Home , , , , , , , � Libya, Palestina, Iran,Iraq dan semuanya harus "MENGEMIS" ke Zionis+anteknya : Profesor Massad: Demokrasi, Alat AS untuk Menjarah

Libya, Palestina, Iran,Iraq dan semuanya harus "MENGEMIS" ke Zionis+anteknya : Profesor Massad: Demokrasi, Alat AS untuk Menjarah

Dosen Universitas Columbia Amerika Serikat, Profesor Joseph Massad, Sabtu (11/6) dalam sebuah artikelnya, menulis, AS bermaksud menjarah kekayaan negara-negara Arab dengan dalih menegakkan demokrasi. Tulisan itu sendiri diberi judul "Penjarahan negara-negara Arab oleh kaum kapitalis AS dengan kedok demokrasi."

IRNA melaporkan dari Malaysia, Massad dalam artikelnya yang dimuat di situs Gerakan Internasional untuk Keadilan Dunia Malaysia, mengatakan, model demokrasi Amerika di negara-negara Arab adalah instrumen untuk mencuri kekayaan bangsa Arab. Ditambahkannya, berdasarkan hal itu, nasib negara-negara Eropa Timur juga tengah menanti dunia Arab.

Massad menyatakan, dengan runtuhnya Uni Soviet, Blok Timur dipaksa untuk mengorbankan kekayaan pemerintah sosialis untuk dijarah oleh mafia kapitalis. Di Afrika Selatan, kehidupan warga juga telah menjadi korban sistem ekonomi Apartheid. Di kedua kawasan itu, rakyat biasa dan lapisan masyarakat bawah berada di bawah tekanan ekonomi. Namun sebaliknya, orang-orang tertentu bergabung dengan kelompok kapitalis dan menikmati "berkah" demokrasi.

Lebih lanjut, Profesor Massad menambahkan, kini sepertinya nasib serupa akan menimpa negara-negara Arab dan Afrika, yang tengah diguncang gelombang kebangkitan rakyat.

"Di negara-negara seperti Mesir sepanjang era kepemimpinan Hosni Mubarak, modal Barat menguasai ekonomi negara itu melalui lembaga-lembaga non-pemerintah seperti, Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia," tambahnya.

Menurutnya, pasca kebangkitan rakyat di Mesir dan Tunisia, Amerika bersama Arab Saudi dan Qatar berupaya memuluskan jalannya tokoh-tokoh reformis pro-Barat untuk menguasai urusan politik dan ekonomi negara tersebut. Langkah itu dilakukan melalui bantuan finansial kepada negara yang baru saja dilanda krisis.

Pada bagian lain tulisannya, Profesor Massad menandaskan, Washington menjelang kejatuhan Mubarak, menyatakan bahwa mereka mendukung bangsa Mesir dalam transisi demokrasi. Realita yang terjadi di Eropa Timur juga seperti itu, Amerika melalui topeng demokrasi, dengan mudah menjarah kekayaan negara-negara tersebut. Proyek ini sepertinya akan terulang di negara-negara Arab.

"Di negara-negara seperti Mesir dan Tunisia, yang telah menumbangkan sekutu AS dan Arab Saudi, Washington juga tengah menyusun strategi untuk menenangkan warga demi melanjutkan kebijakan imperialisme di kawasan," tegasnya. (IRIB/RM/SL/11/6/2011)

Senator AS: Militer Gaddafi Terobrak-abrik

Ketua Komisi Angkatan Bersenjata Senat Amerika Serikat, Carl Levin, menyatakan puas atas operasi militer AS di Libya, meski misi perang di Libya itu dinilai ilegal dan diluar batas wewenang militer negara ini.

Associated Press melaporkan, Jumat |(10/6) Levin menegaskan serangan udara pasukan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) ke Libya telah mengobrak-abrik pasukan pro-diktator Libya Muammar Gaddafi.

"Saya puas bahwa militer Gaddafi telah mengalami kerusakan parah, dan bahwa di sektor politik ia juga melemah secara signifikan," tutur Levin.

