Mayoritas kaum muslimin sepertinya tidak mengetahui tentang sebuah peristiwa yang teramat penting, yang terjadi pada tahun 10 Hijriyah, yaitu pelantikan Ali bin Abi Thalib sebagai Amirul Mukminin, khalifah sepeninggal Rasul Saw di hadapan puluhan ribu bahkan ada riwayat yang mengatakan seratus ribu atau lebih kaum muslimin. Ketidaktahuan umat ini lebih disebabkan oleh pekatnya kabut sejarah yang menyelimuti kaum muslimin pasca wafatnya Nabi. Sangat jarang guru-guru agama, penceramah, ustadz dan ustadzah yang me-nyampaikan cerita ini di mimbar-mimbar ataupun di majelis-majelis taklim. Toh, kalaupun ada, yang mereka sampaikan umumnya cerita yang tidak utuh atau terputar balik. Tahun ini perayaan Ghadir Khumm jatuh pada hari Khamis tanggal 25 November 2010.
Bermula, pada hari itu tanggal 18 Dzulhijjah 10 H, Nabi Muhammad Saw beserta rom-bongan berangkat dari Mekkah menuju Madinah setelah melaksanakan Haji Wada' atau Haji Perpisahan. Ditengah perjalanan yang terik, tiba-tiba Rasul Saw menerima wahyu yang disampaikan oleh Malaikat Jibril, yang berbunyi: "Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir." (QS. Al-Maidah 5:67).
Rasul Allah saw bersabda lagi: "Tahukah kalian bahwa akulah yang terdahulu menjadi mu'min dari diri mereka sendiri?!" Hadirin: "Benar!" Rasul Allah: "Tidakkah kalian menge-tahui dan menyaksikan bahwa aku adalah paling utama menjadi wali bagi setiap kaum mu'minin lebih dari diri mereka sendiri?" Rasul Allah saw lalu memegang dan mengangkat tangan Ali bin Abi Thalib dengan kedua tangannya sehingga hadirin dapat melihat kedua ketiaknya yang putih. Kemudian Rasul Allah saw bersabda: "Wahai manusia sekalian! Allah adalah maulaku dan aku adalah maula kalian, maka barang siapa yang menganggap aku sebagai maulanya, maka Ali ini (juga) adalah maulanya! Ya Allah, cintailah siapa yang memper-walikannya, dan musuhilah siapa yang memusuhinya!" Lihat Musnad Ahmad, jilid l, hal. 118, 119, jilid 4, hal. 281, 370, 372, 382, 383 dan jilid 5, hal. 347, 370; al-Hakim, Mustadrak, jilid 3, hal. 109; Sunan Ibnu Majah; al-Hakim al-Haskani, jilid 1, hal. 190, 191; Ibnu Katsir, Tarikh, jilid 5, hal. 209-213.
Buletin Dakwah "MADINAH" ini diterbitkan oleh "YAYASAN MADINAH"
|
Peristiwa pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai Amirul Mukminin yang akan menggantikan Rasul Saw di Ghadir Khumm pada tanggal 18 Dzulhijjah 10 H, akhirnya menjadi polemik berkepanjangan. Meskipun Umar, Abu Bakar dan pembesar sahabat yang lain turut hadir di tempat itu dan melihat langsung dengan mata kepala mereka, namun selang 73 hari setelah wafatnya Rasul, para sahabat itu kemudian mengingkari janji mereka. Dan hingga hari ini penolakan terhadap peristiwa tersebut terus berjalan. Para penentang hadist Ghadir Khumm secara umum terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama, mencoba membelokkan konteks hadist Ghadir Khumm. Sedangkan kelompok kedua ialah mereka yang menolak mentah-mentah hadist tersebut dengan cara men-dha'if-kannya.
Kelompok pertama mengatakan: "Sekelompok pasukan telah mengkritik Ali bin Abi Thalib ra dengan pedas melebihi apa yang sebenarnya terjadi, dan khabar ini akhirnya sampai ke telinga Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, yang kemudian beliau bersabda sebagaimana tercantum dalam hadits Ghadir Khum. Seperti kaum orientalis, kaum syi'ah mencoba menghilangkan latar belakang konteks hadits tersebut untuk memalingkan dari pemahaman yang benar terhadap hadits tersebut."
