Home , , , , , � Ghadafi bertemu dengan Rahbar...???!!!!!!

Ghadafi bertemu dengan Rahbar...???!!!!!!

Kini Tiba Giliran Libya

©Dina Y. Sulaeman

Berbeda dengan Mesir dan Tunisia, alasan ekonomi sepertinya sulit digunakan untuk menganalisis faktor penyebab kebangkitan rakyat Libya. Pendapatan penduduk per kapita Libya adalah US$ 14581.9. Bandingkan dengan Mesir yang hanya US$ 2015.5 dan Tunisia US$ 3680.5. Sekedar perbandingan, Indonesia masih di atas Mesir, yaitu US$ 2149.7 (data dari PBB).

Alasan bahwa Libya anti AS pun sulit dipakai, karena, meskipun Qaddafi berkali-kali bersuara keras menentang AS dan Israel, namun semua itu hanya lip service belaka. Libya diembargo AS selama 37 tahun dengan alasan “Libya mendukung terorisme”. Sejak tahun 2001, Qaddafi memperlihatkan perubahan sikap dengan menyatakan kecamannya pada aksi teror 9/11, lalu pada tahun 2002 menyatakan dukungannya pada Perang Melawan Terorisme. Tahun 2003, Qaddafi bersedia menyerahkan simpanan senjata nuklirnya kepada AS. Sejak tahun 2004, AS menghentikan embargonya dan kembali membuka kantor perwakilan diplomatiknya di Tripoli. Saat itu bahkan Bush memuji Libya, sebagai negara yang harus ditiru negara-negara pemilik nuklir lain seperti Iran dan Korea Utara.

Minimnya informasi tentang kisruh di Libya (tidak seperti di Mesir dan Tunisia), membuat banyak kemungkinan analisis yang bisa dikemukakan. Fakta bahwa dalam kasus Libya, dunia saat ini bergantung pada pemberitaan dari media-media mainstream yang sudah terbukti berkali-kali berperan penting dalam upaya penggulingan rezim di negara-negara Dunia Ketiga, seharusnya menimbulkan kecurigaan. Kita pun belum tahu, siapa yang berperan dalam mobilisasi massa. Belum ada nama tokoh oposisi Libya yang muncul ke permukaan. Berbeda dengan Mesir yang jelas-jelas sejak lama ada Ikhwanul Muslimin, atau Tunisia, yang meledak setelah ada aksi pembakaran diri seorang sarjana yang sangat sakit hati akibat ulah polisi yang menyita barang dagangan kaki limanya.

Karena informasi yang masih terlalu minim, tulisan ini akan difokuskan pada satu hal menarik dari Libya, yaitu minyak. Menurut Wall Street Journal (28 Aug 2009), Libya ternyata adalah negara dengan sumber minyak terbanyak di Afrika. Konsesi minyak Libya diserahkan kepada perusahaan-perusahaan minyak yang di antaranya sudah umum didengar telinga, British Petroleum, Total, Shell, atau ExxonMobil. Perusahaan-perusahaan yang sama yang juga mengeruk minyak dan gas di Indonesia dan negara-negara Dunia Ketiga lainnya, yang saham terbesarnya dikuasai oleh orang-orang Zionis.

Namun yang menarik, Wall Street Journal mengeluhkan sikap Libya yang menyulitkan investor. Sejak tahun 2007, pemerintah Libya rupanya memaksa perusahaan-perusahaan minyak asing untuk menegosiasi ulang kontrak. Perusahaan yang ingin memperpanjang kontrak diharuskan membayar bonus yang sangat besar dan hanya mendapatkan hak eksplorasi yang lebih sedikit. Libya mengancam perusahaan-perusahaan itu dengan nasionalisasi bila mereka menolak syarat-syarat yang ditetapkan. Menurut Wall Street Journal, dalam kondisi seperti ini, tender hanya mungkin dimenangkan oleh perusahaan minyak yang dimiliki negara seperti Gazprom dari Rusia atau Sonatrach dari Aljazair. Artinya, perusahaan-perusahaan swasta milik pengusaha-pengusaha Zionis itu merasa tergencet.

