Home , , , , , � Trias Politica ala Republik Islam Iran : Menentang Wilayatul Faqih, Menentang Aimmah as

Trias Politica ala Republik Islam Iran : Menentang Wilayatul Faqih, Menentang Aimmah as



"Jika kita telah mengetahui kebenaran, kita harus tetap setia terhadap kebenaran tersebut. Jika kita telah melakukan penelitian dan terbukti bahwa Wilayatul Faqih adalah kebenaran, maka kita harus tegar berdiri dengan setia membelanya. Dan harus kita tahu, menentang Wilayatul Faqih sama halnya menentang Aimmah as, dan menurut riwayat sama halnya dengan mensyirikkan Tuhan."



Menentang Wilayatul Faqih, Menentang Aimmah as

Menurut Kantor Berita ABNA, Ayatullah Misbah Yazdi dalam pertemuannya dengan jama'ah Pasdaran mengatakan manusia diciptakan Allah swt dilengkapi dengan keinginan dan kehendak untuk memilih jalan kebahagiaan, "Keistimewaan manusia sebagai khalifatullah di muka bumi, adalah dilengkapi oleh kemampuan untuk memilih jalan kesempurnaan atau sebaliknya memilih jalan yang membuat dia jatuh dari kemanusiaannya."

Pengajar Hauzah Ilmiyah Qom ini lebih lanjut berkata, "Adalah sebuah kemestian jika ingin mencapai puncak kesempurnaan sebagai manusia, seseorang harus mengenal jalan yang benar yang akan ia tempuh terlebih dahulu. Sebab yang bisa mencapai kebahagiaan sejati, dengan menyempurnanya ia sebagai manusia hanyalah bagi mereka yang mengenal jalan yang benar dan berjalan di atasnya. Karenanya, dalam proses penciptaannya, manusia dilengkapi oleh Allah swt sarana untuk dapat mengenal jalan yang benar itu. Selain fitrah dan akal, Allah swt juga dengan kebijaksanaan dan kasih sayang-Nya mengutus para Nabi dan Aimmah as yang kemudian ditugaskan oleh Allah swt untuk memberi petunjuk, peringatan dan penunjuk jalan yang benar kepada umat manusia, agar tidak menyimpang dalam perjalanannya. Agar dapat memilih dan menetapkan jalan yang benar diantara banyaknya jalan yang sesat dan menyimpang."

"Sebagian dari mereka yang mengaku pengikut para Aimmah Maksum as, banyak yang tidak setia, ada yang bahkan menjadi musuh dan memerangi mereka. Dan sebagiannya lagi, tidak memberikan ketaatan kepada imamnya. Namun bagaimanapun mereka, para maksumin adalah tetap hujjah Allah swt di muka bumi." Tegas beliau.

Selanjutnya, Ayatulllah Misbah Yazdi mengaitkan kewajiban para mukallifin di zaman tidak adanya kemungkinan untuk berhubungan langsung dengan Imam, "Jangankan di masa kegaiban, di masa dimana umat bisa berinteraksi langsung dengan imam maksum, banyak dari kalangan umat manusia yang tidak memanfaatkannya. Karenanya, Imam Maksum senantiasa menunjuk seseorang untuk menjadi wakilnya, yang kemudian perintah tersebut dalam budaya kita disebut sebagai Wilayatul Faqih."

"Sejarah juga menyebutkan, sejak awal permulaan Islam sampai sekarang, dengan ketiadaan akses langsung dengan Maksumin, terlebih lagi pada zaman kegaiban, para fukaha dan ulama sangat memberikan peran besar dalam memberikan petunjuk dan pengajaran kepada ummat. Tanpa peran dan kehadiran mereka, bisa dipastikan tidak ada yang tersisa dari Islam ini, kalaupun Islam tetap ada, ia akan menjadi sebuah agama yang menyimpang jauh dari awal ketetapannya."