Argumentasi kelompok pertama ini terkesan sangat dipaksakan serta tidak memiliki pijakan yang kuat, karena:
1. Kronologis peristiwa Ghadir Khumm itu sendiri sebagaimana ditulis oleh para ulama, ahli hadist serta para sejarawan Sunni, tidak ada kaitannya secara langsung dengan kritik anggota pasukan kepada Ali, karena sebab utama yang melatarbelakangi hadist Ghadir Khumm adalah turunnya wahyu dari Allah Swt melalui Malaikat Jibril yang meme-rintahkan agar Rasul menyampaikan suatu hal penting kepada khalayak, sebagaimana termaktub dalam Qur'an surah al-Ma'idah ayat 67, yaitu pengukuhan Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin umat setelah beliau wafat. Kalaupun ada riwayat yang bertentangan dengan konteks terakhir ini, maka dapat dipastikan riwayat tersebut dha'if/palsu, mengingat peristiwa pelantikan Ali bin Abi Thalib telah disepakati keshahihannya oleh jumhur ulama Sunni. Tentang kritik anggota pasukan terhadap Ali insya Allah akan dibahas pada kesempatan lain dengan judul "Ekspedisi Yaman Dibawah Komando Ali."
2. Tuduhan bahwa hadist Ghadir Khumm dibuat-buat oleh kaum orintalis dan orang-orang Syiah juga tidak benar, mengingat hadist-hadist Ghadir Khum justru ditulis oleh ulama-ulama Sunni seperti ath-Thabari, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Thabrani, Imam Nasa'i, Ibnu Katsir, as-Suyuthi, dan puluhan ulama Sunni lainnya. Nama-nama yang disebut ini tak satu pun berasal dari kaum orintalis atau Syiah. Dan semua orang berakal tidak mungkin dapat menerima argumentasi yang jauh dari kebanaran tersebut.
Kelompok kedua, menolak atau meragukan hadist Ghadir Khumm dengan memper-tanyakan hal-hal yang mereka anggap janggal, seperti kata mereka:
1. Mengapa Nabi Saw tidak mengumumkan kekhalifahan Ali bin Abi Thalib saat beliau menyampaikan pidato perpisahan disaat Haji Wada' disaat seluruh kaum muslimin berkumpul di padang Arafah. Seharusnya kata mereka, saat itu adalah saat yang paling tepat dan kesempatan yang paling baik untuk menunjuk seseorang sebagai pengganti beliau dan diumumkan kepada manusia.
2. Kata mereka, Ghadir Khum terletak diantara Mekah dan Madinah, dekat dengan Juhfah. Maka, menurut mereka, Ghadir Khumm terletak sekitar 250 km jauhnya dari kota Mekah. Hanya sekelompok orang dari sebelah utara semenanjung Arabia yang melewati Ghadir Khumm. Itu berarti hanya terdiri dari orang-orang yang tinggal di Madinah dan sebagian kecil yang tinggal semisal di Syiria dan daerah sekitarnya. Oleh karena itu, kata mereka lagi, tidak masuk akal jika dikatakan jumlah sahabat yang hadir di Ghadir Kumm mencapai ratusan ribu orang atau lebih sebagaimana diklaim Syiah.
Terhadap pertanyaan point (1) di atas, cukup kami katakan kepada mereka yang meraguinya, bahwa ketika Rasul Saw dan rombongan berada di Arafah, ayat ‘tabligh' surah al-Maidah ayat 67 belum lagi turun, sehingga bagaimana mungkin Rasul Saw menyampaikan sesuatu yang belum diperintahkan oleh Allah Swt. Bukankah beliau hanyalah seorang Nabi dan Rasul yang berkata sesuai wahyu yang disampaikan kepadanya? Meskipun ada juga pendapat yang mengatakan Surah al-Maidah ayat 3: "...Hari ini telah Kusempurnakan agamamu bagimu, dan telah Kucukupkan nikmat-Ku bagimu...dst" yang mengiringi peristiwa Ghadir Khumm turun di Arafah, atau pendapat lain mengatakan turun dua kali, yakni di Arafah dan di Ghadir Khumm, namun kedua pendapat ini tidak bisa dijadikan hujjah menolak hadist Ghadir Khumm yang tingkatannya mutawatir menurut jumhur ulama Sunni.
