Bukan Dewan Perwakilan Rakyat namanya kalau tidak biasa dengan arogansi dan berlebih dalam alasan. Mereka sudah hilang rasa terimakasih jika ada yang mengingatkan, bahkan kata mengingatkan sudah menjadi kamus "menjegal", sehingga cepat-cepat lidah mereka berkelit, menangkis dengan berbagai cara dan jurus, bahkan tak jarang menghujat.
Padahal, begitu banyak keperluan dan kebutuhan rakyat yang harus mereka fahami dan ketahui, namun keluhan mereka dan tuntutan keadilan mereka tidak pernah sampai ke tangan mereka atau bahkan dengan kesengajaan mereka menutup mata.
Dikutip dari Milist PPI Dunia, perwakilan PPI Australia sempat berdialog dengan Abdul Kadir Karding, Ketua Komisi VIII DPR RI. Pada dialog yang berlangsung selama 15 menit dari jam 5.30 sampai 5.45 WIB, berkaitan dengan studi banding ke Australia, Ketua Komisi VIII menyatakan:
“Saya dipilih 70 ribu lebih di dapil saya. Sampai hari ini memang dapil saya tidak ada yang protes satu pun saya kunjungan ke luar negeri. Artinya menurut undang-undang, saya bertanggungjawab secara moral politik terhadap dapil saya.”
“Kita menangkap sinyal bahwa mereka tidak terlalu enjoy kalau kita langsung ke [komunitas bumiputera]. Oleh karena itu kan, kita ini lembaga tinggi yang harus menjaga G2G negara ini, sehingga kalau kita ada sinyal seperti itu, kenapa kita kunjungi dulu. Kan kita bisa cari tempat yang lain,” kata Abdul Kadir Karding.
Rekamannya dapat didengarkan dari link berikut: [ Silakan klik untuk mendengar wawancara RA dengan Abdul Kadir Karding dan Dirgayuza Setiawan ]
Ala kulli hal, mengadakan studi banding tentu saja sah-sah saja selama ada tujuan jelas dan dalam tindakan nyata dan jelas.
Dan akan afdhal jika pembahasan RUU Fakir Miskin itu dengan melibatkan rakyat sendiri, kumpul bersama rakyat dan merasakan desah sekaligus resah rakyat. Plesiran dan menjauhkan diri dari rakyat adalah pandangan sempit dan menyebabkan ketidaktahuan tentang keadaan dan kebutuhan rakyat.
Sampai saat ini, problem utama kemiskinan rakyat adalah karena pengucilan diri Dewan Rakyat dari rakyat, Dewan Rakyat tidak pernah memahami ihwal urusan dan hidup rakyat, dan sebagai akibatnya Dewan Rakyat selalu memandang hal-hal besar menjadi kecil dan hal-hal kecil menjadi besar, menganggap hal-hal yang baik menjadi buruk dan hal-hal buruk dianggap baik, kebenaran dicampur aduk dengan kebatilan.
Bagaimanapun, Dewan Rakyat layaknya manusia biasa, ia tidak akan dapat mengetahui hal-hal yang tersembunyi dari rakyat, dan jelas mereka tidak akan pernah ikut dalam desah dan resah rakyat melarat.
Padahal, begitu banyak keperluan dan kebutuhan rakyat yang harus mereka fahami dan ketahui, namun keluhan mereka dan tuntutan keadilan mereka tidak pernah sampai ke tangan mereka atau bahkan dengan kesengajaan mereka menutup mata.
Pendek kata, berbaurlah dan kunjungilah rakyat, lalu rasakan desah nafas mereka dan dengarkan resah mereka. Dan untuk itu semua, tidak perlu plesiran ke Australia maupun negeri antah berantah. Jika memungkinkan, cukuplah memandang ke emper-emper jembatan dan ruas-ruas jalan metropolitan, niscaya akan diilhami bagaimana mengatur Undang-Undang Fakir Miskin yang berkeadilan tanpa harus menghambur-hamburkan uang pajak rakyat. [Islam Times/on/30 Apr 2011 3:46]
Rangkuman Studi Banding Komisi 8 DPR RI di Australia
Saya tergelitik ingin sedikit berbagi mengenai kunjungan kerja Komisi 8 DPR RI beberapa waktu lalu di Australia untuk mempelajari RUU Fakir miskin. Secara singkat, kunjungan ini layak dipertanyakan karena dianggap kurang efektif dan transparannya kegiatan yang berlabel “Studi Banding” yang marak dilakukan di masa reses DPR belakangan ini. Kalau tidak salah, pada saat yang bersamaan, kunker juga di lakukan ke Spanyol dan Jerman pada masa parlemen di negara tujuan sedang reses.