Laporan Wall Street Journal ini sangat bersesuaian dengan doktrin lama kekuatan-kekuatan kapitalis Zionis: bila sebuah rezim mengancam kepentingan kapitalis, gulingkanlah! Lembaga-lembaga think-tank Zionis, mulai dari Freedom House, National Democrat Institute, International Republican Institute, USAID, hingga LSM-LSM swasta yang didanai milyarder Zionis macam Open Society-nya George Soros sudah terbukti menjadi dalang dari upaya-upaya penggulingan rezim (baik yang sudah berhasil maupun belum) di Serbia, Georgia, Ukraina, Kyrgyzistan, Nikaragua, Myanmar, Indonesia, Malaysia, Pakistan, Palestina, Lebanon, dan Iran. Tentu saja, upaya ‘pemberian bantuan’ untuk penggulingan rezim di sebuah negara bukan mereka lakukan dengan niat tulus membebaskan rakyat dari kediktatoran sebuah rezim, tapi semata-mata demi memuluskan jalan bagi korporasi-korporasi transnasional milik Zionis.

Tentu, tulisan ini bukan untuk membela Qaddafi yang jelas-jelas diktator itu. Saya hanya ingin menunjukkan bahwa ternyata ada banyak jenis kroni AS-Zionis. Ada yang budak dalam arti seutuhnya, tunduk patuh pada apapun kata Sang Tuan, macam Ben Ali atau Hosni Mobarak, sampai-sampai rakyat mereka hidup miskin. Ada pula yang berwujud diktator, macam Qaddafi, tetapi masih berani bermulut besar di depan Barat sehingga rakyatnya tetap punya uang sekitar 14.000 dolar pertahun. Ada pula yang menjaga citra sebagai pemimpin yang ramah dan demokratis, namun sesungguhnya lewat tangannyalah kekayaan alam negaranya diobral habis kepada korporasi AS-Zionis. Dan manusia merdeka, tak seharusnya tunduk pada kroni AS-Zionis, dalam wujud apapun.

mainsource:http://dinasulaeman.wordpress.com/2011/02/25/kini-tiba-giliran-libya/#more-614

Heboh, Saiful Arab Gaddafi Bergabung dengan Rakyat!!!

Saiful Arab Gaddafi, anak bungsu Muammar Gaddafi diktator Libya yang diperintahkan ayahnya untuk menumpas para demonstran di kawasan timur Libya membangkang perintah ayahnya dan bergabung dengan rakyat.

Menurut situs televisi Alalam mengutip sumber-sumber pemberitaan hari Kamis (24/2) melaporkan, Saiful Arab Gaddafi anak terkecil Muammar Gaddafi, diktator Libya yang dikirim ke wilayah timur Libya untuk menumpas para demonstran yang menuntut lengsernya Muammar Gaddafi akhirnya memilih bergabung dengan rakyat.

Saiful Arab Gaddafi yang diperintahkan ayahnya bersama pasukan militer lengkap ke kota Benghazi dengan tujuan menumpas para demonstran beberapa jam lalu akhirnya memutuskan untuk bergabung dengan barisan revolusioner rakyat Libya dan menyatakan berlepas tangan dari ayahnya.

Sekaitan dengan nasib ayahnya Saiful Arab Gaddafi mengatakan, "Nasib ayahku kalau tidak bunuh diri, ia bakal lari ke Amerika Latin."

Kebangkitan rakyat muslim Libya menentang Muammar Gaddafi, diktator Libya sekalipun ditumpas secara keji oleh kaki tangan diktator Libya masih terus berlangsung. Para pengunjuk rasa bahkan telah membersihkan kota-kota di timur Libya dari anasir Gaddafi. Namun dikarenakan sensor ketat yang diberlakukan pemerintah Libya, informasi menjadi sulit untuk didapat.

