Home , , , , , , � Kalau kalian manusia, maka bersatulah dengan makhluk lainnya untuk dekat dengan Sang Pencipta : Pendekatan Nabi Saw Dalam Membina Persatuan

Kalau kalian manusia, maka bersatulah dengan makhluk lainnya untuk dekat dengan Sang Pencipta : Pendekatan Nabi Saw Dalam Membina Persatuan

Metode Rasul Saw dalam mempersatukan umat

Metode Rasul Saw dalam mempersatukan umatMetode Rasul Saw dalam mempersatukan umatMetode Rasul Saw dalam mempersatukan umatMetode Rasul Saw dalam mempersatukan umatMetode Rasul Saw dalam mempersatukan umatMetode Rasul Saw dalam mempersatukan umat"Dakwah Rasulullah Saw berkembang pesat menembus ke dalam berbagai suku. Dakwah beliau menjanjikan arah baru yang merangsang tujuan-tujuan mulia dan merangkul nilai-nilai kemanusiaan yang beradab."

Mungkinkah kesatuan politik dan sosial terwujud di tengah-tengah masyarakat yang disekat-sekat berdasarkan kebangsaan, agama, mazhab, wilayah, atau suku? Bagaimana caranya? Apakah dengan pertaruhan meleburkan identitas dan mengesampingkan perasaan sebagai anggota kelompok tertentu ataukah dengan adanya pihak penguasa yang mengendalikan pihak-pihak lain? Atau barangkali masih ada cara dan alternatif lain yang lebih tepat?

Dalam hal ini mungkin kita bisa mengaca pada pengalaman sukses dalam pencapaian bersejarah yang ditorehkan oleh Rasulullah ketika mendirikan negara dan masyarakat Islam periode awal. Para sejarawan sepakat bahwa masyarakat semenanjung Arab sebelum Islam terpecah belah, tidak berpadu menjadi sebuah entitas, dan tidak memiliki sistem yang mengorganisir mereka. Mereka tersebar ke dalam berbagai suku dengan suasana hubungan yang bergejolak, sering timbul permusuhan dan perselisihan di antara mereka.

Orang yang membaca perjalanan sejarah bangsa Arab—yang identik dengan pertempuran dan peperangan—akan terkejut karena ternyata tidak sedikit peperangan sengit yang dipicu oleh alasan sepele. Dalam buku Ayyâm al-‘Arab fî al-Jâhiliyyah (Bangsa Arab pada Masa Jahiliah)—yang ditulis oleh tiga peneliti—diceritakan puluhan perang yang melibatkan kalangan internal suku-suku Arab. Di intern suku Qahthaniyah terjadi perang hingga sepuluh kali. Suku al-Qahthaniyah sendiri sepuluh kali berperang dengan Suku ‘Adnaniyah. Di intern Suku Rubai‘ah terjadi enam kali perang dan mereka lima belas kali berperang dengan Suku Tamîm. Di intern Suku Qais terjadi sepuluh kali perang. Mereka sepuluh kali terlibat perang dengan Suku Kinanah, tujuh kali dengan Suku Tamim, dan lima belas kali dengan Suku Dhabbah dan suku-suku lainnya. Dan masih banyak lagi perang-perang lainnya.[1]

Tampaknya berbagai peperangan yang dikemukakan oleh penyusun buku tersebut hanyalah perang-perang yang telah banyak disinggung dalam buku-buku sejarah dan sastra. Tentu masih banyak peperangan yang belum terkuak. Pada bagian pendahuluan buku tersebut disebutkan, “Kami hanya mengemukakan masa-masa perang yang sudah diketahui khalayak yang detail ceritanya, sebab-sebabnya, riwayat-riwayat syair dan puisinya sampai kepada kita. Adapun masa-masa perang yang hanya disinggung judulnya, sebatas beberapa fragmen dan penyebabnya, kami putuskan untuk dilewatkan.... Pengarang buku Kasyf al-Zhunûn dan yang lainnya meriwayatkan bahwa Abu Ubaidah menyusun sebuah buku kecil tentang 75 peperangan dan buku berikutnya yang lebih besar tentang 1200 peperangan. Sementara itu, Abu al-Farj Isfahani menyusun sebuah buku tentang 1700 peperangan....”[2]

