Home , , � Berfikir Ilmiah dan Tradisi Menulis

Berfikir Ilmiah dan Tradisi Menulis





Berfikir Ilmiah dan Tradisi MenulisJakarta - Menarik untuk mendiskusikan lebih labih lanjut artikel M Nafiul Haris berjudul "Mahasiswa dan Tradisi Menulis" di media ini (4/8).

Haris memulai artikelnya dengan kalimat negatif dan cenderung apatis bahwa saat ini dalam dunia mahasiswa terdapat kecenderungan yang memisahkan antara dunia akademik dengan aktifitas menulis. Tidak banyak mahasiswa yang menjadikan menulis sebagai kebiasaan.

Justru menurut pengakuan Haris (yang masih tercatat sebagai mahasiswa Universitas Hasyim Asy'ari Semarang), tugas akhir berupa skripsipun kerap dijadikan beban oleh mahasiswa dengan banyaknya kecurangan berupa plagiarisme sebagai cara "potong kompas" mendapat gelar kesarjanaan.

Jika Haris dalam artikelnya hanya "menunjuk" mahasiswa yang dibebankan "kewajiban" untuk membiasakan menulis, justru penulis ingin mengkritisinya lebih mendalam sebagai tradisi berfikir, bersikap dan berperilaku ilmiah. Artinya siapapun itu (tak hanya mahasiswa), jika ingin absah disebut sebagai cendekiawan-intelektual maka syarat mutlaknya adalah menulis. Mengapa?

Berfikir Ilmiah dan Empirik

Tulisan khususnya artikel ilmiah baik itu populer tulisan ilmiah dalam jurnal dan buku tidak cukup memaparkan pengetahuan sang penulisnya terhadap satu tema tertentu. Meskipun dilampiri referensi data empirik, tulisan yang hanya memaparkan "pengetahuan" penulisnya biasanya disebut dengan reportase.

Sedangkan tulisan artikel, opini dan tulisan ilmiah lainnya mensyaratkan di dalamnya "ilmu pengetahuan", di samping "pengetahuan" sang penulis terhadap hal-hal empirik yang mendukung teori dalam ilmu pengetahuan tersebut.

Dari sini sebenarnya sudah bisa menjawab sikap pesimis Haris mengapa para mahasiswa kesulitan memaparkan gagasannya dalam bentuk tulisan. Permasalahannya tidak sekedar "malas" untuk menjadikan menulis sabagai tradisi atau kebiasaan sehari-hari namun yang lebih prinsip adalah "malas" menjadikan "berfikir ilmiah" sebagai kebiasaan sehari-hari. Lalu bagaimana berfikir ilmiah itu?

Sekolah adalah institusi yang mengantar siswa (mahasiswa di perguruan tinggi) menjadi insan "ilmiah". Sekolah (sekolah dasar sampai perguruan tinggi) bertugas memberi makna "pengetahuan" dan pengalaman kita terhadap hal-hal yang ada di sekeliling.

Makna-makna tersebut kemudian menempati satu peristilahan yakni "ilmu pengetahuan" jika dilalui dengan metode ilmiah. Pada jenjang perguruan tinggi, pengetahuan kemudian dikelompokkan berdasarkan gugusnya masing-masing.

Sebelum tahun 1970-an, kita hanya mengenal dua gugus ilmu pengetahuan yakni "ilmu alam" dan "ilmu sosial". Baru tahun 1980-an berkembang ilmu humaniora di luar dua gugus ilmu pengetahuan tersebut.

Secara sederhananya, tidak semua pengetahuan dapat disebut sebagai ilmu pengetahuan. Meski tulisan ini tidak untuk mendiskusikan secara mendalam tentang filsafat ilmu, namun ada dua hal yang harus dibongkar dalam filsafat ilmu agar kita bisa mendapatkan “ilmu pengetahuan” sebelum kemudian kita memproduksinya menjadi tulisan yang bisa dikosumsi banyak orang.

Pertama, ontologi. Bagi seorang cendekiawan (mahasiswa sebagai calon cendekiawan) yang harus dipahami pertama kali adalah ontologi dari ilmu pengetahuan yang digelutinya. Smith (2005) membatasi pengertian ontologi sebagai ilmu tentang definisi, jenis dan struktur dari subyek yang ada dalam setiap area kenyataan.

Ontologi kerap disama artikan dengan "obyek" dari ilmu pengetahuan. Tradisi ilmiah biasanya memiliki "fokus" terhadap bidang (ontologi) yang dikaji (pelajarinya). Makanya awal tahun 2000-an, ilmu pengetahuan berkembang pesat dengan cabang-cabangnya yang lebih fokus dibandingan dengan perkembangan ilmu pada masa sebelumnya.

Dalam konteks ini, seorang intelektual atau cendekiawan haruslah memahami permasalahan yang ada dalam lingkup "bidang" kajian ilmu yang dipelajarinya sebelum ia melakukan tahapan-tahapan dalam prosedur ilmiah (metode ilmiah) yang kelak hasil akhirnya dituangkan dalam bentuk tulisan ilmiah baik itu ilmiah populer (artikel, opini) maupun ilmiah dalam bentuk jurnal dan buku.

Kedua, epistemologi. Berangkat dari pertanyaan-pertanyaan dan permasalahan yang ada dalam bidang kajian yang digeluti, dengan menggunakan bantuan "epistemologi" hakekat dari permasalahan dapat diramalkan, dapat dimaknai dan dapat pula dikritisi. Syapur dalam Isyraq (2007) menjelaskan epitemologi seperti teropong yang digunakan untuk melihat benda-benda kecil dan jauh jangkauannya.

