Home , , , , , , , � Teroris itu bernama Kapitalisme!!!!!!!

Teroris itu bernama Kapitalisme!!!!!!!


Ada Apa Amerika?

Dina Y. Sulaeman*

Sejak bulan September, gelombang demonstrasi mulai melanda kota-kota di AS di bawah bendera ‘Occupy Wall Street’ (Duduki Wall Street). Pada demonstran menyuarakan protes mereka kepada Wall Street yang mereka anggap sudah sangat rakus. Dalam hitung-hitungan para demonstran itu, dari seluruh kekayaan AS, 99%-nya dikuasai oleh 1% saja, yaitu pengusaha-penguasaha elit. Sementara, 1% sisanya, harus dibagi-bagi di antara 99% rakyat AS. Artinya, 99% rakyat AS harus hidup dengan 1% dari total kekayaan AS, sebaiknya, 1% kaum elit hidup bergelimang uang karena menguasa 99% total kekayaan AS. Itulah sebabnya, di antara spanduk-spanduk yang dibawa para demonstran banyak yang bertuliskan “We’re the 99%”. Mereka memrotes sistem kapitalisme yang memberikan peluang bagi 1% orang untuk mengeruk kekayaan sebanyak-banyaknya, dan membiarkan 99% orang lain hidup menderita.

Situs resmi OWS menyatakan bahwa gerakan mereka adalah tanpa pemimpin (leaderless) dan menggunakan taktik gerakan ‘musim semi Arab’ (Arab Spring). Namun, ada pertanyaan krusial yang belum pernah dikemukakan oleh para penggagas OWS, siapa sebenarnya yang mereka protes? Mereka menyebut kapitalisme dan Wall Street? Lalu apa itu kapitalisme? Ideologi-kah, atau ada ‘sosok manusia’-nya sehingga bisa digulingkan?

Tidak ada kesepakatan dalam mendefinisikan kapitalisme. Sebuah film dokumenter yang disutradarai Michael Moore, Capitalism, A Love Story dengan jenaka membuktikan bahwa orang-orang Wall Street sekalipun (pelaku proyek kapitalisme), kebingungan saat disuruh mendeskripsikan apa itu kapitalisme. Secara umum, kapitalisme adalah sebuah sistem yang memberikan peluang sebesar-besarnya kepada para pemilik modal (capital) untuk mengumpulkan laba sebanyak-banyaknya. Dalam sistem kapitalisme, semua benda yang ada di alam ini berhak untuk dikuasai oleh manusia, selama dia punya uang (modal/capital). Contohnya, minyak yang ada di dalam perut bumi. Menurut para kapitalis, karena mereka yang punya uang dan teknologi untuk menyedot minyak itu, mereka pun berhak menguasai minyak itu dan menjualnya kepada masyarakat dengan harga yang mereka tentukan sendiri. Dalam situasi seperti ini, tak heran bila ada konglomerat super-super kaya karena jualan minyak.

Sebaliknya, dalam pandangan ekonomi non-kapitalis, kekayaan alam seharusnya dikuasai oleh pemerintah dan harus dimanfaatkan untuk kesejahteraan bersama semua elemen masyarakat. Tentu saja, bukan berarti minyak itu harus dibagi-bagi sama rata ke semua orang; bukan berarti pula pemerintah berhak untuk berfoya-foya dengan minyak itu. Mekanisme yang adil penting untuk ditegakkan.

Dalam sistem kapitalisme, ‘mekanisme yang adil’ ini sulit ditegakkan karena keadilan selalu dilihat dari seberapa banyak modal yang dimiliki. Seorang kapitalis (pemilik modal), akan dianggap ‘adil’ ketika mengeruk minyak dari perut bumi dan menjualnya. Alasannya: karena dia punya modal, berhak dong dapat uang? Seorang pemilik pabrik dianggap ‘adil’ menggaji buruhnya hanya dengan Rp20.000 sehari, sementara dia bergelimang laba yang amat sangat besar. Logika kapitalisme: siapa suruh ga punya modal? Kemiskinan kalian itu adalah salah kalian sendiri!

