“Polisi AS Siap Menembak Demonstran Anti KTT G20 di Pittsburgh”
Beberapa hari terakhir, media-media mainstream (yang kemudian disebarluaskan ulang media-media lainnya) menurunkan berita tentang memanasnya situasi di Iran, seolah-olah gelombang kebangkitan Mesir dan Tunisia kini mulai melanda Republik Islam itu. Padahal, kebanyakan berita-berita yang dirilis media-media Barat tidak bersumber langsung dari wartawan mereka sendiri. Reuters pun mengutip dari ‘media semi-resmi’ Teheran. Gambar yang ditampilkan Reuters, AFP, dan beberapa media lain hanyalah sebuah tong sampah yang terbakar, namun secara tendensius berita mengarahkan pembaca untuk yakin bahwa ada peristiwa besar di Teheran. Channel 7News menayangkan gambar yang sangat singkat dari aksi demo di Tehran, jumlahnya telihat sedikit, lalu menggabungkannya dengan gambar aksi massa yang masif di Kairo.
Anehnya, hanya dengan sumber yang sumir begini, Obama langsung angkat suara dan menyebut-nyebut adanya penembakan yang dilakukan oleh militer Iran. Sungguh berbeda dengan sikapnya terhadap Tunisia dan Mesir. Obama harus menunggu Ben Ali kabur sebelum menyatakan dukungannya pada gerakan reformasi rakyat Tunisia. Di Mesir, Human Right Watch melaporkan lebih 200 orang tewas selama aksi-aksi demonstrasi di Mesir akibat peluru karet dan tembakan gas air mata dalam jarak dekat. Obama saat itu diam saja. Ketika rakyat Mesir tak juga mau menyerah dan tak ada yang bisa diperbuat oleh militer Mesir untuk membungkam mereka, barulah Obama bersuara lunak menyatakan dukungan kepada rakyat Mesir, dengan syarat, “Transisi harus dilaksanakan secara perlahan.” Bahkan, kemudian, Obama setuju-setuju saja ketika pemerintahan transisi Mesir akhirnya diserahkan kepada militer. Padahal, sejarah militer Mesir dipenuhi sejarah suram pemberangusan dan penyiksaan terhadap para aktivis penentang Mubarak. Perlu pula dicatat, selama 30 tahun terakhir, militer Mesir adalah salah satu dari lima negara terbanyak menerima bantuan dari AS, selain Israel (penerima bantuan terbesar), Jordan, Tunisia, dan Columbia. AS yang selama ini membantu militer Mesir untuk memberangus kebebasan rakyat Mesir, kini berkoar-koar tentang kebebasan bagi rakyat Iran.
Demonstrasi tanggal 13 Februari di Teheran disebut oleh Reuters dihadiri oleh ribuan orang. Apa benar ribuan orang? Tidak ada foto dan video yang mendukung klaim ini. Kalaupun benar ada ribuan orang turun ke jalan, mengapa Reuters tidak memberitakan demonstrasi besar-besaran yang dihadiri jutaan orang di Teheran dan di seluruh penjuru Iran yang berlangsung hanya dua hari sebelumnya? Tidakkah demo seperti itu justru seharusnya menjadi berita yang jauh lebih penting? Tentu saja, demo 11 Februari menjadi tidak penting bagi Barat karena demo itu bertujuan untuk merayakan hari kemenangan Revolusi Islam Iran.
Bila jutaan rakyat Iran bisa dengan spontan turun ke jalan, mengapa mereka tidak sekalian berdemo saja menentang pemerintah? Di Mesir dan Tunisia, rakyat tumpah ruah ke jalan tanpa bisa dicegah oleh bedil dan tank. Bahkan setelah ditembaki dan disemprot gas air mata pun, mereka tetap bertahan di Tahrir Square. Di Iran, seandainya benar mereka tertindas di bawah pemrintahnya, apa yang bisa menghalangi mereka untuk tumpah ruah di jalanan menggulingkan pemerintah? Mereka toh pernah dengan gagah berani berdemo di tahun 1979 menuntut mundurnya Shah Pahlevi. Militer rezim Pahlevi saat itu sama bengisnya militer Tunisia atau Mesir, karena juga sama-sama dilatih oleh CIA dan dikucuri dana bantuan oleh AS. Tapi, tak ada satupun media mainstream yang memberitakannya. Kita, warga Indonesia yang punya parabola, bisa menyaksikannya secara langsung dari channel Jame Jam atau Press TV.
Sungguh, kehipokritan ini sudah sedemikian sering terulang. Karena itu kali ini saya juga ingin sedikit mengulang apa yang pernah saya tulis sebelumnya.
Pertama, sistem pemerintahan di Iran berbeda dengan pemerintahan Timur Tengah lainnya. Republik Islam Iran didirikan melalui referendum dengan pengawasan PBB. Lebih 90% dari rakyat Iran tahun 1979 berkata “YA” pada Republik Islam Iran. Jadi, dalam kacamata Barat, negara Iran dibentuk secara demokratis. Bila mereka memilih membentuk sebuah republik Islam, mengapa Barat harus protes?
