Home , , , , , , , , , � Arab Saudi, Penampungan Diktator Arab yg senantiasa bersikap menguntungkan Rezim Zionis Israel.....Negara Islam Iran pun terbakar...!!!!!

Arab Saudi, Penampungan Diktator Arab yg senantiasa bersikap menguntungkan Rezim Zionis Israel.....Negara Islam Iran pun terbakar...!!!!!

Gagalnya Revolusi Bayangan Buatan AS di Iran




























Menteri Intelijen Iran: Peneror Sane Jaleh Teridentifikasi

Menteri Intelijen Republik Islam Iran, Hujjatul Islam Haedar Moslehi menyatakan bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam peneroran Sane Jaleh, seorang mahasiswa telah teridentifikasi. Pada tanggal 14 Februari, kerusuhan kecil dengan tingkat anarkhis tinggi telah menggugurkan seorang mahasiwa yang bernama Sane Jaleh.

Moslehi, hari ini (Rabu, 23/2) kepada para wartawan mengatakan, "Dalam kerusuhan yang terjadi pada tanggal 14 Februari, para perusuh yang turun jalan adalah kelompok anti-Revolusi Islam. Kelompok munafikin yang biasa dikenal dengan istilah MKO (Organisasi Mujahidin Khalq) juga ada di tempat-tempat kerusuhan." Dikatakannya pula, "Kelompok munafikin seenjak awal sudah menskenario kerusuhan 25 Bahman, bahkan sudah mengincar korban yang bakal menjadi sasaran."

Lebih lanjut Moslehi menjelaskan, Departemen Intelijen Iran mampu mengidentifikasi pihak-pihak yang terlibat dalam peneroran Sane Jaleh. Dikatakannya, "Langkah-langkah yang diperlukan terkait peneroraan Sane Jaleh akan diinformasikan kepada masyarakat."

Dalam kesempatan tersebut, Moslehi seraya menyinggung latar belakang Sane Jaleh, mengatakan, "Informasi yang kami terima menunjukkan bahwa Sane Jaleh berasal dari keluarga agamis. Dia juga adalah penghafal Al-Quran. Untuk itu, isu-isu yang dimunculkan oleh kelompok anti-revolusi tidaklah benar."

Masih mengenai Sane Jaleh, Moslehi menjelaskan, "Kelompok munafikin dan anti-revolusi berupaya mencapai ambisinya dengan meneror Sane Jaleh. Bahkan setelah itu, kelompok itu berupaya membujuk dan mengiming-imingi keluarganya. Akan tetapi apa yang dilakukan kelompok anti-revolusi tidak menghasilkan apapun karena keluarga Sane Jaleh dikenal sebagai keluarga agamis yang menentang langkah-langkah kelompok munafikin."

Terkait kerusuhan yang terjadi pada tanggal 14 Februari, Moslehi mengatakan, "Kondisi negara saat itu normal-normal saja. Akan tetapi mengingat sensitifitas yang ada, sejumlah pihak beruspaya membesar-besarkan isu tersebut." Di penghujung pernyataannya, Moslehi menjelaskan, "Apa yang harus dilakukan kelompon anti-revolusi sangatlah jelas, sedangkan perlawanan terhadap kelompok ini juga jelas."

Kelompok munafikin yang berkedok di balik Gerakan Hijau, gagal menggelar aksi unjuk rasa pada tangal 14 Februari. Kumpulan itu hanya berjumlah segelintir orang, bahkan disebutkan sekitar sepuluh orang. Ini semua membuktikan bahwa provokasi kelompok ini tidak didengar oleh rakyat.

Pada tanggal 20 Februari, kelompok munafikin kembali berupaya mengkoordinasi aksi unjuk rasa baru. Namun pada hari itu tidak terdengar adanya aksi unjuk rasa. Padahal pada hari itu telah tersebar pesan pendek atau SMS yang mendorong masyarakat supaya melakukan aksi unjuk rasa.

