid.

Burair bin Khudhair

Di tengah pasukan Imam Husein yang hanya berjumlah beberapa puluh orang, terdapat beberapa orang yang dikenal sebagai orang ahli ibadah dan zuhud, diantaranya adalah Burair bin Khudhair. Warga Kufah amat menghormati Burair dan menyebutnya sebagai guru besar Al-Qur’an. Ketinggian iman Burair tampak di malam Asyura. Burair yang biasanya jarang bergurau, malam itu menggoda Abdurrahman Al-Anshari, salah seorang sahabat Imam Husein. Kepadanya Abdurrahman berkata, “Wahai Burair, malam ini tidak sewajarnya engkau bergurau.” Burair menjawab, “Sahabatku, tahukah engkau bahwa sejak muda aku tidak gemar bercanda. Tapi malam ini aku sangat bahagia. Sebab jarak antara kita dan surga hanya beberapa saat. Kita hanya perlu sejenak menari-narikan pedang untuk menyambut pedang-pedang musuh mencabik-cabik tubuh kita, lalu terbang ke surga.” Burair gugur syahid dan namanya abadi. Dia telah mengajarkan kesetiaan kepada agama dan kecintaan kepada Allah, Rasul dan Ahlul Bait.

Kemenangan dalam berjuang tidak selalu berbentuk kemenangan lahiriyah. Adakalanya gugur dalam perjuangan juga merupakan sebuah kemenangan besar. Tak salah bila ada pepatah yang mengatakan: darah mengalahkan pedang. Kisah Karbala adalah salah satu contohnya. Meski sejak awal, seluruh anggota rombongan Imam Husein telah mengetahui bahwa mereka adalah kafilah yang bergerak menuju kematian, tetapi cita-cita luhur dan keyakinan akan kemenangan dengan syahadah membuat mereka mantap melangkah. Kami masih bersama Anda dengan pembicaraan seputar tokoh-tokoh kebangkitan Asyura dan drama yang mereka pentaskan di Karbala. * * *

Ali Akbar bin Husain as

Ketika rombongan Imam Husein memasuki padang Karbala, terlihat barisan pasukan Ibnu Ziyad yang berbaris bagai batang-batang korma di tengah sahara. Menyadari bahwa ribuan orang bersenjata lengkap yang berada di sana berniat membantai Al-Husein dan keluarganya, Ali Akbar putra Imam Husein bertanya kepada ayahnya, “Ayah, bukankah kita berada di pihak yang benar?” Imam menjawab, “Iya.” Mendengar jawaban itu Ali Akbar berseru, “Kalau begitu tidak alasan bagi kita untuk merasa ragu dan gentar.”

Saat Ali Akbar maju ke medan tempur untuk menunjukkan kesetiaannya kepada sang ayah dan imam yang ia ikuti, Al-Husein dengan berlinang air mata memandang nanar ke arah putranya dan berkata, “Ya Allah, saksikankah pemuda yang paling mirip wajah, tutur kata dan perangainya dengan Rasul-Mu, kini maju ke medan tempur. Selama ini, kami mengobati kerinduan kepada Nabi dengan memandangnya. Ya Allah, jauhkan mereka dari barakah bumi ini dan cabik-cabiklah barisan mereka.”

Ali Akbar maju dan dengan gesit dia menari-narikan pedangnya. Beberapa orang yang menghadangnya terjerembab ke tanah terkena sabetan pedang putra Al-Husein. Tak lama kemudian, kisah kepahlawanan dan kesetiaan Ali Akbar menjadi lengkap setelah sebilah pedang mendarat di tubuhnya. Ali Akbar jatuh tersungkur dan musuh-musuh berhamburan menyambutnya dengan mendaratkan pukulan pedang bertubi-tubi ke tubuh pemuda tampan itu. Sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir, Ali Akbar berseru kepada ayahnya dengan mengatakan, “Ayah, Rasulullah telah memberiku air. Beliau menunggu kedatanganmu.” Cucu Rasul itu gugur syahid dengan meninggalkan pelajaran berharga tentang kesetiaan dan pengorbanan dalam membela kebenaran.