Penggunaan teropong tersebut didasarkan karena ketidak percayaan para ilmuwan dengan panca indera yang kerap menipu dan memiliki keterbatasan. Teropong inilah yang dimaksud dengan istilah epistelomogi dalam tradisi berfikir ilmiah.

Epistemologi sendiri di kalangan dunia kampus kerap dipahami dengan "metode ilmiah" yang membahas tentang batasan, dasar dan pondasi, alat, tolok ukur, keabsahan, validitas dan kebenaran ilmu, ma’rifat dan pengetahuan manusia.

Dalam tradisi ilmiah, jika terdapat hasil penelitian atau survey (penelitian ilmu sosial) ternyata salah maka yang patut dipertanyakan adalah "teropong" yang digunakan. Dengan demikian penulis mengambil satu kesimpulan bahwa tak ada yang salah terhadap pemberian makna atas apapun yang terjadi disekeliling kita.

Seperti halnya ujaran psikolog sosial bahwa realitas itu sebenarnya tidak ada, yang ada hanya apa yang kita persepsikan. Penggunakan satu metode ilmiah akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda dengan metode ilmiah lainnya.

Metode paling mudah dalam prosedur ilmiah adalah kajian dokumentasi. Di sini kita dapat melakukan analisis isi dokumen-dokumen yang ada untuk menjawab pertanyaan atau rasa ingin tahu kita terhadap tema tertentu.

Kajian dokumentasi dapat dilakukan siapapun, termasuk mahasiswa dengan membaca buku-buku, jurnal, majalah dan klipingan koran. Kajian dokumentasi pula yang kerap digunakan mahasiswa dalam penulisan makalah sebagai tugas mata kuliah di perguruan tinggi.

Tradisi Menulis

Meski kini banyak slogan bertebaran dalam buku-buku maupun dunia maya bahwa "menulis itu mudah", kenyataannya tidak sedikit para dosen yang mengajar di perguruan tinggi di Indonesia memperoleh kesulitan kenaikan pangkat karena prasyarat dalam tri dharma tidak terpenuhi. Satu syarat dalam tri dharma yang berkaitan dengan dunia menulis adalah karya ilmiah hasil dari penelitian.

Lazimnya sebuah proses, hasil penelitian sebenarnya harus dituangkan dalam bentuk tulisan ilmiah dan dipublikasikan sehingga dapat dibaca oleh banyak orang. Namun fakta di lapangan justru hasil-hasil penelitian para intelektual kampus tersebut kerap puas hanya singgah dalam rak perpustakaan internal kampus.

Untuk hal ini, pemerintah saat ini mewajiban program penelitian dosen (meski belum seluruhnya) yang anggarannya diserap dari APBN hasilnya harus "dipublish" dalam jurnal ilmiah. Di beberapa perguruan tinggi negeri juga mensyaratkan mahasiswa S3 untuk mem-publish hasil penelitian disertasinya di jurna l ilmiah sebagai persyaratan kelulusan.

Sayangnya program penelitian sebagai sebuah proses menggali ilmu pengetahuan yang idealnya diakhiri dengan tulisan ilmiah tersebut ditanggapi oleh insan akademis sebagai beban, bukan sebagai latihan berfikir ilmiah dan latihan mentransformasikan ilmu hasil penyelidikannya melalui tulisan.

Di dua paragraf terakhir, Haris dalam tulisannya "Mahasiswa dan Tradisi Menulis" dengan penuh keyakinan bahwa tradisi menulis akan mereposisi mahasiswa yang awalnya hanya sebagai konsumen menjadi produsen.

Atas ujaran tersebut penulis justru ingin mempertanyakan, apakah yang dimaksud berlaku untuk semua jenis tulisan? Dalam alam kebebasan pers saat ini, semua orang bisa menulis apapun isinya. Permasalahannya apakah tulisan yang sifatnya sensasional yang cenderung mengedepankan emosi dan fitnah (tanpa data dan mengikuti prosedur ilmiah) dapat digunakan sebagai referensi dan menjadikan penulisnya mendapat predikat "pabrik wacana"?

Mengakhiri tulisan ini, penulis mengajak para mahasiswa dan juga cendekiawan muda untuk terus mengasah diri dalam tradisi berfikir ilmiah. Metode yang mudah dan murah dalam berfikir ilmiah adalah studi dokumentasi.

Dalam studi dokumentasi ayo kita perbanyak membaca buku-buku karya para pemikir, para ilmuwan dan tokoh dunia maupun Indonesia. Kita perbanyak membaca teori-teori agar kita bisa menyusun "tesis-sintesis-anti tesis" terhadap permasalahan yang ada disekitar kita.

Seperti disebutkan dalam teori sistem, besarnya input (dalam hal ini kemampuan membaca) akan mempengaruhi besarnya out put yakni menuangkannya dalam bentuk tulisan. Maka, apakah ada penulis (bukan penulis karangan fiksi) yang tercerabut dari tradisi berfikir ilmiah? Wallahu'alam

*Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Sosiologi Pedesaan IPB


Susianah Affandy
Komp. Dosen IPB Jalan Melati No 1 Darmaga, Bogor
susianah.affandy@yahoo.com
(wwn/wwn/Susianah Affandy - detikNews/Sabtu, 06/08/2011 10:59 WIB)

0 comments to "Berfikir Ilmiah dan Tradisi Menulis"

Leave a comment