Home , , , , , � Klarifikasi Wilayatul Faqih, Marja'iyah, Rahbari dan Integritas Nasionalisme

Klarifikasi Wilayatul Faqih, Marja'iyah, Rahbari dan Integritas Nasionalisme

Saya baru saja membaca artikel Hamid Basyaib yang dipublish friend Zen Aljufri, yang berisikan kritik terhadap sistem pemerintah Iran dan dampak negatif penyatuan agama dan politik dalam negara yang disebutnya secara sinis "teokrasi".

Artikel tersebut jelas ditulis oleh orang yang tidak memahami sama sekali landasan rasional sistem kepemimpinan Wilayatul Faqih dan landasan teologis di bawahnya. Karena itu, saya terdorong untuk mempublish lagi artikel sederhana tentang Wilayatul Faqih, Marja'iyah dan Rahbari.Tentu, ini semua semata-mata pandangan pribadi saya yang sama sekali tidak representatif dan tidak layak dijadikan referensi.

Wilayah dan Dimensi-dimensinya

Wilayah secara kebahasaan bisa berarti kekuasaan atau kewenangan. Secara keistilahan, ia adalah otoritas yang meniscayakan ketaatan. Istilah wilayah digunakan di hampir seluruh literatur Islam, Syiah dan Sunni. Kalangan sufi lebih sering menggunakannya.

Faqih secara kebahasaan berarti orang yang memiliki pengetahuan mendalam. Secara keistilahan, faqih adalah orang yang memahami hukum fikih. Istilah ini juga digunakan oleh Sunni dan Syiah.

Secara umum, berdasarkan relasinya, wilayah dapat dilihat dari dua dimensi:

1) Wilayah thuliyah (vertikal) adalah hubungan hirarkis yang meniscayakan sikap taat terhadap Allah, Nabi, Washi dan faqih. “…taatilah Allah dan tatatilah Rasul dan para pemimpin di antara kalian” (QS. 32);
2) Wilayah aradhiyah (horisontal) adalah hubungan mutual antar sesama anggota masyarakat yang meniscayakan sikap saling menghargai dan melindungi hak sesama berdasarkan hukum legal (syari’ah).

Wilâyah vertikal bermacam dua:

1) Wilayah takwiniyah, yaitu hak untuk menggunakan (memanfaatkan – tasarruf) segala yang ada di dunia dan hal-hal yang bersifat natural (takwînî). Menurut pendapat terbanyak, hak ini hanya dimiliki oleh Allah. Mu’zijat dan karamah para nabi dan wali adalah jelmaan wilâyah Takwînîyah tersebut.
2) Wilayah tasyri’iyah, yaitu hak untuk melakukan legislasi (undang-undang), memerintah dan melarang.

Secara vertikal, nabi dan imam, dengan restu dari-Nya, menurut Syiah Imamiah, berhak untuk memerintah dan melarang masyarakat. Dan menurut kaum ushuli, faqih (mujtahid) juga memilikinya, kendati mereka berbeda tentang batasannya..( Hokûmat-e Eslâmi : 56-57)

Wilayah tasyri’yah adalah mekanisme pengaturan hubungan seorang mukmin dengan Allah dan para pemegang otoritas ilahi, mulai dari nabi, washi hingga faqih, juga hubungan antara seorang mukmin dan masyarakat .

Pada dasarnya wilayah tasyri’yah tidak hanya dimiliki seorang faqih dan mujtahid. Seorang ayah, misalnya, dalam batas-batas tertentu memiliki wilayah. Karena itu mungkin pembagian di bawah ini menjadi menjadi penting untuk diketahui.

Wilayah tasyri’yah bermacam dua; yaitu

Wilayah Istiqlaliyah (kewengan mandiri, independen); dan
Wilayah Istirakiyah (kewenangan kolektif).

Wilayah istiqlaliyah dapat dibagi tiga:

1) Wilayah berkenaan dengan penderita (pasien), seperti anak kecil yang hendak melaksanakan ibadah haji, namun seluruh rangkaian manasiknya dilakukan oleh walinya, seperti berniat, mengenakan ihram, berthawaf dan sebagainya.
2) Wilayah berkenaan dengan pelaku antara (fa’il, subjek), seperti ayah yang menjadi wali atas anaknya, berdasarkan pertimbangan kepentingan .
3) Wilayah berkenaan dengan penderita, namun tidak didasari oleh kepentingan wali, seperti wilayah seorang washi (penerima wasiat) orang yang meninggal (mayit) atas anak-anaknya yang masih kecil, tapi didasarkan pada kepentingan muwalla alaih (yang berada dalam wewenang penerima wasiat dari orang yang telah wafat.

Pengertian Wilayah Faqih

Sebelum memasuki tema ini, yang mungkin penting untuk diulas adalah bentuk anatomi dan struktur masayarakat ushuli.Dalam periode ‘kegaiban panjang’ terbentuklah dua pola pemahaman keagamaan dalam masyarakat Syiah Imamiyah. Para penganut aliran akhbari yang konservatif hanya menerima dua bentuk lembaga otoritas, yaitu otoritas Nabi dan otoritas Imam. Bagi mereka, periode ‘kegaiban panjang’ adalah fase “pertanggungjawaban individual”, bahwa setiap indvidu, betapapun sulitnya, harus menyimpulkan hukum dari prinsip-prinsip hukum yang telah ditetapkan oleh nabi dan para Imam .