Dia menjelaskan bahwa operasi NATO "berjalan dengan baik, mereka terkoordinasi, dan kami tidak kehilangan satu personil pun. Saya pikir kami melangkah di jalan yang benar di Libya."

NATO ditugaskan untuk menerapkan zona larangan terbang di zona udara Libya sesuai dengan resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 1973 yang dirilis pada bulan Maret. Namun Levin menganggap benar keputusan NATO untuk menyerang Libya.

Pada saat yangsama , Menteri Pertahanan AS, Robert Gates mengkonfirmasikan degradasi kemampuan NATO dan aliansi militer Barat dalam perang di Libya.

Di lain pihak, para anggota DPR Amerika Serikat mengecam Presiden Barack Obama karena telah melancarkan serangan militer ke Libya tanpa mendapat persetujuan dari Kongres.

Pekan lalu, DPR Amerika Serikat merilis resolusi tidak mengikat yang mengkritik Obama karena dinilai tidak memberikan alasan kuat soal keterlibatan militer Amerika dalam operasi di Libya.
(IRIB/MZ/MF/11/6/2011)

AS Pastikan Akan Jegal Kemerdekaan Palestina

Seorang pejabat tinggi Dewan Keamanan Nasional Amerika Serikat menyatakan, jika Israe menerima usulan Amerika untuk kembali ke perbatasan tahun 1967, maka Washington akan menentang pembentukan negara Palestina merdeka di Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Fars mengutip laporan Koran Yediot Aharonot terbitan Israel menyebutkan, "Para pejabat Gedung Putih saat ini tengah mendesak Tel Aviv untuk secara resmi menerima usulan Presiden AS Barack Obama, agar kembali ke perbatasan 1967."

Adapun Washington Times melaporkan, Steven Simon, Direktur Urusan Timur Tengah dan Afrika Utara Dewan Keamanan Nasional Amerika, Jumat (10/6), menggelar pertemuan dengan para delegasi komunitas Yahudi Zonis dan mengatakan, "Washington tidak mengacu untuk menjadikan usulan yang dikemukakan Obama sebagai asas perundingan oleh Otoritas Palestina dan pemerintah Israel."

Simon menekankan, inti sikap Obama adalah bahwa perbatasan Israel dan Palestina ditentukan berdasarkan keputusan tahun 1967 disertai kesepakatan dua pihak.

Menurutnya, Amerika Serikat hanya punya waktu sekitar sebulan untuk menjegal upaya Otorita Palestina dalam menggalang dukungan atas pembentukan negara independen Palestina pada sidang Majelis Umum PBB yang akan digelar November mendatang.
(IRIB/MZ/MF/11/6/2011

Gaddafi Kirim Surat ke Kongres Minta Berdamai

Diktator Libya, Muammar Gaddafi, melayangkan surat sepanjang tiga halaman kepada Kongres Amerika Serikat dan menawarkan perundingan gencatan senjata.

Kantor berita Jerman DPA melaporkan, sebuah surat dilayangkan ke Kongres Amerika Serikat atas nama Gaddafi yang menyatakan kesiapannya untuk merundingkan gencatan senjata guna mengakhiri konflik selama tiga bulan itu.

Televisi ABC News dan koran Politico terbitan Amerika, para anggota Kongres menyatakan tengah menyelidiki keotentikan surat Gaddafi tersebut.

Dalam surat tersebut, Gaddafi mengatakan, "Kami siap berpartisipasi dalam perundingan yang dipimpin Amerika Serikat, dengan pihak dalam negeri yang tepat. Ijinkanlah untuk mengakhiri kehancuran ini dan memulai perundingan untuk mencari solusi damai bagi Libya."

Dalam surat yang tertanggal 9 Juni 2011 dan dengan tanda tangan "Muammar Gaddafi, Pemimpin Revolusi Besar" itu, disebutkan pula, "Bangsa kami jangan sampai dijajah kembali oleh Eropa. Jangan sampai negara kami terbagi menjadi dua."

