Home , , , , , , , , � Negara Islam saling kunjung mengunjungi..ISLAM pun makin KUAT dan BERSATU !!!!!! Perdebatan antara mazhab Sunni dan Syiah adalah HARAM !!!!

Negara Islam saling kunjung mengunjungi..ISLAM pun makin KUAT dan BERSATU !!!!!! Perdebatan antara mazhab Sunni dan Syiah adalah HARAM !!!!

Untuk Kesekian Kalinya Kami Mengundang Rektor Al Azhar Mengunjungi Iran

Hujjatul Islam Hasan Akhtari dalam wawancaranya mengatakan, "Kami sungguh berbesar hati, mengharapkan kunjungan Syaikh Al-Azhar dan ulama Mesir yang lain ke Iran dan saya berharap mereka menerima undangan kami, semoga persaudaraan Iran dan Mesir demi persamaan dan kerjasama akan menjadi kenyataan."


Untuk Kesekian Kalinya Kami Mengundang  Rektor Al Azhar Mengunjungi Iran

Menurut Kantor Berita ABNA, pimpinan Majma Jahani Ahlul Bait Hujjatul Islam Wal Muslimin Muhammad Hasan Akhtari dalam wawancaranya oleh beberapa wartawan sebuah surat khabar Mesir Al-Ahram membincangkan undangan Shaykh Al-Azhar Ahmad Tayyib ke Iran dan mufti Mesir Ali Jumʽah yang sudah dikirim namun hingga ke hari ini mereka belum mendapatkan jawaban.

Beliau dalam wawancara pada hari sabtu (11/6) mengatakan, “Kami sungguh berbesar hati mengharapkan kesediaan Syaikh Al-Azhar dan ulama Mesir yang lain untuk mengunjungi Iran dan saya berharap mereka menerima undangan kami, semoga persaudaraan Iran dan Mesir demi persamaan dan kerjasama akan menjadi kenyataan.”

Hujjatul Islam Wal Muslimin Muhammad Hasan Akhtari mengingatkan bahawa Hauzah Ilmiyah di Iran sudah bersedia menjalin kerjasama dalam berbagai bidang, khususnya kebudayaan, Agama, pertukaran dosen dan pelajar dengan Universitas Al-Azhar. Beliau mengatakan, “Pintu Iran untuk Al-Azhar dan ulama besar mereka sentiasa terbuka untuk semua urusan yang bermanfaat bagi umat”.


Mengenai pernyataan banyak pengamat politik yang mengatakan kebangkitan revolusi Mesir terinspirasi dari kebangkitan rakyat di Iran beliau mengatakan, “Mesir tidak pernah kekurangan tokoh yang intelek dan memiiiki pendirian. Rakyat Mesir adalah bangsa yang mulia di kalangan bangsa-bangsa di dunia dan mereka sendiri bebas menentukan nasib politik negeri mereka di masa depan”.

Lebih lanjut Akhtari mengatakan, “Yang penting di sini ialah semua partai di Mesir mampu duduk bersama dan menghindari perpecahan khususnya bersatu untuk menampik segala pengaruh kekuatan asing yang menentang segala bentuk pembaharuan di Mesir."


Beliau menganggap politik luar Mesir dekade lalu sebagai sebab revolusi dalam negara ini dan mengatakan, “Kami mengenali bangsa Mesir yang tidak merestui politik luar yang mencampuri urusan dalam negeri”.

Mengenai tudingan bahwa Majma’ Jahani Ahlul Bait berusaha menyebarkan Syiah, beliau mengatakan, “Tuduhan ini tidak benar, kami pencinta Ahlul Bait sama ada Sunni atau Syiah dari seluruh dunia mempunyai hubungan, Majma’ Ahlul Bait tidak mempunyai tugas menyebarkan mazhab Syiah atau membahaskan perbandingan mazhab ini."


Pimpinan Majma’ Jahani Ahlul Bait tersebut lebih lanjut mengatakan Imam Khomeini menganggap perdebatan antara mazhab Sunni dan Syiah adalah haram. Kata beliau, “Ayatullah Ali Khamenei, pemimpin revolusi juga telah mengeluarkan fatwa kewajiban menghormati sahabat dan Ummul Mukminin”.

Mengenai hubungan Iran dan Mesir yang terputus sejak beberapa tahun yang lalu, beliau mengatakan, “Walaupun hubungan diplomatik antara dua negara, warga Mesir dan Iran sudah dan masih mempunyai hubungan baik. Iran sejak 20 tahun lalu melanjutkan usaha memperbaiki hubungan dua pihak”.