Cara pandang kaum akhbari ini ditentang oleh kalangan ushuli yang menganggap fase pasca otoritas Imam (kegaiban panjang) sebagai fase otoritas Faqih. Yaitu fase ketika umat Islam dari kelompok kedua meyakini faqih atau mujatahid yang ditunjuk secara langsung atau tidak langsung oleh Imam sebagai pemegang hak mewakili Nabi dan Imam dalam membimbing dan mengawal mereka berdasarkan prinsip-prinsip hukum yang telah ditetapkan oleh Rasulullah saw.

Seiring dengan perjalanan waktu, terbentuklah sebuah struktur lembaga dan hirarki keagamaan yang rapi dan kokoh. Pada fase terakhir ini tiga cara untuk melaksanakan syariah telah ditetapkan secara general, yaitu ijtihad, ihtiyath, dan taqlid. Inilah yang kemudian menjadi pandangan dominan, dan selanjutnya kabar tentang akhbari hanya ditemukan melalui disuksi dan polemik buku .

Muthlaqah dan Muqayyadah

Yang perlu digaris-bawahi ialah bahwa Syiah Imamiyah sekarang adalah produk aliran ushuli yang pada dasarnya meyakini konsep Wilayah faqih. Sepanjang sejarah Syiah tidak ditemukan seorang Faqih pun yang berkeyakinan bahwa Faqih tidak memiliki wilayah. Namun yang masih diperdebatkan adalah batas dan ruang lingkup wilâyah tersebut .

Tentang masalah ini, Kaum ushuli terbagi dua. Kelompok pertama meyakini Wilayatul Faqih al-Muqayyadah. Kelompok kedua meyakini Wilayatul Faqih al-Mutlaqah. Bagi kelompok Ushuliyun pertama, Wilayatul Faqih Al-Khashah hanyalah sebuah lembaga otoritas yang berfungsi sebagai penyimpul dan penjelas hukum tradisional yang meliputi tata cara ibadah murni dan mu’amalah, dan mewakili Imam dalam fungsi yudikatif dan pengelolaan dana-dana syar’I (al-huquq al-syar’iyah).

Imam Khomeini q.s adalah salah satu faqih yang meyakini universalitas wilayah seorang faqih. Inilah yang disebut dengan konsep al-wilayah al-muthlaqah. Menurut para pendukungnya, al-wilâyah al-muthlaqah tidak meniscayakan absultarianisme sehingga dapat bertindak secara mutlak sehendaknya. WF muthlaqah dibatasi oleh prinsip-prinsp utama aqidah dan hukum-hukum qath’i. Predikasi “al-muthlaqah” semata-mata didasarkan pada proyeksi antisipatif agar faqih yang berwilayah dapat turun tangan dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang sangat vital dan mendesak (umurun hisbiyah).

Predikat muthlaqah sendiri dimaksudkan sebagai terminologi yang dibatasi pula oleh agama. Karena tugas utamanya adalah memelihara dan menjaga Islam, maka seandainya ia mengubah Ushuluddin dan hukum-hukum syari’at dan menentangnya, maka secara otomatis ia kehilangan wilayah-nya. Kemutlakan wewenang faqih hanyalah antispasi jika terjadi benturan (tazâhum) antara suatu perkara yang penting dengan perkara yang lebih penting.

Dalam situasi demikian, dengan wewenangnya yang mutlak, seorang Faqih dapat mengorbankan perkara yang penting tersebut demi terjaganya perkara yang lebih penting. Faqih memiliki dua opsi hukum terhadap eksekusi, yaitu hukum primer (awwali) yang bersumber dari sumber-sumber utama syariat; dan hukum tsanawi (sekunder), juga disebut hukm hukumati yang didasarkan pada asa-asa kemalahatan yang kontekstual. Dengan wewenang mutlaknya, seorang faqih dapat melarang masyarakat yang berada dalam domain kekuasaannya untuk menunaikan haji untuk sementara waktu demi pertimbangan maslahat (hukum tsanawi) yang disimpulkannya.

Asas hilangnya predikat hukum sebagai akibat dari lenyapnya subjek hukum juga menjadi alasan pengambilan opsi demikian .Mungkin sampai disini hampir tidak ada perselisihan yang berararti seputar Wilayah faqih.

Mujtahid, Marja’ dan Rahbar

Kadang karena ketidakjelasan maksud dan arti sebuah kata, kesimpulan yang diperoleh bisa sangat melenceng. kadang Tema-tema ‘ikutan’ dalam konsep WF sering kali menimbulkan pertanyaan bahkan preadugan negatif, antara tentang kedudukan marja’iyah dan mujtahid, dan tentang jangkauan kewenangan itu di luar batas geografis sebuah masyarakat yang secara struktural berada di dalam sistem Wilayah Faqih, tentang pola hubungannya yang bersifat struktural institusional ataukah semata kutural spiritual dan sebagainya .

