Pendukung SBY Mulai Bingung
Sejak 2009, tepatnya pada periode kedua rezim Yudhoyono, sejumlah kebenaran yang disampaikan orang per orang, atau lembaga seperti DPR, bila itu menyangkut pusat kekuasaan dan mengganggu integritas penguasa, memang bisa berbalik pahit bagi si penyampai kebenaran. Dituduh menyebar fitnah yang “seribu persen tidak mengandung kebenaran…”
Rekayasa mengebiri KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) lewat skandal “Cicak vs Buaya”, rekayasa menjerat Ketua KPK Antasari Azhar dengan skandal cinta segitiga, rekayasa bailout Bank Century yang melahirkan megaskandal Rp 6,7 trilyun, kasus Gayus Tambunan dan mafia pajak yang merugikan keuangan negara puluhan trilyun rupiah dan melibatkan penguasa, perampokan APBN lewat kekuatan politisi partai politik. Rekening gendut petinggi Polri. Semua itu fitnah…
Berita di koran, berita di TV, berita di situs-situs internet, berita dari luar negeri, isu via SMS dan media sosial lainnya, bahkan para pemuka umat beragama, adalah sumber fitnah yang menyelimuti negeri ini. Sungguh luar biasa.
Masyarakat pun jadi bingung dan kehilangan gairah untuk menyatakan yang benar itu benar. Apalagi lembaga politik (legislatif) dan lembaga hukum (judikatif) yang memiliki kemampuan mengeksekusi, terus merangkai jejaring konspirasi dengan eksekutif yang kian tak perduli pada nasib rakyatnya.
Tapi ini Indonesia. Negeri yang ditakdirkan didiami bangsa yang religius. Sangat percaya Tuhan akan hadir menolong pada saat semua instrumen (hukum) kebenaran dibungkam. Ummat Islam percaya kebenaran Al Qur’an yang mengisyaratkan: laha ma kasabat wa ‘alaiha ma iktasabat (QS 2:286). Manusia akan memperoleh pahala atas perbuatan baik yang dikerjakan, dan akan mendapat ganjaran hukuman dari perbuatan (buruk) yang dilakukan.
Maka ketika mencuat nama Nazaruddin, Bendahara Umum Partai Demokrat pimpinan Presiden Jenderal (Pur) Yudhoyono, yang kemudian ‘ngibrit’ ke luar negeri (konon ke Singapura) meninggalkan sejumlah persoalan krusial yang melibatkan pusat kekuasaan, yang tak mungkin lagi ditutup-tutupi, banyak orang percaya, “inilah cara Tuhan membuka tabir gelap yang selama ini diupayakan ditutup-tutupi…!”
Kini giliran para pendukung Presiden yang bingung. Di antara mereka mulai baku terkam. Saling tuding. Salah menyalahkan. Sebuah pemandangan yang menggelikan, sekaligus mengenaskan.
Terbayang kisah jatuh bangunnya presiden dari panggung politik nasional. Juga nasib para pendukungnya. Tapi sesial-sialnya pendukung Soekarno, masih ada perlindungan puluhan juta kaum nasionalis. Sesial-sialnya pendukung Soeharto, ketika jatuh Orde Baru masih sangat kuat dan sanggup memberikan perlindungan. Sesial-sialnya pendukung Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid), masih ada puluhan juta Nahdliyin yang bersedia menjamin keselamatannya.
Kita semua tahu, Presiden Yudhoyono dan Partai Demokrat lahir dari kekuatan floating mass, massa yang ngambang. Tak jelas alamatnya. Dalam bahasa politik, tidak memiliki basis sosial yang jelas. Hanya di atas kertas.
Jadi selain merasa tak mungkin lagi menutup lubang besar yang ditinggalkan Nazaruddin, kelangkaan basis sosial inilah yang bikin bingung para pendukung Presiden. “Kalau terjadi sesuatu, ke mana kami berlindung…?”
Adhie M. Massardi [Rakyat Merdeka]
mainsource:http://kabarnet.wordpress.com/2011/06/08/pendukung-sby-mulai-bingung/
Nunun Cari Obat Lupa atau Jadi ‘Mediator’ Konflik Kamboja-Thailand?
Di manakah Nunun..? Sejak awal Februari 2011 kita sudah kehilangan wanita yang bikin heboh negara. Bukan apa-apa, katanya Nunun menderita sakit ingatan, lupa ingatan dan mungkin juga -maaf- terganggu ingatannya. Maka sangatlah wajar jika sebagian kita kebingungan mencari keberadaannya.Wajar kan, kita kuatir jika seorang Nunun yang baik hati ini (membagi-bagi uang saat pemilihan deputi senior gubernur BI tahun 2004 -red) tidak tahu pulang ke rumahnya atau mungkin saja tersesat di tengah rimba raya yang ganas dan mengerikan. Kita kuatir jika seorang Nunun akhirnya terjadi apa-apa yang tidak diinginkan terhadapnya.