Sedangkan sanggahan point (2) dari kelompok yang menolak hadist Ghadir Khumm, kami jawab bahwa; memang ada riwayat yang mengatakan jumlah kaum muslimin yang ikut menunaikan Haji Wada' pada tahun itu berjumlah 90.000 orang, ada yang mengatakan 120.000 orang, riwayat lain mengatakan 124.000, bahkan ada yang mengatakan lebih dariitu. Semua angka-angka tersebut hanyalah perkiraan dari masing-masing sahabat yang meriwayatkan hadist, sesuai yang mereka lihat dengan mata kepala mereka, kemudian ditulis oleh para sejarawan. Sangat dimungkinkan jumlah mereka yang hadir di Ghadir Khum mencapai ratusan ribu orang, karena haji yang dilaksanakan Rasul tahun itu adalah haji terakhir sebelum beliau wafat. Dan menurut Ibnu Katsir dalam Tarikh-nya, jilid 5, hal. 213, ketika ayat tabligh itu turun, Rasul Allah berhenti untuk menunggu orang yang berjalan di belakang dan menyuruh orang memanggil mereka yang di depan agar berbalik. Riwayat ini dapat juga dibaca dalam "al-Khasha'ish", an-Nasa'i, hal. 25 dari isnad yang berasal dari Sa'd bin Abi Waqqas yang berbunyi: "Kami bersama Rasul Allah di jalan Makkah dan setelah sampai di Ghadir Khumm orang-orang semua berhenti. Kemudian Rasul Allah menyuruh (memanggil kembali orang-orang yang telah mendahuluinya, dan menunggu orang-orang yang di belakang, lalu Rasul mengumpulkan orang-orang yang mengitarinya..."
Pokok penolakan kelompok kedua adalah jumlah orang yang hadir di Ghadir Khumm yang menurut analisa mereka tidak mungkin sebanyak yang ditulis para ulama dan sejarawan. Namun perlu ditegaskan bahwa ulama, ahli hadist dan sejarawan yang menulis angka-angka tersebut semuanya berasal dari kalangan Sunni dan tak satupun bermazhab Syiah, seperti Sibth Ibnu Jawzi al-Hanafi dalam bukunya "Tadzkiratul khawwash", hal. 30; "Sirah al-Halabiyah", juz 3, hal. 287; "Sirah an-Nabawiyah", Zaini Dahlan mengutif al-Halabiyah, juz 3, hal. 3; al-Amini dalam bukunya "Al-Ghadir", juz 1, hal. 19. Maka, tuduhan mereka bahwa Syiah terlalu melebih-lebihkan jumlah kaum muslimin yang hadir di Ghadir Khumm menjadi gugur.
Peristiwa Pembanding
Ada beberapa peristiwa yang saling berkaitan yang mementahkan semua klaim peno-lakan mereka terhadap pengangkatan Ali bin Abi Thalib di Ghadir Khumm, dimana cerita-cerita itu banyak dinukil dalam kitab-kitab Sunni yang mu'tabar, antara lain:
1. Kesaksian 30 orang sahabat
Seperti diceritakan dalam buku Saqifah, O. Hashem, hal. 330, sewaktu Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah, beliau mengumpulkan orang di halaman masjid Kufah, lalu beliau berkata kepada mereka: "Aku menghimbau, demi Allah, kepada setiap orang di antara kalian yang telah mendengar apa yang diucapkan Rasul Allah saw pada peristiwa Ghadir Khumm, agar berdiri dan memberikan kesaksiannya mengenai apa yang telah didengarnya. Dan hendaklah jangan berdiri selain mereka yang benar-benar telah menyaksikan Rasul Allah dengan kedua matanya dan kedua telinganya." Maka, berdirilah tiga puluh orang di antara para sahabat, dua belas di antaranya adalah pejuang Badar. Dan mereka memberikan kesaksian bahwa Rasul Allah saw telah membaiat Ali bin Abi Thalib di Ghadir Khumm. Lihat Musnad Imam Ahmad, jilid 4, hal. 370; jilid 1, hal. 119. Ada dua atau tiga orang yang enggan berdiri memberikan kesaksian, diantaranya Zaid bin Arqam dan Anas bin Malik. Mereka berdua dikutuk oleh Ali bin Abi Thalib. Zaid bin Arqam matanya buta, sedangkan Anas bin Malikterkena penyakit belang (koreng, red) hingga memenuhi wajahnya.