Setelah mempelajari esensi dari kegiatan ini, PPI Australia menilai bahwa studi banding ini kurang tepat waktunya karena dilakukan pada saat reses Parlemen Australia. Juga melihat agenda kegiatan, studi banding ini dinilai tidak memberi efektifitas yang signifikan karena tidak tepat sasaran. Lengkapnya, PPI Australia mengirimkan Surat Terbuka kepada Komisi 8 DPR RI untuk mengkaji kembali jadwal dan tujuan kegiatan. Surat terbuka tersebut bisa dilihat disini: http://ppi-australia.org/?p=597. Surat ini kemudian dengan cepat menyebar di berbagai jejaring sosial dan dimuat dibeberapa media nasional. Keesokan harinya, pihak Komisi 8 memberikan balasan yang kemudian segera ditanggapi oleh PPI Australia: http://ppi-australia.org/?p=622. Intinya, Komisi 8 tetap berangkat.
Di sela-sela padatnya kegiatan anggota komisi 8 tersebut, keinginan PPI Australia agar diberikannya akses peliputan media selama studi banding tersebut untuk transparansi, tidak ditanggapi. Meski demikian, Ketua Komisi 8 mengijinkan untuk wawancara. Hasil wawancara ini ditulis secara memikat disini: http://www.rantang.com.au/2011/04/29/catatan-mengenai-kunjungan-kerja-komisi-viii-dpr-di-australia/. Rekaman lengkapnya, bisa diunduh disini: http://www.rantang.com.au/uploads/2011/04/abdul-kadir-dan-dirgayuza.mp3. Yang menarik adalah pernyataan Ketua Komisi 8 dalam menyikapi harapan SELURUH bangsa Indonesia terhadap wakil-wakilnya di DPR. “Saya dipilih 70 ribu lebih di dapil saya. Sampai hari ini memang dapil saya tidak ada yang protes satu pun saya kunjungan ke luar negeri. Artinya menurut undang-undang, saya bertanggungjawab secara moral politik terhadap dapil saya.”
Pada hari Minggu, 30 April 2011, PPI Australia berhasil diberikan kesempatan untuk bertemu dengan masyarakat yang bermukim di Melbourne, akademisi, PPI Australia, dan pihak-pihak lain yang berminat hadir. Sebelumnya, pertemuan semacam ini tidak ada dalam agenda studi banding, meski sudah diusulkan sebelumnya, namun tidak ditanggapi. Acara yang sebelumnya merupakan jamuan makan malam, bisa direvisi menjadi audiensi sekaligus makan malam, Kegiatan ini juga disiarkan secara langsung via Radio PPI Sedunia: http://www.radioppidunia.org/chat-listen. Seluruh rekaman audiensi dengan wakil rakyat tersebut bisa di unduh disini: http://www.mediafire.com/file/soz355ptzgf1a06/Dialog%20bersama%20DPR%20RI%20di%20Melbourne1.mp3 dan http://www.mediafire.com/file/evv1rziduxh7pig/Dialog%20bersama%20DPR%20RI%20di%20Melbourne2.mp3.