Tak heran beberapa negara tetangga pun dihubungi, hasilnya terdapat kabar menyakinkan bahwa Nunun ternyata ada di Singapura. Kemudian berubah lagi, ternyata Nunun ada di Thailand. Maka sibuklah beberapa pejabat negara. Tak kecuali Dubes RI untuk Thailand, Muhammad Hata menyampaikan kepada media massa bahwa KPK akan mengirim surat permintaan ekstradisi kepada pemerintah Thailand.
Tidak hanya Muhammad Hatta yang menyatakan Nunun ada di Thailand, KPK juga yakin 100% Nunun berada di Thailand. Maka upaya pendekatan dengan pemerintah Thailand pun dilakukan. Tanggal 5 Juni KPK melayangkan surat ekstradisi Nunun melalui Polisi Thailand.
Tapi, apa daya. Surat baru saja dilayangkan, ternyata Nunun langsung bergerak cepat. Kini dia diberitakan ada di Kamboja. Lebih ironis lagi ternyata Nunun sudah berada di Kamboja sejak 23 Maret 2011 atau hampir 3 bulan ke luar negeri baru terdeteksi berada di Kamboja.
Membingungkan sekali. Ada beberapa "Tanda Tanya" besar yang menjadi analisa kita adalah:
1. Nunun bisa lari ke Luar Negeri padahal ia sudah dicekal KPK setelah terbukti menjadi tersangka penyuapan pada pemilihan deputi senior Gubernur BI Miranda Gultom, tahun 2004 lalu. Ironisnya dia bisa kabur ketika paspornya sudah dicabut. KPK yakin Nunun berada di Thailand seperti sangat terlambat sekali. Padahal sejak Maret sudah berada di Kamboja.
2. Dubes RI untuk Thailand seolah membenarkan informasi KPK bahwa Nunun di Thailand meskipun di akhir statemennya mengatakan bisa di negara lain (pertanda ada yang ditutupi?).
3. Nunun baru ditemukan dan diumumkan oleh Patrialis Akbar setelah tiga bulan mengendap sangat lama di Kamboja.
4. Nunun kesannya "mempermainkan" KPK sedemikian rupa. Mengapa?
Nunun yang katanya lupa ingatan bisa jalan-jalan ke sana kemari antar negara dengan sangat leluasa. Katakanlah ada yang membawanya ke sana ke mari (ajudan atau pelayan) bukankah ini berarti ada yang mengatur skenario perjalanannya?
5. Patrialis Akbar baru memberitahukan Nunun ada di Kamboja pada tanggal 6 Juni 2001 (padahal sejak 23 Maret sudah berada di Kamboja).
6. Mengapa Kemenlu tidak mengetahui ada warganya (VIP?) berada sangat lama di sebuah negara tanpa terdeteksi oleh Kedubes RI?
7. Apakah mungkin setelah dikejar ke Kamboja ternyata Nunun ternyata berada di Singapore bersama Nazaruddin mengirim SMS atau membuat meeting atau diskusi apapun tentang Indonesia?
8. Apa jadinya saat ditangkap (kalau bisa) ternyata Nunun menderita sakit bahkan "lupa ingatannya" semakin kronis? Hilangkah semangat penyidik memeriksa Nunun?
Luar biasa hebatnya para pejabat negara kita melakukan tindakan proteksi terhadap "mitra"nya. Apapun dilakukan asalkan mitra tidak jatuh harga dirinya di dalam proses pengadilan dan hukuman. Apapun dikorbankan demi "pertemanan" meskipun menginjak-nginjak nurani dan martabat Ibu Pertiwi.
Padahal jauh sebelumnya keberadaan Nunun di Thailand sudah terdeteksi, misalnya seperti yang pernah disampaikan oleh Fahmi Idris. Ia menyatakan bahwa sejak berangkat dari Indonesia dengan menyusup ke Singapura lalu ke Thailand. Nunun telah berada di bangkok sejak awal Februari 2011.
"Teman saya ketemu Nunun di Jakarta, Singapura, dan Bangkok. Dia sekarang di Bangkok di suatu tempat tetapi bukan di rumah sakit," kata Fahmi.
Fahmi melanjutkan "Yang saya perlihatkan hanya seperempat dari apa yang saya punya, saya juga punya catatan perjalanan Nunun dari Jakarta-Singapura, Singapura-Bangkok dan sebaliknya," kepada wartawan di kediamannya di Jalan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, Minggu (sumber: okezon 6/2/2011).