Untuk membicarakan tema-tema ‘ikutan’ tersebut, harus disepakati terlebih dahulu pengertian komprhensif sejumlah kata kunci. Ada beberapa kata yang maknanya sepintas nyaris sama adengan faqih, sperti mujtahid, marja dan rahbar. Ijtihad adalah potensi atau kemampuan menyimpulkan hukum yang elementer dan mengindentifikasi tugas operasional dalam bidangnya. Sebagian ulama mendefiniskan ijtihad sebagai “mencurahkan jerih payah demi memperoleh hujjah atas suatu realitas.” (Ar-Ra’yus-Sadid, Mushlathahat Al-Ahwal, 25).

Mujtahid adalah mukallaf yang mencurahkan tenaga dan jerih payah dengan cara-cara legal secara rasional dan konvensional guna menghasilkan sebuah dalil atas hukum dan fatwa berdasarkan sumber-sumber ijtihad.

Ada dua macam mujtahid, mujathid kulli (universal), yaitu seseorang yang ijtihadnya meliputi semua bidang hukum dhanni; dan mujathid juz’i atau mutajazzi (partikular), yaitu seseorang ijtihadnya hanya meliputi sebagian bidang hukum zhanni .

Mujathid kulli (muthlaq) bermacam dua; mujtahid yang tidak ditaqlid; dan mujathid yang ditaqlid, yaitu dijadikan sebagai rujukan dalam masalah-masalah hukum dzanni (yang merupakan area ijtihad). Dengan demikian, jelaslah bahwa perbedaan antara mujathid (baca: mujtahid kulli) dan marja’ tierletak pada ada dan tidaknya seseorang yang menjadi muqallidnya. Memang ada sejumlah syarat tambahan bagi mujtahid yang menjadi marja’, seperti a’lamiyah dan laki-laki, menurut pendapat yang populer.

Marja’ biasanya memudahkan para muqallidnya yang berada di daerah yang jauh jaraknya dengan tempat ia berada dengan menunjuk seseorang atau beberapa orang sebagai perantara (wakil, dalam bahasa fikih, berarti agen, bukan deputi) melalui surat yang secara eksplisit mengeaskan fungsi dan ruang lingkup wakalah (keperantaraan).

Wewenang setiap ‘wakil’ tidak mesti sama, bergantung pada isi surat pemberian izin (ijazah). Muqallid tidak wajib menjadikan wakil sebagai perantara apabila merasa bisa berhubungan secara langsung dengan marja’nya. Wakil juga tidak wajib memberitahukan ke-wakil-annya, karena biasanya isi suratnya hanya mengaskan ‘diizinkan’ (ma’dzun). Ia bisa menggunakan hak dan izin wakalah, dan bisa pula tidak menggunakannya berdasarkan alasan-alasan kemaslahatan.Sejauh yang saya ketahui, wakalah adalah hak memperantarai muqallid dengan marja’ dalam penyerahan dana-dana syar’i.

Namun ada surat wakalah yang memberikan izin penggunaan wewenang dalam apa yang diistilahkan dengan ‘al-umur al-hisbiyah’. Singkatnya, wakalah adalah agensi yang tidak mengikuti kriteria tertentu, karena pemberian izinnya bersifat personal.

Sejauh yang saya pahami, setiap mujathid adalah faqih, dan setiap faqih memiliki potensi wilayah, yaitu masyru’iyah (legitimasi ketuhanan, divine legitimacy, yang diperoleh dari Tuhan secara tidak langsung). Namun hanya satu faqih yang bisa mengaktualisasikan potensi wilayahnya. Aktualisasi potensi ini hanya bisa dilakukan mana kala faqih memperoleh ‘maqbuliyah’ (akseptabilitas), yaitu ketika sejumlah perangkat objektif telah terhimpun di sisinya, seperti masyarakat yang siap menaatinya meski tidak dalam jumlah yang dominan dan state atau teritori yang memungkinnya melakukan kontrol terhadap publik. Untuk mengukur dan memastikan akseptabiliyas publik, sejumlah opsi bisa diambilnya, antara lain dengan melakukan jajak pendapat, survei, referendum, instruksi yang secara kasat mata diikuti oleh banyak anggota masyarakat, dan mekanisme lainnya yang dapat dipertanggungjawabkan akurasinya.

Lalu apa yang membedakan antara marja’ dan wali faqih? Banyak sekali yang bisa dijadikan sebagai ciri pembeda, antara lain sebagai berikut :

1. Hubungan faqih, yang tidak memegang wilayah secara aktual namun menjadi marja’, dengan muqallidnya adalah hubungan taqlid. Sedangkan hubungan faqih yang memegang wilayah aktual adalah ketataan. Seorang wali faqih bisa pula memiliki hubungan taqlid dengan muqallidnya apabila ia juga menjadi marja‘.

2. Marja’ berhak melakukan ifta’ (mengeluarkan hasil ijtihad yang bersifat umum (tidak spesifik). Dan menurut pendapat populer, marja’ juga berhak melakukan tahkim dan pengelolaan dana-dana syar’i seperti khumus, nazar, zakat dan sebagainya. Tentu menurut yang meyakini unifikasi marja’iyah-wilayah faqih, wewenang-wewenang ini telah menjadi hak prerogatif wali faqih. Ia berhak untuk menerbitkan keputusan, instruksi dan dektrit terkait dengan masalah-masalah spesifik, kontektual dan penting, seperti perintah perang dan damai.

3. Marja’ tidak memerlukan akseptabilitas untuk menjalankan fungsinya sebagai rujukan. Wali faqih, tanpa aksebtabilitas, secara otomatis kehilangan wewenang aktualnya.