Berbagai hal menarik terjadi. Sebelum mulai acara, ada wakil PPIA yang hendak mewawancara salah satu anggota DPR tersebut. Yang bersangkutan sudah bersedia, namun kemudian batal, dengan alasan tidak dijinkan oleh Ketua. Demikian juga ketika audiensi berlangsung, rekan-rekan mungkin bisa merasakan – setelah mendengarkan rekaman utuhnya – bahwa wakil-wakil kita yang ada di audiensi ini tidak pernah langsung menjawab esensi masalah yang ditanyakan, sehingga banyak waktu terbuang, dan ujung-ujungnya tidak menjawab apa-apa. Dari 1 jam yang diberikan (8pm – 9pm), kemudian tambahan 30 menit, bisa dikatakan tidak ada hal esensial yang didapat. Satu hal yang paling ramai menjadi perbincangan adalah ketika mereka ditanyai email resmi. Hal ini menjawab “tantangan” ketua komisi yang menyatakan secara terbuka akan tetap menerima masukan-masukan mengenai RUU Fakir miskin ini. Namun, mereka seperti kebingungan memberikan email (dan kontak) RESMI. Ada yang memberikan kontak pribadi. Rekaman visualnya bisa dilihat disini: http://www.youtube.com/watch?v=8dEjGOPfAqA&feature=share. Sayangnya, setelah dicoba mengirim email, jawaban seperti ini yang diperoleh:
Terima kasih atas keperdulian anda pada Bangsa Indonesia. Dan pasti anda mengirim email ini untuk meyakinkan apakah ini benar email Komisi VIII DPR-RI yang disebutkan dalam pertemuan dengan PPIA di Melbourne. Nyatanya itu tidak benar karena alamat email ini adalah milik saya yang Bukan Komisi VIII.
Salam,
Bukan Komisi VIII
Sangat menarik! Bahkan, hanya sesaat setelah jawaban mereka diberikan, salah seorang teman di twitter sudah langsung menulis “Dari Australia: katanya e-mail RESMI Komisi 8 DPR-RI adlh komisi8@yahoo.com. Tp email tsb not exist. Dewan mau membodohi rakyat!” Memang, ada kemungkinan alamat email itu, dengan berbagai variasinya, sudah dengan cepat diakuisi oleh orang lain. Namun, itu justru menunjukkan bahwa anggota DPR tersebut kurang terbuka. Keseluruhan, hasil evaluasi resmi dari seluruh kegiatan studi banding itu, disampaikan oleh PPI Australia disini: http://ppi-australia.org/?p=633. Sebagai tambahan, bisa dilihat juga press release pertemuan PPI Jerman dengan Badan Legislasi (Baleg) DPR RI disini: http://www.ppiberlin.org/info/press-release-hasil-pertemuan-ppi-jerman-dengan-baleg-dpr-ri/.
Banyak hal menarik lainnya. Banyak hal yang bisa dipelajari sebagai bahan refleksi kita semua ke depan akan pentingnya kualitas yang baik dari wakil rakyat ini. Akan pentingnya kinerja dan transparansi publik. Akan pentingnya mendahulukan kepentingan orang banyak diatas kepentingan pribadi. Tulisan ini tidak bermaksud memihak atau beropini tak berdasar, namun hanya menyampaikan fakta yang ada. Maaf, jika ada yang kurang berkenan.
Maskapai Wajib Ganti Rugi
BANJARMASIN - Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan No. PM 77 Tahun 2011, maskapai pesawat terbang wajib mengganti rugi Rp 300.000 per penumpang, jika pesawat delay lebih dari empat jam. Hal ini menurut beberapa pihak di Kalsel, bisa meningkatkan kesetaraan antara penumpang dengan maskapai. Namun tak sedikit pula yang pesimis aturan ini bisa berjalan maksimal.
Kepala Bidang Lalu Lintas Angkutan dan Jalan Dishubkominfo Kalsel, H Ramonsyah membenarkan adanya peraturan menteri yang baru disahkan pada tahun 2011 ini.
"Peraturan tersebut memang ada, yaitu tentang besaran ganti rugi terhadap penumpang oleh maskapai, jika terjadi keterlambatan penerbangan dan lain-lain," ujarnya kepada Radar Banjarmasin kemarin (4/9) pagi.
Dalam peraturan tersebut, tercantum pula beberapa kewajiban seperti maskapai wajib memberi ganti rugi Rp 300.000/penumpang bila pesawat delay lebih 4 jam. Bagasi hilang juga wajib diganti maksimal Rp 4 juta, atau Rp.200.000/kg. Bagasi sudah dianggap hilang apabila dalam 14 hari tidak dapat ditemukan. Kehilangan sementara bagasi juga dapat ganti rugi uang tunggu sebesar Rp.200.000/hari (maksimal 3 hari). Bagasi yang rusak juga dapat ganti rugi sesuai dengan jenis,bentuk,ukuran dan merek bagasi yang tercatat.