Hujjatul Islam Akhtari lebih lanjut berkata, “Hubungan dengan komunitas Syiah di Mesir adalah dalam rangka kerja keanggotaan mereka dalam Majma’ Umumi dan pertukaran pendapat tentang masalah Arab, Islam dan persoalan-persoalan internasional”.


Tambah beliau lagi, “Iran secara resmi dengan berdasar pada rasa kemanusiaan telah membuka pintunya untuk kerjasama ekonomi, budaya dan agama dengan Mesir, serta untuk kunjungan warga kedua-dua negara agar pandangan antara dua Negara ini bisa lebih didekatkan”.

mainsource:http://abna.ir/data.asp?lang=12&id=247154


Akhtari: Ayatullah Al Hakim Sosok Pendamba Kesyahidan

Pimpinan Majma Jahani Ahlul Bait, Hujjatul Islam wa Muslimin Akhtari menyampaikan ceramah bela sungkawanya dalam majelis duka cita untuk mengenang kesyahidan Ayatullah al Hakim di Masjid Ridha Qo, Republik Islam Iran.


Akhtari: Ayatullah Al Hakim Sosok Pendamba Kesyahidan

Menurut Kantor Berita ABNA, majelis duka yang diselenggarakan untuk mengenang tahun kedelapan kesyahidan Ayatullah Sayyid Muhammad Baqir al Hakim dan tahun kedua wafatnya Hujjatul Islam wa Muslimin Sayyid Abdul Aziz al Hakim yang telah berlangsung di Masjid Imam Ridha, Gozarkhan, Qom, dihadiri oleh wakil-wakil beberapa dari ulama maraji dan simpatisan keluarga al Hakim.

Pada pembukaan majelis, dua penyair Arab menyenandungkan syair yang mengungkap kesedihan akan kepergian tokoh-tokoh besar dari keluarga al Hakim yang begitu dihormati dan dimuliakan masyarakat. Selanjutnya majelis diisi dengan ceramah takziyah oleh pimpinan Majma Jahani Ahlul Bait, Hujjatul Islam Wal Muslimin Akhtari yang dalam ceramahnya banyak mengungkap keistimewaan dan sifat-sifat mulia Ayatullah Muhammad Baqir al-Hakim.

Selain itu, pimpinan Majma’ Jahani Ahlul Bait tersebut turut menyampaikan ucapan takziah dan bela sungkawa di hari kesyahidan Imam Ali Al-Hadi dan hari wafatnya Imam Khomeini kepada Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran Sayyid Ali Khamenei, kepada para marja’ taqlid, keluarga al-Hakim, dan juga kepada para ulama dan para hadirin yang menghadiri majelis tersebut.

Hujjatul Islam Akhtari mengatakan, “Hari ini adalah hari untuk mengenang salah satu hari besar, yang dari satu sisi merupakan kebanggaan buat pengikut Ahlul Bait yang terzalimi, dan dari sisi lain adalah semakin hidup dan berkembangnya mazhab Ahlul Bait yang mulia ini."

Selanjutnya, beliau menyifatkan As-Syahid Al-Hakim sebagai pribadi yang mencintai dan pendamba kesyahidan, “Syahid adalah suatu kebanggaan yang Imam Ali katakan lebih baik syahid meskipun tubuh dalam keadaan tercabik-cabik dibanding mati biasa ditempat tidur."

Hujjatul Islam Wal Muslimin Akhtari menegaskan, “Tatkala menjelang kematian Amirul Mukminin, beliau mengatakan ‘Aku telah menang wahai Rabbul Ka’bah’, ucapan ini kemudian membekas dan memberi pengaruh kepada para pengikut beliau untuk juga merindukan dan mendambakan kesyahidan dan menganggap kesyahidan sebagai kemuliaan dan kebanggan. Demikian juga pada diri pribadi as-Syahid Ayatullah Al-Hakim yang telah bercita-cita meraih kebanggaan ini”.

Beliau mengingatkan kemuliaan As-Syahid Ayatullah Al-Hakim dengan mengatakan, “Ulama adalah benteng dalam berdiri menghadapi serangan pihak musuh dan orang-orang zalim. Inilah kebenaran ucapan Imam Al-Jawad iaitu ‘Diri ulama adalah anugerah untuk memberikan hidayah kepada manusia di jalan Allah”.