Lalu samakah arti Wali faqih dengan Rahbar, dan Wilayah faqih dan Rahbari (zaa’amah)?
Menurut saya, Wali Faqih adalah seseorang yang menjadi representasi dari lembaga otoritas keagamaan (wilayah faqih) yang bersifat universal tanpa batas geografis, kutur dan lainnya. Sedangkan rahbar, yang berasal dari kata Parsi ‘rah dan bar (jalan dan memandu = pemandu jalan) adalah sebuah predikat yang disandang oleh seseorang yang memegang wewenang tertinggi dalam konstitusi dan undang-undang negara Republik Islam Iran yang hanya mengikat warganegara Iran, Muslim maupun non Muslim.

Dengan kata lain, Seseorang non Iran yang meyakini konsep Wilayah faqih tidak terikat dengan rahbari tidak berada dalam strukturnya. Namun ia, yang tidak berada dalam struktur rahbari, bisa mengikat diri secara kultural dan spiritual dengan Wali faqih. Artinya, instruksi wali faqih bisa berbeda dengan isntruksi rahbar.

Bagaimana membedakannya? Cara membedakannya adalah mengidentifikasi subjek dan objek serta konteks instruksinya. Dengan demikian, orang Indonesia yang bermazhab Syiah dan meyakini konsep wilayah faqih hanya terikat secara keagamaan dan kultural dengan figur Sayyid Ali Khamenei, misalnya, yang juga menjadi pemimpin tertinggi di sebuah negara di Timur Tengah, yaitu Iran. Ia juga terikat secara keagamaan denga seorang faqih yang diyakininya sebagai muqallad atau marja’.

Kepatuhan Teologis dan Kepatuhan Konstitusional

Hubungan antara WF, Marja'iyah dan Rahbari perlu diperjelas karena tidak sedikit, terutama kalangan eksternal , yang tidak memahami posisi Wilayatul faqih, marja' dan rahbar sehingga menafsirkan ketataan kepada sistem kepemimpinan Faqih sebagai keyakinan dan sikap yang tidak harmonis dengan nasionalisme dan kepatuhan konstitusional.

Dari penjelasan diatas, konsep Wilayah Faqih dan relasinya dengan umat di luar Iran mungkin bisa dianalogikan dengan orang Katolik Indonesia yang terikat secara keagamaan dan spiritual dengan Paus dan Geraja Vatikan. Secara kenegaraan, ia terikat dengan undang-undang Indonesia sebagai warganya, tapi itu tidak menafikan keterikatannya dalam struktur keagamaan sebagai umat Katolik. Apalagi salah satu hukum Wali faqih yang sangat populer adalah kewajiban bagi setiap pengikut mazhab Ahlulbait di setiap negara untuk mematuhi konstitusi negaranya masing-masing, bahkan mempertahankanya dengan tidak mengabaikan sikap kritis dan partisipasi intens dalam segala bidang kemasyarakatan. Apa yang diperagakan oleh Hezbollah di Lebanon dapat menjadi bukti nyata betapa kepatuhan kepada sistem hirarki Wilayah Faqih meniscayakan kepedulian terhadap Tanah Air, termasuk mempertahankan kesatuan dan persatuannya.

Artinya, setiap manusia syi’i di Indonesia terikat dengan undang-undang dan sistem negara Indonesia. Lagi-lagi, ini menurut saya yang sangat awam tentang WF, Rahbari, dan Marja’iyah. Karena itu, saya setuju dengan slogan, Islam Yes, Syiah Ok, Indonesia, Sure! Syiah Merah Putih!

(Mohon dimaafkan bila ‘ngelantur).
oleh Muhsin Labib pada 07 Mei 2011 jam 21:39
mainsource:http://www.facebook.com/notes/muhsin-labib/klarifikasi-wilayatul-faqih-marjaiyah-rahbari-dan-integritas-nasionalisme/10150248691300730

KOMENTAR :
  • Budiman Elang Mantap Ustad! saya izin copas, utk referensi pribadi. Jazakallah.
    Sabtu pukul 22:05 · · 2 orangMemuat...
  • Mochamad Chotim Mantaf pencerahannya ustadz...
    Sabtu pukul 22:10 ·
  • Syamsuddin Baharuddin artikel menarik, mohon izin buat jadi referensi pembanding kajian tema tsb utk kawan-kawan di makassar, makasih ustadz.
    Sabtu pukul 22:13 ·
  • Alwiyah Al-layl Syukran Ustdz
    Sabtu pukul 22:38 ·
  • Nanan Rahman Wacana Wilayatul Faqih sangat urgensi agar tidak bias bagi kaum awam seperti kita..