Kedua, sistem pemerintahan Iran meletakkan posisi presiden di bawah posisi Leader (dalam bahasa Persia disebut Rahbar). Presiden mengemban kekuasaan eksekutif, Leader mengawasi keseluruhan jalannya pemerintahan, hukum, dan legislasi agar tetap berada di jalur syariat Islam. Dengan kata lain, Iran memosisikan ulama sebagai penjaga demokrasi. Tentu saja, di titik ini, banyak orang yang menyatakan ketidaksetujuan. Konsep bahwa ada ulama yang paripurna dan mampu mengambil keputusan politik yang benar-benar sejalan dengan hukum Islam, sungguh bagaikan utopia bagi sebagian besar manusia. Apalagi bagi masyarakat Barat yang sudah muak dengan kasus-kasus cabul para pendeta mereka.
Tapi, bila Iran percaya pada utopia semacam itu, mengapa kita sebagai orang luar harus protes? Dan media Barat, kembali bersikap hipokrit dengan tidak menyiarkan betapa masifnya massa yang turun ke jalan untuk menunaikan sholat Jumat bersama Leader pada hari Jumat 4 Februari lalu. Mereka membentuk shaf hingga berkilo-kilo meter di jalanan seputar Universitas Teheran. Mereka mencintai dan percaya pada Leader mereka, lalu apa yang harus kita perbuat? Mengata-ngatai mereka fanatik dan bodoh, mau-mau saja dibohongi ulama? Bila Anda mengikuti berbagai pemberitaan seputar pencapaian ilmu dan teknologi di Iran, sulit sekali menyebut mereka orang-orang bodoh.
Ketiga, ada fakta yang tidak banyak diketahui orang, yaitu bahwa Leader pun (saat ini dijabat oleh Ayatullah Khamenei) dipilih melalui pemilu. Para ulama di seluruh penjuru Iran bisa mencalonkan diri (atau dicalonkan rakyat) untuk menjadi anggota Dewan Ulama (Assembly of Expert/Majlis-e Khubregan). Rakyat pula yang memberikan suara, untuk memilih 86 ulama dari ratusan ulama yang ikut pemilu. Dewan Ulama ini yang memilih Leader dan mereka pula yang mengawasi kinerja Leader; termasuk berhak memakzulkan Leader bila dianggap melanggar amanah jabatan.
Jadi, atas nama HAM dan kebebasan, bukankah adalah hak dan kebebasan bangsa Iran untuk mencintai ulama mereka, untuk tetap memilih setia pada sistem pemerintahan Islam yang dulu mereka pilih sendiri, dan menjaga tegaknya sistem itu, termasuk dengan cara membubarkan aksi-aksi demo anarkhi yang jelas-jelas dibiayai AS?
Saya tutup tulisan ini dengan mengutip artikel Paul Craig Roberts, “President Obama called on the Iranian government to allow protesters to control the streets in Tehran. Would Obama or any US president allow protesters to control the streets in Washington , D.C. ?”
©Dina Y. Sulaeman
Sumber foto: guardian
mainsource:http://dinasulaeman.wordpress.com/2011/02/18/606/#more-606
Mesir dan Tunisia: Analisis dari Iran
©Dina Y. Sulaeman
Media-media Barat mulai menyebarkan berita bahwa tensi di Mesir sudah menurun. New York Times, media terdepan penyambung lidah kaum Zionis, menurunkan headline, “Protests Lingers as Normal Life in Cairo Begins to Resume” (Protes tetap berjalan seiring dengan mulai kembalinya kehidupan normal di Kairo). Perhatikan bahwa New York Times menggunakan kata ‘linger’ yang juga punya makna ‘hidup segan mati tak mau’ dan memberitakan, “Kerumunan yang menuntut turunnya Mubarak semakin mengecil.” NYT bahkan mengutip pernyataan Omar Suleiman (yang didukung AS untuk memimpin proses transisi) yang sejatinya merendahkan bangsa Mesir sendiri, “[Mesir belum siap berdemokrasi dan tidak akan siap sampai] rakyat di sini memiliki budaya berdemokrasi.”
Headline NYT itu didampingi dengan artikel opini dengan judul provokatif, How Democracy Became Halal (Ketika Demokrasi Menjadi Halal). Isinya, seperti tergambar dari judulnya, menyatakan bahwa sumbangan terbesar peradaban Barat terhadap Islam adalah demokrasi. Sambil bersuara miring terhadap proses demokrasi di Iran, penulis artikel itu memosisikan AS sebagai pihak yang berjasa meningkatkan kesadaran demokrasi di tengah bangsa-bangsa Timur Tengah. Islam digambarkan sebagai agama diktator yang harus belajar berdemokrasi.