Qasim bin Hasan as

Mungkin kisah Qasim putra Imam Hasan as di Karbala adalah kisah yang paling menarik tentang kesetiaan dan pengorbanan. Kemenakan Imam Husein yang saat itu masih sangat belia, yaitu berusia kurang dari lima belas tahun, telah menyuguhkan pelajaran yang amat berharga. Di hari Asyura, saat pembantaian di Padang Karbala berlangsung, Qasim menatap pilu medan laga. Imam Husein mendatanginya dan bertanya, “Qasim, bagaimana engkau memandang kematian?” Qasim menjawab, “Kematian bagiku lebih manis dari madu.” Ya, remaja belia yang terdidik di rumah kenabian dan wilayah itu telah hanyut dalam cinta rabbani dan tak sabar menunggu saat-saat yang paling indah bertemu dengan sang Pencipta. Qasim maju ke medan laga dan gugur sebagai syahid.

Jaun bin Abi Malik

Jaun bin Abi Malik, adalah bekas budak Abu Dzar Al-Ghifari yang kemudian mengabdi di rumah Imam Ali, Imam Hasan, dan terakhir di rumah Imam Husein as. Di siang hari Asyura, Jaun dari dekat menyaksikan dan merasakan penderitaan yang dialami oleh keluarga Nabi dan para pengikut setia mereka di Padang Karbala. Meski tidak terlibat dalam konflik, Jaun tidak mau tinggal diam. Dia bangkit dan meminta ijin kepada Imam Husein untuk mempersembahkan darahnya dalam membela keluarga Nabi. Imam Husein yang terkenal bijak mengatakan, “Wahai Jaun, jangan celakakan dirimu. Engkau telah kumerdekakan.”

Jaun menangis, dan sambil mencium kaki tuannya, dia berkata, “Tuanku, selama ini aku hidup sejahtera di rumahmu. Aku tidak bisa tinggal diam menyaksikan engkau dan keluargamu menghadapi kesulitan ini. Demi Allah aku tidak akan meninggalkanmu sampai darahku bercampur dengan darahmu yang suci.” Budak berkulit hitam itu menunjukkan kesetiaan seorang hamba kepada tuannya. Jaun mengajarkan makna sejati dari balas budi. Setelah mendapat ijin, bekas budak Abu Dzar itu maju ke medan laga dan mempertontonkan semangat pengorbanan untuk keluarga Rasul. Untuknya Imam Husein berdoa, “Ya Allah putihkan wajahnya, masukkanlah ia ke dalam golongan orang-orang yang baik dan jangan pisahkan dia dari keluarga Muhammad.”

Wahb bin Abdullah

Wahb bin Abdullah adalah salah seorang pengikut setia Imam Husein. Sebelum bertemu Imam Husein, Wahb adalah pengikut agama Nasrani. Di tangan Imam Husein, dia dan ibunya masuk Islam. Saat berada di padang Karbala bersama Imam Husein, Wahb baru 17 hari menikah. Sebagai bukti kesetiaan kepada penghulu pemuda surga dan pemimpin umat itu, Wahb maju ke medan tempur. 24 penunggang kuda dan 24 prajurit pejalan kaki berhasil ditumbangkannya. Namun Wahb berhasil ditangkap dan dibawa menghadap Umar bin Saad komandan pasukan Ibnu Ziyad.

Wahb gugur syahid setelah Ibnu Saad mengeluarkan perintah pemenggalan kepalanya. Kepala tanpa badan itu dikirim ke perkemahan Imam Husein. Ibu Wahb dengan bangga mencium kepala anaknya yang gugur dalam membela kebenaran. Kepala itu dilemparkannya ke arah musuh sambil berkata, “Aku tidak akan mengambil kembali apa yang telah kupersembahkan untuk Islam.” Tak cukup dengan persembahan itu, wanita tua itu mengambil sebatang kayu dan berlari ke arah musuh. Ibu Wahb ingin menyusul anaknya yang telah mendahuluinya terbang ke surga. Namun Imam Husein mencegahnya dan mendoakan kebaikan untuknya.