Selain itu, para kapitalis ini, dengan uang raksasa yang dimilikinya, mampu mengupayakan agar orang-orang tertentu terpilih menjadi pemerintah. Misalnya saja, yang terjadi di ‘Embah’ kapitalisme dunia, AS. Setiap calon presiden harus memiliki uang yang sangat besar untuk kampanye. Obama berhasil mengumpulkan 750 juta dollar dari para ‘donatur’, sehingga ia dengan leluasa beriklan di media massa, kampanye keliling AS, menggalang massa di jejaring sosial, dll. Bisa dibayangkan, orang-orang yang tak punya uang sulit bersaing dengan Obama. Hillary Clinton yang ‘hanya’ mampu mengumpulkan 230 juta dollar, akhirnya menyerah kalah, mundur dari kandidat kepresidenan dan bergabung dengan kubu Obama.

Ketika Obama menjadi presiden, krisis finansial memburuk. Perusahaan-perusahaan raksasa ambruk. Obama pun mengambil keputusan bahwa pemerintah akan menalangi kerugian perusahaan-perusahaan itu; yang sebagiannya adalah donatur kampanyenya.

Mari kita kembali kepada gerakan Occupy Wall Street (OWS). Tidak ada nama yang ‘dituntut’ oleh para demonstran itu. Mereka hanya berteriak-teriak memrotes kapitalisme dan Wall Street. Tapi, siapa itu Wall Street? Hakikinya Wall Street adalah sosok yang tak berbentuk, abstrak. Ada, tapi tak bisa didefinisikan siapa orangnya, atau bossnya, atau bahkan manajemennya. Bahkan kalau ada yang berusaha mendefinisikannya, pastilah akan segera menerima ejekan, “Senang amat sih, memakai teori konspirasi?!” Artinya, tidak ada pejabat yang hendak digulingkan oleh OWS. Berbeda dengan ketika rakyat Mesir berdemo, mereka memang punya ‘nama’ untuk digulingkan, yaitu Hosni Mobarak.

Wall Street adalah nama jalan di daerah Manhattan, New York. Banyak perusahaan pialang saham, bank, dan berbagai perusahaan finansial lain berkantor di Wall Street dan sekitarnya. Wall Street kemudian menjadi istilah yang sinonim dengan ‘kapitalisme’. Perusahaan-perusahaan yang berkantor di kawasan itu adalah perusahaan-perusahaan raksasa dan sangat kaya, sehingga mereka mampu memengaruhi dan mengontrol keuangan di AS dan dunia.

Pada tahun 2008, perusahaan-perusahaan besar di Wall Street bertumbangan akibat kerakusan dan kelicikan mereka sendiri dalam berbisnis. Tentu saja, para elit perusahaan tetap untung dan hidup mewah. Yang tumbang hanya pegawai-pegawai kecil yang kehilangan pekerjaan. Pemerintahan AS atas saran-saran para ekonomnya (yang ternyata juga bekerjasama dengan perusahaan-perusahaan yang bangkrut itu) memutuskan untuk mengucurkan ratusan milyar dolar untuk menalangi kerugian perusahaan-perusahaan itu. Yang menjadi korban sesungguhnya tentu saja rakyat AS kebanyakan: mereka bekerja keras mencari uang lalu membayar pajak; uang pajak itulah yang dipakai untuk menalangi Wall Street. Subsidi dan fasilitas kesejahteraan sosial rakyat AS pun dipangkas, karena uangnya habis untuk melindungi para kapitalis itu dari kerugian. Dari sisi keadilan, kebijakan talangan (bailout) ini sungguh absurd: bagaimana mungkin, ada pebisnis yang bangkrut akibat kesalahannya sendiri, lalu rakyat yang disuruh menalangi? Tapi inilah kapitalisme. Logika mereka: kalau pebisnis sampai hancur, rakyat juga yang akan menanggung akibatnya karena perekonomian mandek.

Di antara perusahaan di Wall Street yang mendapat kucuran dana talangan pemerintah AS adalah Citigroup, American Internation Group (AIG), Bank of America, Merril Lynch, Goldman Sachs, JP Morgan, Fannie Mae, Freddie Mac, dll. Dan tahukah Anda, sebagian besar perusahaan ini adalah penyumbang dana kampanye Obama! Sangat ‘wajar’ bila Obama tunduk pada para kapitalis itu.