Bangsa Arab dulu menyerahkan loyalitas sepenuhnya kepada suku. Artinya, dia melebur ke dalam sukunya dan merasa cukup dengan kekuatan dan keagungan suku. Dia akan melawan dengan gigih apa pun yang mengusik sukunya. Prof. Ahmad Amin menyatakan, “Ketika membaca syair Arab pra-Islam (al-syi‘r al-jâhilî), umumnya Anda akan merasakan bahwa karakter penyair menyatu dengan sukunya, seolah merasa dirinya tidak ada, seperti yang bisa Anda temukan dengan jelas dalam untaian syair ‘Amr ibn Kultsum. Jarang ada syair yang menampilkan karakter penyairnya. Bisa dikatakan tidak ada penyair yang mendeskripsikan perasaannya sendiri atau menyatakan dirinya berdiri sendiri merdeka dari sukunya.”[3]

Di tengah masyarakat yang dihuni oleh beragam suku, memiliki kecenderungan loyalitas yang ekstrem terhadap suku, dan sarat dengan suasana konflik antar suku itu Allah Swt mengutus Nabi Muhammad Saw. Dalam kurun waktu kurang dari seperempat abad Rasulullah Saw berhasil membina suku-suku tersebut menjadi masyarakat yang kompak dan entitas yang padu. Beliau menghadirkan proyek budaya yang maju kepada dunia. Ini benar-benar prestasi besar yang tiada tandingannya dalam sejarah manusia.

Itulah yang menarik perhatian Dr. Michael Hart dari Amerika tatkala menyusun buku tentang 100 tokoh yang berpengaruh dalam sejarah manusia. Dia menempatkan sosok Nabi Muhammad Saw pada urutan teratas dalam daftar orang-orang yang paling berpengaruh dalam sejarah manusia. Tentang pilihan ini, Dr. Michael Hart menyatakan, “Saya memilih Muhammad untuk menempati urutan teratas dalam daftar orang-orang paling berpengaruh di dunia dalam berbagai bidang. Mungkin banyak pembaca yang terkejut bahkan mempertanyakan pilihan ini, tapi saya yakin Muhammad adalah satu-satunya orang dalam sejarah yang paling sukses dalam urusan agama, juga urusan dunia.[4]

Bagaimana Rasulullah Saw bisa meraih pencapaian besar tersebut? Apa rencana acuannya dalam menyatukan masyarakat yang terpecah belah itu?

Identitas Kolektif

Ketika masyarakat terpecah belah, setiap pihak akan menonjolkan identitas masing-masing. Identitas individu dijadikan batasan untuk mempertahankan diri, wahana untuk melancarkan perlawanan, dan pertanda bagi eksistensinya. Supaya masyarakat bisa dipersatukan, maka tensi identitas individu harus diturunkan demi kepentingan identitas kolektif yang menggambarkan eksistensi semua pihak. Dengan identitas kolektif semua pihak akan memandang diri mereka sederajat.

Identitas salah satu pihak tidak akan bisa mengambil peran identitas kolektif. Menonjolkan identitas salah satu pihak akan memicu resistensi dari identitas lain. Mengutamakan identitas salah satu pihak berarti memperlihatkan superioritasnya dan menyatakan bahwa identitas lain tunduk kepadanya. Apabila masyarakat dipilah-pilah berdasarkan kebangsaan, tentu tidak akan ada satu bangsa yang bisa membentuk kerangka bagi persatuan masyarakat yang menjadi identitasnya dan bersifat universal. Begitu pula masyarakat yang dihuni oleh beragam agama dan mazhab. Salah satu agama atau mazhab tidak akan bisa menjalankan peran semua pihak yang terlibat. Tentu harus ada unsur yang mempersatukan seluruh elemen masyarakat yang ditampilkan dan dikukuhkan sebagai identitas universal. Juga harus ada unsur yang menghidupkan suasana intelektual politis baru yang mempererat seluruh elemen masyarakat, menjadi tujuan bersama dan kerangka universal.