Nunun yang fenomenal telah terbukti mampu lolos dari incaran KPK, pertanda intelejen KPK masih lemah koordinasinya dengan intelejen satuan lainnya. Sekaligus membuktikan bahwa kerja KPK masih dianggap "beban" oleh sebagian pejabat negara yang terlibat dalam persekongkolan korupsi.
Nunun membuktikan bahwa adanya jaringan yang meloloskan dirinya kabur dengan merekayasa dokumen keimigrasian dan menjerat Patrialis Akbar sebagai pejabat yang lemah dalam melakukan pengawasan terhadap jaringan mafia pasport di kementeriannya.
Nunun juga membuktikan bahwa ia mampu membuat pejabat dan KPK lupa ingatan dengan SALAH memilih negara tempatnya bersembunyi. Thailand dan Kamboja sangat beda abjad, beda huruf dan beda negaranya, tapi kenapa kesannya seolah-olah tertutupi. Kenapa baru dibuka hari ini? (6/6)
Nunun memang sangat hebat, meskipun ia menderita lupa ingatan tapi bisa kemana-mana termasuk mengingat persaoalan apa yang perlu dan tidak perlu dijawabnya saat berhadapan dengan pertanyaan yang dituduhkan kepadanya.
Nunun membuat KPK tidak berdaya. KPK menjadi macan ompong yang memiliki suara besar, nyaring dan menakutkan tapi taring dan kukunya tumpul. Macan KPK pun terlihat sangat lucu, sama lucunya dengan anak kecil ketika bonekanya disimpan (diumpetin) oleh orang tuanya karena menyuruh anaknya untuk tidur saja agar tidak terus bermain.
Itulah Nunun Nurbaeti.. wanita "hebat" abad ini di Indonesia dan mungkin juga dunia, karena meskipun lupa ingatan tapi dapat melakukan apa saja, kemana saja dan membangun jaringannya dengan sangat rapi.
Kita perlu menunggu kepulangan Nunun untuk mendengar pendapatnya jika masih dapat berbicara. Siapa tahu kita dapat mendengarkan pengalamannya menyaksikan rawannya perbatasan Thailand dan Kamboja akibat pertempuran di perbatasan ke dua negara memperbutkan sebuah kuil bersejarah di sana. Mungkin saja Nunun berada di sana untuk menjadi mediator dari Indonesia sehingga tidak terjadi pertempuran lebih seru seperti yang memang seperti reda akhir-akhir ini.
Tapi kok bisa menjadi "Mediator Ulung" atau penengah, padahal sedang dikejar KPK dan sedang lupa ingatan..? Apakah karena memang terbukti ibu Nunun memang pernah menjadi "mediator ampuh" saat pemilihan deputi senior BI dahulu? (IRIB/Kompasiana7/6/2011)
Mau-maunya Media Massa Diperalat Pengirim Peti Mati Itu
Baru beberapa hari lalu saya menulis di Kompasiana tentang strategi pemasaran yang bombastis. Inti dari strategi pemasaran ini adalah pemasaran suatu produk, termasuk promosinya harus dilakukan secara spektakuler, unik, heboh, dan sejenisnya. Singkat kata: Pemasaran harus bombastis.Dengan cara yang spektakuler bin bombastis itu pasti akan menarik perhatian banyak sekali orang. Semakin bombastis, bila perlu sedikit "gila" akan semakin baik. Karena dengan demikian pasti akan diliput media massa: televisi, media on-line, dan media cetak. Serta menjadi bahan pembicaran banyak orang.
Salah satu pemrakarsanya bisa jadi adalah Tung Desem Waringin, yang pada 2008 pernah bikin heboh publik ketika strategi promosi salah satu bukunya yang akan terbit, dilakukan dengan cara menyebarkan uang dari udara dengan menggunakan sebuah pesawat kecil.
Spontan aksinya itu mengundang perhatian banyak sekali orang, dan terpenting langsung diliput oleh hampir semua media massa di Indonesia. Bahkan, konon juga oleh beberapa media massa di luar negeri. Meskipun banyak pihak juga yang mengecamnya, menilai cara yang ditempuh itu tidak etis karena memanfaatkan kelompok orang tidak mampu yang berebutan uang yang disebarkan dari angkasa itu untuk bukunya.
Strategi Tung Desem Waringin ini berhasil dengan baik, yakni secara tidak langsung mengundang media massa untuk mempublikasikannya. Kontan dia pun memdapat publisitas besar-besaran secara gratis.
Dalam penjualan buku yang diterbitkan oleh Penerbit Gramedia tersebut, rupanya dia juga mempraktekkan salah satu strategi pemasaran yang dia ajarkan itu: Yakni menjual barang lebih mahal daripada harga sewajarnya, dengan mengimplementasikan "Hukum Psikologis: Mahal = Bagus."
