Tahun 2010, di Mesir terjadi serangkaian peristiwa yang menyeret perhatian publik dunia. Salah satunya adalah terjunnya Mohammad ElBaradei, mantan Dirjen Badan Energi Atom Internasional (IAEA) ke panggung politik di negara itu. Kembalinya ElBaradei ke Mesir setelah 12 tahun bertugas di IAEA disambut gembira oleh kubu oposisi. ElBaradei mengangkat slogan reformasi politik. Langkah penting yang dilakukannya dalam kaitan ini adalah membentuk Dewan Nasional untuk Perubahan. Pembentukan dewan ini mendapat dukungan luas dari masyarakat. Kubu-kubu oposisi segera mengumumkan sikap yang mendukung mantan Dirjen IAEA itu. Hanya dalam tempo yang singkat Mohammad ElBaradei tampil sebagai tokoh reformasi yang paling menonjol di Mesir. Banyak kalangan yang menyebutnya sebagai rival tangguh bagi Hosni Mubarak dalam pemilu Presiden (pilpres) tahun 2011.
Sesaat setelah kembali ke Mesir 16 Februari 2010 dan disambut secara luas oleh masyarakat, ElBaradei memaparkan pandangannya tentang keharusan untuk mereformasi sistem demokrasi di Mesir. Dalam wawancara dengan televisi Dream TV, mantan Dirjen IAEA ini menyatakan siap untuk melakukan apa saja yang bisa membawa Mesir kepada kemajuan ekonomi, sosial dan demokrasi. Dia juga berharap bisa berbuat untuk kebaikan dan reformasi di Mesir. "Saya siap terjun ke kancah politik. Menurut saya, langkah pertama adalah dengan mengamandemen UUD. Dengan begitu, akan terbuka peluang bagi saya dan rekan-rekan yang lain untuk mencalonkan diri sebagai kandidat presiden pada pilpres mendatang," katanya.
ElBaradei menegaskan bahwa ia akan mendaftarkan diri sebagai calon presiden jika UUD Mesir diamandemen dan pemilu berlangsung dengan adil dan bebas. Berbagai pihak terutama kubu oposisi sejak lama sudah menyampaikan tuntutan amandemen UUD Mesir. Sebab, UUD yang ada saat ini membuka pintu yang luas bagi Hosni Mubarak untuk terus berkuasa di negara itu. Akibatnya muncul anggapan di tengah masyarakat luas bahwa rezim memang menginginkan kekuasaan monarkhi di balik kedok demokrasi. Sebab, nama putra Hosni Mubarak sempat mencuat sebagai calon kuat untuk menggantikan sang ayah berkuasa. Pembahasan soal perlu tidaknya amandemen UUD telah memicu ketegangan antara rezim dan kubu oposisi. Sampai saat ini, pemerintah Mesir tetap bersikukuh menolak kemungkinan dilakukannya amandemen UUD. Meski demikian, partai-partai politik sudah memberikan sinyal untuk mencalonkan Mohammad ElBaradei sebagai kandidat presiden pada pilpres mendatang.
Sikap pemerintah yang otoriter dan adanya banyak bukti yang menunjuk kepada keinginan rezim untuk menjagokan putra sang presiden sebagai penguasa mendatang diprotes secara luas. Dalam sebuah langkah bersama, Gerakan Pemuda 6 April dan Partai al-Kifayah menyeru para pendukung dan rakyat Mesir untuk menggelar aksi demo di berbagai kota termasuk Kairo dan Iskandariyah menentang pencalonan Jamal Mubarak sebagai presiden mendatang. Demonstrasi ini diikuti oleh berbagai partai oposisi dan masyarakat luas. Mereka meneriakkan yel-yel yang menentang berlakunya sistem kekuasaan turun temurun di Mesir. Para pengunjuk rasa juga menuntut amandemen UUD. Di banyak kota, demonstrasi ini diwarnai bentrokan dengan aparat kepolisian dan pasukan keamanan. Polisi menangkap banyak aktivis bahkan merusak dan merampas kamera para wartawan.