Muammar Gaddafi memiliki tujuh orang anak; enam putra dan satu putri. Setiap satu dari anaknya memegang posisi strategis di negara ini. (IRIB/SL/24/2/2011)

Catatan Menarik dalam Pertemuan Rahbar dengan Gaddafi

Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah al-Udzma Sayid Ali Khamenei, atau Rahbar, ketika menjabat sebagai presiden, pernah berkunjung ke Libya. Ayatullah Khazali mencatat kunjungan Rahbar ke Libya itu dan pertemuan beliau dengan Presiden Libya, Muammar Gaddafi. Dalam pertemuan itu, Rahbar berlaku cerdik dalam menjaga kehormatan nama bangsa Iran.

"Di Libya dibangun sebuah tenda besar (tempat pertemuan Gaddafi dengan tamunya) yang pintu masuknya sangat rendah, dan setiap orang yang ingin memasukinya terpaksa harus menunduk dan membungkuk. Di sisi lain, di dalam tenda itu, tepatnya di depan pintu masuk, dipasang foto besar Gaddafi. Yakni setiap orang yang memasuki tenda itu secara tidak sadar seolah sedang menghormati Gaddafi dengan membungkukkan badan. Namun Rahbar ketika hendak memasuki tenda itu, beliau masuk dengan badan membelakangi foto Gaddafi." (IRIB/MZ/SL/24/2/2011)

Disuruh Cari Dukungan, Utusan Gaddafi Malah Membelot

Televisi Al Jazeera, Kamis malam (24/2) melaporkan bahwa utusan khusus Gaddafi dan koordinator hubungan Libya-Mesir, Ahmed Gaddaf Al Dam telah mengundurkan diri dan meminta suaka politik ke Mesir.

Sebagaimana dilaporkan IRNA, Al Jazeera menambahkan, Gaddaf Al Dam beberapa hari lalu bertolak ke Mesir dengan tujuan membujuk suku-suku Mesir untuk medukung Muammar Gaddafi. Permintaan itu menuai kecaman dari suku-suku di Provinsi Matrouh, yang berbatasan dengan Libya dan kebanyakan warga di kawasan menggelar unjuk rasa menuntut pengusirannya dari Mesir.

Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri Libya Abdel Fatah Yunes dan Menteri Kehakiman Mustafa Abdul Jalil, serta beberapa duta besar negara itu telah meletakkan jabatannya sebagai protes atas brutalitas Gaddafi.

Uni Eropa mempertimbangkan untuk menerapkan sanksi terhadap Gaddafi jika ia terus menggunakan metode kekerasan untuk meredam pemberontakan yang berkepanjangan. Sanksi-sanksi yang diusulkan termasuk membekukan aset Gaddafi, larangan perjalanan bagi Gaddafi dan kroni-kroninya serta embargo senjata.

Sementara itu, ribuan orang yang menyelamatkan diri dari kekerasan dan ketidakamanan di Libya, menyeberangi perbatasan ke Tunisia melalui pos lintas Ras El Jedir, sekitar 600 kilometer selatan Tunis. Demikian dilaporkan kantor berita resmi Tunisia, TAP.

Sekitar 2.500 warga menyeberangi perbatasan setiap enam menit, sehingga Bulan Sabit Merah Tunisia mulai kewalahan dalam melayani para pengungsi. Beberapa di antaranya telah melakukan perjalanan yang jauh untuk mencapai perbatasan tersebut. (IRIB/RM/25/2/2011)

Gaddafi Ancam Bantai Warga Palestina di Libya

Sumber-sumber terpercaya Palestina melaporkan bahwa Muammar Gaddafi, diktator Libya mengancam akan membantai habis para pengungsi Palestina yang berada di negara ini bila bergabung dengan rakyat Libya melakukan demonstrasi menentangnya.

Menurut laporan Farsnews mengutip Kantor Berita Palestina Sama, sumber-sumber terpercaya Palestina mengatakan, Gaddafi mengancam akan membantai puluhan ribu Palestina yang tinggal di Libya dan mengklaim bahwa mereka telah mengkhianatinya karena ikut dalam aksi unjuk rasa rakyat Libya dalam menentangnya.