Kisah pengorbanan sahabat Nabi dalam perang Uhud yang menjadikan tubuhnya sebagai perisai hidup untuk melindungi Rasulullah, terulang kembali di padang Karbala. Di hari Asyura, pasukan Ibnu Ziyad tidak memberikan kesempatan kepada Imam Husein dan para sahabatnya untuk melaksanakan kewajiban shalat. Saat Imam Husein berdiri untuk mengerjakan shalat berjemaah dengan para sahabatnya, Said bin Abdillah Al-Hanafi berdiri melindungi putra Fatimah itu dari terjangan tombak dan anak panah yang meluncur ke arah Imam Husein. Tubuh Said dipenuhi oleh tombak dan anak panah.

Said roboh. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya ia berkata, “Ya Allah, sampaikan salamku kepada Nabi-Mu Muhammad. Katakan kepada beliau bahwa luka-luka di sekujur tubuhku ini kudapatkan ketika melindungi dan membela cucu kesayangannya yang tengah memperjuangkan agama dan kebebasan.” Mata sayu Said untuk beberapa saat memandang wajah pemimpinnya. Dia berkata, “Wahai putra Rasulullah, apakah aku sudah melaksanakan janji setiaku?” Imam Husein menjawab, “Ya, engkau telah mendahuluiku masuk ke surga.”

Abis bin Abu Syubaib Al-Syakiri

Kisah Abis bin Abu Syubaib Al-Syakiri di Karbala adalah kisah cinta yang luhur. Selain dikenal pemberani dan piawai dalam bertarung di medan tempur, Abis juga terkenal sebagai ahli ibadah dan rajin melaksanakan shalat tahajjud. Di malam Asyura, Abis mendatangi kemah Imam Husein. Kepada beliau, Abis mengatakan, “Demi Allah, tidak ada seorangpun di dunia ini yang kucintai dan aku hormati lebih dari dirimu, wahai putra Rasulullah. Jika ketulusan cinta ini dapat aku tunjukkan dengan mengorbankan sesuatu yang lebih berharga dari jiwa dan ragaku, pasti akan kulakukan.” Abis gugur syahid setelah pasukan musuh yang kewalahan dalam menghadapinya, menghujaninya dengan batu-batuan.

Fakta Mengapa Karbala Terjadi?

ImageKendatipun dari sisi sejarah dan liputan fakta yang sederhana, peristiwa (Asyura) ini memang berlangsung tidak begitu lama. Akan tetapi, karena banyaknya faktor yang berperan dalam kebangkitan Husaini tersebut, maka interpretasi dan upaya membongkar esensi kebangkitan yang besar ini menjadi begitu rumit.

1. Baiat.

Di pertengahan bulan Rajab tahun enam puluh hijriah, Muawiyah bin Abu Sufyan meninggal dunia. Tanpa menyia-nyiakan waktu lagi, sang anak, Yazid, mengirimkan surat kepada gubernur Madinah, Walid bin Utbah bin Abi Sufyan yang juga anggota keluarga Bani Umayyah, tercatat di dalamnya pemberitahuan akan kematian Muawiyah sekaligus sebuah perintah: “Ambillah baiat padaku dari warga kota, undanglah Husain bin Ali dan ambil pula baiat darinya, jika dia menolak berbaiat padaku, maka kirimkan kepalanya kepadaku”.

Di samping semua kejahatan yang dilakukannya, ada dua dampak buruk lain di balik baiat kepada orang seperti Yazid, yang bahkan tidak muncul saat Muawiyah dibaiat. Yang pertama yaitu sekiranya Imam Husain as. memenuhi permintaan (baiat) Yazid tersebut, ini artinya beliau telah mengakui sistem kedinastian dan monarki dalam khilafah Islam.

Dampak buruk kedua lebih berkaitan dengan pribadi Yazid itu sendiri, satu keperibadian yang membedakan situasi saat itu dari yang lain. Lebih dari sekedar orang fasik dan kejam, Yazid adalah orang yang vulgar menampakkan kefasikannya. Dia bukan orang yang punya kapabilitas politis. Ini berbeda dengan Muawiyah dan mayoritas khalifah Bani Abbas. Meski mereka itu manusia-manusia fasik dan jahat, namun mereka mengerti betul bahwa jika mereka hendak melestarikan kerajaan dan kekuasaan yang ada di tangan mereka, sampai batas-batas tertentu mereka akan memperhatikan kemaslahatan Islam. Inilah hal yang tidak disadari Yazid. Dia adalah orang yang tak tahu malu.