Maka buku yang dicetak dengan hard cover setebal 320 halaman, dimensi: 18×25 cm itu pun dijual di toko-toko buku dengan harga selangit: Rp. 300.000/eksemplar. Bandingkan dengan, misalnya, buku "Sam Kok" Kisah Tiga Kerajaan," karangan Kim Woil, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Buku yang dicetak juga dengan hard cover, menggunakan jenis kertas yang lebih bagus, terdiri dari beberapa jilid, dengan dimensi yang lebih besar: 21×28,5 cm, setebal 389 halaman, full color, dijual jauh lebih murah: Rp. 235.000/eksemplar/jilid.
Strategi mempromosikan buku yang segera terbit dengan cara sangat unik, spektakuler, atau bombastis itu, kini kembali membuat heboh. Modusnya mirip dengan apa yang pernah dilakukan oleh Tung Desem Waringin ketika akan meluncurkan salah satu bukunya itu. Yakni dengan memanfaatkan kekuatan media massa dalam memplubikasikan suatu peristiwa.
Media massa dengan secara sadar atau tidak, seolah seperti mau tak mau harus mempublikasikannya, telah memberikan suatu publikasi gratis bagi yang bersangkutan.
Demikianlah yang kini terjadi adalah ketika pada Senin, 6 Juni kemarin, beberapa General Manager media massa, Kompas.com, Detik.com, The Jakarta Post, Tempo, SCTV, AnTV, Kaskus, dan Okezone, dan beberapa orang yang selama ini banyak dikenal di dunia maya, menerima kiriman yang mengejutkan: peti mati!
Mereka heboh, mereka yang sejatinya menjadi korban itu, malah membantu pelakunya mencapai maksud dan tujuannya: publisitas promosi gratis bukunya.
Media massa pun heboh, polisi pun ikut terlibat, dan peristiwa ini pun menjadi berita di hampir semua media massa. Terutama sekali, tentu saja oleh mediamassa-mediamassa yang mendapat kiriman langsung peti-peti mati tersebut. Yang notabene juga adalah media-media terbesar di negeri ini. Peristiwa itu pun menjadi cukup menghebohkan dan mendapat perhatian besar publik.
Ternyata, kemudian diketahui bahwa peti-peti mati tersebut sengaja dikirimkan oleh sebuah perusahaan komunikasi dan periklan yang baru berdiri, Buzz & Co. Pengiriman peti-peti mati tersebut merupakan strategi perusahaan tersebut untuk melakukan promosi untuk buku karangan CEO-nya, Sumardy, yang tidak lama lagi bakal beredar.
Mereka pasti sengaja dan sudah memperhitungkan tentang apa yang sekarang telah terjadi. Bahkan justru itu maksud mereka mengirim peti-peti mati itu. Yakni pasti diliput media massa, disiarkan di televisi-televisi, diberitakan di semua media online besar, dan media massa konvensional. Maka, dengan demikian, sama dengan yang pernah dilakukan Tung Desem Waringin, promosi buku sang CEO itu pun mendapat publikasi besar-besaran secara gratis.
Tentang sampai menjadi urusan polisi pun saya yakin sudah mereka perhitungkan. Tetapi risiko ini berani tetap ditempuh, karena mereka yakin bahwa apa yang mereka lakukan itu tidak akan sampai menjadi urusan hukum dan pengadilan. Paling juga akan menjadi sorotan dan kritikan negatif. Tetapi itu malah semakin membuat heboh dan menarik perhatian publik. Siip! Mantap!
Pernyataan Sumardy di detik.com bahwa dia sama sekali tidak menyangka tindakannya itu akan menjadi heboh seperti sekarang, saya sama sekali tidak percaya. Dia pasti bukan hanya sudah menduga, tetapi justru inilah maksud utamanya mengirim peti-opeti mati itu. Yakni supaya menjadi heboh dan diberitakan secara luas.
Stategi pemasaran bombastis ini bukantidak mungkin buah dari ajaran, atau setidaknya mendapat inspirasi dari ajaran-ajaran Tung Desem Waringin Malah, jangan-jangan Sumardy ini muridnya?
Apa yang dilakukan oleh Sumardy sekarang mirip dengan yang pernah dilakukan Tung Desem Waringin yang mempromosi bukunya dengan cara spektaler, menyebarkan uang dari udara seperti yang saya singgung di atas.
Bedanya, kalau Tung Desem melakukan tanpa melibatkan media massa secara langsung, Sumardy justru melakukannya jauh lebih dalam. Yakni langsung "menusuk jantung" dari masing-masing media massa tersebut. Dengan mengirim peti-peti mati itu kepada General Manager-nya tentu akan menjadi paling heboh. Dijamin akan diberitakan secara lebih heboh pula. Maka maksudnya pun tercapai, mendapat publikasi gratis secara besar-besaran tanpa biaya tambahan. Apalagi media-media tersebut memberitakanya secara lengkap dengan menyebut nama perusahaannya, CEO yang juga pengarang buku terebut, dan judul bukunya apa.