"Memang ketentuannya seperti itu, dan seharusnya memang ada diumumkan dan disosialisasikan. Minimal di papan pengumuman bandara," lanjutnya.
Permenhub No 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Angkutan Udara, tanggal 08 Agustus 2011, dan akan diberlakukan mulai November 2011.
Salah satu warga Banjarmasin yang biasa menggunakan transportasi udara untuk bepergian ke luar kota, Hendra, mengharapkan peraturan ini nantinya mempunyai pengawasan dalam penerapannya.
Karena, ia berpendapat, tanpa adanya pengawasan, maka bisa saja peraturan itu menjadi "ompong" alias tak kuat.
"Keputusan yang dikeluarkan oleh menteri ini cukup bagus, jika dalam perjalanannya nanti bisa benar-benar di jalankan. Harus juga ada pengawasan dalam penerapannya, jangan sampai malah jadi peraturan ompong," katanya.
Selama ini ia merasa ada yang kurang dalam hak penumpang. Padahal sudah membayar biaya tiket yang tidak murah.
Sementara itu, anggota Komisi III DPRD Kalsel, Ibnu Sina saat dimintai komentar mengatakan, Kepmen tersebut bagus untuk perbaikan pelayanan udara. Hal ini memungkinkan adanya kesetaraan antara pelanggan, penumpang dengan maskapai.
"Bagus untuk perbaikan pelayanan udara, ada kesetaraan pelanggan dan penumpang dengan maskapai. Selama ini selalu penumpang yang dikalahkan," katanya.
Namun, ia sendiri merasa ragu dengan komitmen dari para maskapai jika nantinya keputusan menteri ini diterapkan. Masalah-masalah klasik seperti keterlambatan penerbangan, beberapa maskapai dianggapnya masih keteteran.
"Tapi saya tetap meragukan komitmen maskapai kalau ini betul-betul diterapkan. Untuk memenuhi aturan saat ini saja soal delay masih keteteran," ujarnya.
Kebijakan baru itu mendapat tanggapan positif dari PT Angkasa Pura sebagai pengelola Bandara Syamsudin Noor Banjarbaru Kalimantan Selatan melalui ADM PT Angkasa Pura I, Rusli.
Ia mengatakan, karena keputusan itu langsung dari direktorat pusat, semua maskapai harus melaksanakan seperti itu. ”Hanya perlu sosialisasi dulu,” ujarnya kepada Radar Banjarmasin Minggu (4/9) kemarin via telephone.
Lantas adakah maskapai yang keberatan terkait peraturan baru yang bakal berlaku November 2011 itu? Ia mengatakan sejauh ini tidak ada maskapai yang keberatan. ”Kalau keberatan juga seharusnya mereka melaporkan ke pusat, karena kebijakan inikan dikeluarkan pusat,” ungkapnya.
Setelah ditanyakan langsung dengan salah satu maskapai, PT Sriwijaya Air. District Manajer PT Sriwijaya Air, Ismihadi mengaku siap dengan kebijakan baru itu. ”Kami siap saja dengan peraturan baru itu, namun kan ada waktu sosialisasi yang diberikan selama 3 bulan,” ujarnya.
(mr-116/mat)
Poin Permenhub No PM 77 Tahun 2011
1. Maskapai wajib memberi ganti rugi Rp.300.000/penumpang bila pesawat delay lebih 4 jam.
2. Bagasi hilang juga wajib diganti maksimal Rp 4 juta, atau Rp 200.000/kg.
3. Bagasi sudah dianggap hilang apabila dalam 14 hari tidak dapat ditemukan.
4. Kehilangan sementara bagasi juga dapat ganti rugi uang tunggu sebesar Rp 200.000/hari (maksimal 3 hari).
5. Bagasi yang rusak juga dapat ganti rugi sesuai dengan jenis, bentuk, ukuran dan merek bagasi yang tercatat.
catatan kecil : ''kalau kita terlambat datang 1 menit saja, pesawat sudah pasti berangkat, itu artinya kita kehilangan uang ticket 100 %, tapi kita rakyat negara ini mesti nunggu minimal 4 jam baru dapat duit 300rb....mantapzzz....
0 comments to "Katuju banar mambunguli rakyat , bisa katulahan...hayukam.... :Kasus RUU Fakir Miskin : '' Dewan Rakyat dan Rakyat ''"