Menurut sumber-sumber ini, Otorita Ramallah pimpinan Mahmoud Abbas begitu mencemaskan ancaman ini. Karena Otorita Ramallah tahu betul bahwa bila kondisi kembali seperti semula di Tripoli, Gaddafi pasti melakukan ancamannya. Oleh karenanya, Otorita Ramallah dengan mengeluarkan pernyataan meminta warga Palestina di Libya untuk tidak mencampuri urusan dalam negeri negara ini.

Berdasarkan laporan ini, Otorita Ramallah saat ini serius ingin mengeluarkan warga Palestina dari Libya hingga kondisi kembali aman di negara ini. Untuk itu Otorita Ramallah gencar menghubungi Mesir dan Tunisia agar mau menerima puluhan ribu Palestina di negara mereka untuk sementara waktu.

Sumber-sumber ini menyebutkan Muammar Gaddafi begitu marah terhadap Gerakan Perlawanan Islam Palestina (Hamas) dan Jihad Islam karena mendukung revolusi rakyat Libya, sekaligus mengancam akan menghentikan proyek-proyek Libya di Jalur Gaza.

Sementara Benyamin Netanyahu, Perdana Menteri Israel hanya menyepakati kembalinya 300 pengungsi Palestina yang tinggal di Libya ke Tepi Barat Sungai Jordan dan itu pun hanya untuk sementara waktu. (IRIB/SL/24/2/2011)

Tak Peduli Brutalitas Gaddafi, Eropa Khawatir Kekurangan Minyak

Arab Saudi menjadi tuan rumah sidang tingkat menteri di Forum Energi Internasional (IEF). Sidang ini digelar hari Selasa (23/2) di Riyadh. Seperti diprediksikan sebelumnya, Menteri Perminyakan Arab Saudi, Ali al-Naimi menyatakan bahwa Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) siap mensuplai kekurangan minyak dunia akibat instabilitas Timur Tengah saat ini.

Al-Naimi menekankan, meski terdapat kekhawatiran atas menurunnya pasokan minyak akibat instabilitas di kawasan Timur Tengah, namun hingga saat ini belum ada laporan kekurangan minyak di pasar dunia.

Keanggotaan Libya di OPEC di satu sisi dan mandegnya produksi minyak di negara ini termasuk faktor yang berperan di pasan minyak dunia. Sejak dimulainya kebangkitan rakyat Mesir, harga minyak mengalami kenaikan 4,27 dolar menjadi 92,83 dolar perbarel. Kemarin harga ini tiba-tiba melonjak menembus angka 100,59 dolar perbarel. Kenaikan ini disebabkan aksi brutal jet-jet tempur Libya yang membombardir massa anti pemerintah. Dipresidiksikan, produksi minyak Libya akan mengalami kesulitan besar jika brutalitas pemerintah Tripoli terhadap para demonstran semakin hebat.

Dalam laporan OPEC bulan Februari, Libya menempati urutan ketiga produsen minyak terbesar di benua Afrika. Negara ini setiap harinya memproduksi sekitar 1,6 juta barel minyak dan mengekspornya ke negara Eropa termasuk Italia, Perancis, Spanyol dan Jerman. Sebaliknya pemerintahan Gaddafi dalam beberapa tahun terakhir mendapat imbalan perlengkapan militer dari Eropa, demikian menurut laporan resmi Uni Eropa. Menurut sumber ini, pada tahun 2009 Libya membeli senjata dan perlengkapan militer dari Jerman senilai 43,2 juta dolar. Adapun dari Inggris, Gaddafi membeli senjata senilai 20,7 juta dolar.

Dukungan besar Barat dan Eropa terhadap Gaddafi membuat sejumlah laporan mengenai terlibatnya pilot dan pesawat tempur Italia dalam membombardir demonstran Libya dipercayai publik Arab. Di sisi lain, langkah awal yang ditempuh Eropa menyikapi brutalitas Gaddafi bukannya memberikan kecaman, namun malah mengevakuasi warga Eropa dari Libya. Eropa hanya cukup menyampaikan penyesalannya.