Menurut rencana sebelumnya, kelompok munafikin akan membentuk kumpulan kecil dengan tingkat kekerasan yang tinggi , dan kemudian akan berujung pada korban tewas yang lebih banyak. Konspirasi ini diharapkan akan memprovokasi amarah masyarakat. Akan tetapi pada faktanya, tidak ada aksi dan kondisi negara ini normal-normal saja seperti yang disinggung Menteri Intelijen Iran, Moslehi. (IRIB/Farsnews/AR/MF/23/2/2011)

Militer Iran Berhasil Patahkan Ancaman Barat

Angkatan Laut Republik Islam Iran menyatakan telah berhasil mengubah ancaman berupa sanksi yang dikenakan Barat menjadi peluang.

Komandan Angkatan Laut Iran Laksamana Habibbollah Sayyari memuji perjalanan baru-baru ini dua kapal perang Iran di Laut Mediterania melalui Terusan Suez dan selanjutnya menuju Suriah.

"Kehadiran angkatan laut kita di kawasan strategis ini dimaksudkan untuk membuktikan bahwa Republik Islam Iran punya kemampuan industri dan sains yang canggih," kata Sayyari seperti dilaporkan ISNA pada hari Rabu (23/2/2011).

Kapal Kharg dan Alvand saat ini tengah berlabuh di dekat Suriah untuk menggelar latihan di tengah upaya Amerika Serikat dan rezim Zionis Israel yang menyebut misi itu sebagai penyebab kekhawatiran.

Pada kesempatan itu, Sayyari menyinggung pernyataan Pemimpin Tertingi Revolusi Islam Iran Ayatullah al-Udzma Sayid Ali Khamenei tahun lalu tentang pentingnya memperkuat Angkatan Laut Iran.

"Setelah pernyataan itu, maka kami perlu untuk memodifikasi perspektif Angkatan Laut Iran pada subdivisi yang berbeda, yaitu kecerdasan, persenjataan dan operasi," jelasnya.

"Sebelumnya medan operasi Angkatan Laut Iran hanya 400 kilometer persegi, namun kini telah meningkat menjadi 2.000 kilometer. Sekarang, pelatihan dilakukan sesuai dengan standar internasional dan di pusat-pusat pelatihan militer, prajurit memperoleh berbagai keterampilan untuk misi angkatan laut jangka panjang," tambah Sayyari. (IRIB/RM/24/2/2011)

Arab Saudi, Penampungan Diktator Arab

Mantan diktator Mesir, Hosni Mubarak seperti Zeni El Abidine Ben Ali, akhirnya memilih Arab Saudi sebagai tempat tinggalnya setelah ia pesimis atas negara-negara yang sebelumnya berjanji mendukungnya dan siap bekerjasama dengan dirinya.

Berbagai berita menyebutkan, Mubarak telah meninggalkan tempat kediamannya di Sharm el-Sheikh dan pergi ke Arab Saudi untuk berobat di Rumah Sakit Tabuk. Sepertinya penyakit kronis merupakan ganjaran bagi rezim yang bertahun-tahun berkuasa di Mesir dan tidak pernah memperhatikan tuntutan rakyatnya serta menganggap negara ini sebagai milik pribadinya. Demikian dilaporkan IRNA Rabu (23/2)

Sejarah membuktikan bahwa pemimpin despotik yang menutup mata dan telinganya dari kritikan oposisi tetap menolak setiap usulan dan tuntutan rakyat karena mereka takut kehilangan kekuasaan. Penguasa seperti ini tak segan-segan mengasingkan rivalnya yang dianggap berbahaya. Penguasa zalim pun pada akhirnya akan bernasib sama dengan oposisi yang mereka asingkan. Untuk melewati sisa hidupnya, penguasa despotik terpaksa mencari suaka dan bantuan dari mitra-mitranya.

Meski demikian, masih terdapat sejumlah perbedaan nyata, karena negara-negara barat sebagai pengklaim pendukung demokrasi seperti biasanya menjadi tempat penampungan para diktator dunia. Tapi kini, Barat enggan menerima Mubarak dan Ben Ali yang digulingkan rakyatnya. Oleh karena itu, Mubarak dan Ben Ali mencari negara yang benar-benar despotik sebagai tempat bernaung menghabiskan sisi umur mereka.

