Home , , , , � Boikot Media dan Kemerdekaan Pers : "Apakah paranoid (pemerintah di Timurtengah) itu juga menjangkit ke pemerintah Indonesia???!!!!

Boikot Media dan Kemerdekaan Pers : "Apakah paranoid (pemerintah di Timurtengah) itu juga menjangkit ke pemerintah Indonesia???!!!!

Ancaman Sekretaris Kabinet Dipo Alam untuk memboikot media yang kritis terhadap pemerintah menjadi salah satu topik menarik hari-hari ini. Menarik karena bebarapa hal. Salah satunya adalah seringkali orang di lingkungan dekat Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono membuat pernyataan atau kebijakan yang kontroversial dan seringkali kontra produktif, sehingga muncul tudingan bahwa hal tersebut merupakan bagian dari strategi pencitraan atau pengalihan perhatian publik. Namun, lebih banyak yang menilai bahwa itu terjadi memang karena buruknya kinerja presiden dan para pembantunya.

Kita bisa menganalisa pola komunikasi dan kebijakan pemerintah yang selama ini sulit dipahami publik dari berbagai sisi, tetapi masalahnya kita juga tak bisa menunggu terlalu lama sampai semuanya semakin memburuk akibat pemerintah sering salah langkah dan buruk dalam melakukan komunikasi dengan publik. Perlu sebuah penilaian dan rekomendasi agar pemerintah fokus pada tugasnya untuk melayani dan mamajukan kulitas kehidupan warganya. Sayangnya, semakin kita amati malah semakin jauh dari harapan, termasuk keberatan kita atas penyataan Dipo Alam tadi.

Dalam kacamata kemerdekaan pers, apa yang disampaikan oleh Dipo Alam masih bersifat netral jika yang ia maksud adalah pemerintah tidak akan membagi porsi iklan kepada media yang ia sebut menjelek-jelekan pemerintah. Netral dalam arti tidak seharunya memengaruhi kinerja media sebagai pencari, pengolah dan penyampai infomasi. Demikian juga dengan fungsi pers sebagai media informasi, edukasi, dan hiburan sebagaimana yang tertuang dalam Undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang pers tetap bisa dilakukan. Masalah baru timbul jika pemerintah melakukan hambatan terhadap akses informasi kepada media.

Namun sebagai pemerintah sebuah negera yang demokratis yang menjunjung kemerdekaan pers dan kebebasan berpendapat, sebagaimana dijamin dalam konstitusi negara, maka Dipo Alam telah melakukan hal yang tidak patut dan tidak sepatutnya diucapkan oleh seorang seskab. Karena konotasi dari ancaman itu merupakan kekerasan terhadap kemerdekaan pers dan pelecehan terhadap demokrasi. Pernyataan tersebut merupakan diskriminasi terhadap pers yang kritis dan pers yang tidak kritis, bahkan pemerintah telah memprovokasi publik terutama pemerintahan secara keseluruhan untuk menyerang pers, sesuatu yang membahayakan kemerdekaan pers dan demokrasi di negeri ini.

Oleh karena itu, kita bisa menyimpulkan bahwa pemerintah bermasalah dalam dirinya sendiri terkait pemahaman dan langkah dalam kerangka kemerdekaan pers dan pemajuan demokrasi. Melalui penggunaan anggaran negara, pemerintah telah melakukan diskriminasi yang bertentangan dengan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas penggunaan sumberdaya negara untuk kepentingan politis yang tidak pada tempatnya karena uang belanja iklan yang digunakan berasal dari anggaran negara. Di sisi lain, belanja iklan itu seharusnya digunakan untuk kepentingan negara yang pada ujungnya adalah untuk kepentingan publik, sehingga harus efisien, transparan, dan tidak bias kepentingan politik.

Dari sisi pers sendiri, khususnya bagi media yang terancam didiskriminasi melalui alokasi belanja iklan pemerintah, seharusnya tidak kemudian merasa kekurangan aksesnya dalam malakukan tugas media sebagai pengumpul, pengolah, dan penyampai informasi ke publik karena kebijakan perusahaan harus tetap menghormati otonomi redaksi sebagai bagian dari kepentingan publik. Redaksi sebuah media memegang amanat suci untuk menyampaikan kebenaran untuk kepentingan publik. Dengan demikian, ancaman untuk tak diberi alokasi belanja iklan pemerintah tidak seharusnya menjadi penghalang untuk tugas media yang memgang amanat kemerdekaan pers.

Pertanyaan juga kita tujukan kepada media sendiri, saat pemerintah menyampaikan ancaman tadi, apakah ini mengindikasikan bahwa selama ini sebagian media di Indonesia menggantungkan diri sedemikian rupa kepada iklan tertantu, terutama iklan pemerintah sehingga akan terganggu kinerjanya jika bagian iklan tadi dicabut atau dikurangi? Jika demikian halnya, maka kita bisa menilai ada yang tidak beres dalam hubungan kebijakan media dengan ketergantunganya kepada pemerintah. Logika sederhanya adalah bagaimana akan dapat menjadi anjing penjaga yang baik jika ia diberi makan oleh orang yang seharunya ia awasi, dalam hal ini pemerintah.