Pimpinan Majma’ Jahai Ahlul Bait lebih lanjut menyatakan peranan ulama dalam pemetaan arah tuju masyarakat dengan berkata, “Hari ini adalah keruntuhan diktatorisme yang diterjang oleh gelombang kesadaran rakyat, kita melihat buktinya dengan jatuhnya Mubarak dan Abdul Soleh. Pada hakekatnya pencapaian kemenangan di tangan rakyat tersebut adalah manifestasi dari janji Allah yang disampaikannya dalam Al-Qur'an, «إِنَّا لَنَنصُرُ رُسُلَنَا وَالَّذِينَ آمَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ يَقُومُ الْأَشْهَادُ» (Sesungguhnya Kami menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi).

Hujjatul Islam Akhtari kemudian menjelaskan kemenangan yang dicapai umat Islam hari ini, tidak lepas dari peran seorang faqih yakni Imam Khomeini ra yang telah menjadi ispirator bagi revolusi-revolusi Islam di dunia. Beliau berkata, “Kemenangan-kemenangan yang dicapai umat Islam saat ini tidak bisa kita lepaskan dari peran seorang ulama yang faqih, ‘alim dan murid maktab Imam As-Sodiq as yakni Ayatullah Ruhullah al Khomeini, Ayatullah Al-Hakim juga telah menyatakan hal ini sebelum mengucapkan selamat tinggal di Tehran bahwa masa depan Islam untuk revolusi Islam dan umat Islam sangat jelas”.

Mengengai berbagai keluasan dimensi pribadi As-Syahid Al-Hakim, Hujjatul Islam wa Muslimin Akhtari mengatakan, “Orang alim maktab Ahlul Bait ini selain telah banyak berdakwah dengan berbagai kitab dan ucapan, keistimewaan beliau juga adalah dengan mengobarkan perlawanan melalui medan jihad”.
Akhtari mengatakan, “As-Syahid Al-Hakim berdiri untuk menegakkan pemerintahan Islam bersama ilmu dan pengetahuan dengan pembentukan yang munasabah dalam kerjasamanya dengan pembentukan Partai Dakwah Islamiyah”.

Hujjatul Islam Akhtari menyentuh tentang pujian Imam Khomeini terhadap As-Syahid Al-Hakim dengan mengatakan, “Setelah kemenangan Revolusi Islam Iran, As-Syahid Al-Hakim pernah mengasaskan terbentuknya Persatuan Badar dengan menekankan pembentukan keduanya setelah kebudayaan dan ketenteraan”.

Mengenai pujian layanan Ayatullah Al-Hakim terhadap tawanan Iraq, beliau menyatakan, “Pertama kali saya mengenali Ayatullah As-Syahid yang besar ini ialah ketika saya menjadi Imam Jum'at kota Semnan, ketika itu saya membawanya pergi menziarahi penjara tawanan Iraq di Semnan dan beliau memberikan ketenangan kepada para tawanan dengan ucapan-ucapan yang menakjubkan dan membangkitkan kesabaran."

Pimpinan Majma’ Jahani Ahlul Bait ini kemudian mengajukan salah satu karakter dari As-Syahid Al-Hakim yang sangat patut dicontoh oleh ulama-ulama lain di masa kini, “Sebagaimana para Imam mengangkat makanan di atas bahu mereka, dan pergi ke rumah anak-anak yatim dan orang miskin, untuk kemudian membagikannya maka ulama kita juga di zaman ini dan dengan cara yang lain telah mewakafkan dirinya untuk umat, datang ke tengah-tengah umat untuk memberi pencerahan dan mengeluarkannya dari kebodohan.”

Hujjatul Islam Akhtari menceritakan tentang perhatian Ayatullah Al-Hakim mengenai persatuan umat Islam dan Pendekatan Antara Mazhab-Mazhab Islam, “As-Syahid yang mulia ini banyak melaksanakan aktivitas persatuan di antara kaum muslimin dengan bertahun-tahun bertanggungjawab memimpin Majelis Tertinggi Majma’ Taqrib Mazahib Islami."

“Beliau dengan memberikan bukti dari riwayat, telah menganggap bahwa membentuk kasih sayang antara makhluk dan Pencipta merupakan salah satu dari tanggungjawab para ulama. Katanya, “Ayatullah Al-Hakim dalam qunut solat, beliau sendiri membaca, « وَالَّذِينَ جَاؤُوا مِن بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِّلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ » , Ini menunjukkan bahwa beliau memberi perhatian terhadap orang-orang terdahulu dan akan datang”.

