Home , , � Zikir dan Agresi ala Mubhaligh

Zikir dan Agresi ala Mubhaligh




“Industri Zikir”


Agaknya trend ‘mubalig seleb’ dan ‘mubalig berdasi’ mulai redup, karena sejumlah alasan seperti hanya mendaur ulang tema-tema lama, berpoligami atau bahkan skandal maksiat (selingkuh dengan babu). Tapi, sebagai gantinya, muncul trend ‘mubalig pawai’ dengan spanduk dan bendera-bendera besar yang bertuliskan nama-nama membuat bulu kuduk merinding, seperti ‘Majelis Taklim Nabiullah’, ‘Majelis Zikir Habibullah’, ‘Darul-Mujtaba’ dan semisalnya.

Sepanjang jalan raya hingga kampung terlihat puluhan atau ratusan spanduk dan ratusan bendera besar bertuliskan kaligrafi dan ajakan menghadiri sebuah majelis taklim. Selian itu, poster si mubalig juga terpampang di jalan sekitar masjid kampung yang akan menjadi tempat pengajiannya. Orang-orang yang mengenakan seragam kaus dengan nama majelis taklim dan gambar sang mubalig terlihat sibuk mempersiapkan menara raksasa sound system, dekorasi dan lainnya, tampak sangat sibuk di area masjid, 1 hari sebelum acara dimulai. Nampak para pejabat teras kampung dan sang mubalig menginginkan agar acara ini menyedot perhatian warga, yang secara otomatis menjadi poin tambahannya, bekal berbangga diri di depan Pak Lurah, mungkin.

Karena itulah, diperlukan aksi pemacetan dan pemblokiran jalan. Sebelum maghrib, dari beberapa arah muncul konvoi ratusan sepeda motor dan puluhan mobil sewaan dengan bendera majelis taklim sang mubalig berkibar-kibar dan melakukan berbagai atraksi jalanan berisiko tinggi. Para pengguna jalan pun terlihat ‘memaklumi’. Nampaknya rombongan suporter sang mubalig telah mendapatkan instruksi untuk memberi kesan ‘heboh’, apalagi semua jalan ke arah masjid ditutup untuk selain pengunjung pengajian.

Biasanya ceramah seorang muballig tidak lebih dari satu jam. Namun, pengajian di kampung itu berjalan lebih dari itu bahkan baru berakhir tengah malam, karena diawali dengan sejumlah acara yang menjadi semacam ‘partai tambahan’ seperti pembacaan naskah tradisional maulid yang diselingi beberapa konser kasidah yang dinyanyikan secara massal.

Entah karena khawatir dianggap sebagai anti pengajian, anti maulid Nabi atau karena takut dianggap anti Islam, sebagian warga kampung pun yang tidak hadir dalam acara itu –karena kebetulan punya agenda lain atau memang non muslim- tidak menunjukkan sedikit pun protes, meski suara sang mubalig dan hiruk pikuk yang disebarkan dari puluhan pengeras suara itu cukup mengganggu ketentraman mereka.

Meski mungkin tema ceramahnya tidak aktual, karena biasanya berisikan kilas balik kisah-kisah supra natural ulama terdahulu, dan metode retorikanya juga amburadul, kefasihan sang mubalig yang masih remaja ini saat mengutip ayat atau riwayat sangat memukau. Pakaian kebesarannya dan wajahnya yang ‘bersinar’ (akibat sorotan cahaya lampu yang cukup besar, tentunya) cukup menyita para tamu yang sebagian besar memang anggota tetap majelis taklim sang mubalig.

Mubalig tipe drop-dropan ini belakangan menjadi idoal baru karena ia, paling tidak, lebih dekat dengan lapisan bawah, terutama kaum muda yang umumnya kurang mendapatkan perhatian, apalagi yang masuk kategori eks konsumen narkoba.

Yang jelas, ini adalah sebuah kegiatan agama, syiar, dakwah dan tablig yang harus dihormati dan didukung. Kalaupun penyelenggaraannya sedikit mengganggu kenyamanan, demi alasan keamanan (kesehatan), siapapun tidak disarankan untuk mempersoalkannya.
mainsource:http://www.muhsinlabib.com/uncategorized/industri-zikir-2

Waspadai “Doktrin Agresi”…


Belakangan ini agresi dengan dalih pembelaan agama yang disebut “kekerasan” atas nama agama di Indonesia kian mencolok. Ada yang seenaknya melakukan razia dan ‘main hakim’ sendiri dengan dalih amar makruf dan nahi munkar. Ada yang gemar mengkafirkan dan menjatuhkan ‘fatwa mati’ atas setiap orang yang mengeluarkan pendapat yang berbeda dengan pandangan keagamaannya. tentang agama. Ada pula yang secara berencana melakukan provokasi untuk membumihanguskan pemukiman, sekolah dan pemakaman minoritas, seperti yang terjadi di beberapa kota di Tanah Air.

