Home , , , , , , , � Hari Raya Haji / idhul Adha : Peran Perempuan Dalam Ritual Haji...

Hari Raya Haji / idhul Adha : Peran Perempuan Dalam Ritual Haji...


Nuansa ibadah haji sejak masa Nabi Ibrahim as dan Siti Hajar hingga sekarang, kaum perempuan bersama laki-laki menikmati hak-hak yang setara dan posisi kemanusiaan serta gender juga mendapat tempat yang baik. Ritual haji kini juga sebuah ruang yang menarik kaum perempuan ke bidang sosial, memperoleh pengalaman baru dan menjalin interaksi satu sama lain. Kongres agung haji sebagai madrasah dan program pendidikan Islam terbesar dilaksanakan setahun sekali.

Tata cara dan manasik haji diatur dengan memperhatikan persamaan seluruh manusia tanpa diskriminasi gender, kedudukan dan jabatan sosial, warna kulit, dan ras. Semua wajib melaksanakan manasik itu dan melepas atribut-atribut materi dan duniawi untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt dan membentuk diri yang baru. Peran dominan dan terpuji perempuan tampak jelas dalam pelaksanaan ibadah haji. Kini, masalah haji berkaitan erat dengan kaum hawa dan upaya-upaya tulus mereka telah menjadi bagian dari rukun haji.

Pelaksanaan ibadah haji punya sejarah yang sangat panjang dan kembali ke era Nabi Ibrahim as. Ka'bah yang dibangun pada masa Nabi Ibrahim as dan dari masa itu hingga sekarang, telah menjadi tempat peribadatan orang-orang yang bertakwa dan mengesakan Tuhan. Pada masa Nabi Ibrahim as di mana kebanyakan rukun dan manasik haji tengah dibangun, peran dominan dalam pelaksanaannya dimainkan oleh Siti Hajar. Ketinggian kedudukan perempuan ini kembali pada ujian, kesabaran, tawakkal, dan keimanannya. Nuansa Mekkah dan manasik haji mengingatkan manusia pada perjuangan Siti Hajar.

Sai atau lari-lari kecil antara Shafa dan Marwa yang dilakukan Siti Hajar untuk memperoleh setetes air bagi Ismail yang masih mungil dan kepasrahannya kepada Allah Swt di tengah padang pasir yang tandus, digolongkan sebagai tanda-tanda kekuasaan Tuhan. Istri Nabi Ibrahim as ini, tanpa kenal lelah dan putus asa berusaha mencari air untuk putranya yang tengah kehausan. Karena berhari-hari berada di gurun Arab yang gersang, Siti Hajar kekurangan makan dan minum. Akibatnya, dia tidak mampu mengeluarkan ASI-nya secara maksimal.

Dalam ritual haji, para jamaah wajib melakukan sai antara kedua bukit itu dan merasakan pengalaman Siti Hajar serta menimba pelajaran tawakkal yang diajarkannya. Perempuan ini telah mengajarkan manusia untuk bertawakkal dan berserah diri kepada Allah Swt di tengah kesendirian dan tanpa pelindung. Teladan Siti Hajar mengajarkan manusia betapa perempuan itu bukan makhluk yang lemah. Perempuan bukan makhluk yang hanya menjadi peran pengganti, bahkan cadangan, yang keberadaannya laksana ada dan tiada. Tetapi, perempuan adalah sosok unggul yang mampu berpikir cepat dan tepat untuk mengambil keputusan meski dalam kondisi darurat sekalipun.

Sejarah kehidupan Siti Hajar di samping Nabi Ibrahim as dapat dikatakan sebagai sejarah penghambaan dan kepasrahan mutlak kepada Allah Swt. Tanpa ragu, seluruh individu setidaknya pernah mengalami ujian seperti itu, yang terkadang sangat sulit dan melelahkan. Pada saat itu, manusia perlu meneladani figur-figur agung seperti Nabi Ibrahim as dan Siti Hajar untuk keluar dari ujian dan musibah. Dalam surat al-Mumtahanah ayat 4, Allah Swt berfirman: "Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia."