Pertanyaan lain juga muncul dengan adanya kasus ini. Sebarapa besar sebenarnya belanja iklan pemerintah kepada media tertentu, sehingga muncul ancaman yang tentunya dikeluarkan dengan mempertimbangkan posisi tawar yang dimiliki pemerintah di hadapan media terkait dengan besaran belanja iklan tadi? Apakah memang ada komitmen antara media tertentu dengan pemerintah soal pemberitaan dan alokasi anggaran iklan? Bila hal ini yang terjadi, maka kita bisa mengatakan bahwa media- media tersebut telah salah arah dilihat dari kemerdekaan pers yang menghendaki adanya independensi dan imparsial sebagai pemegang amanat kebebasan menyampaikan pendapat.

Dengan uraian di atas, kita bisa menilai dan mengamati sejauh mana perkembangan kasus ini selanjutnya akan menggambarkan kondisi pers kita dan hubunganya dengan pemerintah. Sebagaimana diketahui, hubungan ini bukan hanya soal belanja iklan yang bisa menjadi sumber masalah, tetapi juga hubungan dan komitmen politik atau soal dukungan non iklan misalnya, seperti komposisi kepemilikan orang tertentu baik yang berada di pemerintah atau sektor lain. Jika hubungan-hubungan tadi tidak proporsional dan mampu menjaga independensi media terhadap intervensi yang tidak pada tempatnya, maka kita bisa menyatakan bahwa media kita bermasalah dalam dirinya sendiri terkait amanat kemerdekaan pers dan independensi media.

Kita tunggu langkah berbagai pihak selanjutnya terutama dari pihak pemerintah dan media sendiri untuk dapat memberikan penjelasan yang cukup kepada publik tentang duduk persoalan yang dipicu oleh ancama Seskab Dipo Alam yang mengancam boikot belanja iklan untuk media yang menurutnya selalu menjelek-jelekan pemerintah atau adalam bahasa publik selalu mengkritisi pemerintah. Demikian juga penjelasan dari pihak media sendiri diperlukan untuk dapat memberikan pemahaman kepada publik, ada apa di balik ancaman tadi, apakah benar dugaan kita bahwa selama ini kemerdekaan pers telah diselewengkan oleh para pelaku media sendiri, sehingga mengorbankan kepentingan publik akan hak untuk mendapatkan informasi? (IRIB/Kompasiana/22/2/2011)

Menggugat Ajakan Boikot Media

Setelah memberikan cap semacam "gagak hitam" kepada tokoh lintas agama, kini Sekretaris Kabinet Dipo Alam memerintahkan pejabat pemerintah memboikot media yang beritanya menjelek-jelekkan pemerintah.

Sikap ini harus dikaji serius karena di era demokrasi bersama media justru tak ada lagi yang lebih menjelekkan citra pemerintah daripada pernyataan serupa ini!

Pertama, kita mesti bertanya apakah Seskab memerintahkan hal tersebut sepengetahuan (struktural) Pak Beye sebagai Presiden. Kalau demikian, artinya Pak Beye memang satu visi dengan Seskab. Atau jangan-jangan Pak Beye tidak tahu-menahu. Paling-paling nanti kalau ada akibat negatifnya, ya seperti biasa, Pak Beye yang menanggungnya.

Di banyak negara dalam keadaan normal, jarang sekali ungkapan seeksplisit itu dikeluarkan oleh pejabat tinggi. Bahkan oleh calon pejabat sekalipun. Lihatlah betapa bencinya George Bush (Jr) pada jurnalis Adam Clymer yang sangat kritis kepadanya.

Saat berkampanye, tanpa sadar ia berbisik kepada calon wakilnya, Dick Cheney: "Tuh di sana ada Adam Clymer, major league; dari New York Times." Bush menyesal ketika tahu bahwa ternyata bisikannya masih bisa tertangkap alat audio yang ada di sekitar.

Secara umum komunikasi politik memiliki "panggung belakang" dan "panggung depan". Kalau Anda ingin memboikot media, biasanya hal tersebut jadi konsumsi panggung belakang. Paling maksimal, Anda akan relatif mengurangi perhatian pada kehadiran jurnalis tertentu atau tak membaginya kesempatan bertanya seperti biasa.

Intinya, boikot sementara pasti sesuatu yang terasa di panggung depan walau tak pernah dinyatakan. Mengajak boikot media di panggung depan, selain melanggar perundang-undangan di banyak negara, juga pada ujungnya lebih banyak merugikan pemerintah itu sendiri. Jangan-jangan selanjutnya pemerintah hanya akan sibuk mengutarakan hak jawab kepada pers!