Media massa pun kembali masuk "perangkap" strategi pemasaran bombastis, berhasil "diperalat" untuk mempublikasi promosi buku tersebut.
Media-media yang dijadikan sasaran sebagai alat membantu mempromosikan buku tersebut pun telah diperhitungkan tidak bakalan membuat utusan ini menjadipanjang. Mereka tidak akan repot-repot mau meneruskan kasus tersebut ke polisi untuk seterusnya diproses hukum selanjutnya.
Kalau sekarang, CEO Sumardy yang lulusan pasca sarjana UGM Jurusan Marketing itu beserta beberapa bawahannya sampai diperiksa polisi, bahkan Sumardy sampai nginap di kantor polisi segala, bagi mereka itu tak masalah. Justru momen tersebut merupakan bagian paling heboh dalam berpromosi ala bombastis. Mereka yakin hal-hal seperti ini akan semakin membuat semakin banyak orang penasaran; peti mati? Sampai menjadi urusan polisi?
Ketika tiba waktunya buku tersebut dijual di toko-toko buku diharapkan rasa penasaran tersebut akan dikompensasikan dengan membeli buku tersebut. Alhasil laris-manislah bukunya. Efektif, maksud dan tujuan memperalat media massa "tanpa mereka sadari" pun terpenuhi.
Mungkin kelak akan muncul ide yang lebih gila dari strategi pemasaran bombastis seperti ini. Misalnya, dengan mengirim paket yang direkayasa seperti bom. Ketika tim gegana datang dan berupaya menjinakkan "bom" tersebut, diliputi media massa, disorot kamera televisi dengan siaran langsung. Kemudian "booom," "bom" itu pun "meledak". Eh, ternyata muncul spanduk dengan tulisan yang spektakuler mengiklankan suatu produk tertentu!
Seharus media massa sadar, dan jangan mau menjadi korban lagi. Berita pengiriman peti mati itu seharusnya dijadikan berita kecil saja. Dengan hanya beberapa kalimat pendek. Tanpa gambar sama sekali. Lebih baik lagi, kalau sama sekali tidak diberitakan.
Kalau sekarang malah diberitakan, dipublikasi secara luas, ya, seharusnya jangan mengeluh. Salah sendiri, mau-maunya media massa diperalat si pengirim peti mati itu.
Peristiwa heboh akibat dari kegiatan promosi ala pemasaran bombastis tersebut pun dipastikan sesuai dengan skenario pemiliknya. Setidaknya itu terekam dengan pernyataan dari General Manager Busines Kompas.com Edi Taslim yang membantah bahwa Kompas.com telah melaporkan kasus tersebut ke polisi. Dengan kata lain, masalah cukup sampai di sini saja. Meskipun jelas mengirim peti mati dengan cara seperti itu, meskipun bukan maksudnya demikian, merupakan suatu teror kepada yang dituju.
Kompas.com hanya dapat membikin pernyataan, yang lagi-lagi sebenarnya menjadi bahan promosi gratis produk buku yang akan diluncurkan itu.
Edi Taslim mengatakan, "Kami menganggap tindakan tersebut sebagai bentuk praktek word of mouth marketing yang negatif, tetapi tidak akan menanggapinya lebih lanjut. Pengiriman peti mati yang merupakan simbol kematian merupakan bentuk tindakan yang tidak etis."
Tidak etis?
Mau bilang tidak etis, meresahkan masyarakat, atau apapun sebutannya, Sumardy sebagai pemilik strategi tersebut tidak bakalan menggubrisnya. Bahkan diam-diam sebenarnya dia tertawa senang karena maksud dan tujuannya tercapai. Lihat saja ekspresi wajahnya yang disorot televisi ketika dikerubuti puluhan wartawan. Cerah-ceriah, sumbringah. Jauh dari dari raut wajah yang penuh rasa khawatir, atau kaget. Karena tak menyangka kasus ini menjadi heboh seperti sekarang, seperti yang dia katakan.
Apakah bagi penganut strategi pemasaran bombastis sangat mengutamakan etika dalam menjalankan strateginya? Diragukan.
Misalnya, salah satu praktek strategi pemasaran bombastis yang menjadi favorit mereka adalah melakukan promosi dengan iklan yang bombastis pula: Diskon besar-besaran 50-70%! Padahal sebelumnya mereka menaikkan harga barangnya terlebih dahulu. Ketika didiskon, sebenarnya pembeli akan membeli barang dengan harga normal.