Bentuk lain ketangguhan Siti Hajar adalah kepasrahan dan ketundukannya kepada perintah Allah Swt. Ketika dia mengetahui perintah Allah Swt untuk menyembelih Ismail sebagai qurban, godaan dan rayuan syaitan mencapai puncaknya. Syaitan mendatangi Siti Hajar dan berkata kepadanya: "Ibrahim ingin membunuh Ismail." Siti Hajar menjawab: "Apakah ada di dunia orang yang membunuh anaknya sendiri?" Syaitan berkata: "Ia mengaku bahwa itu adalah perintah Tuhan." Siti Hajar menimpali: "Karena itu perintah Tuhan, maka wajib dilaksanakan. Aku rela atas apa yang menjadi kerelaan Tuhan." Dialog ini penuh dengan aroma penghambaan dan keimanan Siti Hajar, yang telah mengangkat derajatnya.

Kini, kuburan Siti Hajar dan Nabi Ibrahim as bersama sejumlah nabi as lain terletak di Hijir Ismail, di samping ka'bah. Para jamaah haji yang melakukan tawaf juga harus mengitari Hijir Ismail seperti mereka mengelilingi ka'bah. Oleh karena itu, seorang perempuan yang mematuhi perintah Allah Swt dan menerima takdirnya untuk tinggal di gurun pasir, telah menjadi teladan bagi orang lain. Siti Hajar juga orang pertama yang meletakkan kain di pintu ka'bah untuk memuliakan tempat itu.

Dalam budaya Islam, orang yang telah menyandang sifat taqwa dan memperoleh kedudukan yang tinggi di sisi Allah Swt, ia dapat menjadi teladan bagi orang lain dan tidak ada bedanya apakah ia perempuan atau laki-laki. Dalam kitab suci al-Quran disebutkan empat wanita teladan yang dijadikan sebagai panutan bagi orang-orang mukmin.

Allah Swt dalam surat at-Tahrim ayat 11 berfirman: "Dan Allah menjadikan isteri Firaun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata: "Ya Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga, dan selamatkanlah aku dari Firaun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim." Dan dalam ayat berikutnya, Allah Swt berfirman: "Dan (ingatlah) Maryam binti Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari ruh (ciptaan) Kami, dan dia membenarkan kalimat Rabbnya dan kitab-kitab-Nya, dan dia adalah termasuk orang-orang yang taat."

Di sebuah sudut ka'bah yang disebut Rukun Yamani, ada tanda kehadiran seorang perempuan suci dan mulia yaitu Fatimah binti Asad. Dia adalah ibu dari Imam Ali as, yang bersimpuh di depan ka'bah saat tengah mengandung putranya itu. Para saksi mengatakan bahwa dinding ka'bah tiba-tiba retak dan Fatimah binti Asad masuk ke dalamnya, lalu tiga hari kemudian, ia keluar dari tempat tersebut dengan menggendong seorang bayi. Ini adalah kebanggaan lain bagi kaum perempuan di tanah suci Mekkah dan ka'bah serta mengisahkan ketakwaan dan kedudukan tinggi mereka.

Setelah kemunculan Islam, beberapa bukti menunjukkan hubungan perempuan dengan haji, baik secara langsung atau tidak. Khadijah as adalah satu-satunya perempuan yang mendirikan shalat di depan ka'bah bersama Rasul Saw dan Imam Ali as pada masa-masa sulit. Ketiga manusia agung ini menampilkan budaya baru yang bertentangan dengan budaya kaum Quraish, yang penuh dengan kesyirikan. Dalam budaya itu, perempuan dan laki-laki bersama-sama berdiri menghadap Tuhan Yang Esa dan bersimpuh di hadapan rumah Allah Swt. Ini adalah langkah pertama menyusun manasik khusus umat Islam dan embrio tata cara pelaksanaan ibadah haji secara terperinci. Kebanggaan itu diabadikan dalam sejarah atas nama perempuan.