Di bagian lain, Gaddafi juga mengharapkan bantuan kemanusiaan serta kesepakatan dengan kelompok-kelompok yang bertikai di Libya.
(IRIB/MZ/MF/11/6/2011)

Haniyah: Kami Hanya Berbicara dengan Bahasa Muqawama

Perdana Menteri Palestina, Ismail Haniyah, kembali menegaskan bahwa perundingan dengan rezim Zionis adalah opsi sia-sia.

Menurut laporan Fars, hal itu dikemukakan Haniyah pada khotbah Jumat (10/6), dalam acara pemakaman Muhammad Hasan Shamah, salah satu pendiri Gerakan Muqawama Islam Palestina (Hamas). Ditambahkannya, Hamas, pemerintah Gaza, dan parlemen Palestina, tetap komitmen dan tidak akan berunding dengan rezim Zionis Israel.

"Kami hanya akan berbicara kepada musuh dengan menggunakan bahasa muqawama," tegas Haniyah.

Menyikapi menyebarnya isu soal munculnya friksi dalam tubuh Hamas, Haniyah mengatakan, "Hamas berdiri bak gunung kokoh."

"Kami tidak akan menutup mata atas hak-hak kami dan hanya akan berunding dengan rezim penjajah Zionis dengan menggunakan bahasa muqawama, serta dengan komitmen dan semangat persatuan yang selalu dijunjung tinggi oleh para pemimpin Hamas," tutur Haniyah.

Menurutnya, menjaga persatuan di dalam negeri merupakan hukum syariat dan agama serta dilarang untuk keluar darinya. Pemerintah dan rakyat Palestina akan tetap loyal pada darah para syuhada dan komitmen untuk menjaga persatuan.

"Bagaimana mungkin kami akan menistakan hak dan nilai-nilai yang karenanya kami telah mengorbankan ribuan syuhada dan tahanan?" ungkap Haniyah mengakhiri pernyataannya.
(IRIB/MZ/MF/11/6/2011)

Masjid Al-Aqsa Diserang!!!

Tentara Zionis Israel kembali menyerang Masjid al-Aqsa dengan menggunakan senjata gas air mata dan strum untuk membubarkan kumpulan masyarakat Palestina di halaman masjid, Jumat(10/6/2011).

Seorang juru bicara polisi Zionis Israel mengatakan tentara memasuki tempat suci dan terlibat bentrok dengan masyarakat Palestina setelah mereka melemparkan batu ke arah pasukan keamanan.

Juru bicara itu tidak menjelaskan kronologi detail bentrokan tersebut yang diklaim karena pelemparan batu ke arah tentara.

Gerakan Perjuangan Islam Palestina (Hamas) yang dikutip Kantor Berita Kuwait (KUNA) menyatakan, pemukim Yahudi Israel memulai memprovokasi yang kemudian berbuntut pada bentrokan.

Menurut laporan dari Press TV, tiga warga Palestina ditangkap. Akan tetapi tidak ada korban luka dalam bentrokan tersebut.

Masjid Al-Quds merupakan situs keagamaan terpenting di Baitul Magdis. Komplek itu berubah menjadi tempat bentrokan kekerasan antara Palestina dan pasukan Zionis Israel selama pendudukan di Palestina. (IRIB/PressTV/AR/11/6/2011)

Zionis Israel Culik Pembesar Hamas

Tentara Zionis Israel menculik delapan warga Palestina, termasuk pejabat senior Hamas Wasfi Qabha, di Tepi Barat Sungai Jordan.

Pada Jumat pagi (10/6/2011), Qabha, yang juga Menteri Urusan Tahanan Hamas di periode 2006, diculik dari rumahnya di kota Tepi Barat Sungai Jordan. Sebelumnya, Qabha juga sempat ditahan di penjara Zionis dari 2007 sampai 2010. Sejak Oktober hingga kini, Rezim Israel telah menculik sedikitnya 11 politisi Hamas di Tepi Barat Sungai Jordan.