Itulah yang ditorehkan oleh Rasulullah Saw melalui dakwah Islam yang penuh berkah. Dakwah Rasulullah Saw berkembang pesat menembus ke dalam berbagai suku. Dakwah beliau menjanjikan arah baru yang merangsang tujuan-tujuan mulia dan merangkul nilai-nilai kemanusiaan yang beradab. Dakwah beliau mengesampingkan ego individu, fanatisme keturunan, dan absurditas kehidupan.

Iman telah mendapatkan tempat di dalam hati anak-anak suku yang bersengketa. Iman menjadi poros dan sumber kekuatan bagi anggota-anggota suku yang setia, bahkan mengalahkan kesetiaan kepada suku itu sendiri. Ia menjadi kerangka universal dan identitas kolektif. Semua orang sama-sama merasa bangga dengannya meski mereka berbeda suku, berbeda kedudukan, dan berbeda kekuatan.

Budaya Persatuan

Kondisi sosial yang dikotak-kotakkan ke dalam kelas-kelas tertentu meninggalkan pengaruh ke dalam jiwa dan perasaan untuk menonjolkan kelompok sendiri dan mendiskreditkan kelompok pesaing. Kondisi semacam itu juga melahirkan budaya yang membenarkan adanya diferensiasi dan menimbulkan jurang pemisah. Juga menyebabkan prilaku agresif dan praktek-praktek yang provokatif.

Munculnya aspirasi untuk bersatu dalam sebuah masyarakat mengharuskan adanya budaya baru yang dapat menanggulangi pengaruh budaya perpecahan. Lebih dari itu dapat menghadapi dampak psikologis dan prilakunya.

Konflik dan persaingan antar suku di semenanjung Arab telah mendorong para orangtua untuk mendidik anak-anak mereka agar bangga menjadi anggota suku dan mengembangkan perasaan lebih unggul dari yang lain. Itulah yang tercermin dari puisi para pujangga dan pidato para pemimpin mereka.

Antusiasme dan kebanggaan merupakan salah satu tujuan utama dari syair Arab pra-Islam. Para pujangga berlomba-lomba menciptakan puisi puji-pujian bagi suku mereka dan menunjukkan posisinya. Sebagai contoh, syair ‘Amr ibn Kultsu secara jelas menggambarkan tren semacam itu. Dalam salah satu puisinya dia berujar:

Kami memenuhi lautan dengan perahu

Orang lain meminum air kotor dan penuh lumpur

Raksasa pun bersembah sujud kepadanya

Ketika mampu, kami akan menyerang

Kami memenuhi daratan hingga daratan terasa sempit bagi kami

Kami minum ketika menemukan air yang jernih

Ketika anak kami telah mencapai usia untuk disapih

Dunia dan segala isinya adalah milik kami

Sisi lain dari corak sastra Arab pra-Islam adalah sastra satire, di mana para pujangga mendiskreditkan suku-suku yang menjadi pesaing suku mereka secara berlebihan. Mereka mendeskripsikan suku pesaing dengan sifat-sifat yang sangat buruk.

Islam kemudian datang mempersatukan suku-suku tersebut. Islam menghadapi budaya diskriminatif yang sudah mengakar secara serius dengan cara mencabut jiwa dan idenya dari akar-akarnya. Perilaku peninggalannya dibabat habis seperti yang ditegaskan oleh Al-Qur’an mulia bahwa manusia berasal dari sumber yang sama. “... yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam).[5] Ayat ini mementahkan semua justifikasi perbedaan yang semu di antara manusia, kecuali perbedaan yang didasarkan pada atribut-atribut kesalehan yang mereka upayakan atas kemauan mereka sendiri. “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.[6]

Rasulullah Saw dalam pidato dan hadisnya menekankan prinsip-prinsip persatuan di antara komponen masyarakat Islam. Beliau menyatakan perang terhadap ide dan persepsi jahiliah yang membanggakan silsilah dan keturunan atau mengklaim superior karena menjadi anggota suku dan etnis tertentu. Semisal Rasulullah Saw bersabda, “Bukan bagian dari kami orang yang menyerukan fanatisme golongan; bukan bagian dari kami orang yang berperang karena fanatisme golongan; dan bukan bagian dari kami orang yang mati karena fanatisme golongan.”[7]