Kini Arab Saudi menjadi tempat penampungan para diktator terguling. Arab Saudi adalah negara paling despotik di kawasan. Negara ini hingga kini masih dikuasai oleh keluarga Saud. Riyadh pun tak melupakan persahabatannya dengan Mubarak dan Ben Ali serta menyatakan kesiapannya menampung dua mitranya yang menjadi boneka kepentingan Amerika Serikat tersebut di kawasan.

Arab Saudi dan Mesir sebagai dua negara besar Arab serta Tunisia tidak pernah melakukan langkah positif menyelesaikan penderitaan bangsa tertindas Palestina. Meski keduanya di luarnya mendukung bangsa Palestina, namun Riyadh dan Kairo senantiasa bersikap menguntungkan Rezim Zionis Israel.

Mubarak pun secara transparan membantu Israel serta andil dalam blokade rakyat Jalur Gaza. Tindakan Mesir menutup jalur penyeberangan Rafah membuktikan hal ini. Oleh karena itu, Israel sangat khawatir dengan merebaknya kebangkitan rakyat Arab dan Afrika Utara. Kebangkitan ini mengancam kepentingan Tel Aviv di dunia. Lengsernya Mubarak adalah contoh nyata, karena Israel telah kehilangan sekutu dekatnya di kawasan. (IRIB/IRNA/MF/23/2/2011)

Mesir Setuju Kapal Perang Iran Lintasi Terusan Suez

Kantor berita resmi Mesir menyatakan bahwa Kairo, Jumat (18/2) menyetujui dua kapal perang Angkatan Laut Republik Islam Iran untuk melewati Terusan Suez dan memasuki Laut Mediterania.

Sebagaimana dilaporkan IRNA, kantor berita AFP selain menginformasikan berita tersebut, juga melaporkan bahwa para pejabat Terusan Suez terkait hal ini mengatakan, ini adalah yang pertama kali pasca Revolusi Islam Iran bahwa kapal perang negara itu melewati Terusan Suez.

Kantor berita MENA melaporkan bahwa dalam permohonan izin dua kapal perang Iran disebutkan kapal itu tidak mengangkut senjata nuklir dan kimia. Tanggal pasti ketibaan kapal tersebut di Pelabuhan Said di ujung utara Terusan Suez belum diketahui.

Sebelumnya, rezim Zionis Israel mengembuskan kabar mengenai perkiraan jalan lintasan dua kapal perang Iran ke Mediterania. Kapal perang Iran telah merencanakan menyeberang melalui Terusan Suez ke Laut Mediterania dan mencapai Suriah.

Seorang pejabat Kementerian Luar Negeri Mesir sebelumnya mengatakan bahwa permintaan Iran telah dikirim ke departemen pertahanan untuk dipelajari.

Dua kapal Iran yang dinamakan Alvand dan Kharg, adalah kapal perang dan pendukung operasi dengan bobot masing-masing 1.500 ton dan 33 ribu ton. Kapal perang Kharg mengangkut 250 pelaut dan dapat membawa tiga unit helikopter serta dilengkapi dengan torpedo dan rudal anti-kapal. (IRIB/RM/19/2/2011)

Pesan Jenderal Iran Kepada Jenderal Negara Muslim

Kepala Staf Gabungan Angkatan Bersenjata Republik Islam Iran, Mayjen Hassan Firouzabadi mendesak para komandan militer di negara-negara Muslim untuk tidak menolak tuntutan sah bangsa mereka.

"Jenderal dan komandan militer di negara-negara Muslim harus menggunakan senjata mereka untuk melindungi perbatasan dan mencegah infiltrasi musuh arogan dan rezim Zionis Israel," tegasnya.

Mengacu pada pemberontakan baru-baru ini di beberapa negara di kawasan, Firouzabadi mengatakan "Kini bangsa-bangsa Muslim dari negara-negara regional menuntut kemerdekaan, kebebasan dan demokrasi Islam, karena itu militer harus mendukung gerakan rakyat." Demikian dilaporkan IRNA.