Karakter agresi tidak hanya tertanam dalam pelaku dan pengamal agama, namun secara objektif tertanam dalam doktrin-doktrin yang merupakan produk interpretasi sepihak dari teks-teks utama agama. Sejarah Islam pernah menjadi saksi munculnya sejumlah kelompok yang secara terang-terangan menjadikan agresi sebagai bagian dari semangat pembelaan agama, seperti Khawarij pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib. Di zaman modern, ketika Taliban dan Alqaeda muncul dengan aksi-aksi pemboman dan teror di Irak dan Afghanistan, kita juga menemukan agresi kelompok ini bersumber dari sejumlah doktrin yang diajarkan oleh Wahabisme.

Agresi ala Wahabisme bersifat gradual dan memiliki intensitas yang beragam mengikuti konteks dan situasinya. Pada mulanya agresi Wahabisme hanya bersifat verbal seperti penggunaan secara berlebihan kata "syirik", "bid’ah", dan "khurafat" sebagai vonis terhadap kelompok di luar Wahabisme.

Dalam situasi tertentu agresi Wahabisme dimunculkan sebagai semangat untuk mengambil alih sentra-sentra keagamaan kelompok non Wahabisme, misalnya menguasai masjid yang dibangun oleh kalangan NU di sejumlah tempat dan daerah di Indonesia. Pada situasi tertentu Wahabisme bisa meningkatkan agresinya menjadi fisikal dan menjadikan selain mereka sebagai target. Inilah yang mesti diwaspadai.


Lahirnya kelompok-kelompok yang cenderung menggunakan ‘kaca mata kuda’ dalam memahami teks agama semestinya harus disikapi secara tegas oleh negara, para pemuka agama, para intelektual dan seluruh elemen masyarakat demi mengantisipasi terjadinya anarkisme dan chaos yang tak pelak akan membuat bangsa ini makin terpuruk.

Eskalasi kekerasan yang begitu tinggi dalam beberapa tahun terakhir, sejatinya harus dilihat sebagai pelajaran berharga bagi masyarakat beragama, bahwa agama belum berfungsi secara maksimal untuk meredam kekerasan. Karena itu, kita, terutama para pemuka agama harus aktif mengangkat doktrin-doktrin sintesis yang menghendaki perdamaian. Memang, deskripsi keagamaan selama ini belum memberi perhatian serius pada “teologi perdamaian”. Akibatnya, masyarakat dunia mengalami krisis perdamaian, sebab eksperimentasi keagamaan yang dimunculkan sering mengangkat kebencian pada yang lain dan perang suci sebagai jalan terbaik.

Semua agama jelas-jelas menolak kekerasan secara definitif. Ia tidak pernah diterima sebagai prinsip bertindak. Kekerasan senantiasa amoral karena selalu mengandaikan pemaksaan kehendak, dan karenanya melanggar asas kebebasan dalam interaksi sosial. Padahal, manusia bebas secara moral. Ia punya kemampuan untuk bebas menentukan setiap pilihannya. Tapi, persoalan hubungan keduanya justru terletak pada pertimbangan-pertimbangan etiko-religius untuk mempraktikkan kekerasan. Ironisnya, dalam perspektif itu, kekerasan tak lagi dinamai kekerasan melainkan jihad, atau pembelaan diri, dan sejenisnya. Hal ini makin rumit jika ia dipraktikkan dengan legitimasi etiko-religius, atau sekedar dengan label agama demi ambisi-ambisi non-religius. Kalau frekuensi kekerasan berlabel agama ini meninggi –bahkan menjadi pola atau prinsip— dengan intensitas yang mendalam, sesungguhnya agama dalam keadaan gawat darurat. Ia tak lagi pantas menyandang nama agama

Pengahayatan terhadap agama masing-masing dan kesadaran tentang perbedaan antara agama suci dan persepsi subjektif tentang agama itu sendiri mungkin dapat dijadikan salah satu cara alternatif untuk meredam kekerasan struktural atas nama agama, mazhab dan paham keagamaan.

Apa jadinya bila negosiasi digusur oleh konfrontasi, argumentasi dibalas teror, dan dialog diubah dengan fatwa murtad!
Tidakkah semestinya energi dan semangat anti terhadap minorias agama dan mazhab diubah menjadi semangat penolakan terhadap kezaliman yang dilakukan oleh para koruptor yang telah menggerogoti bangsa ini tanpa sedikitpun rasa malu?

0 comments to "Zikir dan Agresi ala Mubhaligh"

Leave a comment