Ahad 28 November 2010, Mesir menggelar pemilu legislatif putaran pertama. Menurut laporan pemerintah, sebanyak 40 juta warga memiliki hak pilih. Lewat pemilu ini, 508 orang bakal mendapat tiket ke parlemen sementara para calon legislatif (caleg) berjumlah 5064 orang. Ketua Komisi Tinggi Pemilihan Umum Mesir Abdul Aziz Umar mengatakan, "Dari 5064 caleg, 378 orang adalah caleg wanita." Sesuai UUD Mesir, 64 kursi di parlemen diperuntukkan bagi anggota dari gender perempuan. Selain 508 kursi parlemen yang ditentukan lewat pemilu, Presiden memiliki hak menunjuk 10 orang untuk duduk di parlemen. Dengan demikian, jumlah kursi di parlemen Mesir adalah 518 kursi.
Partai Demokratik Nasional yang merupakan partai pemerintah mengirimkan caleg ke bursa pemilu dalam jumlah terbesar. Partai ini memperkenalkan 763 caleg. Tempat kedua diduduki oleh partai al-Wafd dengan 168 caleg. Sementara, Ikhwanul Muslimin yang merupakan kubu oposisi yang paling kuat dan paling besar hanya mengirimkan 135 calegnya ke pemilu putaran pertama sebagai caleg independen.
Putaran pertama pemilu diikuti oleh 18 partai dan faksi politik dan berlangsung dalam suasana yang diwarnai ancaman dan tekanan dari pihak pemerintah. Pengadilan Mesir dalam keputusannya membatalkan hasil pemilu di 25 daerah pemilihan di sejumlah kota besar termasuk Iskandariyah. Pemerintah Kairo juga menolak kehadiran pemantau internasional. Akibatnya, dugaan akan manipulasi dan kecurangan dalam skala besar pun kian menguat. Sekretaris Jenderal Hak Asasi Manusia Mesir mengatakan, pemerintah Mesir siap melakukan kecurangan dan mendistorsi hasil pemilu untuk memenangkan partainya. Akibat kondisi yang seperti ini sejumlah parpol menyebut pemilu Mesir tak lebih dari sandiwara berkedok demokrasi.
Tanggal 5 Desember, Mesir menggelar pemilu legislatif putaran kedua. Kali ini, sebagian besar parpol non pemerintah menyatakan boikot karena kecurangan luas yang terjadi pada pemilu putaran pertama, Komisi Tinggi Pemilu Mesir dalam laporan resminya menyebutkan bahwa pemilu putaran kedua juga dimenangi secara telak oleh partai pemerintah, sama seperti yang terjadi pada pemilu putaran pertama. Menurut Komisi Tinggi Pemilu, Partai Demokratik Nasional pimpinan Hosni Mubarak berhasil merebut 419 kursi di parlemen. Sementara, calon independen memperoleh 70 kursi dan sisanya didapatkan oleh berbagai parpol kecil. Keputusan Ikhwanul Muslimin dan partai-partai oposisi untuk memboikot pemilu putaran kedua karena kecurangan dalam skala luas, membuat partai pemerintah berhasil merebut kursi mayoritas mutlak di parlemen. Partai ini tidak lagi khawatir dengan perlawanan di dalam parlemen yang baru.
Bagi sebagian besar parpol di Mesir, pemilu yang belum lama berlangsung ini adalah cela yang telah mencoreng wajah rezim Mesir. Berbagai lembaga dan organisasi non pemerintah meyakini terjadinya kecurangan dalam skala besar. Tak heran jika lantas gerakan madani rakyat Mesir melakukan aksi unjuk rasa besar-besaran dengan menyebut parlemen baru Mesir tak legal karena dibentuk lewat praktik manipulasi suara hasil pemilu. Lewat statemen bersama dan terpisah mereka mendesak Presiden Hosni Mubarak untuk membubarkan parlemen ini. Masih menurut mereka, apa yang terjadi dalam pemilu kali ini membuat Mesir harus mundur kebelakang bahkan kembali ke masa lima belas tahun yang lalu.
Seruan juga datang dari para tokoh dan politisi kawasan negara itu. Mereka mengkhawatirkan kebuntuan politik di Mesir seraya mengusulkan kepada Presiden untuk mengeluarkan perintah menggelar pemilu ulang. Tokoh pakar hukum terkemuka Mesir, Mahmoud Khdihri mengatakan, "Lembaga peradilan sejak awal ingin turun tangan untuk memperbaiki keadaan, tapi Partai Demokratik Nasional yang berkuasa tak bersedia menerima keputusan pengadilan. Masalah ini telah membuat pemilu tidak sah lagi."(irib/31/12/2010)
0 comments to "Kilas Balik Mesir di Tahun 2010"