Dan kini, ribuan orang duduk diam di depan gedung-gedung angkuh di Wall Street, menyuarakan protes mereka. Apa yang bisa diharapkan? Para eksekutif di Wall Street frustasi, malu, lalu mengundurkan diri? Kalaupun itu terjadi, dengan cepat, para pemilik modal akan mendapatkan gantinya. Tak heran bila banyak yang bertanya-tanya, mengapa Wall Street yang didemo? Mengapa bukan Gedung Putih?

Tentu saja, bila kita menggunakan konsep ‘emansipasi’ dari Teori Kritis, gelombang demo menentang kapitalisme oleh orang-orang AS jelas merupakan sebuah tahapan dalam proses counter-hegemony. Untuk melawan hegemoni kapitalisme, manusia harusmenjalani proses ‘penyadaran’ (emansipasi), supaya akhirnya mereka mampu menciptakan masa depan mereka sendiri melalui kehendak dan kesadaran penuh. Gelombang demo ini, sedikit banyak akan membuat orang bertanya-tanya, apa yang salah dari sistem ini? Mengapa harus ada 99% yang hidup sengsara sementara 1%-nya dianggap berhak berfoya-foya? Apa yang harus dilakukan untuk mengubah ini semua? Apa sistem alternatifnya?

Dari sisi ini, demo OWS mungkin bisa dilihat sebagai langkah awal dari munculnya gelombang kesadaran. Namun, berharap Wall Street bisa segera digulung, jelas amat jauh. Bahkan kalaupun Wall Street benar-benar bisa dibangkrutkan, so what? Yang akan menderita hanya rakyat kecil, sementara para kapitalis (pemodal), masih akan tetap bergelimang uang. Dengan kata lain, ‘kepala’ ular masih jauh untuk ditangkap. Sekarang ini OWS masih hanya dalam tahap membaui jejak si ular.

*sebagian isi tulisan ini disarikan dari buku Obama Revealed, karya Dina Y. Sulaeman, terbitan Aliya Publishing(http://dinasulaeman.wordpress.com/2011/11/03/ada-apa-amerika/#more-743)

Jepang, Antara Cinta dan Dendam

Dina Y. Sulaeman*


Sebuah buku berjudul Japanese Militarism and Its War Crimes in Asia Pasific Region (Hendrajit, ed) dikirim kepada saya, oleh penerbitnya, Global Future Institute. Tak ayal, buku ini membuat saya kembali merenung, mengenang kembali perjalanan saya ke Jepang tahun 1996. Ketika itu, saya diterima dengan hangat oleh keluarga-keluarga Jepang yang menjadi host saya, diajak berwisata ke berbagai tempat, serta dibelikan berbagai souvenir. Efek kunjungan singkat (atas kebaikan hati sebuah perusahaan Jepang) itu adalah, saya sulit membayangkan orang-orang Jepang sebagai orang-orang yang kejam, pelaku pembantaian nenek-moyang kita, memerkosa gadis-gadis Indonesia, menjadikan mereka sebagai pelacur, dan memperbudak kakek-kakek kita dulu untuk bekerja di berbagai proyek.

Dulu, tentu saja saya belajar sejarah di sekolah. Meski romusha disebut secara sekilas, yang lebih tertanam di benak saya adalah ‘jasa’ orang Jepang dalam kemerdekaan Indonesia. Bayangkan saja, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dibentuk atas persetujuan Jenderal Terauchi pada 7 Agustus 1945. Bahkan, teks proklamasi dirumuskan di rumah Laksamana Maeda di Jalan Imam Bonjol Jakarta. Hanya baru-baru ini saja saya mendapatkan perspektif lain, dari sebuah buku yang ditulis H. Bambang Setyo, MSc. “Telaah Kritis Dasar Falsafah Negara Republik Indonesia dalam Perspektif Aqidah Islam.” Dalam buku itu, Bambang mengkritisi, mengapa Panitia Persiapan Kemerdekaan Kemerdekaan, termasuk juga Soekarno dan Hatta justru membahas teks proklamasi di rumah Laksamana Maeda? Padahal, sudah ada rancangan ‘Pernyataan Indonesia Merdeka’ yang sudah disetujui secara bulat oleh Badan Penyelidik pada 14 Juni 1945. Bambang mensinyalir adanya faktor ‘psiko-politik’ yang mengaitkan antara tempat dirancangnya isi teks Proklamasi dengan pengabaian kesepakatan Badan Penyelidik.