Penghinaan. Inilah kata kunci dari gelombang kebangkitan rakyat Timur Tengah, menurut Ayatullah Khamenei, pemimpin tertinggi Iran. Media Barat selama ini berusaha menampilkan analisis-analisis yang membebankan kesalahan kepada kediktatoran Mubarak. Sebagian analis yang agak ‘merdeka’ bisa menemukan bahwa justru Barat-lah sumber kesengsaraan Mesir dan Mubarak hanya boneka [baca dua tulisan saya sebelumnya tentang Tunisia dan Mesir]. Tetapi, dari Iran, muncul analisis yang lebih mendasar. Betul, ekonomi menjadi salah satu pemicu kemarahan rakyat. Tapi pemicu utamanya adalah keterhinaan yang ditimpakan oleh imperialis Barat melalui boneka-bonekanya yang sudah tak bisa lagi ditanggung oleh manusia yang secara fitrah memiliki harga diri dan kehormatan.
Saya tak hendak menganalisis ulang apa isi analisis Ayatullah Khamenei. Saya pikir, sebaiknya kita membaca sendiri apa yang beliau ungkapkan tentang Tunisia dan Mesir (selama ini yang beredar di media Indonesia adalah kutipan-kutipan berantai yang sangat mungkin jauh berbeda dengan apa yang sebenarnya beliau sampaikan). Berikut ini terjemahan lengkap analisis Ayatullah Khamenei tentang Tunisia dan Mesir.
*
Apa yang terjadi di Tunisia dan Mesir adalah sebuah ‘gempa besar’. Seandainya rakyat Mesir, dengan bantuan Tuhan, mampu berhasil maka akan terjadi sebuah situasi dimana AS mengalami kekalahan yang sangat besar dalam politik Timur Tengahnya. Penguasa Mesir tentu saja sangat khawatir menghadapi situasi ini, tetapi yang paling ketakutan sebenarnya adalah para pejabat Israel. Para pejabat Israel tahu persis bahwa seandainya Mesir menarik diri dari persekutuannya dengan Israel dan Mesir menempatkan dirinya dalam posisi yang seharusnya, akan terjadi tragedi politik yang sangat besar bagi Zionis. Inilah yang sebenarnya dulu pernah diprediksikan oleh Imam Khomeini dan yakinlah bahwa prediksi itu akhirnya akan terwujud. Dari sisi inilah maka yang terjadi di Mesir adalah peristiwa yang sangat penting.
Analisis-analisis yang muncul di kalangan internasional berusaha keras agar faktor utama dari peristiwa yang terjadi di Mesir ini diabaikan. Mereka menyebut faktor-faktor ekonomi ataupun non ekonomi, tetapi itu bukanlah faktor utama. Faktor utama dari apa yang terjadi di Tunisia dan Mesir adalah perasaan keterhinaan. Segala kebijakan yang diambil oleh pemerintah kedua negara itu menyebabkan munculnya perasaan terhina itu. Para penguasa Mesir telah membuat rakyatnya merasa terhina.
Sebelumnya, saya akan menyampaikan dulu apa yang terjadi di Tunisia. Presiden Tunisia yang sudah lari itu memiliki ikatan yang sangat kuat dengan AS. Bahkan kami memiliki beberapa laporan yang menyebutkan bahwa Ben Ali adalah bagian dari CIA. Perhatikanlah betapa ini adalah suatu hal yang sangat berat bagi sebuah bangsa: ketika pemimpin bangsa itu, presidennya, yang secara lahiriah menunjukkan diri sebagai seorang yang sangat sombong kepada rakyatnya sendiri, tapi pada saat yang sama adalah seorang budak resmi dari sebuah lembaga negara lain, yaitu AS. Ben Ali bertahun-tahun berkuasa atas rakyat Tunisia, menerapkan berbagai kebijakan yang bertentangan dengan kepentingan nasional, juga bertentangan dengan nilai-nilai agama di negara itu. Tunisia adalah sebuah negara muslim dan memiliki sejarah panjang peradaban Islam, serta mewarisi kebudayaan agung Islam, tapi rakyatnya justru tidak bisa pergi ke masjid dengan bebas pada era Ben Ali. Agar bisa pergi ke mesjid, mereka harus memiliki kartu khusus yang hanya dirilis oleh pemerintah. Kartu itu pun tidak diberikan kepada semua rakyat. Ini artinya pembatasan yang sangat ketat bagi rakyat untuk pergi ke mesjid. Jangankan melaksanakan sholat berjamaah, untuk sekedar sholat sendirian pun di masjid dilakukan pembatasan. Pembatasan ini dilakukan secara terang-terangan. Jilbab secara resmi dinyatakan terlarang. Dari sisi ini, sangatlah jelas terlihat bahwa kebangkitan rakyat Tunisia didasari pada semangat kebangkitan Islam. Hal ini juga terlihat dari fenomena ketika para mahasiswi Tunisia langsung mengenakan jilbab ketika pergi ke kampus segera setelah Ben Ali yang pengkhianat itu lari ke luar negeri dan kacaunya kendali pemerintah. Hal ini menunjukkan motivasi keislaman yang sangat kuat. Hal-hal semacam inilah yang berusaha keras disembunyikan oleh para analis Barat.