Hujjatul Islam Akhtari di penghujung ucapannya mengingatkan, “As-Syahid Ayatullah Muhammad Baqir Al-Hakim telah menduduki puncak ilmu, kefaqihan dan juga pembacaan Raudhah Imam Husain di mana beliau sering membaca Raudhah dan Maqtal dalam majlis Imam Husain as, dan ekspresi kedukaannya terlihat dengan tetesan air matanya. Beliau tidak ubahnya Imam Husain yang juga begitu mendambakan kesyahidan."

mainsource:http://abna.ir/data.asp?lang=12&id=247152

Yatom: Israel Akan Berperang dengan Mesir, Jordania dan Turki

Mantan ketua Mossad, Danny Yatom memprediksikan Rezim Zionis Israel di akhir tahun ini akan berperang dengan Mesir, Jordania dan Turki.

Seperti dilaporkan Qodsna, Danny Yatom menandaskan, di saat Dewan Keamanan PBB bulan September mendatang mengakui negara merdeka Palestina sesuai garis perbatasan 1967 maka Mesir, Jordania dan Turki yang menganggap Tel Aviv rezim penjajah pasti mendukung keputusan tersebut. "Dukungan tiga negara tersebut akan membuka medan perang antara Israel dan Mesir, Jordania serta Turki," ungkap Yatom.

Pernyataan Yatom yang pernah menjabat ketua Mossad pada tahun 1996-1998 dirilis setelah Meir Dagan memperingatkan petualangan Israel di kawasan. Dagan juga pernah menjabat ketua Mossad tahun 2002-2011. (IRIB/Qodsna/MF/7/6/2011)

Lembaran Hubungan Baru Iran dan Mesir

Bendera Iran dan Mesir

Pekan lalu sebuah delegasi pemerintah Mesir berkunjung ke Iran. Selama berada di Tehran mereka bertemu dan berunding dengan para pejabat tinggi Republik Islam Iran, termasuk Presiden Mahmoud Ahmadinejad. Topik pembicaraan dalam setiap pertemuan itu adalah soal normalisasi hubungan Tehran-Kairo. Setelah jatuhnya kekuasaan rezim Hosni Mubarak Februari lalu, pemerintah transisi Mesir berulang kali menyatakan minatnya untuk menormalisasi hubungan dengan Iran. Gayungpun bersambut setelah Iran membuka tangan dan menyambut gembira perubahan kebijakan Mesir di bawah pemerintahan sementara.

Transformasi yang bergulir dengan cepat di kawasan yang diwarnai dengan tumbangnya rezim-rezim despotik dan otoriter dukungan Barat telah mengubah konstelasi politik di kawasan. Salah satu perubahan terpenting yang terjadi saat ini adalah melemahnya pengaruh Amerika Serikat (AS) dengan sekutu-sekutu Eropanya seiring dengan menguatnya peran rakyat dalam menentukan masa depan negeri mereka. Perkembangan yang terjadi Mesir menjadi sorotan publik politik dan media mengingat posisi negara ini di kawasan dan perubahan kebijakan luar negerinya pasca jatuhnya rezim Mubarak.

Selama tiga dekade berada di bawah kekuasaan rezim Hosni Mubarak, Mesir menjadi negara eksekutor kebijakan AS di kawasan dan penjamin kepentingan rezim Zionis Israel. Puncaknya adalah kebijakan Kairo menutup perbatasan ketika Jalur Gaza digempur secara massif oleh Israel pada perang 22 hari. Dengan ditutupnya perbatasan Rafah, tak ada bantuan apapun yang bisa dikirim oleh masyarakat internasional dan Dunia Islam kepada warga Palestina di Gaza. Tumbangnya rezim Mubarak mengancam kepentingan AS dan Israel. Salah satu hal yang dicemaskan AS dan rezim Zionis adalah perubahan kebijakan luar negerinya, khususnya normalisasi hubungan negara ini dengan Republik Islam Iran.