Dilaporkan pula, militer Israel menyatakan melakukan penangkapan di Jenin, namun pihak Zionis tak bersedia menjelaskan rincian lebih lanjut terkait penangkapan tersebut. (IRIB/PressTV/AR/11/6/2011)

Di Balik Keberanian Israel Menistakan Masjidul Aqsa

Al-Aqsa

Polisi rezim Zionis Israel Jumat kemarin (10/6) kembali menyerang Masjidul Aqsa dengan menggunakan senjata gas air mata dan strum untuk membubarkan kumpulan masyarakat Palestina di halaman masjid. Jurubicara Polisi Israel mengatakan, "Kami memasuki Masjidul Aqsa untuk membubarkan para pemuda Palestina yang berada di masjid dengan menembakkan gas air mata."

Aksi brutal rezim Zionis Israel di Masjidul Aqsa dilakukan pasca lawatan terbaru Benyamin Netanyahu, Perdana Menteri Israel ke Washington bertemu dengan Barack Obama, Presiden Amerika.

Para pengamat menilai berlanjutnya pembangunan permukiman zionis di Tepi Barat Sungai Jordan dan timur Baitul Maqdis masih dalam kerangka Yahudisasi kawasan ini. Langkah ini dilakukan untuk mencegah kemajuan proses pembentukan negara merdeka Palestina dengan ibukota Baitul Maqdis. Penistaan dan serangan berulang ke Masjidul Aqsa menunjukkan kebijakan rasialis rezim Zionis Israel menumpas pengikut agama-agama ilahi di sana.

Bangsa Palestina dan umat Islam seluruh dunia menilai serangan berulang warga zionis dan militer Israel ke Masjidul Aqsa sebagai ancaman terbesar terhadap kiblat pertama umat Islam ini.

Sejarah rezim Zionis Israel penuh dengan aksi-aksi perusakan dan penghinaan rezim ini terhadap tempat-tempat suci, khususnya Masjidul Aqsa. Tindakan rezim ini merupakan bentuk penistaan paling serius dalam beberapa tahun ini adalah kedatangan Ariel Sharon, seorang pemimpin Israel ke Masjidul Aqsa pada 2000. Kedatangannya benar-benar membuat marah bangsa Palestina dan umat Islam sedunia. Sejak kemunculan rezim Zionis Israel dan bahkan sebelum itu, Masjidul Aqsa berkali-kali hendak dirusak oleh rezim ini.

Pada tahun 1969 sejumlah warga ekstrim Israel yang dipimpin oleh Michel Rohan yang berkoordinasi dengan para pejabat rezim Zionis Israel membakar Masjidul Aqsa. Akibat dari aksi brutal itu, sebagian dari Masjidul Aqsa mengalami rusak berat. Tidak cukup itu, agar dapat meruntuhkan Masjidul Aqsa, Zionis Israel membuat terowongan bawah tanah di sekitar masjid. Tujuannya adalah melemahkan pondasi Masjidul Aqsa dan berharap kiblat pertama umat Islam ini runtuh dengan sendirinya.

Apa yang terjadi di Masjidul Aqsa menunjukkan segala aksi perusakan dan pendudukan Zionis Israel telah sampai pada taraf membahayakan. Tak syak, bila dukungan Amerika terhadap kebijakan rezim Zionis Israel dan sikap pasif masyarakat internasional terus berlanjut, rezim Zionis akan semakin congkak untuk melakukan perusakan terhadap kiblat pertama umat Islam. (IRIB/SL/NA/11/6/2011)

Kembali Unjuk Gigi, Ribuan Warga Bahrain Turun ke Jalan

Para demonstran anti-rezim Bahrain kembali turun ke jalan-jalan utama negara ini menuntut diakhirinya kekuasaan dinasti Al Khalifa. Unjuk rasa besar-besaran digelar bersamaan dengan shalat Jumat, (10/6/2011) di kota dan desa-desa sekitar ibukota Manama.