Mungkin sekali Muawiyah itu minum arak (saya hanya katakan mungkin, karena sepengetahuan saya, tidak ada referensi sejarah yang kuat, dan boleh jadi ada orang lain yang menelaah lebih dalam dan mendapatkan bukti-bukti yang lebih akurat). Meski begitu, sejarah tidak pernah mencatat bahwa Muawiyah minum arak dalam pertemuan terbuka, juga tidak ada fakta sejarah yang melaporkan kepada kita bahwa dia mabuk di hadapan khalayak. Sementara Yazid minum arak dan mabuk-mabukan secara terbuka dalam pertemuan-pertemuan resmi.

Masih dalam catatan otentik sejarah, bahwa Yazid gemar bermain-main dengan kera dan macan kumbang. Karena inilah mengapa Imam Husain as. mengatakan: “Apabila umat ini dipimpin oleh seorang seperti Yazid, maka ucapkanlah selamat tinggal Islam!”. Pada dasarnya, keberadaan orang semacam Yazid sama dengan penggembosan Islam. Orang seperti inilah yang meminta baiat dari Imam Husain as.

Gubernur Madinah mengundang Imam Husain as. ketika beliau berada di masjid Nabawi. Saat itu, Abdullah bin Zubair juga bersama beliau. Utusan gubernur mengajak dua orang tersebut untuk menghadap gubernur. Abdullah berkata pada Imam Husain as.: “Apa dugaanmu? Imam Husain as. menjawab: “Aku kira yang firaun-nya mereka sudah mati, dan kita dipanggil untuk berbaiat”. Abdullah kembali bertanya: “Aku juga berpikir demikian, lalu apa tindakanmu sekarang? Imam Husain as. menjawab: “Aku akan pergi menemui gubernur”.

Sementara Abdullah bin Zubair melarikan diri menuju Mekkah tidak melalui jalan utama dan mencari perlindungan di sana, Imam Husain as. pergi menemui gubernur. Beliau mengajak sebagian pemuda Bani Hasyim bersamanya seraya mengingatkan mereka: “Kalian berdiri siaga di luar, dan jika teriakanku terdengar segeralah masuk ke dalam, tapi selama teriakanku belum terdengar, janganlah kalian masuk”.

Marwan bin Hakam –salah satu pentolan Bani Umayah yang sempat menjadi gubernur Madinah pada periode kekuasaan Muawiyah- juga hadir dalam pertemuan itu. Di dalamnya, gubernur Madinah Walid bin Utbah bin abu Sufyan membacakan surat terbuka Yazid untuk Imam Husain as. lalu berkata: “Masyarakat sudah membaiat Yazid. Maslahat Islam menuntut demikian. Aku harap kamu juga membaiatnya”. Imam Husain as. berkata: “Untuk apa kalian menginginkan baiatku? Bukankah kalian menginginkannya karena masyarakat dan tidak karena Allah? Bukankah kalian menginginkan baiatku supaya orang lain juga berbaiat. Gubernur menjawab: “Ya, benar”. Imam Husain as. melanjutkan: “Kalau begitu, apa untungnya baiatku di ruangan tertutup ini yang hanya dihadiri oleh tiga orang saja?”. Gubernur berpendapat: “Apa yang dia katakan itu benar, kalau begitu biar nanti saja!”.

Setelah pertemuan itu, Imam Husain as. tinggal di Madinah selama tiga malam. Setiap malam beliau pergi menyimbahkan diri di atas makam Nabi Muhammad saww. Untuk malam ketiga, seperti biasa beliau berziarah ke makam suci itu, berdoa dan menangis lama, sampai terbawa tidur. Dalam tidurnya, Beliau bertemu Rasulullah saww. Beliau bermimpi bahwa ada ketentuan (Tuhan) yang diilhamkan kepadanya.