Salah satu masalah penting yang selama ini mempengaruhi hubungan Iran dan Mesir adalah masalah rezim Zionis Israel. Tahun 1960, hubungan kedua Negara sempat terputus setelah Iran di era rezim Syah Pahlevi menjalin hubungan dengan Rezim Zionis Israel. Saat itu, Mesir dipimpin oleh sosok pemimpin kharismatik Gamal Abdel Nasser sementara Iran berada di bawah kekuasaan Syah Mohammad Reza Pahlevi. Menyusul wafatnya Abdel Nasser tahun 1970, kedua negara menandatangani protokol pembukaan hubungan bilateral. Ketika itu, Anwar Sadat yang menjadi Presiden Mesir mulai meninggalkan semangat nasionalisme dan anti Israelnya. Akhirnya pada tahun 1979 di tahun kemenangan revolusi Islam Iran, Anwar Sadat menandatangani perjanjian Camp David yang merupakan perjanjian pengkhianatan terhadap perjuangan bangsa Palestina. Di Iran, pemimpin agung revolusi Islam, Imam Khomeini memerintahkan pemutusan hubungan dengan Mesir yang sudah berdamai dengan Israel. Sejak saat itulah, selama lebih dari 30 tahun, Iran dan Mesir tidak menjalin hubungan diplomatik.

Selama tiga dekade, Iran dan Mesir tidak menjalin hubungan diplomatik, bahkan terkesan adanya permusuhan di antara keduanya. Faktor terpenting dalam hal ini adalah kebijakan Mesir yang pro Israel. Karena itu, dengan tersingkirnya Mubarak, ada harapan kuat pemerintahan transisi Mesir menganulir kebijakan negara itu dalam masalah Israel dan berpikir untuk mendekati pihak-pihak yang selama ini berada dalam front muqawama anti rezim Zionis, khususnya Iran. Tak heran jika saat ini para pejabat tinggi di pemerintahan transisi dan para tokoh politik Mesir berbicara tentang perlunya menjalin hubungan dengan Iran. Salah satunya adalah Amr Moussa yang pernah menjabat sebagai Sekjen Liga Arab dan Menteri Luar Negeri Mesir. Politikus senior ini dalam wawancara dengan Washington Post mengatakan, Mesir harus bergerak ke arah perbaikan hubungan dengan Republik Islam Iran. Kita akan memperoleh banyak keuntungan dari hubungan damai dan menurunnya ketegangan dalam hubungan kita dengan Iran."

Mengenai program nuklir Iran Moussa mengkritik sikap Barat dan menandaskan, "Dalam masalah nuklir, yang harus dipermasalahkan pertama kali adalah program nuklir Israel." Terkait hubungan Mesir dengan AS, mantan Sekjen Liga Arab mengatakan, hubungan ini mesti dijalin dengan mempertimbangkan kondisi Mesir yang baru dan dengan memperhatikan pandangan rakyat Mesir. Periode saat AS bisa menyelesaikan semua masalah hanya dengan satu orang saja (Hosni Mubarak) sudah berakhir.

Langkah yang dilakukan pemerintah Mesir dalam beberapa bulan terakhir menunjukkan adanya perubahan mendasar dalam kebijakan pemerintahan pasca Mubarak terkait rezim Zionis Israel. Salah satu langkah yang membanggakan adalah keberhasilan Mesir dalam menjembatani terwujudkan rekonsiliasi nasional Palestina dengan tercapainya kesepakatan damai antara dua faksi besar Palestina, Hamas dan Fatah. Penandatangan perjanjian rekonsiliasi nasional Palestina membuat para petinggi zionis dan AS bak kebakaran jenggot. Berdasarkan kesepakatan, akan segera dibentuk pemerintahan persatuan nasional yang menyertakan seluruh faksi Palestina. Yang menarik dalam kondisi seperti ini, negara-negara Barat yang notabene pendukung Israel menyatakan siap mengakui kemerdekaan Palestina. Sikap itu didasari oleh keputusasaan mereka mencegah terbentuknya pemerintahan Palestina yang merdeka.

Kebijakan penting lain yang telah diambil pemerintah Mesir adalah membuka jalur perbatasan Rafah yang menghubungkan Jalur Gaza dengan Mesir dan dunia luar. Dengan adanya kebijakan ini praktis blokade kejam yang telah mendera warga Gaza dalam empat tahun ini telah berakhir. Langkah pemerintah ini mengindikasikan adanya keinginan kuat dari para pemimpin di negara itu untuk menemukan posisinya dan memainkan peran besar dalam transformasi yang terjadi di kawasan. Peran itu mesti dilandasi oleh kepentingan rakyat Mesir dan Palestina. Seiring dengan itu, para pemimpin pemerintahan sementara Mesir melirik Iran untuk membuka secara resmi hubungan diplomatik yang sudah terputus selama tiga dekade.