Motivasi yang lainnya terkait dengan kebangkitan rakyat Tunisia adalah keinginan untuk berlepas diri dari AS dan motivasi ini sungguh sangat penting. AS tidak ingin muncul suara-suara yang menyatakan bahwa alasan kebangkitan rakyat Tunisia –dan berikutnya menjalar ke Mesir—terkait dengan permasalahan ketergantungan kepada AS. Ini adalah hakikat ynag sebenarnya.
Di Tunisia saat ini sudah terjadi perubahan tetapi masih di lapisan permukaan. Ben Ali sudah pergi, akan tetapi kaki tangannya masih bisa bercokol di pemerintahan. Mudanh-mudahan Allah memberi pertolongan kepada rakyat Tunisia agar mereka memahami situasi yang sebenarnya dan jangan sampai musuh melakukan penipuan kepada rakyat Tunisia.
Adapun di Mesir, Mesir adalah sebuah negara yang sangat penting. Mesir adalah negara muslim pertama yang berkenalan dengan budaya Barat. Mesir pulalah yang menjadi negara pertama yang memahami budaya Barat dan memahami berbagai macam cela-nya untuk kemudian mereka melakukan kritik terhadap keburukan-keburukan itu. Jamaluddin Al Afghani, seorang ulama Islami pemberani dan pejuang besar, menemukan bahwa tempat yang tepat untuk melawan Barat dan Eropa adalah di Mesir. Kemudian muridnya, Syekh Muhammad Abduh dan para pejuang Islam lainnya mengikuti jejak Al Afghani. Mesir pulalah kawasan yang melahirkan tokoh-tokoh besar politik dan budaya Islam. Mereka semua adalah pejuang kebebasan. Karena itulah maka sangat layak jika Mesir dulu sempat menjadi pemimpin dunia Arab secara pemikiran maupun politik. Dalam jangka waktu yang cukup lama, negara-negara Arab sangat mengakui kepemimpinan Mesir.
Mesir bersama Suriah adalah negara Arab yang pertama kali berani tampil memasuki medan pertempuran untuk membebaskan rakyat Palestina. Dengan gagah berani Mesir mengirimkan tentara dan rakyatnya, didukung segala fasilitas negara, demi peperangan itu. Walaupun pada akhirnya peperangan itu (tahun 1967 dan 1973) gagal dimenangkan, [namun] inilah fakta sejarah Mesir. Mesir kemudian menjadi tempat bernaungnya pejuang Palestina. Bahkan kaum revolusioner dari negara-negara lainpun ketika membutuhkan perlindungan, mereka akan datang ke Mesir. Bisa dibayangkan, negara yang memiliki sejarah yang membanggakan seperti ini, selama 30 tahun terakhir justru jatuh di bawah kekuasaan seseorang yang malah menjadi musuh dari kebebasan itu sendiri. Dia bukannya memusuhi Zionisme tetapi malah merupakan bagian dan penjamin agenda-agenda Zionisme. Dia malah menjadi budak dari Zionisme. Sebuah negara yang dulunya menjadi pengibar panji perjuangan melawan Zionisme dan menjadi inspirator bagi gerakan perjuangan di seluruh dunia Arab selama 30 tahun terakhir ini, selama 30 tahun terakhir malah menjadi tumpuan harapan dan tameng bagi Israel dalam menjalankan berbagai politik penindasan terhadap Palestina.
Dalam peristiwa Gaza misalnya, seandainya Mubarak tidak membantu Israel, tidak mungkin Israel bisa mengepung Gaza. Orang-orang Palestina di kota Gaza hingga saat ini telah empat tahun berada dalam pengepungan. Dalam peperangan 21 hari [Des 2009-Jan 2010], laki-laki, perempuan, anak-anak Palestina di Gaza dibunuh Israel, rumah-rumah mereka dihancurkan, dan pemerintahan Mubaraklah yang melarang sampainya bantuan kepada warga Gaza. Larangan pemberian bantuan ini bukan hanya diberlakukan kepada rakyat Mesir, melainkan juga diterapkan kepada negara-negara lain yang ingin memberikan bantuan melalui kawasan Mesir. Husni Mubaraklah yang menetapkan pelarangan itu. Situasi seperti inilah yang terjadi di Mesir.