    Syukron notenya..
    Kemarin jam 0:20 ·
  • Monique Hamli makasih banyak ustad ... aku share ustad
    Kemarin jam 2:01 ·
  • Budi Setiawan Ana setuju dgn pendapat antum. Bahwa situasi dan kondisi di indonesia dgn iran beda hukum yg menggunakan syariat islam dg menggunakan undang2. Tetapi jka kekuasan tertinggi seandaix tdk dipegang oleh presiden mngkn sistem trsbt bisa digunakn. Mana kala seorang presiden memiliki Penasehat spiritual ttg keagamaan yg memiliki wewenang. Apalgi indonesia mrpkn penduduk muslim terbesar didunia. (Ini hanya pndpt ana)
    Kemarin jam 3:50 ·
  • Anis Ahmad
    Beragama tanpa Negara

    Oleh: Hamid Basyaib

    Kepada Presiden Mohammad Khatami yang ditemuinya, Menteri Luar Negeri Thailand Surin Pitsuwan bertanya, manakah yang lebih baik: Muslim Thailand atau Muslim Iran? Muslim Thailand seperti dirinya, kat...a Surin, setiap saat “dikepung” oleh maksiat. “Yang Mulia bisa mendapatkan semua yang diimpikan oleh setiap lelaki di Bangkok,” ujarnya. “Sementara Muslim Timur Tengah, umat Islam seperti di Teheran ini, tidak menghadapi godaan seperti kami.”

    Terkejut sejenak, karena ditanya tentang isu yang tak ada hubungan dengan politik luar negeri, Khatami tersenyum. Ia kemudian mengakui bahwa Muslim Thailand lebih baik. “Ketaatan kami di sini bukan karena kesadaran, tapi karena dipaksa,” katanya. “Saya kira begitu pula yang terjadi di negara-negara tetangga kami.”

    Ia segera mengalihkan pembicaraan. Khatami tampak enggan penilaiannya dicatat oleh kalangan konservatif di negerinya; juga khawatir menyinggung para pemimpin Timur Tengah.

    Dengan menuturkan peristiwa beberapa tahun silam itu Surin Pitsuwan ingin menyampaikan pesan bahwa ketaatan kepada Tuhan tidak bisa dipaksakan oleh siapa pun, apalagi oleh negara. Hubungan warga negara dengan Tuhan, baik dalam makna taat maupun bangkang, sepenuhnya urusan pribadi.

    Tidak masuk akal bahwa hubungan spiritual yang transendental itu diatur oleh negara. Penyerahan kepada negara berarti pengakuan bahwa negara adalah wakil Tuhan di bumi. Padahal negara adalah himpunan instansi yang dikelola oleh beragam petugas. Pasti di antara mereka, kalaupun bukan seluruhnya, tidak tepat menyandang predikat “wakil Tuhan”.

    Kitab suci memang memberi predikat “wakil Tuhan di bumi” (khalifah fil ardh), tapi itu ditujukan kepada setiap manusia, bukan kepada negara. Predikat simbolis itu tentu dimaksudkan untuk meluhurkan manusia; suatu atribusi moralistik agar manusia menyadari posisi istimewanya (dibanding semua mahluk lain), dan karena itu diharapkan bertanggung jawab terhadap diri sendiri, lingkungan sosialnya, lingkungan hidupnya.

    Predikat simbolis yang moralistik itu tentu tidak dapat diharfiahkan, apalagi disematkan ke dada negara, yang kemudian memaknainya secara legal.

    Dari sudut warga negara (bukan “warga kerajaan Tuhan” yang juga simbolik), pemaksaan oleh negara hanya akan menjadikan mereka taat-terpaksa kepada Tuhan. Maka yang akan muncul adalah penyeragaman ketaatan semu, suatu hipokrisi nasional yang justeru dikecam oleh ajaran agama.

    Penyerahan urusan keagamaan warga pada negara berarti pemberian legitimasi ganda. Pertama, legitimasi politik lewat pemilu dan sebagainya (suatu mandat untuk mengurus kehidupan duniawi warga); kedua, legitimasi spiritual (mandat untuk mengusut batin warga, menyidik ketaatan dan pembangkangan mereka kepada Tuhan).