Normalisasi hubungan kedua negara sudah pasti akan menghasilkan perubahan mendasar dalam peta politik di Timur Tengah. Tak heran jika lantas ada sejumlah pihak yang keberatan dan menentang upaya normalisasi hubungan Iran dan Mesir. Dengan segala upaya dan sarana finansial, media propaganda maupun kekuatan diplomasi mereka berusaha keras mencegah langkah Mesir mendekati Iran. Salah satu cara yang mereka lakukan adalah menekan para pemimpin Mesir dengan ancaman pemutusan bantuan finansial kepada Kairo.

Kubu penentang normalisasi hubungan Iran dan Mesir terdiri atas dua kelompok. Kelompok pertama adalah rezim Zionis Israel dan Amerika Serikat (AS) yang terus berusaha mengganjal terjalinnya hubungan ini. Kelompok kedua adalah rezim-rezim Arab non demokratik di bawah komando Arab Saudi. Para penguasa di negara-negara ini merasa posisi mereka di kawasan terancam dengan terjalinnya hubungan Mesir dengan Iran. Tentunya kedua kelompok itu berada di satu kubu yaitu kubu yang menentang hubungan baik Kairo dan Tehran.

Sejak Hosni Mubarak lengser, Arab Saudi berusaha keras mengambil alih peran sebagai eksekutor kebijakan AS di Timur Tengah. Sebab, memang rezim-rezim seperti keluarga Saud di Arab Saudi yakin bahwa kelanggengan kekuasaan mereka hanya bisa dijamin jika mereka patuh kepada pihak asing. Kini, Timur Tengah sedang berada dalam gelora kebangkitan rakyat Muslim menentang rezim-rezim bobrok, despotik dan dependen. Karena itu, sulit dibayangkan Arab Saudi akan mampu menggantikan posisi Mesir dalam menjalankan kebijakan AS.

Dengan kekuatan finansialnya, Arab Saudi berusaha memanfaatkannya untuk menekan Mesir agar melupakan hubungan dengan Iran. Mungkin saja, uang dapat mengganggu upaya normalisasi ini untuk jangka pendek, namun ke depan tak mungkin Arab Saudi bisa menghalangi niat dua negara yang memiliki masa lalu gemilang dan sejarah panjang untuk merapat dan menyambung kembali tali persahabatan yang terputus selama beberapa dekade. AS, Israel dan Arab Saudi menghadapi satu bangsa dengan populasi 80 juta jiwa yang sudah bertekad untuk menentukan sendiri nasib negeri mereka.(irib/11/6/2011)


Spiritualitas, Rasionalitas dan Keadilan Imam Khomeini

Imam Khomeini r.a

Tanggal 4 Juni lalu, yang bertepatan dengan tanggal 14 Khordad 1390 HS, rakyat Iran tenggalam dalam duka memperingati 22 tahun kepergian Imam Khomeini, Pemimpin Agung Revolusi Islam dan Pendiri Republik Islam Iran. Lautan massa menyemut di komplek makam suci Sang Pemimpin untuk memperbarui ikrar janji setia kepada cita-cita revolusi Islam. Di depan para peziarah ini, Pemimpin Besar Revolusi Islam Ayatollah Al-Udzma Sayyid Ali Khamenei dalam pidatonya memuji kesetiaan rakyat kepada pemimpin mereka, dan mengatakan, kecintaan rakyat yang mendalam ini tidak terbatas pada sisi emosi semata. Sebab, makna dari kecintaan yang mendalam adalah menerima dan loyal kepada ajaran Imam sebagai khittah yang terang dan jelas bagi perjalanan bangsa." Rahbar lebih lanjut menjelaskan warisan agung yang ditinggalkan Imam untuk umatnya berupa khittah yang meliputi berbagai dimensi. Beliau menyebutkan tiga dimensi penting dalam khittah Imam Khomeini.

Menurut beliau, khittah Imam Khomeini diilhami oleh ajaran Islam dan kitab suci al-Qur'an. Ayatollah al-Udzma Khamenei menyebut spiritualitas, rasionalitas dan keadilan sebagai unsur utama khittah Imam yang nampak dalam perkataan dan tindakan beliau. Rahbar mengatakan, "Imam Khomeini adalah figur pesuluk spiritual dan ahli dzikir, khusyuk dan ketundukan kepada Allah. Tawakkal beliau yang kuat kepada Allah tak mengenal kata akhir. Namun demikian, dalam setiap hal beliau selalu memperhatikan rasionalitas, kebijaksanaan, perhitungan dan logika. Sama seperti rasionalitas dan spiritualitas, beliau juga meyakini keadilan yang berasal dari lubuk ajaran Islam." Ketiga unsur ini yaitu spiritualitas, rasionalitas dan keadilan, tambah beliau, saling melengkapi dan kesemuanya adalah inti dari ajaran Islam.