Pada hari-hari pertama kemunculan Islam, Khadijah as punya peran dalam memperkuat dan menyebarkan ajaran Islam. Dia bersama Rasul Saw telah membangun dan memperkenalkan budaya Islam di samping ka'bah. Dalam peristiwa Baiatun Nisa', kaum perempuan secara resmi menunaikan ibadah haji dan bersama laki-laki, hadir di berbagai wilayah publik.

Ufuk pemikiran Islam tentang perempuan sangat luas dan komprehensif. Islam menghormati peran politik, ekonomi, budaya, dan sosial perempuan. Sebenarnya yang membedakan Islam dengan ajaran-ajaran lain dalam kasus perempuan adalah perbedaan dalam memelihara nilai-nilai dan kemuliaan mereka. Perbedaan ini bukan berarti diskriminasi.

Perempuan-perempuan agung ini telah mengajarkan manusia bahwa mereka mampu bertindak cepat tanpa menggantungkan bantuan kepada siapa pun, kecuali mengharap pertolongan Allah Swt semata. Akhirnya, semoga seluruh jamaah haji memperoleh predikat haji mabrur dari Allah Swt, yang termanifestasi dari perilaku memuliakan kaum perempuan, membawa perdamaian dan kebaikan kepada sesama dan seluruh alam ini.(IRIB Indonesia/31/10/2011)

Wanita Atheis Skotlandia Ini Menemukan Islam pada Usia 65 Tahun


Nama Islaminya adalah Maryam Noor. Sedangkan nama aslinya adalah Margaret Templeton.

Wanita ini lahir di Skotlandia dan tumbuh besar di keluarga atheis sehingga ia pun tak percaya Tuhan. Dalam rumahnya anggota keluarga dilarang berbicara tentang Tuhan. "Bahkan ketika kami belajar di sekolah, kami tak dibolehkan menyoal itu di rumah, bila tidak kami dihukum."

Namun sejauh yang bisa ia ingat, Maryam selalu berupaya mencari Kebenaran mengapa ia hidup di dunia. "Mengapa saya hidup dan apa yang seharusnya saya lakukan."

Ketika ia cukup dewasa, ia mulai mencari beberapa informasi tentang 'sosok yang disebut Tuhan' yang selalu disebut oleh orang-orang dan didengar Maryam selama hidupnya. "Saya mencari Kebeneran, bukan agama tertentu," tutur Maryam.

"Kebenaran yang masuk akal bagi saya, sesuatu yang membuka hati saya dan membuat saya layak untuk hidup," ujarnya. Saat mencari ia memasuki setiap jenis gereja baik di Inggris maupun dekat rumahnya. "Tak pernah sebelumnya terbesit untuk berpikir tentang Islam."

Maryam tertarik dengan Islam, namun saat itu perang tengah berkecamuk di Irak dan ia membaca banyak hal mengerikan tentang Muslim di surat kabar. "Saya merasa berpengalaman dan memiliki pendidikan dalam mempelajari agama lain, sehingga saat itu pun saya berpikir semua itu tak benar," ungkap Maryam.

Ia pun mencari seseorang yang bisa mengajarinya dan memberi tahunya tentang Islam dan cara hidup berdasar agama ini. "Sehingga saya bisa membedakan mana yang benar, mana yang salah, mana yang berasal dari tipu daya setan," tutur Maryam.

Satu hal yang selalu ia lakukan selama pencarian, ia sellau berbicara dengan siapa pun dan tersenyum dan menyapa setiap orang. " Saya berkata 'Halo', 'Bagaimana kabarmu?', 'Bagaimana harimu?', karena Yesus selalu menyebarkan kebahagiaan di mana pun dan kapan pun ia berada. Saat itu saya penganut Katholik Roma," ungkap Maryam.