Sangat layak jika rakyat Mesir kemudian marah. Rakyat Mesir marah melihat dukungan total pemerintah mereka kepada Israel, ketaatan luar biasa Mubarak kepada AS. Mereka merasakan keterhinaan dan kerendahan. Inilah yang sebenarnya menjadi faktor utama yang sekarang terjadi di Mesir. Mereka adalah para pejuang Islam, gerakannya pun dimulai dari sholat Jumat dan dari masjid-masjid. Yel-yel yang mereka kumandangkan adalah Allahu Akbar. Rakyat menggelorakan slogan-slogan keagamaan. Dan para aktivis yang menggerakkan demo di Mesir adalah para aktivis Islam. Rakyat Mesir menghendaki terhapusnya kehinaan ini dari diri mereka. Inilah sebenarnya faktor utama. Tapi tentu saja negara-negara Barat tidak membiarkan analisis semacam ini muncul dan menyebar di kalangan masyarakat internasional. Hampir semuanya menunjuk kepada permasalahan ekonomi. Tentu saja, hal ini pun menjadi sebuah realitas. Penghambaan seseorang seperti Mubarak kepada AS terbukti tidak mampu membawa Mesir selangkah pun ke arah kemajuan. 40% dari penduduk Mesir yang berjumlah sekitar 70 juta hidup di bawah garis kemiskinan. Laporan-laporan menyebutkan bahwa ratusan ribu orang (sebenarnya saya mendengar jumlahnya 2-3 juta, tapi yang bisa dipastikan adalah ratusan ribu) di kota Kairo sedemikian miskinnya sehingga terpaksa hidup di kompleks-kompleks pemakaman. Banyak lagi di antara mereka yang menjadi gelandangan. Rakyat memang berhadapan dengan situasi kehidupan yang luar biasa sulit. Penghambaan pemimpin Mesir kepada AS ternyata tidak berbuah dukungan ekonomi dari pemerintah AS kepada bangsa Mesir. Hari ini pun AS tidak akan membantu Mesir. Yakinlah bawah seandainya Husni Mubarak melarikan diri dari Mesir, negara pertama yang menutup pintunya untuk Mubarak adalah AS. Inilah yang juga dilakukan AS kepada Ben Ali dan Muhammad Reza [Pahlevi].
Inilah nasib yang dialami oleh orang yang hatinya tertambat kepada AS dan menunjukkan pertemanan kepada AS. AS itu seperti setan. Dalam doa Sahifah Sajadiah, dikatakan bahwa “ketika sudah menipu manusia, maka setan akan memalingkan mukanya” dan-menurut penafsiran saya- pada saat itu sesunggunnya setan sedang menertawakan dan tidak pernah mempedulikan lagi orang yang ditipunya. Dengan perantaraan orang-orang yang lemah dan hina seperti inilah AS mencoba berusaha mengamankan kepentingan dirinya sendiri.
Tapi hari ini AS betul-betul dalam kondisi terpojok dan yang lebih merasakan situasi sulit saat ini adalah Israel. Mereka sedang berusaha keras untuk mencari jalan keluar bagi peristiwa yang terjadi di Mesir, jalan keluar yang tidak mungkn mereka dapatkan, Mereka berusaha membuat berbagai macam penipuan, seperti berpura-pura menunjukkan dukungan terhadap gerakan rakyat. [Misalnya] sekarang dikabarkan bahwa AS sudah meminta Mubarak untuk mengundurkan diri dan pergi. Keberhasilan politik AS ini tentu saja bergantung kepada rakyat Mesir sendiri.
(Ayatullah Khamenei kemudian melanjutkan khutbahnya dengan bahasa Arab, yang ditujukan kepada muslim berbahasa Arab. Isi khutbah bahasa Arab adalah ringkasan dari khutbah berbahasa Persia, namun ada tambahan kalimat yang khusus ditujukan kepada bangsa Mesir):
Saudara-saudara ini adalah pengalaman kita bersama. Saya sebagai saudara muslim Anda menyampaikan semua ini kepada Anda dengan didasarkan kepada suatu komitmen agama. Perhatikanlah bahwa terompet propaganda musuh akan kembali bersuara. Mereka akan mengatakan bahwa Iran akan melakukan intervensi, ingin mensyiahkan Mesir, ini mengekspor wilayatul faqih ke Mesir, dan berbagai macam tuduhan lainnya. Ini adalah kebohongan yang sudah berlangsung 30 tahun yang tujuannya adalah agar kaum muslimin berpecah-belah dan tidak bisa saling memberikan pertolongan satu sama lain. Slogan-slogan itu diulang-ulang pula oleh para pengikut Barat. [mengutip ayat Quran 6:112] “Sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang menipu, tetapi jika Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak akan mampu mewujudkannya. Maka tinggalkanlah mereka dengan segala kebohongan mereka.” Meskipun berbagai konspirasi dirancang sedemikian hebatnya oleh musuh, kami tidak akan pernah melepaskan kewajiban yang diletakkan oleh agama Islam di atas pundak kami. [translated by Dina Y. & Otong Sulaeman]
Tunisia Seharusnya Belajar dari Indonesia
© Dina Y. Sulaeman
Ben Ali akhirnya tumbang setelah 24 tahun berkuasa, ‘hanya’ oleh demonstrasi rakyat yang terjadi secara spontan. Sungguh sebuah ironi bagi AS. Negara yang mengklaim diri sebagai penegak demokrasi itu telah menggelontorkan dana milyaran dollar untuk proyek yang disebutnya ‘demokratisasi Timur Tengah’ dengan target Afghanistan, Iran, dan Irak. Namun selain kerugian materil yang tak habis-habis, kini AS harus gigit jari menyaksikan bahwa justru negara yang tidak didorongnya untuk berdemokrasi, yaitu Tunisia (mungkin segera menyusul Mesir, serta negara-negara Arab lainnya), malah bangkit menumbangkan penguasa mereka dan menuntut pemerintahan yang demokratis. Kembali terbukti bahwa bagi AS demokratisasi adalah membuka pasar seluas-luasnya bagi korporasi AS. Bila sebuah rezim despotik macam Ben Ali sudah membuat nyaman korporasi, persetan dengan demokrasi.
