Bu Ani Capres 2014, Selamat Datang Kekuasaan Feodal Kombinasi pasangan Ani Yudhoyono-Hatta Rajasa diprediksi akan menjadikan Pilpres 2014 mendatang semakin menarik.Sekretaris Jenderal PAN Taufik Kurniawan, mengatakan, PAN mengapresiasi wacana yang pertamakali justru dilontarkan oleh politisi Partai Golkar Priyo Budi Santoso itu. Akan tetapi, menurutnya, PAN belum mau berpikir soal pemilu, karena masih sangat lama. Sebelumnya Jubir PD Ruhut Sitompul mengungkapkan rencana PD mengusung Ani Yudhoyono menjadi capres di pilpres 2014. Ruhut bahkan menyebut sejumlah tokoh politik seperti Sekjen PDIP Tjahjo Kumolo hingga Ketum Golkar Aburizal Bakrie cocok menjadi cawapres untuk Ani Yudhoyono. Sementara itu Ketua DPP Golkar Priyo Budi Santoso melihat Ketum PAN Hatta Rajasa lebih berpeluang berduet bersama Ani Yudhoyono. Kombinasi pasangan Jawa dan Luar Jawa ini dinilai Priyo sebagai duet yang menarik. Di kubu lain, PDI Perjuangan mulai menggodok pencalonan Puan Maharani sebagai capres atau cawapres dalam Pemilu 2014. Feodalisme Aksi Partai Demokrat dan PDI Perjuangan dinilai menunjukan identitas mereka sebagai partai feodal. Istilah feodalisme mengacu pada kalangan aristokrat atau keluarga raja di Inggris abad keemasan saat negara ini menjadi imperialis dan adi daya dunia. Orang yg berasal dari kalangan aristokrat atau ningrat ini disebut kalangan feodal dengam ciri khas sifat dan sikapnya yang feodalistik. Feodalisme dulu ditunjukkan dengan sikap jumawa bagai raja, permaisuri, putri dan pangeran. Sikap angker kalangan ningrat. Sikap anggun dan kecongkakan terutama pada kalangan rakyat jelata yang dianggap kastanya berada satu level di bawahnya, baik dari segi warna darah (darah mereka biru berkilau, sedang darah rakyat berwarna merah kecoklatan), maupun dari segi status sosial (harta dan lingkungan pergaulan). Sistem sosial feodal membagi umat manusia dalam dua kelas: kelas raja atau pamong praja (government) dan kelas rakyat jelata (the governed). Pengkotakan ini berlaku selamanya. Artinya, kalangan pamong praja akan seterusnya secara turun temurun menjadi pemerintah; sementara kalangan rakyat akan selamanya menjadi abdi, punakawan yg diharuskan untuk selalu tunduk dan sembah sungkem pada kalangan pamong praja. Negara, dalam sistem ini, adalah milik kalangan ningrat yg berdarah biru; dan adalah kewajiban rakyat berdarah merah coklat tua itu untuk tunduk dan selalu bertekuk lutut di depan kaki para ningrat. Akan tetapi, sistem seperti ini tidak dapat diterima, bahkan para Nabi turun di muka bumi ini menentang praktik feodal semacam ini. Dalam sejarah diceritakan bahwa para nabi muncul dari rakyat jelata dan menentang dinasti-dinasti arogan yang menerapkan praktik feodalisme. Sistem feodal telah runtuh. Kini, siapapun berhak dan mendapat kesempatan untuk berkompetisi. Pemerintah selalu diperlukan adanya. Akan tetapi, ia tak lebih dari seorang manajer tanpa status sosial yg lebih tinggi dari rakyat. Karena kekuasaan pada hakikinya di tangan rakyat. Dengan demikian, rakyat berhak dan sangat berhak untuk mengingatkan penguasa apabila rakyat merasa sikap dan kebijakan penguasa tidak sesuai dg amanah rakyat atau rakyat menganggap adanya penyelewengan penguasa dalam menjalankan roda manajemen negara. Spirit dari pola pikir demokrasi ini pada gilirannya menuntut penguasa, suka atau tidak suka, untuk menerima dengan lapang dada segala kritik dari rakyat. Jadi tidak hanya mengharap pujian dan sesembahan dari rakyat. Di samping itu, kekuasaan dalam sistem demokrasi adalah sementara. Mereka yg berkuasa saat ini akan menjadi rakyat biasa tidak lama lagi dan yg sekarang jadi rakyat akan menjadi penguasa pada dekade ke depan. Kembali pada aksi Partai Demokrat dan PDI Perjuangan yang dinilai mengarah ke feodalisme, Pengamat politik Charta Politika, Yunarto Wijaya kepada