Namun ia merasa tak bahagia dengan agama tersebut dan akhirnya meninggalkan gereja. "Tapi saya tak tahu kemana lagi harus pergi," ujarnya.

Di saat bersamaan ia tengah mencari pula guru Islam. "Saya berdoa setiap saat, setiap hari kepada Tuhan 'Bantu aku, bantu aku, bantu aku'. Ia lakukan itu berulang-ulang, terus menerus selama dua tahun. "Karena saya tak tahu apa yang harus diperbuat dan pergi ke mana," ungkap Maryam.


Hingga suatu hari seorang kawan dari temannya membawa seorang yang alim ulama. Namanya Nur El-Din. Ia adalah seorang Arab yang lahir di negara itu. Ia mengundang Maryam untuk datang ke rumahnya dan memberi tahu buku apa yang harus dibeli dan apa yang harus ia lakukan. Bahkan Nur membuka diri untuk dihubungi kapan saja bila Maryam memiliki pertanyaan. "Itulah hubungan kami, ada tujuh volume buku yang saya baca mengenai tafsir dan terjemahan terhadap Al Qur'an dan buku itu sangat luar biasa."

Maryam pun mulai mengkaji Islam. Ia membuka buku pertamanya dan membaca kata pengantar. Ia tidak memulai dari belakang, melainkan dari depan. Ia langsung menuju surah Al Baqarah.

Sebelum Al Baqarah terdapat Surah Al Fatihah. Rupanya Maryam kembali ke awal lagi dan membaca umul kitab tersebut. "Begitu saya membaca, rasanya seperti tersambar. Air mata saya bercucuran. Hati saya berdebar keras, saya berkeringat dan gemetar," tutur Maryam.

Awalnya ia takut itu adalah godaan setan. "Seperti ia mencoba menghentikan saya karena saya mungkin menemukan jalan, karena buku ini mungkin membukakan saya menuju Kebenaran, sesuatu yang selama ini saya cari," ujarnya.

Maryam pun langsung menelpon Nur El-Din. "Ia berkata datanglah saya ingin bertemu kamu. Saya pun pergi ke tempatnya. Saat itu musim dingin, begitu sampai rasanya tubuh saya seperti balok es," ungkapnya.

Ia menuturkan pengalaman kepada Nur El-Din. "Saya berkata padanya ini pasti ulah setan, apa yang harus saya perbuat?" ujarnya. Maryam menuturkan kala air matanya bercucuran ia bisa melihat jelas ke dalam hatinya, begitu besar, merah-alih-alih terang, dan tidak berbentuk sama sekali. "Saya sangat takut," ujarnya.

Nur El-Din pun berkata padanya, "Margaret, dikau akan menjadi seorang Muslim." Maryam membalas, "Tapi saya tidak membaca buku-buku ini untuk menjadi seorang Muslim. Saya membaca demi membantah semua kebohongan yang telah disebarkan di media mengenai Muslim," ujarnya. "Saya tak ingin menjadi Muslim," kata Maryam lagi.

Namun Nur El-Din tetap pada keyakinannya. "Margeret dikau akan menjadi Muslim karena, baiklah saya harus memberi tahumu bahwa ada campur tangan kekuatan Tertinggi dalam hidupnya. "Saat itu saya berusia 65 tahun. Kini saya 66 tahun dan saya telah menjadi Muslim selama satu tahun."

Ia akhirnya melakukan kajian lebih dalam lagi dengan si ulama mulai November hingga Februari. Akhirnya ia tak bisa menahan diri untuk bersegera mengucap syahadat. Saat dorongan itu timbul Maryam sempat bertanya apakah itu tak terlalu terburu-buru baginya.