Tak heran bila Obama dan bahkan media mainstream berhari-hari sempat bungkam menyikapi sikap brutal dan represif rezim Ben Ali terhadap para demonstran Tunisia. Segera setelah Ben Ali angkat kaki dari Tunisia, barulah Obama tampil dan menyatakan dukungannya pada ‘perjuangan yang berani untuk menegakkan hak-hak universal’ serta menyeru kepada pemerintah Tunisia agar menghormati HAM dan menyelenggarakan pemilu yang mereflesiksikan aspirasi rakyat Tunisia. Sikap Obama dan media mainstream ini jelas berbeda dengan sikap mereka tahun 2009 ketika ada sekelompok ‘reformis’ menentang hasil pilpres Iran. Ketika jatuh korban dalam aksi-aksi kerusuhan yang dipicu para ‘reformis’ Iran, Obama tampil sebagai pembela dengan mengatakan, “Saya sangat mengutuk tindakan yang tidak adil ini dan saya bergabung dengan bangsa Amerika untuk meratapi setiap nyawa yang hilang [di Iran].” Media-media mainstream terlibat aktif mendukung kaum ‘reformis’ dengan tak henti berkoar-koar menuduh kecurangan pemilu Iran. Mereka baru diam setelah menyadari bahwa Pemerintahan Islam Iran ternyata belum bisa diruntuhkan lalu mengalihkan headline dengan topik kematian Michael Jackson.
Baiklah, kita biarkan saja Obama dan media mainstream dengan sikap munafik mereka. Saya ingin mengajak Anda untuk melihat hal yang agak luput dari perhatian banyak orang. Benar bahwa Ben Ali adalah despotik, koruptor, dan diktator sehingga memicu kemarahan rakyat yang akhirnya menggulingkannya. Tapi sesungguhnya, Ben Ali tak lebih dari boneka yang menjadi perpanjangan tangan sebuah lembaga penghisap darah negara-negara Dunia Ketiga: IMF. Betul Ben Ali kaya raya, tapi ada yang lebih banyak lagi mengeruk kekayaan dari Tunisia, yaitu korporasi-korporasi AS. Meskipun IMF adalah organisasi dengan 187 negara anggota, namun pemilik modal terbesar di IMF adalah AS, sehingga AS pun menjadi suara penentu dalam pengambilan keputusan IMF. AS memiliki kuota 1/3 suara dari keseluruhan kuota suara dalam IMF, suara AS sendiri saja cukup untuk memveto semua upaya perubahan terhadap Piagam IMF. Lebih lagi, kantor pusat IMF berada di Washington, D.C., dan stafnya kebanyakan adalah para ekonom AS; personel IMF biasanya -sebelum atau sesudah berkarir di IMF- bekerja di Departemen Keuangan AS. Dengan demikian, tidak mengherankan bila kebijakan-kebijakan IMF sangat berpihak pada kepentingan AS atau perusahaan-perusahaan transnasional yang dimiliki oleh warga AS.
IMF hadir di negara-negara berkembang menawarkan dana pembangunan, namun dengan syarat bahwa negara-negara itu mau mengikuti resep pembangunan ekonomi liberal ala IMF. Berkat ‘resep’ IMF, terjadi pertumbuhan kerjasama ekonomi transnasional yang sangat pesat di negara-negara penerima hutang. Namun, mayoritas keuntungan terbesar diraup oleh perusahaan-perusahaan transnational yang dikuasai negara-negara maju. Sementara itu, negara-negara berkembang justru semakin tenggelam dalam utang. Mereka juga sangat bergantung pada arus modal luar negeri, terutama dalam bidang investasi portofolio (surat berharga), bukannya investasi yang memiliki daya serap tenaga kerja yang tinggi.
Sejak Ben Ali naik tahta tahun 1987 dia sudah berlindung di bawah ketiak IMF. Ben Ali dengan patuh menjalankan instruksi IMF: subsidi harus dicabut karena akan membebani biaya pemerintahan (padahal, biaya hasil pengurangan subsidi dialokasikan untuk membayar hutang kepada IMF), BUMN-BUMN yang tidak efisien harus diefisienkan dengan cara menjualnya ke pasar bebas (siapa yang membelinya kalau bukan korporasi rekanan IMF?), dan deregulasi (penghapusan aturan-aturan pemerintah yang menghalangi liberalisasi ekonomi). Konsep liberalisasi konon akan memberi kesempatan yang sama kepada setiap orang untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya. Namun pada prakteknya, hanya mereka yang memiliki modal kuat dan kekuasaan politik yang besarlah yang menang dalam persaingan. Liberalisasi ekonomi ala IMF hanya menghasilkan segelintir elit yang kaya raya seperti Ben Ali dan kroninya, dan membuat 30% pemuda Tunisia menjadi penganggur. Kalaupun mereka bekerja, gaji mereka sangat rendah, sementara berbagai subsidi bahan pokok sudah dicabut.