Press TV yang mengutip keterangan saksi melaporkan, pasukan keamanan rezim Bahrain dan Arab Saudi menyerang para demonstran desa Karbabad dan menangkap 10 pengunjuk rasa.

Para pendemoa memulai gelombang baru aksi protes anti rezim Manama. Pada tanggal 1 Juni, keadaaan darurat dicabut setelah diberlakukan dengan menumpas para pengujuk rasa selama bulan Maret. Meski hukum darurat dicabut, namum aksi unjuk rasa masih dilarang dan senjata pasukan rezim tetap diarahkan kepada para pendemo. Pasukan keamanan rezim Bahrain dan Arab Saudi tetap memukuli para pengunjuk rasa damai.

Sementara itu, pemimpin partai oposisi Bahrain, al-Wefaq, mengatakan rezim menangkap hampir 400 orang. Dikatakannya pula, sekitar 50 orang telah dihukum. Hukuman itu mulai dari sebuah penjara jangka pendek hingga eksekusi.

Sejak pertengahan Februari, ribuan demonstran anti-rezim menuntut reformasi politik dan monarki konstitusional. Tuntutan itu kemudian disikapi anarkis oleh keluarga Al Khalifa.

Hingga kini, puluhan warga dilaporkan tewas, sedangkan ratusan lainnya termasuk dokter dan wartawan, ditangkap.

Amnesti Internasional dan Lembaga Hak Asasi Manusia Dunia mengkritik keras sikap anarkis rezim Bahrain dalam mereaksi para pendemo damai. Banyak para tahanan yang disiksa secara fisik dan mental. Bahkan tidak sedikit warga yang nasibnya tak diketahui. (IRIB/ Press TV/AR/11/6/2011)

Amerika Berlakukan Boikot Baru Anti-Iran

Kementerian Keuangan dan Departeman Luar Negeri Amerika Serikat merilis statemen bersama yang mengkonfirmasikan pemberlakuan boikot baru terhadap Republik Islam Iran.

Reuters (9/6) melaporkan, boikot baru itu akan diberlakukan terhadap pasukan keamanan Iran. Washington berdalih bahwa pemberlakuan boikot baru itu menyusul kerusuhan pasca pilpres Iran pada 2009, yang bersamaan dengan peristiwa itu, banyak media massa Barat mengungkap keterlibatan AS dan sekutunya dalam instabilitas tersebut.

Boikot yang ditetapkan oleh Kementerian Keuangan dan Deplu Amerika terhadap Iran itu termasuk boikot untuk kepolisian Iran dan terhadap Ketua Polisi Iran, Ismail Ahmadi Moghaddam, serta terhadap Pasukan Garda Revolusi Islam (Pasdaran) dan pasukan relawan Basij.

Pasca pengumuman boikot tersebut, seluruh aset milik lembaga dan nama-nama orang yang disebutkan dalam list, akan dibekukan serta seluruh lembaga dan perusahaan Amerika Serikat dilarang bekerjasama dengan mereka.

Berdasarkan boikot tersebut, Ahmad Moghaddam dan kemungkinan sejumlah pejabat tinggi kepolisian Iran tidak akan mendapatkan visa dari Amerika Serikat.

Menteri Luar Negeri Amerika, Hillary Clinton, dalam hal ini menyatakan, "Sekarang Amerika Serikat memboikot tiga instansi pemerintah Iran yang terlibat dalam kekerasan (pasca) pemilu presiden tahun 2009."
(IRIB/MZ/MF/10/6/2011)

Perundingan Wapres Gagal, Washington Semakin Mendekati Kebangkrutan

Wapres Amerika, Joe Biden

Pertemuan Wakil Presiden Amerika Serikat, Joseph Biden dengan para delegasi dari kubu Republik di Kongres, gagal dan berakhr tanpa mencapai kesepakatan apapun.