"Anda tahu, ketika bertanya itu, alasannya bukan lagi karena saya tak mau menjadi Muslim. Saya telah meyakini bahwa Allah akan selalu mengampuni hambanya, yang saya pikirkan saya terlalu kecil, terlalu banyak dosa, dan hidayah itu rasanya hadiah terlalu besar bagi saya yang tak seberapa," tutur Maryam.

Nur El Din hanya berkata satu kata "Nur". Saat itu 11 Februari 2003, Maryam duduk sedikit jauh dari Nur El Din yang berpakaian serba putih mulai. "Ulangi persis seperti yang saya ucap," ujar Nur El Din. Ia mengucapkan syahadat yang langsung diulang oleh Maryam.

Usai mengucap syahadat Maryam bertanya, "Apa yang barusan saya ucapkan?". Nur El Din memaparkan artinya dalam Bahasa Inggris. Setelah itu ia pun resmi menjadi Muslim dan mengganti namanya dengan Maryam.

"Saya tak bisa berkata bahwa saya Muslim yang baik, karena itu luar biasa sulit," ungkap Maryam. "Saya kehilangan semua teman Katholik, semua teman mengobrol saya. Bahkan putri saya menganggap saya gila. Satu-satunya yang percaya saya adalah putra saya yang mengatakan mungkin saya menemukan Kebenaran. Ia adalah salah satunya yang mungkin menyusul saya menjadi Muslim," ungkapnya.

Tantangan terberat yang dirasakan Maryam adalah tempat tinggal di mana ia hidup di dunia sekuler, bukan dunia Muslim. "Dengan sepenuh hati, saya ingin tinggal di dunia Muslim dan memiliki komunitas Muslim. Saya satu-satunya Muslim yang tinggal di kawasan ini. Namun Allah selalu baik kepada saya karena ditengah kesulitan, saya tetap bahagia dan terus memiliki kesempatan belajar."

Maryam mengaku kini membaca Al Qur'an dalam terjemahaan Bahasa Inggris. "Usia saya sungguh membuat saya sulit menghafal jadi saya menggunakan buku terjemahan. Dan saya memohon pada Allah, 'Mohon Ya Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang, saya hanyalah seorang bayi berusia 65 tahun dan saya memiliki kesulitan dan bantulah aku," Setiap saya berdoa itu saya selalu menemukan jalan. Ia benar-benar membantu saya."(IRIB Indonesia/Republika/31/10/2011)


Wawancara dengan Aktivis Muslimah Indonesia: Ibu Pemegang Nilai Keluarga dan Masyarakat



Wawancara dengan Aktivis Muslimah Indonesia: Ibu Pemegang Nilai Keluarga dan Masyarakat

Islam memandang ibu memiliki peran yang sangat tinggi dalam perkembangan masyarakat. Berbagai riwayat menjelaskan perintah menaati Ibu. Salah satunya hadis yang paling popular dari Rasulullah Saw, "Ibumu, ibumu, ibumu lalu ayahmu".

Bagi Reni Susanti, hadis ini bukan hanya soal ketaatan terhadap ibu. Tapi lebih dari itu, dosen Politeknik Negeri Ujung Pandang itu memandang ibu sebagai pemegang nilai dalam keluarga dan masyarakat.

"Laki-laki dan perempuan punya peran yang sama dalam membangun masyarakat, hanya saja lewat perempuanlah sebuah masyarakat mendapat penilaian dan sebaliknya."tutur pegiat Komunitas Mafatihul Jinan Makasar itu saat dihubungi wartawan IRIB Bahasa Indonesia Ahad (30/10).

Terkait proyek-proyek pemberdayaan perempuan yang hanya menggiring perempuan ke pabrik-pabrik dan kantor-kantor demi menguntungkan kapitalisme, aktivis perempuan jebolan Institute of Social Studies The Hague, Belanda itu berseloroh," It's time for mothers to strike back."

