Untuk kesekian kalinya, kembali kita menghadapi siklus pergantian waktu. Tahun 2010 baru saja kita tinggalkan, dan 2011 telah datang.
Dua atau tiga bulan sebelum memasuki 2011 negeri ini dibuat menangis. Musibah berdatangan. Bencana berantrean panjang menggasak harta dan nyawa. Mulai dari bencana alam banjir, tsunami, letusan merapi, penyiksaan buruh migran (TKI) yang tak kunjung usai, serta sejumlah kasus hukum yang tak kunjung tuntas dikuak.
Hampir setiap saat kita dibuat berang dan berkerut kening di depan layar kaca (TV). Bahwa, betapa negeri ini sebegitu keruh diobok oleh laku dan moralitas berlumpur. Padahal, kita punya begitu banyak pemimpin, ustat dan ulama, dan kaum cerdik-pandai. Tapi, baris panjang kebaradaan mereka tak begitu berarti melonggarkan sumpek dan gerahnya rakyat terhadap perilaku aparat pemerintah yang kian gelap mata dan gelap hati.
Korupsi semakin endemik. Tak satu pun celah birokrasi yang hampa perilaku koruptif. Mereka bertaburan. Bak semut mengerubuni gula. Dari meja sekolah dasar (SD) hingga perguruan tinggi (PT) orang bertanya.
Apa gerangan yang menyebabkan pemerintah kita sedemikian korup? Meski ada tersisah sekelompok orang baik-baik. Tapi, lebur kebegalan laku itu telah merata di setiap ruang sosial dan birokrasi pemerintahan. Nalar korupsi mencekoki kita. Dari RT (Rukun Tetangga) hingga di sekitar lingkungan Istana Presiden.
Tak kunjung usai membanjirnya perilaku amoral koruptif serasa Tuhan menegur kita dengan setumpuk bencana. Kita begitu tersentak bahwa tanpa tanggung-tanggung Tuhan langsung menegur kita secara vulgar.
Hal itu berasa. Bahwa belum usai sekian ragam kenistaan bencana langsung menyergap. Ibarat musibah yang menimpa kaum-kaum terdahulu yang ingkar pada guru moralnya (nabi). Lalu apa kita pernah sadar akan hal ini?
Bahwa perilaku dosa dan gejolak alam adalah dua hal yang saling menandai (designate). Atau sederhananya teguran dan peringatan. Inilah refleksi tahun baru.
Arti Baru
Yang membuat pergantian tahun baru itu menarik adalah ada kata "baru". Sesiapa pun menggandrungi hal ini. Anak kecil, orang dewasa, kakek atau nenek jompo, hingga orang gila. Bila dikasi sesuatu yang baru semuanya senang.
Begitulah hakekat dasar manusia. Bila disuruh memilih hal yang lama dan yang baru pasti langsung memilih yang baru. Namun, soalnya adalah terkadang kita kabur-air mensubstansiasikan "arti baru".
Karena tahun baru itu semua orang bersuka cita. Turun ke jalan, karnaval, dan membuat komitmen akan perubahan di tahun yang baru dengan cara yang ragam dan aneh-aneh. Mulai dari muhasabah (evaluasi diri) hingga ekspresi kesenangan dengan pesta dan mabuk-mabukan.
Yang menarik adalah jika semua orang menafsirkan arti baru itu serupa dengan perubahan. Bahwa perubahan waktu bukanlah pergantian waktu secara material. Tapi, pergantian waktu sebenarnya berporos pada aspek mikro kosmik manusia.
Jalaludin Rumi mengartikan rotasi atau siklus waktu sesngguhnya berporos pada inti kesadaran manusia. Maka di sini perubahan bermakna transformasi kesadaran sifat dan laku manusia. Dari sifat lama yang buruk ke sikap baru yang lebih hanif.
Yang terjadi selama ini, waktu cenderung dijadikan sebagai objek yang disukuri. Padahal, waktu cumalah tanda (sign). Rasa sukur mestinya ditujukan pada realitas puncak dari waktu atau yang menciptakan waktu. Akibat persepsi yang keliru inilah terkadang kesukuran terhadap waktu atau semisal "tahun baru" diisi dengan perilaku yang hedon dan terkadang berlebihan.