Pada esok harinya, kira-kira pada tanggal 27 bulan Rajab, Imam Husain as. keluar dari Madinah pergi menuju Mekkah melalui jalan utama, tidak sembunyi-sembunyi lewat jalan-jalan lainnya. Beliau sampai di Mekkah pada tanggal 3 bulan Sya’ban. Beliau masih tinggal di sana pada bulan-bulan Ramadan, Syawal, Dzulqa’dah, sampai tanggal 8 Dzulhijjah. Di Mekkah, Imam Husain as. secara berurutan tinggal di rumah Tan’im, Soffah, Dzatu ‘irq, Hajiz Batni Rummah, Zarrud, Tsa’labiyah, Zubalah, Bathn Aqabah, Syaraf, Dzu Husum, Udzaibul Hijanat, Qasr Bani Muqatil, sampai akhirnya beliau turunkan bekal perjalanan di Nainawa.

2. Undangan.

Di akhir bulan Rajab, bertepatan dengan awal pemerintahan Yazid, Imam Husain as. keluar dari Madinah menuju Mekkah untuk menghindari baiat pada Yazid. Beliau memilih Mekkah mengingat kota ini adalah haram (tempat suci) Allah yang aman, setidaknya keamanan di sana lebih terjamin daripada di tempat lain. Tidak sekedar satu tempat terbaik untuk berlindung, lebih dari itu Mekkah adalah pusat pertemuan (jemaah) yang juga terbaik, mulai dari bulan Rajab dan Sya’ban yang merupakan hari-hari umroh, kemudian musim haji yang juga kesempatan lain paling tepat untuk melakukan dakwah.

Sekitar dua bulan sejak kedatangan Imam Husain as. di Mekkah, mengalirlah surat-surat (undangan) dari warga Kufah (Irak) ke tangan beliau. oleh karena itu, undangan warga Kufah lebih merupakan faktor turunan ketimbang diangkat sebagai faktor utama kebangkitan Imam Husain as. Peran maksimal dari undangan warga Kufah saat itu ialah bahwa dunia serta pengadilan sejarah yang akan datang dapat memberikan penilaian bahwa undangan ini tampaknya telah meluangkan kesempatan yang tepat untuk (kebangkitan) beliau.

Yakni, pengaruh terbesar undangan warga Kufah itu tampak pada bentuk kebangkitan Imam Husain as, bahwanya beliau mesti bergerak dari Mekkah dan tidak menjadikannya sebagai medan pertempuran. Selain itu, undangan tersebut menjadi alasan kuat untuk menolak saran Ibnu Abbas supaya beliau hijrah mencari perlindungan ke Yaman dan daerah pegunungan di sana. Beliau pun tidak memusatkan kebangkitannya di kota kakeknya Madinah. Untuk itu, beliau bergerak menuju Kufah.

3. Amar Makruf Nahi Munkar

Faktor ini dinyatakan secara tegas oleh Imam Husain as. Sejarah menuturkan bahwa pada saat itu, tangan Muhammad bin Hanafiah -saudara Imam Husain as.- lumpuh yang membuatnya tidak bisa ikut bersama Imam Husain as. Lalu, beliau menulis wasiat dan menyerahkannya kepada Muhammad. Di dalamnya beliau juga menjelaskan falsafah kebangkitannya: “Sungguh aku tidak bangkit karena kesombongan dan keangkuhan, aku bukanlah perusak (mufsid) atau orang dzalim, aku bangkit hanya untuk melakukan reformasi pada umat kakekku, aku ingin mengajak pada kebaikan dan mencegah kemungkaran, aku berjalan di atas jalan kakek dan ayahku Ali bin Abi Thalib”.

Penjelasan ini sama sekali tidak menyinggung soal undangan warga Kufah. Ini artinya, kalaupun mereka tidak menghendaki baiatku, aku tetap tidak akan tinggal diam. Semua penghuni bumi ini mesti sadar bahwa Husain bin Ali bukanlah pecinta tahta dan harta, Husain bukanlah perusak, pemberontak atau orang dzalim. Husain hanyalah seorang reformis. Di sejumlah tempat, Imam Husain as. menjelaskan pada masyarakat maksud dan sikapnya terhadap Yazid, seperti dalam pidato beliau saat dimintai baiat padanya, surat beliau untuk Muawiyah, dan pidato beliau di Mina.