Di bagian lain, managing editor sebuah jurnal di Makasar ini mengungkapkan kedudukan dan peran Sayidah Fatimah dan Sayidah Zainab sebagai role models bagi perempuan Indonesia.

"Dari pangkuan merekalah para pemimpin Islam berasal. Melalui mereka kita bisa belajar membesarkan anak-anak shaleh dan pada saat yang sama menjadi pejuang keadilan. Dan untuk menjadi seperti mereka, perempuan Indonesia pertama-tama harus menyadari perannya bagi masyarakat,"pungkas staf hubungan internasional sebuah politeknik terkemuka di wilayah Indonesia bagian timur itu.

Selengkapnya simak wawancara wartawan IRIB, Purkon Hidayat dengan Reni Susanti berikut ini:

Mengapa motherhood (peran keibuan) menjadi isu yang penting bagi Anda, bukankah ini adalah konsep yang sudah biasa bahkan menjadi hal yang natural bagi seorang wanita?

Sekitar lima tahun yang lalu saya membaca kolom yang ditulis seorang feminis di koran lokal. Dia begitu bangga terhadap kaum wanita karena menurutnya perempuan itu lebih teguh memegang prinsip-prinsip moral dan terbukti sangat sedikit pejabat perempuan yang korupsi.

Hari ini, Ibu feminis itu sepertinya harus meralat tulisannya, dengan menuliskan bahwa peluang laki-laki dan perempuan untuk merusak tatanan masyarakat sama besarnya.

Dalam beberapa tahun terakhir ketika perempuan akhirnya disediakan porsi yang cukup besar di parlemen maupun pada jabatan-jabatan publik lainnya, kita melihat bahwa mereka juga tidak imun dari penyelewengan kekuasaan dan korupsi. Banyak perempuan jadi terkenal karena tersangkut korupsi seperti Artalita Suryani, Nunun Nurbaeti, dan terakhir yang cukup hangat adalah kasus surat palsu Andi Nurpati.

Lantas di mana letak peran keibuan yang Anda maksud?

Beberapa kasus yang saya sebutkan tadi hanya gunung es saja, sebab dalam kehidupan keseharian kita bisa menemukan kerusakan masyarakat yang didukung oleh kaum perempuan. Tidak usahlah saya sebut prostitusi karena tentu saja orang menganggap itu pasti dilakukan oleh perempuan tidak beres, bukan Ibu-ibu yang baik dan manis. Saya ingin menceritakan bagaimana kaum Ibu kita hari ini memiliki saham dalam membentuk masyarakat yang korup dan tidak bermoral.

Seorang sahabat baik saya bercerita bahwa salah seorang keponakannya akan tinggal selama sebulan di rumahnya untuk persiapan masuk ke salah satu perguruan tinggi pencetak aparat pemerintah. Anak itu sebenarnya tidak senang kuliah di tempat itu, tetapi ibunya memaksa, bahkan sudah menyiapkan sejumlah uang agar putrinya bisa diterima.

Saya terhenyak waktu mendengar cerita ini, betapa seorang Ibu yang harusnya menjadi pedoman moral justru memaklumkan suap menyuap di hadapan putrinya. Melihat maraknya sogok menyogok untuk menjadi PNS atau TNI, masuk universitas, bahkan masuk SD dan TK favorit di negara kita hari ini, tentu kita bisa membayangkan berapa Ibu-ibu yang mungkin terlibat di dalamnya.

Saya pernah ditawari oleh seorang Ibu, yang juga kepala sekolah, untuk diuruskan (dengan sejumlah uang tentunya) supaya anak saya bisa masuk di sekolah bertaraf internasional yang dipimpinnya.

Contoh lain yang sekarang juga sangat lazim di Makassar adalah anak-anak usia SD yang berkeliaran dengan sepeda motor di mana-mana. Kakinya saja tidak bisa menopang sepeda motor itu tapi mereka dengan riang gembira menaikinya hilir mudik dan seringkali tanpa helm.