Kantor berita Fars mengutip laporan Fox New menyebutkan, Biden gagal membujuk para anggota Kongres untuk menyepakati solusi peningkatan batas utang pemerintah. Tingkat utang pemerintah Amerika Serikat akan mencapai batasnya pada awal Agusus mendatang dan jika waktunya tiba dan pemerintah Amerika Serikat tidak mampu menemukan solusi, maka pemerintahan Presiden Barack Obama akan dinyatakan bangkrut.

Dalam perundingannya, Biden gagal memembujuk Kongres agar menyetujui kenaikan pajak yang akan mendongkrak pendapatan pemerintah.

Menyusul semakin dekatnya tenggat waktu tersebut, Biden dan Menteri Keuangan Amerika, Timothy Geithner, kemarin (9/6) menggelar sidang tertutup selama satu setengah jam dengan para delegasi tinggi Kongres, membahas rencana kenaikan pajak. Usulan pemerintah Obama untuk menaikkan pajak itu ditentang tegas oleh Kongres di saat Amerika saat ini menghadapi krisis ekonomi.

Pemimpin mayoritas Senat Amerika Serikat dari Virginia, Eric Cantor, mewakili kubu Republikan menyatakan, "Upaya pemerintah untuk meningkatkan pajak di DPR yang berada di tangan Republikan, tidak akan disetujui."

Peningkatan jumlah utang pemerintah dan berlanjutnya krisis ekonomi di Amerika Serikat, semakin mengikis simpanan kredit negara ini.

Moody's Corperation, perusahaan riset finansial internasional dan analisis komersial di Amerika Serikat beberapa waktu lalu, memperingatkan resiko peningkatan utang pemerintah dan jika pihak Kongres tidak mencapai kesepakatan dalam hal ini, maka Washington akan dinyatakan bangkrut.
(IRIB/MZ/MF/10/6/2011)


AS Tuntut Pemerintah Baghdad Membayar Dana Pendudukannya

Dana Rohrabacher

Seorang anggota Kongres AS dari kubu Republik, Dana Rohrabacher, menuntut pemerintah Irak membayar uang yang telah dihabiskan Amerika Serikat dalam delapan tahun sejak invasi pimpinan Amerika tahun 2003.

Associated Press hari ini (11/6) melaporkan, hal itu dikemukakan Rohrabacher dalam kunjungan seharinya ke Baghdad, bersama lima anggota Kongres AS lainnya.

Rohrabacher, anggota Kongres dari California itu mengatakan bahwa tuntutannya itu dikemukakan dalam pertemuan dengan Perdana Menteri Irak, Nouri al-Maliki. Dikatakannya bahwa "suatu hari kelak" ketika Irak telah "makmur" maka Baghdad harus menyicil kembali dana yang telah dibelanjakan AS dalam mereliasasikan segala sesuatu untuk Irak.

Setelah pertemuan tersebut, Rohrabacher kepada para wartawan di Kedutaan Besar AS di Baghdad menegaskan, "Kami berharap akan ada pertimbangan untuk membayar sebagian dari "mega-dollar" yang telah kami habiskan di sini dalam delapan tahun terakhir."

Rohrabacher enggan berkomentar soal reaksi Perdana Menteri Irak mengenai hal ini.

Ide Rohrabacher itu di kemukakan di saat tujuan invasi dan perang Amerika Serikat di Irak tidak terealisasi dan telah menelan lebih dari satu juta korban tewas di pihak warga sipil Irak. AS dan Inggris menyerang dan menginvasi Irak dengan alasan untuk menghancurkan senjata destruksi massal yang dimiliki oleh rezim diktator Saddam Hossein. Selain itu, saat ini sentimen anti-pasukan pendudukan di Irak juga terus meningkat.

Meski sebagian besar warga Irak bersuka cita atas lenyapnya Saddam setelah invasi AS dan sekutunya, namun rakyat Irak tetap mengecam, pasukan asing akibat instabilitas dan bentrokan sektarian yang muncul.

Sebelumnya, pemerintah kota Baghdad menuntut pemerintah Amerika Serikat membayar ganti rugi sebesar satu milyar dolar atas kerusakan akibat pendudukan.