Dalam sirah Imam Khomeini, rasionalitas sangat menonjol. Salah satu manifestasi dari rasionalitas Imam, kata beliau, adalah pemilihan sistem demokrasi agama sebagai dasar negara di sebuah negeri yang selama beberapa abad dikuasai oleh sistem despotisme dan kediktatoran. Rahbar menambahkan, berabad-abad lamanya negeri ini dipimpin oleh sistem kekuasaan individu... Despotisme dan kediktatoran era rezim Pahlevi lebih menyakitkan, sulit dan lebih tragis dibanding rezim-rezim sebelumnya. Di negeri dengan masa lalu seperti itu, Imam Khomeini berkesempatan mengenalkan partisipasi rakyat dalam pemilihan umum yang demokratik. Sejak kemenangan revolusi Islam, rakyat Iran bukan hanya berperan aktif dalam referendum menentukan sistem negara dan mengesahkan konstitusi, tetapi juga terlibat secara nyata dalam memilih para pejabat negara sebagai bentuk keikutsertaan mereka dalam menentukan nasib negeri ini. Semua itu terjadi karena kepercayaan besar Imam kepada rakyat.

Contoh lain dari rasionalitas dan kebijaksanaan Imam adalah kejelian dalam mengenal lawan yang dibarengi dengan kecerdikan dan resistensi penuh dalam menghadapi mereka. Pemimpin Besar Revolusi Islam menegaskan, "Berbeda dengan sebagian kalangan yang memandang bahwa terkadang logika menuntut untuk bersikap lunak di depan lawan, logika Imam justeru menilai sikap lunak terhadap lawan sebagai tindakan yang memberi kesempatan kepada musuh untuk melangkah maju. Karena itu sepanjang hidupnya, Imam selalu tampil tegar sekokoh gunung di hadapan lawan-lawannya.

Imam Khomeini juga menghidupkan kembali kepercayaan diri rakyat akibat usaha tak mengenal henti dari kaum arogan dan kaki tangannya di dalam negeri di era dinasti Qajar dan Pahlevi dalam menebar apatisme dan rasa hina di tengah bangsa Iran. Rahbar menjelaskan bahwa dalam khittah Imam Khomeini, negara adalah milik rakyat bukan milik para diktator dan kaum despotik seperti rezim Syah yang mengaku memiliki negeri ini. Dengan mental itulah, bangsa-bangsa lain yang menyaksikan kebangkitan rakyat Iran ikut tergugah untuk melawan rezim-rezim tiran dan despotik di kawasan.

Dimensi lain khittah Imam Khomeini adalah spiritualitas yang nampak jelas dalam perilaku Imam sehari-hari. Ayatollah al-Udzma Khamenei menambahkan, manifestasi nyata dan penting dari spiritualitas ini adalah keikhlasan Imam. Beliau tak pernah melangkah atau berbuat untuk menarik perhatian atau pujian. Beliau selalu mengajak semua orang untuk bertawakkal, percaya kepada bantuan Allah, berbaik sangka kepadaNya dan berbuat hanya untuk Allah. Imam Khomeini sendiri adalah sosok figur penuh tawakkal, iman, ibadah dan keikhlasan. Rahbar mencontohkan, setiap tahun, setelah berakhirnya bulan Ramadhan, orang akan menyaksikan cahaya spiritualitas yang nampak jelas pada diri Imam. Beliau selalu memanfaatkan segala kesempatan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mensucikan jiwa dari kotoran dan noda. Beliau juga mengajak orang lain untuk melakukan hal yang sama. Dalam salah satu ungkapannya, Imam mengatakan, kita ada di hadapan Allah dan Allah menyaksikan segalanya. Beliau juga selalu mengimbau para pejabat negara agar memandang diri mereka tidak lebih tinggi dari rakyat atau merasa jauh dari aib dan bebas kritik.