2. Hujjah Ali bin Abi Thalib di hadapan Dewan Syura'
Saat pemilihan khalifah pengganti Umar, dimana Ali bin Abi Thalib dimasukkan sebagai anggota dewan Syura' yang dibentuk oleh Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib juga berhujjah dengan mengingatkan peristiwa Ghadir Khumm di hadapan Abdurrahman bin Auf salah satu anggota syura'. Namun karena kepentingan duniawi, ibnu Auf menolak hujjah Ali bin Abi Thalib, padahal ia juga turut hadir dan menyaksikan peristiwa itu.
3. Peristiwa Tewasnya al-Harits bin Nu'man al-Fihri
Setelah pembaiatan Ali bin Abi Thalib di Ghadir Khumm, seorang yang bernama Harits bin Nu'man al-Fihri datang menemui Rasul dan menuduh beliau belum juga merasa puas dengan agama yang disampaikannya "dan mengangkat lengan sepupu Anda (Ali) dan mengutamakannya di atas kami semua", dan pergilah ia meninggalkan Rasul. Belum lagi ia mencapai untanya, al-Harist sudah terkapar dihujani batu dari langit. Seandainya peristiwa Ghadir Khum itu bukan dalam rangka pengangkatan Ali bin Abi Thalib tidak mungkin al-Harits menyampaikan protes demikian kerasnya kepada Rasul, hingga mengundang murka Allah Swt yang kemudian membinasakan dirinya.
Masih banyak lagi peristiwa lainnya yang tidak mungkin diuraikan panjang lebar di Buletin ini, yang membuktikan kebenaran pembaiatan Ali bin Abi Thalib di Ghadir Khumm. Setiap orang yang berakal sehat, niscaya tidak akan menolak riwayat yang melimpah ruah, karena menolak hadist Ghadir Khumm (kepemimpinan Ali) sama halnya dengan menolak kesaksian ulama-ulama ahlus sunnah dan niscaya akan terkena kutukan serta di akhirat nanti tidak akan mendapat syafa'at. Rasul Saw bersabda:
"Barang siapa yang ingin sehidup semati denganku dan mendiami surga (‘Adn) yang dise-diakan Tuhanku, hendaklah ia menjadikan Ali sebagai pemimpinnya sepeninggalku, mendu-kung penggantinya serta mengikuti jejak Ahlul Baitku setelah aku. Sebab mereka itu adalah Itrah (kerabat)ku. Dijadikan mereka itu (oleh Allah) dari darah dagingku. Dilimpahkan-Nya atas mereka itu faham serta ilmuku. Terkutuklah orang-orang yang mengingkari keutamaan mereka, dan menolak hubungan (kekeluargaan) mereka denganku. Orang-orang itu tak akan mendapat syafa'atku." Lihat Musnad Ahmad, hal. 449; Kitab Kanzul al-Ummal, Muttaqi al-Hindi, juz 6 hal. 217, hadist ke 3819; Abu Nu'aim dalam al-Hilyah; Ibnu Abi Hadid, Syarah Nahjul Balaghah, jilid 2, hal. 450; kitab Manaqib Ali bin Abi Thalib, dan lain-lain.■ Sy
Head Office: Batulicin, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan - INDONESIA
Terbit setiap minggu untuk kalangan sendiri
Dewan Penasehat: Habib Muhammad Alydrus, Sayyid Shalahuddin
Dewan Redaksi: Ust. Abdul Syakur, Sayyid Ahmad Alkaf, Syahbudin A, Maskir
Distributor: Sayyid Husien Assegaf, Sayyid Safdillah, Sayyid Abdullah, Pak Arham, Mas Iwan
Kritik dan saran ke: lenteramadinah@yahoo.com , www.lenteramadinah@wordpress.com
0 comments to "Sejarah Ghadir Khumm"