Saya kenal Ibu yang membiarkan anak di bawah umurnya naik motor ke sana ke mari, Ibu yang baik dan manis juga salah satu tokoh aktivis partai Islam di Makassar. Saya tidak habis pikir bagaimana Ibu ini bisa membiarkan anaknya melanggar hukum dan melakukan hal yang berpeluang untuk mencelakai orang lain?

Anak saya pernah ditabrak oleh anak-anak di bawah umur ini, jadi saya tahu betul betapa berbahayanya mereka, dan mereka sangat banyak jumlahnya. Ketika Polisi tidak bisa diharapkan bantuannya mengurus lalu lintas dan SIM bisa dibeli, harusnya para Ibu membantu dengan menerapkan dan mengajarkan disiplin terhadap anak-anak mereka.

Menurut Anda mengapa fenomena ini bisa berkembang di kalangan Ibu-ibu kita? Apakah peran keibuan kurang mendapat perhatian dari pemerintah atau organisasi sosial keagamaan di Indonesia?

Kita pernah melalui jaman keemasan pemberdayaan perempuan sekitar sepuluh hingga lima tahun yang lalu, di mana riset perguruan tinggi pun diberi dana khusus untuk meneliti soal perempuan, pusat-pusat studi wanita tumbuh subur, dan NGO-NGO perempuan berdiri di sana sini.

Tapi gelombang pemberdayaan itu ternyata hanya sebatas kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam hal ekonomi dan pengakuan atas hak-hak mereka, yang akhirnya hanya menguntungkan para pebisnis dan industri. Karena gelombang pengarusutamaan gender hanya mengurusi wilayah fisikal dari perempuan, hasilnya tak lebih dari angka tenaga kerja wanita yang terus naik, bertambahnya jumlah perempuan menjadi pejabat publik, anggota dewan, dan lain-lain.

Sekarang gelombang itu telah berlalu, ketika sudah cukup banyak perempuan menyesaki ruang publik dan setiap perempuan yang ingin bekerja bisa berkata "ini hak saya". Tapi masalah kita tentu saja bukan hanya kesetaraan hak perempuan dengan laki-laki, tetapi bagaimana secara intelektual dan spiritual perempuan juga berkembang, dan ini adalah bagian yang hilang dari proyek-proyek pemerintah dan kebanyakan NGO-NGO perempuan yang ada. Mereka tidak pernah memperjuangkan peran perempuan untuk menjadi Ibu, untuk menjadi barometer moralitas dalam keluarga dan masyarakat. Tapi bukankah Ibu hanyalah atribut lain dari manusia bergender perempuan?

Islam mengajarkan betapa Ibu adalah peran yang sangat penting dalam perkembangan masayarakat. Riwayat yang sangat populer merekam bahwa setelah Allah Swt, Rasulullah dan Ahlulbaitnya, yang harus ditaati adalah "Ibumu, ibumu, ibumu lalu ayahmu".

Hadis ini bukan hanya soal ketaatan terhadap ibu, tapi Rasulullah Saw menegaskan bahwa Ibu adalah pemegang nilai dalam keluarga, terutama karena ikatan emosionalnya dengan anak dan karena secara natural Ibu menghabiskan lebih banyak waktu bersama anak-anak. Jika nilai-nilai ini rusak, maka rusaklah masyarakat kita, seperti contoh yang saya sampaikan di atas.

Seringkali Hadis ini hanya membuat ibu-ibu menjadi ge-er dan meminta ketaatan berlebihan, tetapi tidak memperhatikan nilai-nilai yang harus mereka pegang dan jaga dengan baik.

Sepertinya Ibu akan menjadi kambing hitam bagi kerusakan masyarakat. Apakah para ayah juga mendapat beban yang sama?

Beberapa antropolog perempuan di barat seperti Lara Deeb dan Saba Mahmood bahkan memahami betapa pentingnya perempuan sebagai citra dari suatu masyarakat lewat riset-riset mereka di Mesir dan Lebanon.