Meskipun kemiskinan merajalela di Tunisia, situs resmi pemerintah AS tetap memuji negeri ini, “Kebijakan ekonomi Tunisia yang bijaksana, didukung oleh Bank Dunia dan IMF telah menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang stabil, tingkat ekspor yang sehat, sektor turisme yang kuat, dan kondisi yang baik untuk produksi pertanian.” Situs resmi IMF juga tak ketinggalan memuji Tunisia karena telah melakukan “manajemen ekonomi makro yang bijaksana” sehingga mampu bertahan menghadapi krisis ekonomi global.
Kita, bangsa Indonesia, pasti sudah sangat familiar dengan situasi seperti ini. Sejak tahun 1980-an Indonesia juga mengadopsi kebijakan IMF dan Bank Dunia (dua lembaga renternir yang saling mendukung dalam upaya menjerat negara-negara Dunia Ketiga dalam hutang tak berkesudahan). Indonesia pun mengalami kemajuan ekonomi pesat sehingga dipuji-puji sebagai calon “Macan Asia”. Banyak orang terlena, silau oleh kemegahan bangunan-bangunan dan proek-proyek yang dibangun dengan hutang. Pondasi ekonomi liberal yang dibangun Indonesia atas petunjuk IMF ternyata sangat rapuh sehingga langsung roboh saat krisis moneter 1997. Lagi-lagi, IMF pula yang datang mengulurkan dana. Kisahnya persis bak pasien sekarat yang sudah tahu bahwa dokternyalah yang selama ini memberi racun, namun tetap datang ke dokter yang sama.
Kita pun tahu situasi selanjutnya. Ekonomi kolaps, rakyat semakin miskin, mahasiswa marah, dan kita pun beramai-ramai bangkit menggulingkan rezim Soeharto melalui berbagai aksi demonstrasi. Sayang, 13 tahun kemudian, kita masih berkubang di lumpur yang sama. Antek-antek rezim lama masih terus bercokol dan hanya mengganti slogan. Jumlah penduduk miskin terus meningkat, hampir semua bank dan BUMN dikuasai asing, kontrak-kontrak pertambangan yang tidak adil tetap dilanjutkan (lihat kasus Freeport dan ExxonMobil). Privatisasi semakin merajalela, bahkan merambah ke bidang-bidang yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara: pendidikan, kesehatan, air minum, dan listrik. Demokrasi liberal pasca reformasi ternyata gagal memunculkan pemimpin yang benar-benar mengabdi untuk rakyat. Demokrasi liberal hanya membuka peluang bagi individu-individu yang bermodal besar untuk berkuasa (dan dianggap legal karena toh hasil ‘pilihan rakyat’). Pemilu hanya menjadi ajang jual citra dan pesta iklan di media-media. Pemerintah baru melanjutkan kebiasaan lama: menimbun hutang dan membayarnya dengan menjual BUMN dan konsesi berbagai tambang.
Situasi Indonesia hari ini persis seperti salah satu penggalan lirik lagu band The Who, “meet the new boss, same as the old boss.” Rakyat berjuang menggulingkan rezim lama, tapi rezim baru ternyata setali tiga uang meski bertopeng demokrasi dan reformasi. Lagi-lagi rakyat yang menjadi korban.
Agaknya, Tunisia perlu belajar dari pengalaman Indonesia agar tak terjatuh dalam lubang yang sama. Mereka tak boleh membiarkan tokoh-tokoh rezim lama (yang sudah pasti kini berganti baju dan slogan) tetap menguasai pemerintahan. Reformasi ternyata tidak berhenti pada penggulingan sebuah rezim, namun bagaimana membangun rezim baru yang kokoh, yang tidak mau lagi dikibuli IMF dan kroni-kroninya. Reformasi yang sukses ternyata harus diiringi dengan kecerdasan dalam berdemokrasi, mampu memilih pemimpin yang benar, tak tergoyahkan oleh tipuan-tipuan kapitalis yang selalu ingin mempertahankan kekayaan dalam setiap masa. Reformasi ternyata memerlukan seorang pemimpin berintegritas tinggi, sudah memiliki konsep yang matang, dan mampu memimpin bangsa ke arah yang lebih baik, bukannya jatuh ke lubang yang sama. Dan untuk yang satu ini, Tunisia (juga Indonesia) sepertinya perlu belajar kepada Iran.
Tulisan ini pernah dimuat di IRIB.
Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah Sayid Ali Khamenei menilai kebangkitan Islam saat ini di kawasan dipengaruhi tekad kuat dan gerakan keimanan bangsa Iran. Beliau menyebut peristiwa penting di Mesir merupakan hasil dari perlawanan bertahun-tahun bangsa Mesir, dan mengambil inspirasi dari Revolusi Islam.