Dimensi ketiga dari kepribadian Imam Khomeini dan unsur ketiga khittah beliau adalah keadilan. Prinsip keadilan dalam khittah Imam tidak terhenti pada batas retorika semata, tetapi unsur inilah yang mendasari gerakan perjuangan beliau. Dengan kebangkitan ini Imam mengharapkan tegaknya keadilan. Rahbar mengenai keadilan dalam perspektif Imam Khomeini mengatakan, Imam punya perhatian yang besar kepada kaum lemah dan miskin. Sejak awal revolusi Islam, beliau selalu menekankan perhatiannya kepada kelompok masyarakat yang lemah. Beliau juga sering berbicara tentang kelompok masyarakat yang beliau sebut ‘kaum tanpa alas kaki' dan ‘penghuni gubuk'. Dengan membawakan ungkapan seperti itu, Imam menyeru para pejabat negara untuk menghindari kemewahan dan memperhatikan nasib kaum miskin.

Imam sendiri, lanjut Rahbar, adalah sosok pribadi yang telah melepaskan diri dari ingar bingar dan rayuan dunia. Karena itu menasehati semua kalangan terutama para pejabat negara untuk tidak berlomba-lomba dalam mengumpulkan kekayaan. Pejabat negara dituntut untuk berhubungan akrab dan dekat dengan rakyat dan mengabdi kepada rakyat di seluruh penjuru negeri. Beliau juga sangat jeli dalam memandang para pejabat negara yang bekerja secara tulus untuk rakyat.

Keistimewaan pribadi Imam Khomeini juga nampak jelas pada kelapangan dada beliau dalam menghadapi lawan-lawannya dan mereka yang berseberangan dengan beliau. Imam sangat menghargai kehormatan insani setiap orang. Rahbar mengatakan, dalam khittah Imam Khomeini, kita tidak diperkenankan untuk bertindak tidak adil terhadap mereka yang berbeda pandangan politik dan berseberangan dengan kita. Al-Qur'an mengatakan, "Dan jangan sampai kebencianmu kepada suatu kaum membuatmu berbuat tidak adil terhadap mereka. Berbuat adillah karena itu lebih dekat dengan ketaqwaan." (Q.S. al-Maidah:8)

Sebagai penutup ada baiknya kita simak satu ungkapan penting dari Rahbar tentang warisan yang ditinggalkan Imam Khomeini. Beliau mengatakan, Imam Khomeini telah membuat dasar hukum, sosial dan politik negara ini sedemikian kokoh sehingga bisa menjadi pondasi bagi tegaknya sebuah peradaban Islam yang agung.(irib/13/6/2011)

Rahbar: Budaya, Identitas Bangsa


Pemimpin Tertinggi Revolusi Islam Iran atau Rahbar, Ayatollah Al Udzma Sayid Ali Khamenei, Senin sore (13/6/2011) melakukan pertemuan dengan para anggota Dewan Tinggi Revolusi Budaya.

Dalam pertemuan itu, Rahbar menyatakan, Dewan Tinggi Revolusi Budaya seperti tempat pijakan utama yang bertanggung jawab atas tugas kebijakan strategis, orientasi intansi-instansi, pusat budaya dan bagian-bagian eksekusi.

Rahbar menyebut pentingnya peran Dewan Tinggi Revolusi Budaya, seraya mengatakan, "Budaya merupakan identitas dan bentuk spritual sebuah bangsa yang mempunyai dampak luas dalam berbagai aspek kehidupan individu dan sosial."

Dalam kesempatan itu, Rahbar juga menyinggung pengoptimalan peran budaya yang dapat dilakukan melalui hal-hal seperti ideologi, akhlak, perilaku individu dan sosial serta identitas bangsa. Rahbar menjelaskan," Jika sebuah bangsa dari sisi lahir (eksternal) maju, namun dari sisi batin (internal) dihadapkan pada instabilitas, maka bangsa itu akan gagal. Akan tetapi bila sebuah bangsa dari sisi budaya adalah kaya, maka bangsa itu dari sisi potensial akan menjadi tangguh meskipun masih dihadapkan pada kendala politik dan ekonomi."

Menurut Rahbar, menjaga identitas dan bentuk internal bangsa bergantung pada penanggulangan kekurangan-kekurangan dari sisi budaya. Dikatakannya, "Para cendekiawan, ulama dan politisi, terutama para pejabat adalah kutub-kutub yang berpengaruh dalam budaya bangsa. Posisi mereka dapat mengendorkan atau menguatkan budaya." (IRIB/IRNA/AR/14/6/2011)

0 comments to "Negara Islam saling kunjung mengunjungi..ISLAM pun makin KUAT dan BERSATU !!!!!! Perdebatan antara mazhab Sunni dan Syiah adalah HARAM !!!!"

Leave a comment