Atau mengimimg-iming calon pembeli dengan berbagai hadiah yang katanya harganya sekian juta rupiah, padahal sebenarnya hanya ratusan ribu rupiah, dan bahkan sebenarnya harga barang yang ditawarkan tersebut sudah termasuk hadiah itu.
Etiskah cara pemasaran/penjualan seperti itu?
Bagaimanakah perasaan mereka seandainya suatu ketika keluarga mereka menjadi korbannya?
Pertanyaan yang sama kepada Sumardy: Bagaimana jika suatu ketika keluarganya, istri dan anak-anaknya, tiba-tiba dikirimi peti mati, dan atau puluhan bunga dukacita yang menyatakan turut berduka cita atas kematiannya? Atau tiba-tiba ada iklan besar di koran: Turut Berduka Cita atas kematian Sumardy, CEO Buzz & Co.
Rhenal Kasali di Jawa Pos, dalam tulisannya yang berjudu "Pemasaran Bombastis" antara lain menulis: "Bombastis itu sama dengan kebohongan. Tentu perlu diluruskan bombastis bukanlah pemasaran. .. Saya perlu mengingatkan bahwa pemasaran bombastis hanya boleh diletakkan di rak-rak buku fiksi, bukan marketing. Muaranya juga jelas, bukanlah reputasi dan keuntungan, melainkan penjara dan neraka. ..."
Lalu, apa pendapatnya tentang strategi pemasaran bombastis ala Sumardy ini?
Dari TribunNews.com, 7 Juni 2011, terekam pendapat Guru Besar dari Universitas Indonesia dan pakar strategi bisnis ini, yang saya kutip di bawah ini:
Rhenald mengatakan kegitan pemasaran bertujuan menciptakan happiness, membuat orang lain senang, dan tetarik. Pemasar, jelas Rhenald, bukan meneror pembeli.
"Sekarang apa yang bisa dicari dalam hal bombastis itu. Harus diketahui, masyarakt kita sudah muak dengan dengan cara-cara bombastis, sensasi murahan. Akhir-akhir ini memang ada sekelompok orang frustasi dalam marketing. Lalu mereka masuk dengan cara-cara bombastic marketing atau marketing jalan pintas. Mereka ingin mendapatkan hasil luar biasa dalam sekejap," lanjutnya.
Rhenald juga menilai cara Sumardy dengan mengirimi peti mayat ini justru kurang kreatif. Rhenald mengingatkan agar cara marketing jangan membuat bombastis, apalagi murahan seperti mengirimi peti mati.
"Mestinya dengan cara elegan,sedangkan ini cara-cara murahan," pungkasnya.
Mungkin perlu, agar cara-cara tidak etis seperti ini di kemudian hari muncul lagi, pelakunya sebaiknya diberi pelajaran yang setimpal. Misalnya dengan benar-benar melanjutkan urusan ini ke Kepolisian, terus diproses hukum sampai di pengadilan.
Atau cara jitu dan tanpa keluar biaya apapun, atau meminjam istilah Tung Desem Waringan: "Tujuan tercapai tanpa perlu mengeluarkan biaya tambahan" - adalah para pemilik toko buku menyatakan tidak sudi menjual satu eksemplar pun buku karangan Sumardy yang bakalan terbit itu.
Grup Kompas, yang menjadi salah satu korban, adalah pemilik jaringan toko buku terebesar di negeri ini, bisa menjadi pelopor dari tindakan untuk "menghukum" Sumardy dengan cara seperti itu.
Kecuali mereka juga menganut paham yang mengutamakan bisnis di atas segala-galanya, maka kita semua tidak berdaya, menjadi korban terus dari strategi pemasaran bombastis itu. Kecuali kita semua sebagai konsumen mau bertindak sebagai harapan terakhir menghukum orang-orang seperti Sumardy adalah dengan tidak sudi membeli bukunya barang satu eksemplar pun! Kalau Anda? (IRIB/Kompasiana/7/6/2011)
Nazaruddin dan Gelombang Siklus Silkular
Kasus M. Nazaruddin, mantan Bendahara partai Demokrat yang telah dipecat, menjadi bola liar. Menggelinding hingga ke mahkamah Konstitusi dengan menyeret sejumlah nama, diantaranya Sekjen MK, Janedjri M Gaffar.Di sisi lain, kasus tersebut juga turut menguak tabir yang menyelimuti konflik kepentingan di internal Partai Demokrat. Dua kubu, antara yang membela dan membiarkan Nazaruddin diproses, baik oleh Demokrat maupun aparat penegak hukum.
Kasus tersebut, menjadi menarik karena melanda partai berkuasa sekaligus besutan SBY, yang dua kali sukses meraih tampuk kekuasaan sebagai Presiden RI.