"Allah swt telah memberikan kemampuan yang besar kepada manusia, hatta meskipun Al-Qur'an yang diturunkan Allah swt sebagai kitab petunjuk, oleh kemampuan olah pikir manusia, Al-Qur'an justru mampu dimanfaatkan untuk menyesatkan manusia dan jauh dari Tuhan. Sebagaimana dilakukan oleh mereka yang murtad dari agama ini, mereka menggunakan Al-Qur'an untuk menyesatkan manusia. Karenanya, umat Islam harus bersungguh-sungguh, berupaya keras mengenal dengan baik agama ini, mempelajarinya dari ulama-ulama yang Rabbani, sehingga mampu membedakan mana yang jalan benar dan mana yang jalan yang sesat, sehingga mampu memilih dan menetapkan jalan mana yang mesti ditempuh."

Untuk lebih memudahkan memahami maksudnya, Ayatullah Misbah Yazdi mengangkat kisah Bani Israil yang disesatkan oleh Samiri, "Apa yang terjadi pada Bani Israil yang diabadikan oleh Allah swt dalam Al-Qur'an adalah pelajaran bagi umat Islam. Sebagaimana Samiri yang dikenal oleh Bani Israil sebagai orang yang berilmu dan abid, namun justru menyesatkan ummatnya dan mengalihkannya dari ajaran tauhid yang diajarkan oleh Nabi Musa as. Ini disebabkan karena ketidak taatan Bani Israil terhadap perintah Nabi Musa as yang telah menetapkan Nabi Harun as sebagai wakil dan penggantinya selama kepergian Nabi Musa as. Alhamdulillah umat Syiah mengambil dengan baik pelajaran pada kisah Samiri tersebut, khususnya pada masa awal-awal meninggalnya Rasulullah saww, jika banyak dikalangan umat Islam saat itu yang melupakan pesan Nabi yang telah disampaikannya 70 hari sebelum wafatnya di Ghadir Khum, umat Syiah tetap setia terhadap pesan tersebut dengan menjadikan Ali bin Abi Thalib as sebagai imam yang harus ditaati."

"Sejarah juga menyebutkan banyak kaum muslimin yang ahli shalat, ahli puasa, membaca al-Qur'an dan infaq namun itu tidak membuat mereka taat kepada Imam, bahkan dengan dingin mereka membunuh cucu Nabi dan membantai keluarganya tanpa perasaan bersalah. Kita harus mengambil pelajaran dari semua peristiwa tersebut. Sebab ini bisa saja terjadi pada diri kita, telah merasa saleh dengan semua amal-amal ibadah namun pada hakekatnya menyimpang jauh dari pesan Islam sesungguhnya untuk taat kepada Imam Zaman afs."

Lebih lanjut Ayatullah Misbah Yazdi memesankan, "Sebagai langkah awal untuk mencapai hidayah adalah penggunaan akal sehat. Setelah itu merujuk kepada Al-Qur'an dan perkataan para Maksumin as melalui perantaraan mereka yang ahli ilmu dan khusus menghabiskan waktunya untuk menekuni masalah-masalah syar'i seperti para ulama dan fukaha. Kita tidak dapat mempelajari dan memahami agama dengan baik melalui perantaraan mereka yang juga tidak mengenal agama ini dengan baik. Kita harus mempelajarinya dari mereka yang memang telah menghabiskan waktunya dengan serius menekuni ilmu-ilmu agama, yang telah mengikhlaskan dirinya di jalan agama ini, bukan dari mereka yang telah murtad dari agama atau dari mereka yang memang sejak awal punya niat buruk terhadap agama ini."

"Ulama dan fukaha adalah pewaris Nabi, pewaris Al-Qur'an dan para Maksumin as. Barangsiapa yang mengamalkan sesuatu perbuatan atas perintah selain Allah swt niscaya akan terjebak pada kesesatan dan kesyirikan."

Dipenghujung ceramahnya, Ayatullah Misbah Yazdi berkata,

"Jika kita telah mengetahui kebenaran, kita harus tetap setia terhadap kebenaran tersebut. Jika kita telah melakukan penelitian dan terbukti bahwa Wilayatul Faqih adalah kebenaran, maka kita harus tegar berdiri dengan setia membelanya. Dan harus kita tahu, menentang Wilayatul Faqih sama halnya menentang Aimmah as, dan menurut riwayat sama halnya dengan mensyirikkan Tuhan."

mainsource:http://abna.ir/data.asp?lang=12&id=240009

Trias Politica ala Republik Islam Iran

Trias Politica adalah sebuah konsep pembagian kekuasaan yang digagas oleh John Locke dan Montesquieu. Agar suatu kestabilan dalam pemerintahan dapat terjaga hendaknya kekuasaan dibagi menjadi tiga bagian yaitu legislatif [pembuat Undang-Undang], eksekutif [pelaksana Undang-Undang] dan yudikatif [pengawas pelaksanaan Undang-Undang]. Pemisahan itu dimaksudkan agar tidak terjadi sebuah pemerintahan arogan di bawah seorang Raja atau pemimpin mirip Raja.