Firouzabadi menambahkan bahwa tidak ada tentara yang menyusun strategi, doktrin militer, serta menggunakan peralatan tempur untuk melawan bangsanya sendiri. Dikatakannya, "Saya sebagai saudara dan mitra, mengajak kalian untuk mengambil pelajaran dari para jenderal yang telah punah pasca Revolusi Islam dan komandan-komandan rezim diktator Saddam di Irak. Pikirkanlah nasib buruk itu dan jangan kalian terlibat perang dengan bangsa-bangsa kalian."

Seraya menyinggung peran dan pentingnya mengambil keputusan yang benar dan strategis, Firouzabadi menilai keputusan yang didasari oleh al-Quran dan Islam sebagai satu-satunya jalan kemenangan dan keberhasilan dalam bertindak. Ditambahkannya, Republik Islam Iran menginginkan kemerdekaan, kebebasan dan kemandirian seluruh negara.

Seperti diberitakan media-media dunia, setelah Tunisia dan Mesir, negara-negara lain di kawasan juga menjadi ajang gerakan rakyat pro-demokrasi. (IRIB/RM/20/2/2011)

Gagalnya Revolusi Bayangan Buatan AS di Iran

Kelompok anti revolusi

Sejak sepekan terakhir ini, pemerintah AS kian gencar kembali melancarkan serangan politik dan gelombang propaganda baru melawan Republik Islam Iran. Presiden AS Barack Obama lewat pernyataan intervensifnya dalam mendukung gerakan makar di Tehran menegaskan bahwa rakyat Iran harus memiliki keberanian yang mumpuni untuk memperjuangkan kebebasan dan melanjutkan aksi protesnya terhadap pemerintah Republik Islam Iran.

Senada dengan Obama, Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton juga melontarkan klaim tak berdasarnya dengan menyebut Republik Islam Iran sebagai junta militer yang diktator. Istri mantan presiden AS itu dengan lugas menandaskan, "Biarkanlah saya secara terang-terangan dan langsung mendukung cita-cita rakyat yang kini turun di jalan-jalan Tehran".

Sejak beberapa hari sebelum digelarnya peringatan hari kemenangan Revolusi Islam Iran yang jatuh pada 11 Februari, AS dengan sokongan imperium media massanya berusaha memanfaatkan momentum revolusi di Mesir dan Tunisia untuk menyerang pemerintah Republik Islam Iran. Tak segan-segan Washington pun menggandeng puak-puak kontra revolusi Islam untuk menggalang massa yang konon dimaksudkan untuk menciptakan gerakan revolusi sebagaimana yang kian marak terjadi di dunia Arab belakangan ini.

Tak ayal serangan propaganda baru AS itu mendapat reaksi keras dari rakyat Iran bahkan memperkuat tekad mereka untuk berpartisipasi lebih luas lagi dalam demo akbar memperingati hari kemenangan Revolusi Islam 11 Februari. Hadirnya puluhan juta rakyat Iran dalam demo akbar 11 Februari kali ini menjadi bukti kuat bagi masyarakat internasional bahwa hingga 32 tahun semenjak kemenangan Revolusi Islam, rakyat Iran masih setia mendukung Republik Islam Iran walau kerap mendapat pelbagai tekanan dan ancaman dari musuh-musuh revolusi.

Di sisi lain munculnya aksi unjuk rasa puak-puak anti-Revolusi Islam di Tehran dengan dalih mendukung gerakan revolusioner rakyat Mesir dan Tunisia pasca demo akbar 11 Februari lebih layak disebut lelucon politik ketimbang sebagai sebuah gerakan massa. Pasalnya, kentara sekali bahwa aksi unjuk rasa tersebut memang didesain untuk memprovokasi massa dan menciptakan kerusuhan. Sekitar puluhan pengacau berusaha menyulut kerusuhan dengan membakar sejumlah fasilitas publik di berbagai titik di Tehran.

Tidak hanya itu saja, puak-puak pengacau itu bahkan melancarkan aksi kekerasan terhadap massa yang memprotes aksi anarkisme mereka. Akibat aksi kekerasan itu, dua mahasiswa tewas tertembak dan sembilan polisi mengalami luka-luka. Tragisnya, Presiden AS Barack Obama dan Menlu Hillary Clinton terang-terangan menyokong gerakan tersebut dan bahkan menyebutnya sebagai pemberani dan pecinta kebebasan!