Rohrabacher menegaskan bahwa Amerika Serikat tidak mampu lagi mengirim pasukan di seluruh dunia karena Washinton saat ini dililit krisis ekonomi.

Tanpa menyinggung ketidakpedulian Amerika Serikat terhadap kerugian jiwa dan materi yang diderita bangsa Irak akibat pendudukan, "Kita tentu bisa mengandalkan beberapa pihak untuk peduli terhadap kondisi kami sebagaimana kami peduli mereka.".

Lebih lanjut Rohrabacher menjelaskan, masalah pembayaran kembali dana perang itu dapat menjadi faktor dalam setiap keputusan tentang apakah Amerika Serikat akan mempertahankan pasukan di Irak melewati batas waktu tanggal 31 Desember nanti atau tidak.
(IRIB/MZ/MF/11/6/2011)

Irak Tolak Mentah Membayar Dana Pendudukan Militer AS

Pertemuan Dana Rohrabacher (kiri) dan Perdana Menteri Irak, Nouri al-Maliki

Irak mengecam usulan seorang anggota Kongres AS yang berkunjung ke Baghdad bahwa pemerintah Irak harus membayar "mega-dollar" yang telah dibelanjakan Washington dalam pendudukan sejak 2003.

Dana Rohrabacher, anggota Kongres Amerika dari kubu Republik berkunjung ke Baghdad, Jumat (10/6) bersama dengan lima anggota kongres lainnya.

Reuters melaporkan, Juru Bicara Pemerintah Irak, Ali al-Dabbagh, (10/6) menilai usulan Rohrabacher itu "tidak bertanggung jawab," seraya menegaskan bahwa anggota Kongres AS itu tidak disambut di Irak.

Dikatakan al-Dabbagh, "Mereka sengaja mengangkat isu kontroversial yang akan mempengaruhi hubungan strategis antara Irak dan Amerika Serikat. Mereka menuntut kompensasi perang dan kami tidak berkewajiban membayar apapun kepada siapa saja yang terlibat dalam invasi ke Irak."

Setelah pernyataana al-Dabbagh itu, Kedutaan Besar Amerika di Irak menyatakan bahwa usulan Rohrabacher itu tidak mewakili sikap resmi Washington karena semata-mata pendapat pribadinya.

Rohrabacher menyampaikan pendapatnya kepada wartawan setelah pertemuan dengan Perdana Menteri Irak, Nouri al-Maliki.

Usulan miring Dana itu muncul di saat Washington dan Baghdad tengah membahas penarikan pasukan militer AS dari Irak hingga akhir tahun ini.

Amerika Serikat bersikeras untuk menjaga sekitar 50.000 pasukannya di Irak untuk waktu yang lebih lama sementara para pejabat Irak menekankan bahwa mereka harus ditarik mundur sesuai dengan kesepakatan keamanan SOFA yang ditandatangani kedua negara.
(IRIB/MZ/MF/11/6/2011)

London Dibuat Gerah dengan Press TV

London berupaya menutup Press TV menyusul laporannya terkait kebijakan keliru pemerintah Inggris. Hal ini itu dikuatkan oleh 77,82 persen responden dalam sebuah polling yang diikuti 6605 orang.

Para responden meyakini bahwa tekanan London atas Press TV bertujuan menutup media yang berafiliasi dengan Tehran. Belum lama ini, Press TV mengulas laporan yang bersangkutan dengan kebijakan keliru London baik urusan dalam negeri maupun luar negeri.

Press TV Di London membuat program-program kritis terhadap imperialisme Barat dan menyoroti non-demokratis politik Inggris, khususunya aturan turun-temurun yang diterapkan kerajaan Inggris. Press TV juga mengkritik kebijakan standar ganda London terkait perkembangan Timur Tengah dengan mengaitkan kehadiran Inggris di kawasan dari sisi historis

Lebih jauh lagi, Press TV mengungkap kejahatan Rezim Zionis Israel di Palestina. Padahal masalah Zionis dapat dikatakan sebagai garis merah bagi media Inggris. Untuk itu, Bekas Duta Besar Israel untuk Inggris, Ron Prosor, pernah menulis di The Daily Telegraph bahwa Inggris semakin menjadi sarang sentimen anti-Israel.