    Legitimasi ganda itu berbahaya ganda. Kita hapal adagium Lord Acton yang terlalu sering terbukti dalam sejarah, bahwa kekuasaan (sekuler) cenderung korup, dan kekuasaan yang mutlak, korupnya pun mutlak. Dengan legitimasi tunggal dan sekuler, kekuasaan sudah sedemikian mengkhawatirkan.
    Lihat Selengkapnya
    Kemarin jam 3:54 · · 3 orangMemuat...
  • Anis Ahmad http://www.freedom-institute.org/id/index.php?page=diskusi
    Hamid Basyaib, Direktur Program Freedom Institute
    Kemarin jam 3:56 · · 2 orangMemuat...
  • Heriyanto Binduni kelihatannya hamid perlu baca tulisan ustad labib nih ;)
    Kemarin jam 4:48 · · 1 orangMemuat...
  • Ibnu Surya Mardhani Salam warahmah & Tks atas penjelasan antum yg mencerahkan & menambah wawasan mendalam mengenai WF ust...
    Kemarin jam 4:58 ·
  • Ibnu Surya Mardhani
    Ada sedikit pertanyaan dan tanggapan terkait artikel mr. Hamid Basyaib. Sebagai seorg yg memahami politik ana pikir bung Hamid sangat mengerti bahwa apapun konsep yg ada di muka bumi ini ketika berada pada tataran ideologi praktis atau huku...m maka hukum tsb harus menjadi sebuah aturan yg mengikat dan harus dipatuhi layaknya sebuah UUD suatu negara yg berlaku pada warga negaranya. Oleh karena itu bukankah lalu dapat dipahami bahwa konsep Islam ketika berada pd tataran ideologi pun berlaku hal demikian. Yang ana tahu dai berbagai penjelasan, justru dengan adanya WF inilah Islam dalam pengertian Din yg sebenarnya dan sempurna dapat terus terjaga hingga hari ini. Dapat dibayangkan bagaimana mungkin terjadi Islam sebagai Din bisa menyempurna bila tidak mempunyai wilayah dan otoritas di dalamnya? Kesempurnaan itu dapat mewujud justru dengan adanya wilayah sebagaimana Madinah yg dipimpin oleh Nabi saww. Adanya keterpaksaan dalam Islam di sini agak membingungkan buat ana, sebab sbgmana ana yg faqir ini pahami, ketika Islam pada tataran konsep tidak ada pemaksaan sama sekali bagi seseorang itu apakah mau menerima atau tidak konsep Islam tsb hingga menjadi keyakinan pd dirinya, bukan? Wallahua'lam, cmiiw. Afwan wa syukran ust.Lihat Selengkapnya
    Kemarin jam 5:22 ·
  • Kosana Praja syukran ustadz minta ijin share.
    Kemarin jam 6:37 ·
  • Ali Shofi afwan ustadz...numpang tanya..kalo seandainya WF adalah wilayah muthlaqoh bukan kah kita tidak harus membedakan ketaatan orang iran dan orang yang diluar iran..mengapa analogi yg antum berikan tentang kaitan orang diluar iran kepada WF itu seperti kaitan umat katholik indonesia dengan vatikan, apakah analogi ini tepat ya ustadz..syukron...
    18 jam yang lalu ·
  • Iwan F Piliang ana mau tanya Ust...spnjng kegaiban Imam Mahdi, system WF ini br berjln setelah revolusi iran atau mmng sdh da sebelumx
    18 jam yang lalu ·
  • Sinar Agama
    Anis: Antum ini berdasar ganda dlm berfikir dan kegandaannya yg kontradiksi lagi. Ini mengherankan buat antum yg nampak spt teratur berkata-kata, walau ...sdh tentu tdk teratur. Antum mengatakan bhw ketaatan kepada Tuhan itu pribadi dan men...jadi hak setiap individu. Tp dilain pihak antum mengingkari pribadi2 yg bersatu dalam pemilu yg memilih negara Islam untuk menjadi picuan bersama. Nah, ini adl kontradiksi pertama antum dimana mengimani sebagian dan mengingkari sebagiannya.Lihat Selengkapnya
    16 jam yang lalu ·
  • Sinar Agama
    Ke dua, antum mengatakan bhw ketaatan pada Tuhan adl pribadi dan tdk bisa diatur dlm negara. Antum ini agak lucu orangnya. Emangnya ketaan pata Tuhan itu dlm hanya dlm masalah pribadi? Emangnya hukum Islam itu hanya mengatur pribadi manusia... dg Tuhannya? Apakah hukum Islam yg lengkap ini tdk mengatur hubungan manusia dg manusia lain? Tentara dengan tentara lain? pengadilan antar sesama manusia baik kriminal atau perdata? Emangnya Islam tdk mengatur kepemimpinan tertinggi sebuah masyarakat?Lihat Selengkapnya
    16 jam yang lalu ·
  • Sinar Agama Jadi kontradiksi ke dua antum adalah antum mengimani sebagian hukum Tuhan yg mengatur setiap pribadi dg Tuhannya, tp mengingkari hukum dan ketaatan pada Tuhan yg mengatur hubungan manusia dg manusia lainnya, baik sosial, ekonomi, politik dan ketentaraan serta kepemimpinan tertinggi sebua kelompok yg kita kenal dg negara dsb.
    16 jam yang lalu ·
  • Sinar Agama Kalau antum mengimani aturan pribadi dan ketaaatan pribadi, sdh semestinya mengimani aturan dan ketaatan majemuk atau masyarakat atau negara, karena semua itu adalah kumpulan dari pribadi2 itu dan kebetulan sekali sdh diatur oleh Islam yg kita yakini sebagai agama lengkap itu.
    16 jam yang lalu ·
  • Sinar Agama Kesimpulan: Pemisahan agama dari politik disebabkan ketidak tahuannya terhadap agama itu sendiri, atau .. pengingkarannya terhadap kelengkapan agama itu sendiri. Jadi, kalau kita meyakini agama Islam itu lengkap, mk pemisahan negara dari agama atau politik dari agama, akan terdengar sebagai nyanyian barat yg terlalu lama menina bobokkan muslimin dunia.
    16 jam yang lalu ·
  • Sinar Agama
    Ibnu: Saya tdk terlalu yakin tlh memahami kebingungan antum. Tp kalau blh kuraba, mk jawabannya gampang. Yaitu, ketika semua orang telah memilih hukum negaranya sebagai Islam wilayatulfakih (98 % telah memilih ini dlm referandum awal kemer...dekaan Iran), maka berarti semua org dengan suka rela memilih diatur oleh agama Islam dalam segala tindak tanduknya. Karena itu, maka keterpaksaan yg dikatakan setelah itu terhadap suatu aturan atau praktek agama, adalah ikhtiari semua. Yakni tdk dipaksa. Artinya, mereka telah memilih dg ikhtiar dan kebebasan mereka untuk tdk hidup bebas semau gue, tp diatur dlm Islam.Lihat Selengkapnya
    16 jam yang lalu · · 1 orangMemuat...
  • Sinar Agama