Catherine Ashton, ketua kebijakan luar negeri Uni Eropa hari Selasa (23/2) dalam pernyataannya hanya menyesalkan terjadinya korban di pihak demonstran Libya dan mengatakan, Uni Eropa menangguhkan kesepakatannya dengan Tripoli. Ashton pun tidak memberikan perincian penangguhan kesepakatan ini. Oleh karena itu, hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa Eropa tetap mengkhawatirkan suplai minyak dari Libya. (IRIB/IRNA/MF/24/2/2011)

Kondisi Libya Menurut Pengakuan Warga Turki

Sejumlah warga Turki yang baru berhasil keluar dari Libya mengungkapkan kejahatan rezim Muammar Gaddafi di negeri yang berkecamuk itu.

Kantor berita Fars mengutip laporan media pemberitaan Ikhlas yang berbasis di Turki menyebutkan, seorang warga Turki yang berhasil keluar dari Libya kepada para wartawan mengatakan, "Warga menyerang pangkalan-pangkalan militer dan untuk mencegah jatuhnya senjata ke tangan rakyat, jet-jet tempur Libya membombardir dan merusak berbagai pangkalan militer."

Dikatakannya, sekitar 2.000 warga Turki berkumpul di sebuah stadion olahraga, namun warga Libya menyatakan tidak mampu menjaga keselamatan dan keamanan mereka. Hingga saat ini mereka masih menunggu bantuan agar dapat segera keluar dari Libya.

"Seluruh pabrik milik perusahaan asing diserang dan dijarah kemudian dibakar," tuturnya.

Sebit Qeshuqci, warga yang juga berhasil keluar dari Libya menambahkan, "Di Libya tidak ada lagi yang namanya polisi atau tentara. Setiap orang tidak aman. Semua orang, bahkan anak-anak dipersenjatai untuk menggeledah rumah-rumah."

Davut Ozdemir, satu lagi warga Turki yang bekerja di Libya mengatakan, "Saya dan teman-teman saya dikejar-kejar polisi, dan mereka merampas seluruh uang kami."

Seorang warga Turki tewas dalam instabilitas di Libya. Turki termasuk negara pertama yang mengirimkan pesawat dan kapal-kapal untuk mengevakuasi warganya dari negeri pimpinan diktator Gaddafi itu.(IRIB/MZ/SL/24/2/2011)

Castro: NATO Akan Menyerang Libya

Mantan presiden Kuba, Fidel Castro menyatakan, Amerika Serikat lebih tertarik pada sumber-sumber minyak Libya ketimbang perwujudan perdamaian konstan di wilayah ini.

Kantor berita ISNA mengutip laporan situs RTT menyebutkan, pemimpin revolusi Kuba itu menambahkan bahwa kemungkinan Amerika Serikat akan menginstruksikan Pasukan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) untuk menyerang Libya. Menurutnya, untuk saat ini masih terlalu dini untuk memberikan komentar terkait perkembangan di Afrika Utara.

Namun Castro menegaskan bahwa yang jelas politik Amerika Serikat selalu berlandaskan pada upaya merebut sumber-sumber minyak di dunia.

Lebih lanjut Castro menjelaskan, "Amerika Serikat tidak akan ragu-ragu untuk mengeluarkan instruksi penyerangan ke Libya dalam beberapa hari mendatang Karena yang pasti jika instruksi tersebut dikeluarkan, maka terbukti pula bahwa sejak awal Washington tidak mempedulikan nasib perdamaian di Libya."

"Instabilitas di negara-negara Arab membuka pintu bagi NATO menyerang Libya," tegas Castro.

"Anda boleh saja mendukung atau menentang Gaddafi. Dunia telah dibanjiri berbagai macam berita. Kita harus bersabar untuk mengetahui hakikat yang sebenarnya," ungkap Castro.