Kecurigaan Bambang mungkin bisa dijawab dengan mengamati fenomena hari ini. Kini, setelah Indonesia merdeka, kita menjadi negara yang sangat bersahabat dengan Jepang. Di jalanan berseliweran mobil-mobil merek Jepang. Di rumah-rumah, peralatan elektronik merek Jepang adalah jaminan mutu dan kebanggaan. Jepang dijadikan acuan kemajuan. “Kalau mau maju, lihat tuh Jepang!” Orang-orang memandang kagum dan takjub kepada Jepang. Termasuk saya, terpesona pada taman-taman Jepang yang asri, dan bahkan memimpikan untuk suatu saat kembali ke sana; kalau bisa ketika bunga Sakura mekar. Romusha, Jugun Ianfu, Heiho, tiga dosa terbesar Jepang, seolah lenyap dalam ingatan; atau kalau pun diingat, tanpa emosi sakit hati. Biasa-biasa saja.

Seperti yang ditulis Hendrajit (saya terjemahkan bebas), “Motif hakiki penjajahan Jepang adalah untuk mengamankan akses terhadap minyak dan bahan mentah bagi industri Jepang.” (hlm 16). Karena motif utama itulah, ketika mereka ‘berbaik hati’ memfasilitasi kemerdekaan Indonesia, sudah dipastikan, ada konsesi-konsesi yang diberikan timbal-balik (antara Jepang dan para pemimpin Indonesia waktu itu). Terbukti, perjanjian pampasan perang Jepang-Indonesia tahun 1958, tiga kejahatan perang utama Jepang (yaitu romusha, jugun ianfu, dan heiho/wajib militer), tidak dicantumkan. Artinya, sejatinya, Jepang tidaklah benar-benar ‘membantu’ Indonesia untuk merdeka.

Setelah merdeka, Jepang yang semula penjajah bengis, justru menjelma menjadi mitra dagang terbesar Indonesia dan negara penanam modal langsung (foreign direct investment) terbesar di Indonesia. Belum lagi beasiswa-beasiswa yang digelontorkan Jepang, yang ‘menyelamatkan’ anak bangsa ini, sehingga mereka bisa jadi orang pintar dan sebagiannya jadi pejabat di negeri ini. Kita pun memandang Jepang sebagai kawan, sahabat, penolong. Bahkan ketika krismon pun, Jepang menjadi negara yang dikunjungi Habibie untuk meminta pertolongan. Apakah Jepang berubah menjadi malaikat?

Ternyata tidak. Iwan Piliang, jurnalis independen, pada tahun 2010 pernah menuliskan hasil investigasinya terhadap kasus transfer pricing yang dilakukan perusahaan-perusahaan Jepang.

Apa itu transfer pricing? Iwan mencontohkan, “Harga gula sekilogram Rp 5.000, tapi oleh sang perusahaan dijual ke perusahan dalam group afiliasi ke luar negeri Rp 2.500, di pembukuan. Perusahaan afiliasi itu umumnya di negara bebas pajak, seperti Mauritius, Cayman Island. Produk gulanya secara riil masuk ke pasaran bebas di harga Rp 5.000. Untung sudah disembunyikan Rp 2.500.” Intinya, “Masing-masing perusahaan membuat neracanya rugi. Untung disembunyikan. Biaya diperbesar. Impor harga ditinggikan. “

Dengan cara ini, perusahaan itu hanya perlu membayar pajak sedikit saja ke pemerintah. Sebaliknya, perusahaan-perusahaan asli Indonesia yang tidak mampu melakukan transfer pricing tentu saja akan terbebani pajak yang besar. Tak heran bila perusahaan asli anak bangsa banyak yang bangkrut. Contoh yang diberikan Iwan adalah di PT Perkasa Engineering yang mampu memroduksi mobil sekelas mobil-mobil Jepang, akhirnya tenggelam. “Hampir semua PMA –penanaman modal asing- Jepang di Indonesia melakukan praktek transaksi ketidakwajaran atau Transfer Pricing (TP). Dari 750 PMA yang seumur-umur mengaku rugi pada 2005, sebagian besar dari Jepang: berdagang, bertransaksi tidak dalam kewajaran,” tulis Iwan. Dalam hitung-hitungan Iwan, kerugian negara akibat TP hingga tahun 2009 mencapai 1300 trilyun rupiah.