Pada intinya, kasus Nazaruddin mengindikasikan adanya ketidakberesan (baca : masalah) pada Partai Demokrat. Masalah klasik dalam rimba politik Indonesia. Apa lagi kalau bukan soal uang dan kekuasaan. Menarik menganalisis kasus tersebut melalui pendekatan paradigmatik ideologi negara yang akhir-akhir ini, juga menjadi perbincangan hangat.
Ada hubungan kausal (sebab akibat) antara skandal yang membelit Demokrat, dan fenomena lunturnya nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi negara yang santer terdengar dan menjadi perbincangan hangat.
Siklus Silkular Schumpeter
Di dalam bukunya "Capitalism, Socialism, and Democracy" (2004), secara skeptik Joseph Schumpeter menegaskan kekhawatirannya, bahwa suatu gagasan yang telah mati menjadi pupuk bagi lahir dan tumbuhnya gagasan baru yang serupa.
Refleksi kekhawatiran akan bangkitnya kekuatan suatu rezim yang telah hilang, untuk mereproduksi dirinya melalui siklus kekuasaan. Secara subtantif, aktor-aktor yang datang pada periodesasi berikutnya bisa berbeda, namun dengan peran duplikatif-identik dari pendahulunya. Artinya, status quo membungkus kamuflase perubahan.
Kita sudah mahfum, bahwa suara gaduh dengan ceracau politik berlatar kekuasaan, sepanjang waktu selalu menjadi milik sekelompok kecil "masyarakat besar" di negeri ini. Yaitu mereka yang oleh Antonio Gramsci dikatakan sebagai pemenang wacana atas kuasa mayoritas, melalui legitimasi demokrasi. Atau disebut oleh Fahri Hamzah sebagai bentuk keegoisan kaum penguasa.
Dalam penekanan berbeda, Prof. BJ Habibie melihat fenomena tersebut lebih luas, sebagai suatu bangsa. Menurut Prof. Habibie, fenomena tersebut merupakan bagian dari pergeseran nilai bangsa Indonesia. "...terjadinya pergeseran nilai yang dialami bangsa Indonesia, sebagaimana terlihat dalam pola hidup masyarakat pada umumnya, termasuk dalam corak perilaku kehidupan politik dan ekonomi yang terjadi saat ini", tegas Prof. Habibie saat peringatan hari kelahiran Pancasila (1/6/2011) lalu.
Gambaran berbagai kekhawatiran tersebut semakin terang oleh sejumlah kekacauan sosial kita dalam bernegara. Dari konflik horizontal antara masyarakat, atau konflik vertikal antara masyarakat dengan aparat, juga konflik politik penguasa (seperti dicontohkan di awal tulisan), hingga gerakan yang ingin mendirikan negara di dalam negara.
Termasuk juga praktek koruptif yang di back up oleh kekuasaan, tak kalah berbahayanya. Menjadi ancaman bagi kelangsungan pembangunan bangsa, dan mereduksi keutuhan NKRI. Kejahatan luar biasa (extraordinary crime) ini, semakin subur oleh praktek demokrasi yang membebaskan segala jenis aktor untuk menari artikulatif atas nama kebebasan.
Kesalahan fatal pemerintahan Orde Baru dibawah kepemimpinan Soeharto adalah menjadikan Pancasila sebagai alat untuk menindas rakyat. Fungsi Pancasila pada masa itu, memang diakui sangat fital dalam menjaga stabilitas politik, namun tanpa demokrasi. Kekuasaan dilokalisir oleh rezim Soeharto atas nama stabilitas negara dengan tameng Pancasila.
Akhirnya memasuki era reformasi, perlakuan Soeharto menimbulkan efek traumatik secara kolektif, dan berakitbat pada hilangnya daya tarik Pancasila sebagai ideologi negara. Pancasila menjadi ideologi bangsa yang kesepian.
Kran demokratisasi terbuka lebar, diikuti partisipasi aktif masyarakat yang mengucur deras. Tanpa ditopang oleh kekokohan ideologi, pada akhirnya demokrasi tergadai dalam ruang-ruang gelap perselingkuhan penguasa. Pancasila sekedar menjadi bubuh tanda dalam AD/ART partai politik. Nyatanya, perilaku politisi sebagian besar menginjak-injak nilai luhur Pancasila.
Politisi yang lahir dari demokrasi liberal, memungkinkan munculnya aktor-aktor antagonis yang memainkan peran redusir. Menjadi kutu loncat di partai-partai besar yang juga pragmatis. Simbiosis mutualisme yang mengeliminir subtansi demokrasi.
Trio Macan
Praktek-praktek bisnis menjadi gaya mengelola pemerintah. Profit oriented adalah mindset dalam setiap kebijakan. Termasuk politik anggaran yang melahirkan calo anggaran.