detikcom, Sabtu (1/1/2010), mengatakan, "Ini menunjukan kegamangan politik. Orang yang maju harus dari satu klan. Anaknya, istrinya atau keluarganya. Ini kan menunjukan citra sebagai partai feodal." Yunarto menilai Pemilu 2014 nanti, harusnya menjadi momen dua partai itu untuk lepas dari bayang-bayang tokoh mereka. PDI Perjuangan harus dapat lepas dari Soekarno dan Mega, sedangkan Partai Demokrat harus lepas dari bayang-bayang SBY. "Ini harusnya menjadi momentum untuk merubah citra partai. Tentunya memang tidak mudah melepaskan citra, dan ini adalah sebuah pertaruhan besar," tambah dia. Menurut Yunarto, tahun 2011 memang tahun yang tepat untuk melakukan manuver dan tes-tes politik. Waktu yang tidak terlalu dekat dan juga tidak terlalu jauh dari Pemilu 2014, dinilai tepat untuk mengetahui respon publik tentang sebuah isu politik. Analisa Tahun 2011 baru berumur empat hari. Namun, agenda partai-partai, terutama partai besar, mulai terseret ke pencarian tokoh calon presiden untuk Pemilihan Umum 2014 yang masih tiga tahun lagi. Nama Ani Yudhoyono, Puan Maharani, dan Aburizal Bakrie paling santer disebut. Bahkan santer pula diperdebatkan peluang dan tantangan mereka. Ani adalah istri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tokoh paling berkuasa di Partai Demokrat. Puan adalah putri Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Aburizal Bakrie, yang akrab disapa Ical, adalah Ketua Umum Partai Golkar. Adakah yang salah dengan pemunculan nama-nama itu dalam bursa pencarian calon presiden 2014? Tidak ada yang salah, memang. Demokrasi telah memberi hak kepada setiap anak bangsa untuk menjadi presiden. Bukan monopoli siapa-siapa. Akan tetapi, adalah sebuah kekeliruan besar ketika partai-partai mulai tersita oleh agenda calon presiden 2014 sejak hari ini, tiga tahun dari waktunya. Seluruh energi pemimpin partai disandera untuk kepentingan calon daripada kepentingan publik. Coba dibayangkan kalau Partai Demokrat sejak sekarang menyepakati Ani Yudhoyono sebagai calon mereka untuk bertarung di 2014. Menurut kalkulasi para petinggi Demokrat, peluangnya semakin besar kalau berpasangan dengan Puan Maharani. Ketetapan hati seperti itu, suka atau tidak suka, akan sangat memengaruhi fokus agenda SBY pada persoalan-persoalan rakyat banyak. Sadar atau tidak, SBY akan terbawa dalam agenda itu. Konsentrasi dan komitmen pada kepentingan publik akan dikacaukan pertimbangan-pertimbangan popularitas Ibu Ani. Kapasitas dan kapabilitas SBY sebagai pemimpin negara terlalu dini disempitkan pada wilayah Partai Demokrat dan pencalonan Ibu Ani. Sayang tiga tahun yang tersita terlalu dini. Sayang juga bila waktu lima tahun hanya dipergunakan optimal dua tahun untuk kepentingan publik. Dari perspektif yang sama, keluhan serupa juga patut dialamatkan kepada Ical. Sebagai anggota koalisi, apalagi sebagai ketua harian sekretariat gabungan, pencalonan dirinya oleh Golkar terlalu dini diagendakan. Sebagai anggota koalisi, harus ada keterikatan etis juga. Tidaklah etis jika pemimpin partai anggota koalisi sejak dini memosisikan diri sebagai penantang calon-calon lain. Padahal koalisi dibentuk untuk menyatukan komitmen paling tidak agar tidak terlibat kompetisi terlalu dini. Hanya dengan begitu koalisi aman. Bagi Puan, sesungguhnya tidak salah jika sejak awal namanya dimunculkan sebagai calon presiden. Itulah tabiat oposisi yang wajar. Jadi, tidak ada yang salah jika mereka semua berniat menjadi presiden. Namun, momentumnya terlalu dini. Kasihan rakyat yang kepentingannya terlalu dini ditinggalkan kepentingan partai dan calon. Dan, jangan lupa untuk mengasah sensitivitas agar tidak terjebak pada nafsu-nafsu pelestarian kekuasaan klan yang terbukti keliru di masa lalu. (Detik/ Media Indonesia/ IRIB/AR/4/1/2011) |
0 comments to "Feodalisme merambah kecalon Presiden Indonesia 2014 ?????"