Lalu, mengapa negara diam saja? Mengapa Departemen Perindustrian diam saja dan tetap membuka jalan lebar-lebar bagi PMA Jepang? Mengapa industri otomotif dan elektronik dalam negeri tidak didorong maju, supaya bisa menjadi tuan di negeri sendiri, dan tidak lagi menjadi budak dan pasar bagi Jepang?

Mungkin inilah yang disebut oleh Fanon, “internalisasi kolonialisme oleh bangsa terjajah”. Fanon dalam bukunya “Black Skin, White Mask” menganalisis bagaimana bagaimana penjajah menanamkan inferioritas, dan melalui mekanisme rasisme, akhirnya orang terjajah justru ingin untuk menjadi mirip (menyamai) penjajah. Dia mengatakan bahwa kaum penjajah tidak puas hanya dengan mencengkeram sebuah bangsa di genggamannya dan mengosongkan otak bangsa itu. Dengan semacam logika yang menyesatkan, kaum penjajah membalikkan masa lalu bangsa terjajah, dan mendistorsi, menodai dan menghancurkannya.

“Penjajahan langsung bisa jadi telah lenyap, tetapi kolonialisme yang terselubung dalam bentuk opresi budaya, ekonomi, politik, dan pengetahuan masih terus hidup,” kata Fanon.

Itulah yang terjadi hari ini. Kini kita terkagum-kagum pada Jepang. Kita lupa pada sejarah. Bahkan, kita pun tidak sadar bahwa hari ini kita sedang dijajah secara ekonomi oleh Jepang. Inilah yang disebut hegemoni, ketertundukan dengan sukarela. Kita terjajah, tapi malah bangga. Dan di sinilah, menurut saya, nilai penting kehadiran buku Japanese Militarism and Its War Crimes in Asia Pasific Region. Buku ini, di mata saya, adalah sebuah perjuangan melawan lupa dan membangkitkan kesadaran.[]

*Penulis adalah alumnus Magister Hubungan Internasional, Universitas Padjadjaran

Note: tulisan Iwan Piliang soal transfer pricing bisa dibaca di http://politik.kompasiana.com/2010/04/08/sketsa-v-cigin-indikasi-toyota-transfer-pricing-pocari-pun-terindikasi-hisap-negeri/

(http://dinasulaeman.wordpress.com/2011/11/03/jepang-antara-cinta-dan-dendam/)

Perampokan a la NATO

Qaddafi memang sasaran empuk. Sikapnya yang eksentrik serta track record kekerasan yang dilakukannya terhadap para oposannya membuat NATO dengan mudah meraih dukungan dunia saat melancarkan operasi menjarah Libya. Langkah awal NATO adalah dengan membekukan aset-aset Libya. Alasan yang mereka berikan tentu saja: itu uang Qaddafi, hasil korupsi atas kekayaan rakyatnya. Karena itulah, tak banyak yang memrotes. Seolah-olah negara-negara Barat memang berhak membekukan uang orang-orang yang dituduh korupsi. Total aset Libya yang dibekukan Barat berjumlah $150 milyar dollar, $100 milyar dollar di antaranya berada dalam genggaman negara-negara yang bergabung dalam agresi NATO ke Libya.

Pertanyaannya, kemana uang itu sekarang? Siapa yang memanfaatkannya? Sebelum sampai ke jawaban, ada fakta menarik yang tak banyak diketahui publik: Libya ternyata tidak punya hutang luar negeri. Libya adalah negara kaya, dengan cadangan minyak terkaya di Afrika.