Renungan untuk Bangsa
Menengok ke belakang, satu tahun telah berlalu dan memandang ke depan satu tahun tengah menjelang. Yang telah terjadi pada 2010 tidak lagi bisa diubah dan yang akan terjadi pada 2011 belum dapat diketahui.
Yang dapat dilakukan adalah berharap agar di tahun yang baru ini kehidupan seluruh negeri menjadi jauh lebih baik. Untuk mewujudkan hal itu, semata berharap jelas tidak cukup. Ia harus didukung dengan rencana lebih baik, kinerja lebih produktif, suasana dan iklim lebih kondusif, komitmen lebih kuat, dan pengambilan keputusan lebih cepat, tegas, dan tepat serta jujur.
Di sinilah para pemimpin mengambil peranan. Karena, di tangan para pemimpinlah arah dan perjalanan bangsa ini ditentukan. Di tangan para pemimpin, keputusan-keputusan penting yang menyangkut hajat hidup seluruh penduduk negeri ini diambil.
Keputusan yang tepat, cepat, tegas, adil, dan kepentingan umum dari para pemimpin akan membuat kehidupan di negeri ini menjadi lebih baik. Sebaliknya keputusan yang lambat, ragu, korup, dan pro kepentingan sempit akan membuat bangsa ini menjadi semakin sakit.
Karena itu, jika selama 2010 para pemimpin baik di lembaga eksekutif, legislatif, maupun yudikatif belum menunjukkan kinerja optimal, sudah seharusnya pada tahun ini hal itu dapat diperbaiki dan ditingkatkan.
Di tahun yang baru ini, para pemimpin di pemerintahan mulai presiden, wakil presiden, beserta seluruh menteri kabinet, gubernur, bupati, camat, hingga kepala desa dan lurah serta seluruh aparat birokrasi yang menyertainya hendaknya semakin memprioritaskan kepentingan publik dan bukan kepentingan pribadi, keluarga, kongsi, ataupun koalisi dalam setiap pengambilan keputusan.
Demikian pula para pemimpin di lembaga legislatif dan yudikatif harus meningkatkan performa kinerja mereka baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Pending matters yang mengganggu jalannya pelayanan publik yang telah terjadi di tahun 2010 harus dihindari dan ditiadakan pada 2011.
Karena itu, kasus-kasus besar yang mandeg pengusutannya pada 2010 harus diselesaikan dan dituntaskan tahun ini. Kasus Century, kasus mafia pajak Gayus Tambunan, dan kasus dugaan suap saat pemilihan Deputi Gubernur Senior BI Miranda Gultom adalah contoh kasus besar yang selama 2010 dibiarkan jalan di tempat pengusutan dan penyelesaiannya.
Pada 2011, sudah seharusnya kasus-kasus itu diselesaikan dan dituntaskan dengan tetap mengutamakan rasa keadilan dan kebenaran.
Tahun 2010 telah berlalu. Cukup banyak yang telah dicapai, namun jauh lebih banyak lagi yang harus diraih pada 2011.
Semoga para pemimpin bangsa di negeri ini diberikan kekuatan dan kesadaran tentang krusialnya peran dan tanggung jawab mereka. Dan semoga para pemimpin diberikan kekuatan, kesuksesan, dan kearifan untuk membawa negara dan bangsa ini kepada kehidupan yang lebih baik bagi seluruh rakyat di tahun 2011.
Tahun berganti, para pemimpin datang dan pergi, tetapi bangsa ini seperti jalan di tempat. Sementara bangsa lain berjalan dengan laju kecepatan yang mengagumkan.
Kesalahan terbesar bangsa ini adalah tidak mau belajar dari masa lalu. Orang pintar adalah mereka yang setiap hari membuat kesalahan baru. Tetapi orang bodoh adalah mereka yang setiap hari, setiap bulan dan setiap tahun melakukan kesalahan yang sama.