Ada sebuah kontroversi ketika konsep trias politica diterapkan di Iran. Iran sebagai sebuah Negara Islam mencoba berkompromi dengan mengadopsi konsep tris politica barat ala mereka sendiri. Seperti yang kita tahu Iran adalah Negara yang didominasi dan bahkan dikuasai oleh kaum Syiah. KOnsep yang paling terkebal dari Syiah adalah konsep imamahnya. Pasca wafat Nabi, kaum Syiah mengangkat Ali dan keturunan mereka menjadi Imam mereka. Artinya Ali dan keturunannya itulah yang menjadi pemimpin mereka. Dalam kepercayaan mereka terutama Syiah Itsna Asy’ariyah, Imam berhenti di Imam ke 11 sambil menunggu kedatangan Imam yang ditunggu yaitu Imam Mahdi Imam ke 12, Imam yang konon akan membawa kejayaan Syiah. Sambil menunggu kedatngan Imam itu, kaum Syiah dipimpin oleh Wilayatul Faqih sampai Imam Mahdi datang. Sampai ke abad modern ini konsep itu terpelihara oleh kaum Syiah.

Republik Islam Iran tetap memelihara konsep imamah itu sambil dikompromikan dengan konsep Negara modern yang mementingkan pembagian kekuasaan [trias politica]. Inilah bedanya Iran dengan Negara Islam yang lain macam Arab Saudi dan berbagai Negara Arab lainnya. Arab sampai saat ini masih saja berkungkung dengn konsep kerajaan dan berkata demokrasi tidak sesuai syariat Islam, padahal kalau mau jujur Nabi juga tidak pernah ada mewariskan kekuasaan pada anak cucu. Jadi system kerajaanpun sebenarnya tidak sesuai syariat yang dibawa Nabi. Iran disini mencoba mengkompromikan Negara Islam versi mereka dengan konsep Negara modern. Satu langkah lebih maju daripada Negara islam lain.

Di Iran legislative, eksekutif dan yudikatif tetap ada. Akan tetapi tiga kekuasaan itu tunduk pada kekuasaan wilayatul faqih atau Imam tertinggi mereka itu [Supreme Leader]. Tampuk Imam tertinggi itu saat ini dipegang oleh Ayatullah Ali Khomaeni. Jadi disamping kekuasaan sudah dibatasi berdasarkan konsep trias politica, tapi juga masih dibatasi oleh Imam. Imam tidak berkenan berarti Presiden tisdak bisa bergerak. Kurang lebih seperti itu.

Sama seperti Negara lain, legislative di Iran [Majlis of Iran/Majles-e Shura-ye Eslami] berperan menyusun Undang-Undang. Eksekutif sebagai pelaksana Undang-Undang dipegang oleh Presiden, yang saat ini dipegang Mahmoud Ahmadinejad. Sementara kewenangan yudikative sebagai pengawas pelaksanaan pemerintahan di pegang oleh Assembly of Experts [Majles-e-Khebregan].

Ayatullah sebagai pemimpin tertinggi memang berfungsi sebagai pengawas pemerintahan, tapi hal ini dalam prakteknya dijalankan oleh Assembly of Experts tadi. Ayatullah menjadi semacam pemeberi restu saja karena semua komponen trias politica itu harus berdasarkan persetujuan Ayatullah.

Timbul kesan Ayatullah itu menjadi superbody alias mempunyai wewenang penuh. LAntas mungkin timbul pertanyaan apa bedanya Ayatullah dengan Raja. Inilah uniknya Iran. Ayatullah tidak bergerak sendirian.Dia memimpin sebuah Garda Nasional [National Guardian]. Jadi ayatollah tetap menerapkan konsep musyawarah sebagai pemimpin tertinggi, meskipun mungkin pada kenyataanya anggota Garda Nasional itu yang berjumlah 12 orang sangat patuh pada Ayatullah. Tapi paling tidak Ayatullah berbeda dengan raja karena ia tetap menerapkan konsep musywarah.