Rahbar dalam pertemuan dengan rakyat Azerbeijan, barat laut Iran di Tehran,
menyinggung gerakan masif kebangkitan Islam di Dunia Islam, yang merupakan
resistensi bangsa Iran selama tiga dekade.
Menurut Pemimpin Besar Revolusi Islam, Barat takut Revolusi Islam dijadikan sebagai contoh untuk kawasan dan seluruh dunia. Rahbar menegaskan bahwa alasan utama di balik tekanan Barat terhadap Republik Islam, karena mereka mengkhawatirkan Iran mempromosikan sebuah model Revolusi Islam di kawasan dan dunia.
Beliau mengungkapkan, "Setelah kemenangan Revolusi Islam di Iran, musuh melakukan segala upaya untuk melemahkan terbentuknya gerakan Islam melalui berbagai sanksi dan delapan tahun perang yang dipaksakan dengan Irak, mempersoalkan isu-isu hak asasi manusia dan juga membunuh para ilmuan nuklir Iran." Meski demikian, upaya mereka gagal dan Revolusi Islam akan terus melanjutkan kemajuannya hari demi hari.
Kini, musuh berupaya melemahkan terbentuknya gerakan Islam. Namun semakin besar upaya mereka, maka gerakan Islam di dunia pun akan semakin kuat pula. Dewasa ini, Revolusi Islam berhasil mencapai kemajuan di berbagai bidang.
Rahbar menilai karakteristik terpenting Revolusi Islam Iran sebagai model bagi bangsa-bangsa di kawasan. Karena resistensi bangsa Iran menghadapi tekanan musuh selama 32 tahun merupakan benteng kokoh menghadapi pengucilan dan tekanan asing.
Musuh melancarkan berbagai konspirasi dan propaganda untuk menjegal kemajuan Iran. Barat terutama AS berupaya mengarahkan opini publik dunia untuk
Menekan dan mengucilkan Iran di arena internasional. Namun realitas yang terjadi justru sebaliknya. Semakin ditekan, Iran semakin mandiri dan melangkah maju.
Anggota senior parlemen Iran, Alaeddin Boroujerdi mengatakan bahwa sanksi PBB yang merupakan hasil rekayasa AS terhadap Iran telah berdampak negatif bagi perekonomian Eropa.
Ketua Komisi Keamanan Nasional dan Kebijakan Luar Negeri parlemen, Boroujerdi yang berbicara pada akhir kunjungan resminya ke Italia, mengatakan bahwa Iran memiliki pandangan positif terhadap Italia untuk bergabung dengan kelompok 5+1. Ditambahkannya, para pejabat Tehran percaya bahwa Roma dapat memainkan peran yang lebih aktif dalam kelompok itu.
"Kesepakatan ekonomi dan perdagangan dan perang kolektif melawan terorisme serta perdagangan narkotika dapat menjadi bidang kerjasama antara Iran dan Italia," jelas Boroujerdi pada hari Jumat.
Selama kunjungan tiga hari ke Roma, Boroujerdi bertemu Menteri Luar Negeri Italia Franco Frattini, ketua dan anggota komisi luar negeri parlemen negara itu. (IRIB/RM/19/2/2011)Kantor berita resmi Mesir menyatakan bahwa Kairo, Jumat (18/2) menyetujui dua kapal perang Angkatan Laut Republik Islam Iran untuk melewati Terusan Suez dan memasuki Laut Mediterania.
Sebagaimana dilaporkan IRNA, kantor berita AFP selain menginformasikan berita tersebut, juga melaporkan bahwa para pejabat Terusan Suez terkait hal ini mengatakan, ini adalah yang pertama kali pasca Revolusi Islam Iran bahwa kapal perang negara itu melewati Terusan Suez.
Kantor berita MENA melaporkan bahwa dalam permohonan izin dua kapal perang Iran disebutkan kapal itu tidak mengangkut senjata nuklir dan kimia. Tanggal pasti ketibaan kapal tersebut di Pelabuhan Said di ujung utara Terusan Suez belum diketahui.
Sebelumnya, rezim Zionis Israel mengembuskan kabar mengenai perkiraan jalan lintasan dua kapal perang Iran ke Mediterania. Kapal perang Iran telah merencanakan menyeberang melalui Terusan Suez ke Laut Mediterania dan mencapai Suriah.
Seorang pejabat Kementerian Luar Negeri Mesir sebelumnya mengatakan bahwa permintaan Iran telah dikirim ke departemen pertahanan untuk dipelajari.
Dua kapal Iran yang dinamakan Alvand dan Kharg, adalah kapal perang dan pendukung operasi dengan bobot masing-masing 1.500 ton dan 33 ribu ton. Kapal perang Kharg mengangkut 250 pelaut dan dapat membawa tiga unit helikopter serta dilengkapi dengan torpedo dan rudal anti-kapal. (IRIB/RM/19/2/2011)
0 comments to "Sekarang Iran pun Bergolak?!!? Pemerintah Amerika langsung merespon, untuk Mesir dan Tunisia, "Wait and See" dulu baru me respon??? Enggak Aneh !!!!"