Menurut Castro, seorang yang jujur akan selalu menentang segala bentuk ketidakadilan dan terhadap rencana bengis yang tengah dipersiapkan NATO. Dalam hal ini, kebungkaman merupakan sebuah tindak kejahatan yang korbannya adalah warga tak berdosa Libya. (IRIB/MZ/SL/24/2/2011)

Gaddafi Dikhawatirkan Akan Gunakan Gas Sarin

Serangan gas sarin di Jepang

Diplomat senior Libya di Kanada, Ihab El Mismari mengatakan, "Saya mengkhawatirkan bahwa rezim Muammar Gaddafi akan menggunakan senjata inkonvensional seperti gas sarin untuk menumpas revolusi rakyat Libya."

Sebagaimana dilansir IRNA, situs Al Muheet, Kamis malam (24/2) mengutip keterangan El Mismari yang baru-baru ini meletakkan jabatannya, menulis, "Saya merasa takut karena mendengar kabar tentang penggunaan senjata aneh terhadap para demonstran."

Pada Rabu lalu, Mismari mengundurkan diri sebagai duta besar Libya untuk Kanada. Pengunduran diri itu dilakukan tidak lain karena kebijakan Gaddafi dalam menyikapi aksi unjuk rasa yang berujung pada jatuhnya korban jiwa dalam jumlah besar.

"Mungkin saja Gaddafi akan menggunakan senjata-senjata pembunuh massal seperti gas sarin untuk membungkam protes rakyat," ujarnya.

Gas sarin diklasifikasikan sebagai senjata pemusnah massal oleh PBB. Sarin menyerang sistem saraf, awalnya hanya menyebabkan pilek dan sesak di dada, kemudian korban mengalami kesulitan bernafas, mual-mual, dan mulai meneteskan air liur.

Setelah itu, korban akan kehilangan kendali atas semua fungsi tubuh, diikuti oleh kejang-kejang dan koma. Jika penangkal tidak diberikan dengan cepat maka korban akan mati secara tragis. (IRIB/RM/24/2/2011)

Membongkar Kesabaran Barat soal Libya

Meski kebangkitan rakyat Libya menentang kediktatoran Muammar Gaddafi sudah lebih dari sepekan berlalu, namun Barat masih saja bersikap ambigu. Kalaupun AS dan Eropa sempat mengecam pembantaian massal rakyat Libya, tapi hingga kini Dewan Keamanan PBB masih belum juga mengesahkan resolusi terkait isu tersebut. Lembaga-lembaga pejuang hak asasi manusia dalam berbagai laporannya mengungkap tewasnya ribuan warga Libya akibat serangan tank-tank dan pesawat-pesawat tempur tentara Gaddafi. Ironisnya, DK PBB selaku otoritas utama penegak perdamaian dan keamanan di dunia hanya mencukupkan diri sekedar merilis statemen yang sama sekali tidak mengikat.

Dalam beberapa tahun terakhir, hubungan Gaddafi dengan negara-negara Barat memang kerap mengalami pasang surut. Diktator Libya itu sempat dijuluki sebagai musuh Barat setelah dituding mengeluarkan perintah pengeboman terhadap pesawat AS di Lockerbie, Inggris. Di masa itu, Libya menghadapi sanksi luas dari AS dan negara-negara Eropa. Namun semenjak Gaddafi berusaha mempertahankan kekuasaannya di dalam negeri dengan menjalin hubungan kooperatif dengan Barat, ia pun berubah menjadi sosok pemimpin Arab yang loyal dan mesin uang bagi AS dan sekutunya.