Diriwayatkan bahwa pada saat Fathu Makkah Rasulullah berpidato, “Wahai manusia! Hendaklah orang yang hadir menyampaikan kepada orang yang tidak hadir bahwa Allah telah menghilangkan arogansi kejahiliahan yang membanggakan leluhur dan klan dengan Islam. Wahai manusia! Sungguh, kalian berasal dari Adam dan Adam sendiri berasal dari tanah. Ingatlah, orang yang paling baik di antara kalian di sisi Allah dan paling mulia dalam pandangan-Nya pada hari ini, adalah orang yang paling bertakwa dan paling taat kepada-Nya.”[8]

Jabir ibn Abdillah meriwayatkan, “Pada hari kedua dari hari Tasyrîq, Rasulullah Saw menyampaikan pidato perpisahan kepada kami. Beliau bersabda, ‘Wahai manusia! Sungguh, Tuhan kalian satu dan bapak kalian juga satu. Ingatlah, tidak ada keunggulan bagi orang Arab atas non-Arab, begitu juga sebaliknya; tidak ada keunggulan bagi yang merah atas yang hitam, begitu juga sebaliknya, kecuali karena ketakwaan. Sungguh, orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa.’”[9]

Dalam sebuah peperangan terjadi kesalahpahaman antara seorang sahabat dari kalangan Muhajirin dan sahabat dari kalangan Anshar. Sahabat dari kalangan Muhajirin berseru, “Hai kaum Muhajirin! (Tolonglah aku sesama kaum Muhajirin).” Sahabat dari kalangan Anshar tidak mau kalah, dia pun berseru, “Wahai kaum Anshar! (Tolonglah aku sesama kaum Anshar).” Mendengar kata-kata itu Rasulullah langsung mengutuknya seraya berkata, “Mengapa kalian masih menggunakan seruan-seruan jahiliah seperti itu? Tinggalkanlah seruan-seruan jahiliah semacam itu karena akan menimbulkan efek yang tidak baik.”[10]

Mempergunakan keanggotaan kesukuan secara negatif dan menonjolkannya hingga mengesampingkan kesetiaan kepada prinsip-prinsip di atas tentu tidak dapat diterima. Akan tetapi, itu bukan berarti tidak mengakui adanya keanggotaan sebuah suku dan entitas kesukuan dalam muatannya yang positif.

Kemitraan yang Efektif

Tidak ada yang mampu mewujudkan kesatuan masyarakat seperti yang diwujudkan oleh kemitraan yang efektif di antara berbagai pihak dalam membangun, mengambil keputusan, dan menata berbagai persoalan. Kemitraan yang seperti itu menjadikan semua pihak merasa punya kepentingan bersama dalam menjaga kesatuan entitas dan menolak apa pun yang mengusiknya. Lebih dari itu, juga mencerminkan realitas kesetaraan dalam hak dan kewajiban. Apabila salah satu pihak merasa kelompoknya paling berhak menjalankan peran tersebut, tentu pihak lain merasa dirugikan dan teraniaya. Pada gilirannya, perasaan tersingkir dan marjinal itu bakal mendorong mereka melakukan reaksi kontraproduktif terhadap persatuan dan stabilitas masyarakat. Mengucilkan pihak mana pun hanya akan menimbulkan ketidakefektifan di dalam masyarakat dan mengoyak dinding persatuan dan keamanannya.

Islam sedari awal mengakui prinsip partisipasi masyarakat dan kemitraan sosial di saat masyarakat lain tunduk di bawah sistem otoriter, rasisme, dan kasta yang menjijikkan. Itulah salah satu bukti kemuliaan Islam.