Selamat Tahun Baru. Semoga kita mau belajar dari masa lalu. (IRIB/Detik/Media Indonesia/ AR/2/1/2011)Terpaksa atau sadar, ada yang lebih pantas untuk dinilai oleh diri kita sebelum diajukan kepada yang lain. Pernahkah kita, dengan segala ketololan dan kebijakan kita, mencoba merogoh hati, mengusik pikiran, menelanjangi diri kita dengan pertanyaan. Apa kebutuhan diriku? Mengapa aku harus membutuhkan ini dan bukan itu? Apa keinginan diriku?
Bagi penggemar buku-buku sastra dan novel, nama Leo Tolstoy tak asing lagi di telinga. Novel dan karya-karya fiksinya diaggap sebagai karya terbesar pada abad ke-19 selain beberapa nama di antara semua novelis yang hidup di Rusia jaman itu.
Namun, adakah pernah kita ketahui, sisi lain kehidupan Tolstoy? Pada usia kira-kira lima puluhan, Tolstoy mencapai puncak kebanggaan dan kejayaan dengan segala popularitas yang dimilikinya. Sampai dia pernah berfikir, apakah aku lebih besar dari William Shakespeare? Dalam pengakuannya, di puncak itu pula ia dalam krisis pribadi dan hampir bunuh diri. Tolstoy gelisah menghadapi sebuah pertanyaan yang menurutnya paling sederhana disepanjang hidup dalam kegiatan menulis dan menghasilkan karya.
Tolstoy mengatakan, ada sebuah pertanyaan abadi yang ada pada setiap jiwa manusia, dari bocah yang paling tolol sekalipun, sampai si tua yang paling bijak, mengapa aku hidup? Mengapa aku mengharapkan sesuatu? Mengapa aku bertindak?
Terpaksa atau sadar, ada yang lebih pantas untuk dinilai oleh diri kita sebelum diajukan kepada yang lain. Pernahkah kita, dengan segala ketololan dan kebijakan kita, mencoba merogoh hati, mengusik pikiran, menelanjangi diri kita dengan pertanyaan. Apa kebutuhan diriku? Mengapa aku harus membutuhkan ini dan bukan itu? Apa keinginan diriku? Mengapa Aku harus menginginkan ini dan bukan itu? Apa pikiranku? Mengapa aku harus memikirkan sesuatu ini? Dan, apa tindakanku? Dan puncaknya, apakah Aku? Pertanyaan-pertanyaan yang sudah tersusun sejak Epos Gilgames ditulis, belasan ribu tahun sebelum Sokrates sang Filsuf itu lahir.
Tidak heran, orang seperti Tolstoy baru menyadari pertanyaan-pertanyaan itu secara serius, setelah diacuhkannya entah sekian tahun.
Sekarang kita menapaki tahun 2011, entah berapa tahun sudah, kita hidup di dunia ini, lalu apakah selama perjalanan itu, kita pernah merasakan dan mengurai problem akut dan esensial tentang hakekat diri kita yang belum tertuntaskan? Problem akut yang menghantui kemanusiaan kita yang belum terpecahkan?
Untuk mengeledah hati, tidak ada salahnya kita menjadi "Marcus Brutus", ketika Brutus dengan sebilah belati di tangan, menghampiri Julius dan menghujamkannya ke tubuh sang kaisar. Untuk sekedar menjadi "pengkhianat" atas kemapanan diktatorisme dan egoisme dalam diri kita. Untuk menyadari siapakah dan apakah aku?
Tentang kehidupan, Ghazali pernah menuturkan:"Sesungguhnya manusia yang tidak merogoh bathinnya, niscaya tidak akan berfikir, tidak akan melihat kebenaran, maka ia hidup dalam buta, bimbang dan sesat". Sebuah penuturan falsafah hidup.
Terakhir, dimanakah tahun baru? Jika problem dan gelisah diri sisa tahun lalu tidak tertuntaskan? Problem itu tetap problem selama belum terpecahkan. Dan apalah artinya tahun baru?
Sumber : Islam Times/Red : Enoz Trapfosi/alqoimkaltim
0 comments to "Refleksi Tahun 2011"