Mungkin kita bertanya-tanya, bagaimana bisa seseorang yang terlihat dan merasa dekat dengan agama bertindak kasar? Merasa paling benar? Menuduh orang lain yang tidak sepaham dengannya sebagai ahli bidah? Bahkan melakukan aksi teror dengan bom? Secara tidak sadar, orang-orang seperti ini justru membuat masyarakat luas mengira bahwa agamalah yang menjadi penyebab. Di sisi lain, masyarakat awam terkecoh dengan penampilan lahiriah mereka yang terkesan saleh.
Akhlak dan Ikhlas dalam Ketakwaan
Sebagai pembahasan lebih lanjut, berikut ini saya cuplikan ceramah Habib Ali Zainal Abidin Aljufri terkait dengan keikhlasan dalam meraih ketakwaan. Semoga bermanfaat.
Bagaimana cara mengenal, tolak ukur iblis? Kalimat: “Aku lebih baik darinya (anĂ¢ khairu minhu). Engkau menciptakanku dari api dan menciptakannya dari tanah.” Itulah tolak ukur iblis. Akan tetapi tolak ukur umat Muhammad saw. adalah bertambahnya ketenangan, kerendahan hati, kasih sayang, dan meningkatnya kebaikan terhadap makhluk.
Ketika seseorang sampai pada tingkat pengetahuan dan keterikatan dengan agama—misalnya, pengetahuan dengan membaca Quran atau memahami beberapa hukum atau terikat dengan bangun malam dan puasa di siang hari—tanda-tanda kebenaran tentang hal ini bukan dilihat dari penampilan seseorang, tetapi (hasilnya) dilihat dari akhlak dan amalnya. Tanda dari kebohongan dalam hal ini ialah tidak dimilikinya akhlak dan justru sebaliknya, ketika dia semakin banyak beribadah ia justru semakin sering marah.
Kita lihat beberapa saudara kita—semoga Allah memberi kita dan mereka petunjuk—semakin dia terikat dengan agama, semakin banyak amarah menghiasi wajahnya. Semakin merasa dia terikat dengan agama, semakin kasar ia terhadap orang-orang; semakin memandang hina masyarakat; dan semakin kasar dengan anggota keluarganya sendiri yang kurang dekat dengan agama.
Dari mana semua itu datang? Bagaimana bisa perilaku orang yang dekat dengan agama seperti ini? Penyebabnya adalah kurangnya ikatan dan hubungan antara gambaran dalam menjalankan perbuatan agama dan mencari pengetahuan dengan keikhlasan dalam melakukannya; seharusnya ia menyadari interaksi dengan Allah dan menyadari karunia-Nya. Karenanya kita harus—bagi mereka yang mencari belas kasih—merenungi diri sendiri dan mencoba mencari kebenaran di dalam hati kita.
Wahai kalian yang telah Allah rahmati dengan sering datang ke masjid, renungkan mengapa Dia lakukan itu kepada kalian? Bagaimana pandangan kalian terhadap mereka yang sedang di luar masjid?
Kalian akan segera keluar dari masjid begitu pelajaran ini selesai. Kalian mungkin akan menemui beberapa pemuda lain dalam kondisi tidak baik. Seseorang yang mengeraskan volume radio sampai tingkat tertinggi dan menganggu lima sampai sepuluh mobil di sekitarnya; dengan musik keras yang kotor dan mengganggu, tidak peduli, dan meninggikan suaranya dengan cara yang tidak pantas. Bagaimana kalian menanggapinya?
Apakah kalian akan memandanganya dengan rasa kasih sayang dan berkata, “Orang ini belum mendengar apa yang kami dengar. Ya Allah, sebagaimana Engkau memperdengarkan kepada kami, perdengarkan juga kepadanya dan berikan kepadanya keberhasilan.” Jika kalian melewatinya dan dia melihat kalian, kalian senyum dan mengatakan “Assalamualaikum wa rahmatullah wa barakatuh” dan kalian melanjutkan jalan dengan tenang. Menurut kalian, pengaruh apa yang akan membekas di hatinya?
Di sisi lain, jika kalian meninggalkan pelajaran ini, dan merasa memiliki sedikit ketakwaan, kesalehan dalam diri kalian; kalian sudah belajar banyak, sudah salat berjemaah, dan melihat lelaki seperti itu dan berteriak “A’udzubillah minasy syaitan! Apa ini?!” dan kalian melihatnya dengan pandangan kasar. Ini bukan mencari perlindungan Allah dari perbuatan buruk. Ini bukan mencari pertolongan. Bukan begini caranya. Inilah perbedaan antara ilmu rabbani, ilmu muhammadi dengan ilmu iblisi.
Hal ini mengingatkan saya tentang seorang penuntut ilmu yang bingung melihat dua majelis ilmu yang berbeda: “Haruskah saya pergi ke orang ini atau orang itu?” Majelis yang satu mengatakan berada pada Quran dan sunah; majelis yang lain juga mengatakan berada pada Quran dan sunah. Dia bingung, “Saya harus datangi yang mana?”
Dia datangi seseorang yang saleh dan beliau mengatakan kepadanya bahwa kita harus mendatangi kedua majelis itu, “Mari saya tunjukkan…”
Mereka bediri di majelis pertama dengan niat sebagai murid. Dia berdiri di antara majelis itu ketika si syekh berbicara. Ketika si syekh melihatnya, dia berteriak, “Duduk! Mengapa kalian berdiri?!” Orang saleh itu menjawab, “Saya tidak ingin duduk di majelis Anda.” Syekh berkata, “Mengapa engkau tidak ingin duduk di majelis saya?”