Ini memberikan pesan bagi kita bahwa laki-laki dan perempuan punya peran yang sama dalam membangun masyarakat, hanya saja lewat perempuanlah sebuah masyarakat mendapat penilaian dan sebaliknya. Jika kita melihat masyarakat yang korup, materialistis, hedonis, maka penting untuk melihat pada kaum perempuannya, terutama Ibu. Ini juga menjadi bahan introspeksi buat diri saya sendiri.

Jadi Apa yang harus kita lakukan, menurut Anda?

Kita perlu perubahan paradigma. Perempuan harus menyadari apa yang harus dilakukan sebagai Ibu. Ibu bukan hanya orang yang hamil, melahirkan, menyusui, memberi makanan sehat, pakaian bagus, mengantar sekolah, tetapi Ibu adalah setiap perempuan yang bertanggungjawab mendidik jiwa-jiwa yang dilahirkannya dan mendidik masyarakat melalui keteguhannya terhadap nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Coba Anda perhatikan, Ibu-ibu sekarang pusing tentang susu mana yang bikin pintar, atau bagaimana caranya supaya anaknya bisa jadi artis lewat kontes-kontes di TV, atau bagaimana supaya anaknya menguasa beberapa bahasa, alat musik atau olahraga, tetapi kurang memperhatikan karakter apa yang harus mereka punya, nilai apa yang harus mereka pegang seumur hidup mereka, siapa yang harus jadi teladan mereka.

Dalam hal ini kita punya role models Ibu-ibu hebat, Sayidah Fatimah dan Sayidah Zainab. Tak terbantahkan bagaimana peran mereka dalam mendidik anak dan masyarakat. Dari pangkuan merekalah para pemimpin Islam berasal. Melalui mereka kita bisa belajar membesarkan anak-anak sholeh dan pada saat yang sama menjadi pejuang keadilan. Dan untuk menjadi seperti mereka, perempuan Indonesia pertama-tama harus menyadari perannya bagi masyarakat Jika proyek-proyek pemberdayaan perempuan hanya bisa menggiring kita ke pabrik-pabrik dan kantor-kantor demi menguntungkan kapitalisme, It's time for mothers to strike back.

Ada gagasan konkret, barangkali?

Ya, pemahaman yang baik setiap perempuan terhadap perannya di dalam masyarakat akan membuat mereka tau apa yang harus dilakukan. Untuk itu pendidikan bagi perempuan sangat penting. Kelas filsafat untuk perempuan juga keberadaan supporting group akan sangat membantu.

Saya melihat beberapa organisasi sudah mulai mengadakan kajian Filsafat Perempuan, ini perkembangan baik. Hanya saja tidak selamanya mereka akan berada di kelas-kelas itu, maka di sinilah pentingnya supporting group.

Kita bisa membuat kelompok-kelompok perempuan, bukan untuk arisan tapi untuk mendiskusikan hal-hal yang terjadi di sekitar kita dan apa yang sebaiknya dilakukan untuk menghadapinya. Contohnyya, salah satu mailing list paling aktif di Indonesia didirikan oleh beberapa dokter anak dengan member sebagian besar para Ibu.

Melalui milist ini mereka belajar bagaimana menjadi orangtua yang cerdas dalam memilih pengobatan bagi anak yang sakit. Kampanye mereka antara lain penggunaan antibiotik secara rasional, kembali pada ASI dan makanan sehat untuk anak. Jumlah anggotanya lebih dari 12000 orang dan mereka saling mengajari dan mensupport satu sama lain dalam bidang tersebut. Teknologi sekarang ini sangat mendukung, tinggal kita mau apa tidak melakukannya. (IRIB Indonesia/PH/31/10/2011)

0 comments to "Hari Raya Haji / idhul Adha : Peran Perempuan Dalam Ritual Haji..."

Leave a comment