Menimbang kadar tiga faktor di atas, memang tidak sama sebanding. Masing-masing faktor memberi bobot arti pada kebangkitan Imam Husain as. sampai batas-batas tertentu.

Sekaitan dengan undangan warga Kufah, kadar pengaruh faktor ini sangat sederhana (yakni, sederhana jika kita timbang dengan nilai amal Imam Husain as, bukan dengan nilai perilaku kita). Sebab, kadar faktor ini ialah kesiapan satu propinsi atau wilayah tertentu mendukung kebangkitan. Dan menurut kaidah, kemungkinan maksimal yang dapat diprediksikan adalah lima puluh persen menang, dan tak seorangpun kan menghitung kemenangan tersebut lebih dari lima puluh persen.

Berkenaan dengan penuntutan baiat yang sejak awal ditolak mentah-mentah oleh Imam Husain as., faktor ini memberi bobot arti yang lebih besar pada kebangkitan Husaini ketimbang arti undangan. Karena, faktor ini telah muncul sejak awal, sebelum ada satu orangpun yang menyatakan dukungan dan kesiapannya untuk bangkit bersama beliau. Pemerintahan yang diktator, yang telah mengoptimalkan kekerasan selama dua puluh tahun di bawah kekuasaan Muawiyah bin abi sufyan, sekarang menuntut baiat dari Husain bin Ali dalam situasi yang sangat sulit itu. Putra mahkota telah menduduki tampuk khilafah, orang yang lebih muda, lebih congkak, lebih haus darah, dan sama sekali tidak tahu politik, sampai terkadang mengabaikan perhitungan politis secara total. Pada kondisi semacam itu, mengucapkan kata “Tidak” terhadap penguasa diktator adalah pekerjaan yang sangat besar.

Dari sudut pandang inilah kita menyaksikan bagaimana Imam Husain as. seorang diri menentang tuntutan ilegal penguasa yang betul-betul dzalim dan sewenang-wenang, di saat belum ada satu nama pun yang bisa didaftar sebagai pendukungnya. Maka itu, faktor ini mempunyai pengaruh dan nilai dalam melahirkan kebangkitan Aba abdillah Husain as. lebih dari arti undangan warga Kufah.

Adapun amar makruf nahi munkar, kadar pengaruh dan bobot nilai yang disusupkan faktor ini pada kebangkitan Imam Husain as. jauh lebih besar daripada dua faktor sebelumnya. Faktor inilah yang membuat kebangkitan itu berhak hidup untuk selama-lamanya, karena tidak lagi bergantung pada undangan dan juga tidak pada penuntutan baiat.

Yakni, Imam Husain as. bergerak menuju Kufah karena undangan warganya yang memberikan kemungkinan menang sampai lima puluh persen atau kurang. Sedangkan faktor kedua meminta beliau untuk berbaiat tapi beliau menolaknya. Jadi, kalau mereka tidak menuntut baiat dari Imam Husain as. niscaya beliau pasif, diam dan tenang, tidak ada peristiwa khas yang akan terjadi. Adapun pada faktor ketiga, Imam Husain as. adalah seorang yang protes dan menentang. Semua tempat telah dipenuhi kerusakan; yang dihalalkan Allah telah diharamkan, dan yang diharamkan-Nya juga telah dihalalkan, baitulmal muslimin juga jatuh ke tangan orang-orang yang tidak layak serta dipakai bukan dalam rangka keridhaan Allah swt. Rasulullah saww. bersabda: “barangsiapa menyaksikan kondisi semacam ini dan tidak berusaha mengubahnya, maka Allah swt pantas mengumpulkannya bersama orang-orang yang dzalim, sewenang-wenang, dan orang-orang yang mengubah agama Allah swt, nasibnya akan sama seperti mereka”.[]

Murtadha Muthahari ra.

sumber:http://konspirasi.com

1 comments to "Para Ksatria Karbala ( Tahun Baru Islam adalah momen mengingat terbantainya penghulu pemuda surga dan mengungkap rahasia sejarah itu, demi ISLAM)"

  1. buhan sungai tabuk says:

    Pertama tidak percays kedua percaya sekarang meyakini
    Bahwa musuh terbesar ummat Islam adalah musuh dalam selimut, kawan yang ternyata pengkhianat

Leave a comment