Analisis isi Poin kedua harus menjurus ke analisis isi atau analisis kerangka. Apa betul terdapat televisi dan media cetak yang (menurut Seskab) beritanya hanya atau kerap menjelek-jelekkan pemerintah? Kata "hanya" atau "kerap" harus diletakkan pada angka berapa: 100 persen, 70 persen, atau berapa persen? Begitu pula, seberapa sering tidak dilakukan cover both sides atau meminta juga opini pejabat pemerintah sebagai narasumber: 100 persen, 70 persen, atau berapa?

Bisa jadi seseorang terfokus pada hal-hal negatif di sekitar diri sendiri sehingga ia tanpa sadar menjadikannya sebagai apa yang paling diingat dari konsumsi media. Di samping itu, perlu pula menilai secara jernih apakah media lain tidak memberitakan hal yang sama. Kegagalan negara melindungi warganya pada Kasus Cikeusik dan Temanggung, misalnya, jelas menghiasi halaman atau bagian utama aneka media. Apakah media salah kalau merekam dan menyampaikan betapa kasus sejenis telah terulang kesekian kali?

Sungguh, analisis substansi terkesan relatif terpinggirkan di sini. Sejak tokoh lintas agama mengeluarkan pernyataan soal pembohongan publik, belum pernah ada tantangan terbuka dari pemerintah untuk mendebat atau memperbandingkan data tentang sejumlah kebohongan yang dipaparkan badan pekerjanya.

Yang terjadi adalah pembunuhan karakter bahwa tokoh lintas agama adalah "gagak hitam" dan sebagainya. Yang diserang hanya sekitar tiga di antara sepuluh tokoh lintas agama tersebut, seakan ketujuh tokoh agama yang lain bisa ditunggangi oleh nama-nama yang diserang.

Padahal, pada kenyataannya media tahu bahwa setidaknya sebagian besar di antara tokoh agama tersebut bukanlah tokoh agama merangkap bendahara atau penyumbang dana kampanye yang (dalam buku Wisnu Nugroho, 2010) tergambar membawa tas besar ke mana-mana.

Demokratisasi media Masalah ketiga terkait niat mengendalikan isi media dengan umpan iklan dari pihak pemerintah. Sikap itu cenderung merendahkan insan media di Indonesia seakan pemerintah selama ini telah berhasil menembus pagar api yang memisahkan nilai-nilai jurnalistik dengan bisnis media.

Jangan-jangan inilah analogi "gagak hitam" yang sesungguhnya, yang merasa bisa mematikan akses hidup dan siap menunggu "bangkai-bangkai" insan media yang tidak disukainya.

Saat dikejutkan oleh sikap semacam ini, justru kita makin merasakan absennya negara atau pejabat pemerintah yang membahas esensi lebih hakiki dari demokratisasi serta kualitas media.

Undang-undang investasi dan persahaman kita, misalnya, dengan gampang menghancurkan undang-undang penyiaran. Perpindahan saham atau merger antarperusahaan media (seperti antartelevisi baik yang sudah maupun sedang terjadi atau dalam perencanaan) sungguh membuat semangat keragaman kepemilikan serta kemajemukan program dalam undang-undang penyiaran relatif tidak ada artinya.

Padahal kita tahu, demokratisasi media di era Reformasi antara lain jatuh ke tangan sekelompok orang, yang bisa saja memilih memarjinalkan fungsi informasi media. Yang penting banjir acara sinetron, gosip, dan audisi realiti yang menangguk iklan sebanyak-banyaknya. Di sini pemerintah cenderung membiarkan pembodohan publik terjadi, asalkan tidak mengkritik keras dalam konteks politik.

Di sisi lain terdapat media yang secara tak langsung berafiliasi dengan elite parpol, yang kalau mengkritik pun tidak bersifat lepas karena ada negosiasi dan kompromi politiknya.

Akhirnya, sebagai mahasiswa yang diuji langsung oleh tokoh yang paling signifikan melahirkan teori-teori performa, responsibilitas, dan akuntabilitas media, Denis McQuail, secara umum saya masih meyakini fungsi penyampaian informasi media kita. Tentulah nada dan gaya bahasa media berbeda-beda sehingga ada yang menilai suatu media lebih elok dibandingkan dengan media yang lainnya.

Kembali ke George Bush, walau menyesalkan kenapa bisikannya terdengar di alat audio, dia tidak pernah minta maaf kepada Clymer. Dan Bush tercatat sebagai salah satu presiden Amerika dengan komunikasi politik buruk, termasuk ketika menuduh dan mengebom pihak yang tidak disukainya dengan cap teroris atau pemilik senjata pemusnah massal.

Effendi Gazali Koordinator Program Master Komunikasi Politik UI (IRIB/Kompas/24/2/2011)

0 comments to "Boikot Media dan Kemerdekaan Pers : "Apakah paranoid (pemerintah di Timurtengah) itu juga menjangkit ke pemerintah Indonesia???!!!!"

Leave a comment