Situs WikiLeaks juga menerbitkan kabel dari Departemen Luar Negeri AS melaporkan Kedubes AS di London pada bulan Februari 2010 mencari cara untuk membatasi operasi Press TV. Upaya penghentian Press TV akhirnya terkuak di publik setelah dirahasiakan.

Artikel Dipesh Gadher diterbitkan di The Sunday Times. Gadher yang mengaku dirinya sebagai hakim menuding Press TV sebagai musuh dalam negeri. Dikatakannya pula, "Itu adalah saluran yang tak obyektif." Kemudian Gadher juga menyajikan statistik palsu dan mendistorsi fakta-fakta yang didokumentasikan Press TV.

Sementara itu, banyak kritikus percaya bahwa liputan Press TV obyektif, termasuk liputan atas tindakan keras terhadap mahasiswa yang berdemo di London pada awal tahun 2011. Menurut mereka, Press TV menyajikan laporkan seimbang dan tidak sepihak serta berdasarkan fakta di lapangan. (IRIB/PressTV/AR/11/6/2011)

Soal F-14, Iran Tidak Pernah Mengemis!

Wakil Koordinator Angkatan Udara Republik Islam Iran, Marsekal Besar Aziz Nasirzadeh menyatakan, pesawat-pesawat F-14 milik Iran, tetap mampu melanjutkan operasinya meski selama tiga dekade Amerika Serikat telah memberlakukan embargo komponen pesawat tempur tersebut

Dalam wawancaranya dengan IRNA hari ini (11/6) Nasirzadeh mengatakan, "Meski Republik Islam Iran menghadapi keterbatasan dalam menyediakan komponen pesawat F-14, namun pentingnya pengoperasian pesawat tersebut menjadi berkali lipat bagi Iran mengingat jet tempur itu hanya digunakan oleh Amerika dan Iran."

Seraya menyinggung bahwa Amerika Serikat telah menghentikan produksi pesawat F-14 beberapa tahun lalu, Nasirzadeh menegaskan, "Angkatan Udara Amerika telah menghapus armada F-14 sehingga dengan demikian, komponen pesawat tersebut tidak digunakan atau diekspor ke negara lain."

"Mungkin Amerika Serikat beranggapan bahwa Iran berusaha mencari komponen dan suku cadang pesawat tersebut, namun pada hakikatnya Iran sama sekali tidak memerlukan komponen dan suku cadang dari Amerika," tutur Nasirzadeh.

Menurutnya, Republik Islam Iran tidak pernah mengulurkan tangan kepada siapa pun dan faktanya adalah bahwa aktivitas pesawat F-14 tidak pernah terhenti.

Dikatakannya, "Pesawat F-14 milik Iran memiliki jadwal terbang setiap hari dan melakukan berbagai latihan di berbagai pangkalan udara. Bahkan kami mampu meningkatkan kemampuan pesawat modern tersebut."

Lebih lanjut Nasirzadeh menjelaskan, "Elektronik dan radar pesawat F-14 juga telah ditingkatkan dan diperbaruhi dan untuk menyuplai keperluan kompenen dan onderdilnya, telah diambil langkah-langkah penting untuk memenuhi permintaan tersebut di dalam negeri."

"Seluruh komponen pesawat, harus diganti pada waktu tertentu," ungkap Nasirzadeh seraya menolak penggunaan kata usang sebagai bahasa yang cocok untuk armada F-14 Republik Islam Iran.
(IRIB/MZ/11/6/2011)

0 comments to "Libya, Palestina, Iran,Iraq dan semuanya harus "MENGEMIS" ke Zionis+anteknya : Profesor Massad: Demokrasi, Alat AS untuk Menjarah"

Leave a comment