Secara langsung, hal ini juga dipengaruhi oleh sistem demokrasi liberal berbiaya tinggi tanpa bingkai moral berbasis ideologi. Akhirnya, yang menang adalah pemilik kekuasaan (birokrat), pemilik suara (politisi), dan tentunya pemodal (pengusaha). Rakyat ditinggal di jurang konflik sosial.
Politikus, birokrat dan pengusaha menjadi "Trio Macan" yang mendekonstruksi sakralitas makna demokrasi, ideologi dan terminologi suci lainnya dalam ranah politik. Semakin jauh meninggi melampaui momentum yang harusnya menjadi titik balik bagi bangsa Indonesia tumbuh lebih pesat lagi. Tidak saja dalam takaran material, akan tetapi jauh lebih penting adalah nilai dan taste (rasa) sebagai bangsa beradab.
Fenomena tersebut di atas, menggambarkan betapa pola-pola kenegaraan kita sebagai institusi hasil mufakat dan konsensus founding father bangsa ini, mengalami guncangan hebat. Perasaan superior melahirkan aksi di luar nalar logis sebagai kumpulan masyarakat beradab yang dibingkai oleh NKRI.
Adalah capaian luar biasa ketika para pendiri bangsa berhasil menyelesaikan rumusan ideologi negara yang kemudian kita sebut Pancasila. Nila-nilai filosofis Pancasila telah menjadi praktek kehidupan masyarakat nusantara (sebelum menjadi NKRI), mengakar dalam urat nadi, menyatu dalam karakter, wujud dalam keagungan budaya bangsa Indonesia. Maka tak heran jika Pancasila sebagai dasar kehidupan dan ciri budaya bangsa Indonesia, dipandang sakral.
Namun sejatinya, sakralitas nilai-nilai Pancasila bukan hanya menjadi ukiran di atas prasasti, atau sekedar dibacakan secara seremonial saat upacara bendera. Sakralitas itu harusnya menyatu dalam tarikan nafas kebangsaan kita.
Mengembalikan ruh dan daya magnetik Pancasila menjadi agenda mendesak bangsa. Baik sebagai antitesa atas berbagai gerakan yang menjadi benih perpecahan NKRI.
Mulai dari kelompok-kelompok yang ingin mendirikan negara di dalam negara, koruptor yang menggerogoti kekayaan negara dan menghambat pembangunan, atau juga para politisi yang sibuk gertak menggertak, tuduh menuduh demi melanggengkan kekuasaan.
Kini, ketika pusaran gelombang semakin mengganas, pemerintah barulah kembali melirik Pancasila untuk menyelamatkan kekuasaan agar tak karam. Seolah tak bersalah, Pancasila dijadikan diskursus panjang yang mengisi hari-hari kini.
Pertanyaannya, sejauh mana kesadaran dan keseriusan pemerintah serta elemen bangsa menginternaliasasikan ideologi bangsa yang sudah mulai teralineasi tersebut? Atau hanya sekedar mengulang budaya latah, mengikuti arus tanpa disertai komitmen?
Bukan Latah
Sejatinya, acara bertajuk "Peringatan Pidato Bung Karno 1 Juni 1945/ Hari Lahir Pancasila" yang digelar oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada Rabu (1/6) lalu, tidak berakhir pada acara seremonial belaka.
Tesis "siklus silkular" Schumpeter, tak kita inginkan terjadi di Indonesia. Kita tidak ingin trauma pada Pancasila, justru menjadi momentum yang dimanfaatkan oleh pembajak-pembajak demokrasi yang mewujud dalam "Trio Macan", lahir kembali dan mengulang kesalahan penguasa masa lalu, menumbuh suburkan korupsi, mengkavling-kavling republik, dan bahkan menjualnya kepada kapitalis asing atas nama investasi -tapi nyatanya berburu proyek untuk kepentingan kelompoknya-.
Kegelisahan pemimpin bangsa terhadap masa depan Indonesia, yang ditumpah ruahkan melalui pidato heroik, reflektif dan penuh semangat tersebut, harus ditindak lanjuti dalam langkah-langkah nyata.
Tentu dimulai dari mereka, pemimpin bangsa yang menjadi cerminan masyarakat. Kita tidak ingin, Pancasila menjadi ideologi sunyi, baik dari segi nilai aplikatif maupun wacana diskursus untuk memperkaya referensi kebangsaan.
Bukan hanya gaduh, riuh dan hingar bingar di ruang kekuasaan. Kasus Nazaruddin sebagai rapresentasi dari partai berkuasa, cukup menjadi alarm akan ancaman siklus silkular. Ideologi bangsalah yang harus memotongnya! (IRIB/Detik/8/6/2011)
0 comments to "SBY dan Pendukungnya....!!!!!!!"