Namun demikian ada satu point menarik yang disinggung harian Christian Science Monitor menyangkut dukungan terbuka Hillary Clinton terhadap gerakan makar di Tehran baru-baru ini. Koran terbitan AS itu mencatat, "Meski Clinton mengklaim penyebaran demokrasi, namun ia sama sekali tak pernah menyebut nama negara-negara lain dan aksi protes rakyat terhadap para penguasa negaranya." Masih menurut Christian Science Monitor, segera setelah munculnya rangkaian kerusuhan di Tehran, Clinton menegaskan dukungan terbukanya terhadap aksi anarkisme di Tehran. Ironisnya, di saat yang sama Clinton seakan tak ambil peduli dengan gerakan rakyat di Yordania, Bahrain, dan Yaman yang jelas-jelas muncul dari tubuh rakyat dan bukan hasil rekayasa sebagaimana gerakan makar anti-Republik Islam Iran yang terjadi di Tehran. Bahkan tidak hanya itu saja, sejumlah utusan dari AS melakukan lawatan ke Yordania dan menyatakan dukungan pemerintahan Obama terhadap kepemimpinan raja Yordania.

Apa yang diungkap Christian Science Monitor ini secara tidak langsung telah mengungkap politik standar ganda AS dalam menyikapi isu demokrasi. Di saat Gedung Putih sudah merasa tak kuasa lagi membendung kebangkitan rakyat Mesir dan Tunisia untuk menggulingkan rezim diktator yang selama ini menjadi sekutu dekat Washington, AS pun berusaha mengesankan dirinya mengiringi gerakan rakyat di kedua negara itu serta menyokong tuntutan demokrasi dan kebebasan yang mereka perjuangkan. Namun di saat yang sama, pemerintah Obama berusaha bungkam terhadap efek domino dari gerakan revolusioner rakyat Mesir dan Tunisia di negara-negara Arab lainnya yang dikuasai rezim-rezim diktator dukungan AS. Washington bahkan gencar mengirim utusan politik dan militernya ke negara-negara Arab yang dilanda gerakan protes rakyat untuk menelaah situasi terbaru di sana dan mencegah tumbangnya rezim-rezim otoriter Arab yang masih bertahan dan menjadi sekutu dekat AS.

Transformasi akhir di Mesir dan Tunisia serta sejumlah negara Timur Tengah yang masih dikuasai rezim-rezim diktator dukungan AS sejatinya telah memporak-porandakan kebijakan AS di Timur Tengah. Selama ini, Mesir menjadi tumpuan politik AS di Dunia Arab. Dengan sokongan Mesir dan penguasa-penguasa diktator seperti Hosni Mubarak, proses perundingan yang diistilahkan perundingan damai Timur Tengah pun digelar. Namun lagi-lagi perundingan itu pun menemui jalan buntu akibat nafsu ekspansionisme rezim zionis Israel. Meski begitu, AS masih saja berharap perundingan damai itu bisa dihidupkan kembali dengan dukungan Hosni Mubarak.

Dalam situasi yang pelik semacam itulah, pemerintah AS berusaha menutupi kegagalan politiknya di Timur Tengah dengan melancarkan proganda anti-Republik Islam Iran. Sebuah gerakan yang menunjukkan bahwa hingga kini AS masih belum memiliki pemahaman yang sahih tentang situasi riil rakyat dan kehidupan demokrasi di Iran.

Manuver terbaru AS untuk menciptakan kekacauan di Iran sejatinya merupakan kelanjutan dari rangkaian aksi kerusuhan pasca pemilu presiden Iran tahun 2009 yang bertujuan untuk merusak prestasi demokrasi dan citra Iran di mata masyarakat internasional. Sembari merangkul antek-antek pro-Barat di dalam negeri Iran, AS berusaha menciptakan kekacauan di Tehran untuk menyasar beberapa target. Munculnya aksi demo dengan dalih mendukung gerakan revolusioner di Mesir dan Tunisia di Tehran baru-baru ini sejatinya hanyalah kedok bagi AS untuk menggapai ambisi politiknya. Pemerintah AS berusaha mengesankan aksi unjuk rasa rekayasa tersebut seperti gerakan rakyat di Mesir dan Tunisia. Tentu saja, manuver semacam itu bukanlah hal yang baru. Sudah lebih dari tiga dekade semenjak kemenangan Revolusi Islam, AS getol melancarkan politik Iran-fobia di kalangan negara-negara Timur Tengah sebagai upaya untuk mencegah dijadikannya Iran sebagai model demokrasi Islam di dunia.