Kasus Lockerbie selesai begitu saja setelah Gaddafi membayar uang ganti rugi dua miliar dolar kepada keluarga korban dari saku rakyat Libya. Segera setelah itu, banyak politisi AS dan Eropa menjalin kontrak dengan presiden terlama di dunia itu. Di antaranya adalah PM Inggris kala itu, Tony Blair dan Condoleezza Rice Menteri Luar Negeri AS di era Presiden George W. Bush. Libya pun akhirnya berubah menjadi mitra bisnis AS dan Inggris yang banyak menghasilkan dolar. Sebegitu akrabnya hubungan bisnis itu, sampai-sampai pelaku tunggal pengeboman Lockerbie asal Libya akhirnya dibebaskan dan kembali ke negaranya bak pahlawan. Pembebasan itu merupakan buah dari tercapainya kontrak minyak antara pemerintah Libya dengan perusahaan Inggris, British Petroleum.

Kini di saat Gaddafi sudah selangkah lagi bakal tumbang, negara-negara Barat yang meraup keuntungan ekonomi dari jalinannya dengan diktator Libya, lebih memilih bersikap hati-hati dan sabar dalam menyikapi revolusi rakyat di Libya. Karuan saja, melunaknya sikap negara-negara Barat itu kian membuat Gaddafi makin brutal dan bahkan mengumumkan perang dengan rakyatnya sendiri hingga mengubah Libya menjadi negeri yang berdarah-darah.

Namun ada juga sebagian analis yang menilai bahwa kepentingan ekonomi bukan satu-satunya faktor di balik kesabaran Barat terhadap Gaddafi. AS misalnya, sengaja menunggu hingga tragedi kemanusiaan di Libya mencapai puncaknya. Dengan begitu, Washington bisa memperoleh peluang untuk menduduki Libya dan mengeruk kekayaan minyak dan gas negara itu. Dengan mengusung dalih bahwa Gaddafi telah melakukan kejahatan perang, AS bakal mendapat legitimasi untuk menguasai Libya.
Apalagi posisi strategis Libya sebagai pemasok utama minyak dan gas ke Eropa tentu sudah lama menjadi incaran AS. Karena itu tak mengherankan, jika nanti nasib Gaddafi dengan Libyanya seperti suratan takdir Saddam dengan Iraknya. (IRIB/LV/NA/24/2/2011)

Kini Tiba Giliran Libya

©Dina Y. Sulaeman

Berbeda dengan Mesir dan Tunisia, alasan ekonomi sepertinya sulit digunakan untuk menganalisis faktor penyebab kebangkitan rakyat Libya. Pendapatan penduduk per kapita Libya adalah US$ 14581.9. Bandingkan dengan Mesir yang hanya US$ 2015.5 dan Tunisia US$ 3680.5. Sekedar perbandingan, Indonesia masih di atas Mesir, yaitu US$ 2149.7 (data dari PBB).

Alasan bahwa Libya anti AS pun sulit dipakai, karena, meskipun Qaddafi berkali-kali bersuara keras menentang AS dan Israel, namun semua itu hanya lip service belaka. Libya diembargo AS selama 37 tahun dengan alasan "Libya mendukung terorisme". Sejak tahun 2001, Qaddafi memperlihatkan perubahan sikap dengan menyatakan kecamannya pada aksi teror 9/11, lalu pada tahun 2002 menyatakan dukungannya pada Perang Melawan Terorisme. Tahun 2003, Qaddafi bersedia menyerahkan simpanan senjata nuklirnya kepada AS. Sejak tahun 2004, AS menghentikan embargonya dan kembali membuka kantor perwakilan diplomatiknya di Tripoli. Saat itu bahkan Bush memuji Libya, sebagai negara yang harus ditiru negara-negara pemilik nuklir lain seperti Iran dan Korea Utara.

Minimnya informasi tentang kisruh di Libya (tidak seperti di Mesir dan Tunisia), membuat banyak kemungkinan analisis yang bisa dikemukakan. Fakta bahwa dalam kasus Libya, dunia saat ini bergantung pada pemberitaan dari media-media mainstream yang sudah terbukti berkali-kali berperan penting dalam upaya penggulingan rezim di negara-negara Dunia Ketiga, seharusnya menimbulkan kecurigaan. Kita pun belum tahu, siapa yang berperan dalam mobilisasi massa. Belum ada nama tokoh oposisi Libya yang muncul ke permukaan. Berbeda dengan Mesir yang jelas-jelas sejak lama ada Ikhwanul Muslimin, atau Tunisia, yang meledak setelah ada aksi pembakaran diri seorang sarjana yang sangat sakit hati akibat ulah polisi yang menyita barang dagangan kaki limanya.