Rasulullah Saw mempraktekkan musyawarah di tengah-tengah masyarakat umum agar setiap muslim bisa mengemukakan pendapatnya. Besar maupun kecil, merdeka ataupun budak, sahabat Muhajirin maupun sahabat Anshar, dan dari suku mana pun, hingga unsur non-Arab sekalipun mempunyai kedudukan yang sama, tidak ada perbedaan. Bahkan, ada sementara unsur non-Arab yang menempati kedudukan istimewa karena kemampuannya, semisal Shuhaib al-Rumi dan Salmân al-Farisi.

Dalam bidang pekerjaan dan tugas-tugas kepemimpinan, Rasulullah Saw mempercayakan kepada orang-orang yang ahli dan memenuhi persyaratan dari berbagai suku. Seandainya sisi sîrah al-nabawiyah ini dikaji secara proporsional, tentu kita dan semua orang akan mengetahui dengan jelas keindahan ajaran Islam dan kebesaran kepemimpinan Nabi. Apabila kita teliti daftar para komandan pasukan, para delegasi yang diutus kepada para raja dan pemimpin masyarakat, dan para tokoh yang diangkat oleh Rasulullah untuk menangani masalah peradilan dan masalah-masalah keagamaan, tentu kita akan melihat sejumlah tokoh dengan latar belakang suku dan wilayah yang berbeda-beda.

Pendekatan Persatuan dan Peradaban

Pendekatan Persatuan inilah yang dijadikan acuan oleh Rasulullah Saw dalam membina umat. Beliau meletakkan identitas kolektif, yaitu Islam, di atas identitas dan keanggotaan lain yang eksistensinya tidak diingkari oleh Islam, semisal identitas kesukuan, tanah air, dan kebangsaan. Islam hanya memerangi tren-tren negatif dari identitas-identitas tersebut. Rasulullah Saw memompakan budaya persatuan ke dalam masyarakat baru untuk menanggulangi efek dikotomi kesukuan yang telah mengakar. Rasulullah begitu bersemangat mewujudkan kemitraan sosial di antara berbagai pihak dalam membina, mengambil keputusan, dan menata berbagai persoalan. Inilah pendekatan yang menghantarkan masyarakat kepada persatuan sejati dan menyongsong kemajuan peradaban.

Masyarakat Barat yang maju saat ini sudah menjadikan tanah air sebagai acuan identitas kolektif. Mereka menghormati keragaman masyarakat dan mengkriminalisasikan cemoohan-cemoohan rasisme dan praktek-praktek diskriminatif di antara warga negara. Mereka mewujudkan kemitraan dan partisipasi melalui sistem demokrasi yang Islami. Masyarakat Barat menerapkan itu semua semata-mata karena memahami cara terbaik untuk maju dan berbudaya seperti yang pernah diterapkan oleh Islam berabad-abad lalu. Di samping itu, untuk menutupi sekian banyak kesenjangan dan kekurangan yang diderita peradaban Barat.

Sejatinya saat ini kaum musliminlah yang lebih pantas menerapkan pendekatan yang lurus semacam ini. Sebab, pendekatan ini lahir dari ajaran agama mereka dan selaras dengan sejarah dan peradaban mereka yang asli.[]

Oleh: Syekh Hasan Musa Shafar, Pemikir Islam asal Saudi Arabia



[1] Muhammad Ahmad Jâd al-Maulâ Bik dkk., Ayyâm al-‘Arab fî al-Jâhiliyyah.

[2] Ibid., hal. kâf dan lâm.

[3] Ahmad Amîn, Fajr al-Islâm, hal. 59.

[4] Michael Hart, Dirâsah fî al-Mi’ah al-Awâ’il.

[5] (QS. al-Nisâ’ [4]: 1).

[6] (QS al-Hujurât [49]: 13).

[7] Abû Dâwud al-Sijistânî, Sunan Abî Dâwud, hadis nomor 5121.

[8] Muhammad Bâqir al-Majlisî, Bihâr al-Anwâr, vol. 70, hal. 293.

[9] ‘Alî al-Mutqî al-Hindî, Kanz al-Ummâl, hadis nomor 8502.

0 comments to "Kalau kalian manusia, maka bersatulah dengan makhluk lainnya untuk dekat dengan Sang Pencipta : Pendekatan Nabi Saw Dalam Membina Persatuan"

Leave a comment