Beliau menjawab, “Saya punya masalah dengan Anda.” Syekh itu berkata, “Saya juga punya seribu alasan itu melawan Anda. Keluarlah engkau, setan! Jangan ganggu pelajaran kami!”
Penuntut ilmu yang bersama orang saleh itu berkata, “Mari kita pergi sebelum mereka datang dan memukul kita.”
Mereka datangi majelis kedua dan berdiri dengan cara yang sama, sehingga si syekh menghentikan pelajarannya. Syekh melihat dan berkata, “Akankah kalian berdua duduk?”
Perhatikan perbedaannya, (yang syekh pertama mengatakan) “Duduk!” dan (syekh kedua berkata) “Akankah kalian berdua duduk?”
Dia menjawab, “Saya tidak mau duduk di majelis Anda.” Sang syekh berkata, “Mengapa?”
“Ada sesuatu di hati saya tentang Anda.” Syekh itu menundukkan kepalanya dan mulai menangis. Dia berkata, “Innalillah wa inna ilaihi rajiun. Astaghfirullah wa attubu ilaih. Semoga Allah memberi Anda penglihatan tentang kesalahan saya yang tersembunyi. Aku memohon ampun kepada Allah.” Syekh itu terus meneteskan ari mata menangis.
Orang saleh itu menghadap pemuda penutut ilmu dan berkata, “Jadi, majelis mana yang akan engkau datangi? Majelis ini atau itu?”
Jadi, tolak ukur ketakwaan, kesalehan dan agama terlihat dari karakter dan akhlak seseorang dalam meraih ketakwaan. Jika kalian pernah mengalami kebingungan di antara dua sisi, yang masing-masing mengatakan “kamilah yang paling benar”, lihatlah akhlaknya.
Di mana ada akhlak yang bersih dan murni, di situlah ada agama. Di mana ada akhlak yang bersih dan murni, di situlah ada pengetahuan. Di manapun tidak ada akhlak yang baik, maka di sana tidak ada agama dan pengetahuan. Tidak mungkin ada ketakwaan, agama, dan pengetahuan jika tidak ada akhlak. Jadi seluruh pengetahuan dan keagamaan yang tidak mempengaruhi seseorang dengan akhlak, maka akan meninggalkan cacat dalam keagaamaan dan pengetahuan seseorang.
Beginilah cara kita menilai. Marilah kita jangan menilai orang lain dulu. Mari nilai diri sendiri. Agar kita dapat memperbaiki diri antara kita dan Allah. Karena terdapat cacat dalam diri seseorang yang hanya kelihatan bertakwa dan beragama. Entah karena putusnya pemahaman bagian agama tentang akhlak baik dan hubungan dengan orang lain (muamalat) atau sebab lain.
Poin lain yang kita sebut adalah penampilan ketaatan kalian dalam Islam terhadap diri sendiri, hasil dari ketaatan kalian dalam Islam, dan bagaimana kalian menjadi lebih baik. Siapa yang demikian, dialah yang memiliki kemurnian takwa dan pribadi yang lebih baik.
Seseorang datang ketika Rasulullah bersama sahabatnya. Orang ini dihormati dan terpandang di antara masyarakat. Dia selalu merasa lebih baik dari yang lain. Orang-orang melihatinya. Rasulullah bertanya pada para sahabat, “Bagaimana pendapat kalian tetang orang ini?”
Sahabat menjawab, “Wahai Rasulullah, orang ini terhormat. Jika dia meminta seseorang untuk menikah, dia tidak akan ditolak.”
Rasulullah diam. Orang itu berjalan dengan bangga dan kemudian duduk. Tidak lama kemudian, seseorang dari kalangan miskin datang dengan kesalehan dan keikhlasan bertakwa kepada Allah.
Rasulullah bertanya pada para sahabat, “Bagaimana pendapat kalian tentang orang ini?” Sahabat menjawab: “Wahai Rasulullah, orang ini tidak bisa menikah walau dia ingin. Siapa yang akan menerimanya? Dia lemah dan tidak punya apa-apa. Jika ia melamar wanita, maka tidak diterima.”
Nabi saw. menjawab, “Orang ini lebih (mulia) sebesar berat bumi dibandingkan yang satunya.” Dengan ukuran Allah, orang (miskin) ini jauh lebih baik dibandingkan yang sebelumnya.
Ada juga orang lain yang datang dalam majelis. Nabi berkata ketika mendengar para sahabat memuji bahwa orang itu suka bangun malam, puasa siang hari, dan penghapal pelajaran. Nabi berkata, “Saya melihat tanda yang sama dengan tujuh setan di wajahnya.”
Setelah orang itu masuk, nabi saw. bertanya, “Hai engkau, apakah ketika engkau masuk masjid engkau memandang diri lebih baik dari orang lain yang ada di masjid?” Dia menjawab “Ya.”
Inilah cara menilai diri sendiri. Jika masuk ke suatu tempat, jangan berpikir lebih baik dari yang lain. Agama ini agama adab dengan Tuhanmu dan ini refleksi dari bagaimana kita memperlakukan dan berurusan dengan makhluk. Dengan ini kita memperbarui cara kita melihat ketakwaan dan keberagamaan kita.
Penerjemah (Bebas): Ali Reza Aljufri © 2011
mainsource:http://ejajufri.wordpress.com/2011/06/21/akhlak-dan-ikhlas-dalam-ketakwaan/#more-6297
0 comments to "AKHLAK terbaik = Hasil akhir seseorang yang TAKWA"