    Aneh bagi teman2 yg masih mengatakan bhw Para Mullah atau wilayatulfakih itu bisa memamfaatkan posisinya. Amat aneh. Hal itu karena wilayatulfakih ini diatur dlm undang2 dan dipilih oleh masyarakat. Wilayatulfakih ini ditimbang dg undang da...n selalu disoroti setiap keputusan dan langkahnya oleh undang2 itu sendiri. Jadi, para ulama yg terpilih dlm pemilihan umum oleh rakyat untuk duduk di majlis pemilih dan penilai wilayatulfakih itu, adalah pilihan rakyat dan selalu aktif dalam menilik dan melihat kerja2 dan putusan2 wilayatulfakih dimana kalaupun tdk ada masalah yg menghebohkanpun mereka, setidaknya, dalam dua tahun sekali, mengaudit kerja2 dan keputusan2 wilayatulfakih. Jadi, semua sama di hadapan undang2 dan hukum, sekalipun berbeda dlm tugas dan tanggung jawab. Yg jelas semua orang, dlm maqam apapun, diatur dlm undang2 dan semua terikat dengannya.Lihat Selengkapnya
    16 jam yang lalu ·
  • Sinar Agama Tambahan: Sangat lucu kalau pemimpin tertenggi di suatu negara Islam itu dipimpin oleh orang yg tdk spesialist ttg agama yg, biasa dikatakn mujtahid dlm madzhab Syi'ah. Karena bagaimana mungkin seorang yg blm mencapai tingkatan mujtahid dlm Islam bisa memimpin negara yg berlandaskan Islam?
    16 jam yang lalu ·
  • Sinar Agama
    Ali Shofi: Ketaatan pada wilayatulfakih itu harus sama dan mmg sama. ARtinya sama2 harus menaati. Tp yg menjadi masalah adalah, apa yang harus ditaati itu? Jawabnya adalah perintah wilyatulfakih. Sekarang pertanyaan ke duanya adalah, apakah... perintah wilayatulfakih kepada Iran itu sama dengan org2 syi'ah di tempat lain? Jawabnya sdh tentu ada yg sama dan ada yang tidak. Kalau hukum2 itu adlah hukum pribadi seseorang pada Tuhan, spt shalat, mk pada umumnya sama. Karena kondisinya semuanya adl sama. Tp kalau hukum2nya itu adalah hukum politik, mk sdh tentu sangat mungkin untuk tdk sama. Yaitu pada kondisi2 yg mmg berbeda. Misalnya, di Iran wajib menghadapi Iraq yg dipimpin Saddam pada wkt itu, mk syi'ah Indonesia, sdh tentu tdk akan terikat dg hukum tsb. Karena disamping tdk menghadapi saddam, ia jg terkondisikan dg hukum2 internasional yang ada dimana, setidaknya, pada urutan hukum tsanawinya (skundernya) hukum jihad baginya telah menjadi gugur karenanya.Lihat Selengkapnya
    16 jam yang lalu ·
  • Sinar Agama Jadi, konci jwban dari kebingungan antum (yg bisa saya raba itu) adalah bhw perbedaan taat itu disebabkan perbedaan perintah yg tdk mungkin satu kalau dlm masalah2 politik. Beda halnya kalau dlm masalah2 pribadi. wassalam
    16 jam yang lalu ·
  • Sinar Agama
    Iwan: Wilayatulfakih itu sdh berjalan sejak jaman Nabi saww. Karena ia merupakan keharusan adanya. Yaitu ketika manusia jauh dari para maksumin as. Jadi, apapun permasalahan, baik pribadi atau pengadilan atau politik, setiap orang awam (bc:... bukan mujtahid) harus menaati mujtahid yg, berbeda-beda penyebutannya sepanjang sejarah. Intinya rg2 yg spesialis agama dan adil serta takwa. Bisa disebut dg wakil khusus ketika ditunjuk, bisa wakil umum kalau kreterialis. Perbedaan penyebutan itu spt, murid maksum, ahli dlm hadits maksum, utusan maksum, kepercayaan maksum, yg dipromosikan maksum, yg diutus maksum, alim, fakih, mujtahid, ayatullah, marja' ...dst. SEmua itu intinya adalah satu, yaitu ahli agama yg didudukkan oleh agama, baik langsung atau kreterialis, sebagai pengganti maksum (baik Nabi saww atau imam as) ketika umat sdg jauh dari para maksum.Lihat Selengkapnya
    16 jam yang lalu ·
  • Sinar Agama
    Beda antara wilayatulfakih jaman dulu dan sekarang di Iran, adalah satu saja, yaitu semua orang Iran secara aklamasi atau hampir seluruhnya, menerima kewenagan para wakil yang dikenal dengan wilyatulfakih (kewenangan fakih/mujatahi/alim nan... takwa) itu. Kalau di jaman dulu kewenangan mereka itu tdk teraplikasi menyeluruh karena masyarakatnya tdk menerimanya dg menyeluruh sementara Islam tdk mengenal paksaan. Inilah yg saya katakan bhw ketika orang sdh memilih wilyatulfakih ini, mk tdk ada lagi kata paksaan setelahnya. Karena aturan apapun yg dtg dari para ahli agama, merupakan aturan yg diinginkannya secara sadar dan tanpa paksa.Lihat Selengkapnya
    15 jam yang lalu ·
  • Sinar Agama
    Dan sekali lagi, bhw pemisahan agama dan politik atau negara itu, benar2 hanyalah nyanyian para kafirin dlm berabad tahun lamanya ini dan telah menina bobokkan kita. Padahal kita semua selalu berteriak bhw agama Islam adl agama yg lengkap. ...Lengkap apa kalau tdk ada aturan negaranya, kepemimpinan tertingginya, tentaranya, hubungan internasionalnya, ekonomi globalnya, seninya, hukum perdata dan kriminalnya ......dst?????????!!!!!!!! wassalamLihat Selengkapnya
    15 jam yang lalu ·
  • Ali Shofi sinar agama, makasih atas jawabannya..tapi tolong klarifikasi pemahaman saya ini...berarti ketaatan kita kepada WF juga mutlak..?yang membedakannya hanyalah konteks instruksi dari seorang WF...??dalam artian keterikatan kita dengan WF bukan hanya keterikatan secara spiritual tapi juga keterikatan secara politis yang merupakan salah satu aspek keagamaan yang memang tidak dapat dipisahkan dengan politik....??
    15 jam yang lalu ·
  • Muhsin Labib ‎@sinar: perlu diketahui sdr. Anis tdk memberikan comment menetang sama sekali. Yg ditulis dlm commentnya adalah copas artikel Hamid Basayib yg dikenal liberalis, sdr. Anis malah sejauh yg sy tau sgt wila"iy... Comment2 antum yg sgt jitu itu memang layaknya ditujukan kpd Hamid Basyaib. Syukran
    15 jam yang lalu · · 2 orangMemuat...
  • Ahmad Widie numpang copy stad
    11 jam yang lalu ·
  • Anis Ahmad http://www.youtube.com/watch?v=OEiWzEdh2OU&feature=player_embedded