Kurang lebih seperti itulah konsep pemerintahan Islam ala Iran. Mereka mencoba mengkompromikan konsep Negara modern dengan konsep Negara Islam ala mereka. Hasilnya adalah sebuah system unik yang dianut Republik Islam Iran seperti sekarang ini. Jadi Iran tidak bisa disebut kerajaan karena mereka tidak punya raja dan system pemerintahannya sangat demokratis dengan berlandaskan pada konsep trias politica barat. Namun Iran juga tidak bisa dikatakan full murni menerapkan demokrasi karena 3 kekuasaan pemerintahan itu ternyata tunduk pada Ayatullah sebagai pemimpin tertinggi.

Sebagai sebuah Negara yang baru berumur 30 tahun [Republik Islam Iran baru berdiri tahun 1979] keberanian mereka membuat sebuah system baru patut kita acungi jempol. Tanpa tendensi apapun saia kira kaum Syiah jauh lebih cerdas dan kreatif daripada kaum Sunny yang boleh dibilang jumalahnya jauh lebih banyak. Sejarah menunjukkan bahwa sejak dulu Syiah terbiasa “tertindas” berbeda dengan Sunny yang terbiasa “berkuasa”. Ketertindasan kaum syiah konon sudah ada sejak Nabi meninggal karena Ali, imam mereka, tidak diangkat menjadi khalifah. Setelah khalifah pertama wafatpun Ali juga tak kunjung diangkat menjadi khalifah. Belum lagi sejarah suram Islam ketika khalifah Yazid bin Muawiyah membantai keluarga nabi [Husein] dalam peritiwa Karbala. Konflik Sunny Syiah itu menempatkan Sunny sebagai penguasa dan pemenang sementara Syiah sebagai yang tertindas.

Meskipun tertindas, hal itu malah menjadikan Syiah malah menjadi sangat kreatif. Terbukti Iran sebagai representasi tertinggi dari kaum Syiah saat ini menjadi musuh utama Amerika. Justru Iran yang Syiah-lah yang menjadi Islam yang kuat. Bandingkan dengan Arab Saudi yang begitu karib dan tak berdaya di hadapan Amerika. Padahal konon Arab Saudi adalah Sunny yang paling murni ajarannya dan dekat dengan Nabi dengan ajaran Wahabinya.

Dalam pemerintahan Syiah juga mantap dan berani. Banding dengan Negara Sunny yang masih bingung dengan sebenarnya konsep Negara Islam itu seperti apa.Iran lebih maju dengan konsepnya sendiri. Negara Islam Sunny tidak punya konsep. Mereka masih bingung cara mengkompromikan Negara islam dengan Negara modern. Akibatnya mereka tetap terjebak pada konsep kerajaan. Ketika ada pemikiran progresif untuk mencapai Negara modern malah lahir sekularisme seperti di Turki. Jadi Islam Sunny akhirnya terjebak pada bentuk Negara kuno kerajaan atau menjadi sekuler sekalian. Yang cukup bermasalah adalah kerajaan ini. Raja dankeluarga seolah menjadi penguas yang boleh melakukan apa saja. Kelantan, kerajaan Islam kecil di Malaysia contohnya. Konon salah satu pangerannya menyiksa istrinya yang berasal dari Indonesia. Itu adalah resiko dari system kerajaan.

Oleh karena itu mari kita berkaca pada Iran atau paling tidak berilah apresiasi pada Iran!!!

-Semoga Bermanfaat-

-Ide tulisan berasal dari Kajian Siyasah di UIN Sunan Kalijaga, 30 Mei 2009 oleh Dr. Ahmad Yani Anshori bertajuk “Penerimaan Dunia Islam terhadap Konsep Nation State”, dengan tambahan data dari Wikipedia.org-

mainsource:Posted on by Yasir Alkaf


0 comments to "Trias Politica ala Republik Islam Iran : Menentang Wilayatul Faqih, Menentang Aimmah as"

Leave a comment