Karena informasi yang masih terlalu minim, tulisan ini akan difokuskan pada satu hal menarik dari Libya, yaitu minyak. Menurut Wall Street Journal (28 Aug 2009), Libya ternyata adalah negara dengan sumber minyak terbanyak di Afrika. Konsesi minyak Libya diserahkan kepada perusahaan-perusahaan minyak yang di antaranya sudah umum didengar telinga, British Petroleum, Total, Shell, atau ExxonMobil. Perusahaan-perusahaan yang sama yang juga mengeruk minyak dan gas di Indonesia dan negara-negara Dunia Ketiga lainnya, yang saham terbesarnya dikuasai oleh orang-orang Zionis.

Namun yang menarik, Wall Street Journal mengeluhkan sikap Libya yang menyulitkan investor. Sejak tahun 2007, pemerintah Libya rupanya memaksa perusahaan-perusahaan minyak asing untuk menegosiasi ulang kontrak. Perusahaan yang ingin memperpanjang kontrak diharuskan membayar bonus yang sangat besar dan hanya mendapatkan hak eksplorasi yang lebih sedikit. Libya mengancam perusahaan-perusahaan itu dengan nasionalisasi bila mereka menolak syarat-syarat yang ditetapkan. Menurut Wall Street Journal, dalam kondisi seperti ini, tender hanya mungkin dimenangkan oleh perusahaan minyak yang dimiliki negara seperti Gazprom dari Rusia atau Sonatrach dari Aljazair. Artinya, perusahaan-perusahaan swasta milik pengusaha-pengusaha Zionis itu merasa tergencet.

Laporan Wall Street Journal ini sangat bersesuaian dengan doktrin lama kekuatan-kekuatan kapitalis Zionis: bila sebuah rezim mengancam kepentingan kapitalis, gulingkanlah! Lembaga-lembaga think-tank Zionis, mulai dari Freedom House, National Democrat Institute, International Republican Institute, USAID, hingga LSM-LSM swasta yang didanai milyarder Zionis macam Open Society-nya George Soros sudah terbukti menjadi dalang dari upaya-upaya penggulingan rezim (baik yang sudah berhasil maupun belum) di Serbia, Georgia, Ukraina, Kyrgyzistan, Nikaragua, Myanmar, Indonesia, Malaysia, Pakistan, Palestina, Lebanon, dan Iran. Tentu saja, upaya ‘pemberian bantuan' untuk penggulingan rezim di sebuah negara bukan mereka lakukan dengan niat tulus membebaskan rakyat dari kediktatoran sebuah rezim, tapi semata-mata demi memuluskan jalan bagi korporasi-korporasi transnasional milik Zionis.

Tentu, tulisan ini bukan untuk membela Qaddafi yang jelas-jelas diktator itu. Saya hanya ingin menunjukkan bahwa ternyata ada banyak jenis kroni AS-Zionis. Ada yang budak dalam arti seutuhnya, tunduk patuh pada apapun kata Sang Tuan, macam Ben Ali atau Hosni Mobarak, sampai-sampai rakyat mereka hidup miskin. Ada pula yang berwujud diktator, macam Qaddafi, tetapi masih berani bermulut besar di depan Barat sehingga rakyatnya tetap punya uang sekitar 14.000 dolar pertahun. Ada pula yang menjaga citra sebagai pemimpin yang ramah dan demokratis, namun sesungguhnya lewat tangannyalah kekayaan alam negaranya diobral habis kepada korporasi AS-Zionis. Dan manusia merdeka, tak seharusnya tunduk pada kroni AS-Zionis, dalam wujud apapun. (IRIB/24/2/2011)

0 comments to "Ghadafi bertemu dengan Rahbar...???!!!!!!"

Leave a comment