    Hasan Nasrallah and wilayat el fakih

    Muhsin Labib...ixixix..afwan
    11 jam yang lalu · · 1 orangMemuat...
  • Muhsin Labib ‎@anis: kebetulan saya akan menerjemahkan pandangan SHN ttg WF...
    11 jam yang lalu · · 2 orangMemuat...
  • Andri Kusmayadi
    Tulisan yang bagus Ustad...Tapi, afwan, kalo ana tidak salah menyimpulkan tulisan antum. Bahwa di tulisan itu tidak mengharuskan wali faqih itu satu? Benar atau tidak Ustad? Trus mengenai mekanisme pengukuran akseptabilitas, apakah harus o...leh sekelompok faqih juga, atau bisa tidak oleh seluruh rakyat saja. Seperti halnya pemilihan presiden. Seandainya begitu mungkin bisa lebih sejalan dengan yang disebut demokrasi yang disebut-sebut oleh Rahbar juga.Lihat Selengkapnya
    8 jam yang lalu ·
  • Fachrul Bj ijin copas juga....
    8 jam yang lalu ·
  • Andri Kusmayadi
    Afwan, maksud ana di atas, "demokrasi agama". Ana juga ingin menyoroti untuk kasus Indonesia. NU dari awal sudah berpandangan bahwa Pancasila adalah final. Artinya selama bangsa Indonesia ada, dan NU masih ada, Pancasila sebagai asas dan ...ideologi negara akan terus dijaga dan dipertahankan. Nah, kalo posisi orang Syiah Indonesia bagaimana Ustad? Kalo mengacu kepada tulisan Antum sepertinya, kita juga jangan bermimpi untuk mendirikan negara dengan konsep WF di negeri kita ini. Sepertinya kita juga harus mengambil sikap seperti NU, yang menjadikan Pancasila sebagai hal yang final dan tidak bisa diganggu gugat. Paling bisa mungkin kita membuat semacam hizbullah di Lebanon. Wallahu alam.Lihat Selengkapnya
    8 jam yang lalu ·
  • Boy Alatas afwan...
    6 jam yang lalu ·
  • Eri Medan izin copas stadz , syukron
    5 jam yang lalu ·
  • Sinar Agama Ali Shofi: Antum telah benar memahami wilayatulfakih
    4 jam yang lalu ·
  • Sinar Agama ML: Masykur atas tanbihnya (peringatannya) yg untuk mas Anis. Smg mas Anis memaafkanku. Setelah kulihat lagi, ternyata beliau hanya menukil makalah Basyaib untuk melengkapi tulisan ust ML. Tadi kukira ia mengisykal ML dg menukil tulisan Basyaib itu. Habis tdk ada komentar apapun darinya dimana bagi yang tdk mengenalnya, terlihat seakan beliau setuju dg yg dinukilnya itu. Walhasil afwan
    4 jam yang lalu ·
  • Sinar Agama Andri: Ana rasa dg melirik koment2 kita, akan antum dptkan jwb-an terhadap pertanyaan antum itu. Wlw sdh tentu ust ML yg antum tanya, lbh berhak menjawb antum.
    4 jam yang lalu ·
http://www.oneahlulbait.com/2011/05/menentang-wilayatul-faqih-menentang-aimmah-as/

0 comments to "Klarifikasi Wilayatul Faqih, Marja'iyah, Rahbari dan Integritas Nasionalisme"

Leave a comment