Kebangkitan rakyat Mesir dan Tunisia menentang rezim otoriter dan menjalarnya gerakan serupa di negara-negara Timur Tengah lainnya dengan mengusung slogan-slogan kebebasan, keadilan, dan revitalisasi nilai-nilai Islam merupakan indikator nyata kehancuran politik AS dalam upayanya untuk merusak citra Republik Islam Iran di mata publik regional. Selama ini, AS menciptakan sebuah front yang menghimpun negara-negara Arab dengan dukungan para rezim despotik Timur Tengah untuk menghadapi Republik Islam Iran. Namun sebagaimana jamak diketahui front tersebut telah mengalami pembusukan dari dalam.

Kini di saat AS terperanjat dan merasa kecolongan dengan munculnya gerakan rakyat menentang rezim-rezim otoriter dukungan Washington, Gedung Putih pun mulai mengubah strategi dan taktiknya dalam merusak wajah Republik Islam Iran. AS berusaha meniru apa yang terjadi di Mesir dan memboyongnya ke Iran seolah-olah di Iran pun tengah muncul gerakan revolusi rakyat menentang pemerintah sebagaimana yang terjadi di Mesir dan Tunisia. Upaya rekayasa itu dipraktekkan dalam aksi demo 14 Februari oleh sejumlah puak-puak kontra revolusi Islam di Tehran.

AS yang gagal membendung gerakan revolusioner di Mesir dan Tunisia, berusaha mengkopi mentah-mentah gerakan tersebut di Iran. Hanya saja, apa yang muncul di Tehran kali ini murni merupakan rekayasa AS untuk menumbangkan pemerintah Republik Islam Iran yang sah dan demokratis. Tentu saja, aksi rekayasa itu pun pupus sebelum berkembang. Realitas politik di Iran sangat kontras dengan apa yang terjadi di Mesir dan Tunisia. Pasca Revolusi Islam, rakyat Iran telah menjalankan kehidupan berdemokrasi yang berasaskan pada prinsip-prinsip Islam. Selama 32 tahun terakhir, sudah 30 kali pemilu parlemen, pemilu presiden, dan dewan kota digelar. Enam presiden dengan berbagai latar belakang aliran politik dan ideologi telah memimpin Iran lewat pemilu yang digelar sebanyak 10 kali.

Namun apa yang terjadi di Mesir sejak 30 tahun terakhir sungguh jauh berbeda. Hosni Mobarak beserta kroni-kroninya menguasai seluruh pilar-pilar kekuasaan sementara pemilu yang digelar hanya sekedar sandiwara politik belaka. Begitu juga di Tunisia, selama separuh abad terakhir, Habib Bourguiba dan Zine el-Ebidine Ben Ali menubuhkan pemerintahan otoriter yang didukung negara-negara Barat.

Untungnya, mesin propaganda dan imperium media massa AS tak mampu mengeksploitasi secara penuh aksi unjuk rasa 14 Februari Tehran yang dilancarkan oleh puluhan antek-antek Washington. Mereka gagal mengkloning revolusi rakyat Mesir dan Tunisia di Iran. Dan seperti biasanya semenjak lebih dari tiga dekade terakhir, pemerintah AS pun lagi-lagi harus menelan pahitnya kekalahan setelah gagal menciptakan revolusi bayangan di Iran.(irib/24/2/2011)




0 comments to "Arab Saudi, Penampungan Diktator Arab yg senantiasa bersikap menguntungkan Rezim Zionis Israel.....Negara Islam Iran pun terbakar...!!!!!"

Leave a comment