Lalu, NATO dengan alasan ‘humanitarian intervention’ membombardir puluhan ribu target sipil: fasilitas kesehatan, sekolah, sistem distribusi air, rumah, masjid, jalanan, atau perkantoran. Bahkan rumah Qaddafi pun tak luput dari bombardir, sehingga menewaskan tiga cucu Qaddafi, dan anak-menantu Qaddafi. Kini, Libya telah porakporanda. Seharusnya, ‘uang Qaddafi’ yang dibekukan itu dikembalikan kepada rakyat Libya, minimalnya kepada NTC, yang dengan sekejap meraih pengakuan dari negara-negara NATO sebagai ‘pemerintahan transisi yang sah di Libya’. Tapi bagaimana kenyataannya?

Negara-negara NATO kini beramai-ramai menawarkan bantuan untuk merekonstruksi Libya yang sudah hancur itu. Dalam perundingan di Paris, para pemimpin negara-negara NATO setuju untuk mencairkan milyaran dollar uang yang dibekukan itu untuk membantu pemerintahan transisi Libya membangun kembali fasilitas pelayanan publik. Hanya, parahnya, dana itu akan diberikan dalam bentuk hutang!

Financial Post (10/9) melaporkan, beberapa hari setelah pemimpin negara-negara NATO menyetujui pencairan aset Libya yang dibekukan itu, diadakan pertemuan G8 di Marseille. Dalam pertemuan itu, negara-negara G8 setuju untuk menggelontorkan dana pinjaman sebesar 38 milyar dollar kepada negara-negara Arab, dan ‘menawarkan kepada Libya untuk menerima dana pinjaman itu’. Wakil dari NTC hadir dalam pertemuan di Marseille tersebut.

Siapa saja negara-negara G8 yang ‘berbaik hati’ memberikan pinjaman kepada negara-negara Arab yang kacau-balau akibat berbagai aksi penggulingan rezim itu? Perancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris, AS, Kanada, dan Rusia. Sementara itu, asset $150 milyar dollar Libya yang dibekukan itu, ternyata berada di Perancis, AS, Inggris, Belgia, Netherland, Italia, Kanada. Benar-benar sebuah ‘kebetulan’ bahwa negara-negara ini sebagiannya bergabung di G8, dan semuanya bersama-sama bergabung dalam NATO.

Pertanyaan selanjutnya, mengapa sedemikian ‘kebetulan’: aset Libya berada di negara-negara agresor Libya? Seolah-olah terlihat wajar bahwa para koruptor menanamkan uang di negeri-negeri Barat. Namun, fakta lain menunjukkan bahwa ternyata ada orang-orang yang selama ini mengelola keuangan Qaddafi dan merekalah yang kini bersatu dalam barisan anti-Qaddafi.

Pada tahun 2008, dibentuk The Libyan Investment Authority. Lembaga inilah yang menginvestasikan uang rakyat Libya di berbagai negara Barat. Tokoh-tokoh LIA antara lain adalah Mohamed Layas, yang sebulan sebelum dimulainya aksi pemberontakan di Libya (Januari), menyimpan uang atas nama LIA sebesar 32 juta dollar di bank AS. Lima pekan kemudian (Februari), AS membekukan aset Libya.

Tokoh lainnya adalah Farhat Bengdara. Bengdara adalah politisi kelahiran Benghazi. Selain sebagai anggota LIA, dia juga Gubernur Bank Sentral Libya. Aksi pemberontakan Libya pecah di Benghazi (tanah kelahiran Bengdara) pada 17 Februari. Pada 21 Februari, Bengdara meninggalkan Libya dan tinggal di Turki sejak saat itu. Sungguh sebuah kebetulan, hanya 4 hari kemudian, PBB menerapkan ‘no fly zone’ di Libya.

Banyak orang menyebut-nyebut dengan nada ejekan, bahwa pembahasan ‘di balik layar’ seperti ini adalah teori konspirasi. Namun, sesungguhnya segalanya sangat masuk akal. Negara-negara NATO adalah negara-negara kapitalis yang tidak akan membuang-buang uang hanya demi ‘menolong’ orang Afrika. Dan serbuan ala NATO tidak akan terjadi hanya dengan perencanaan mendadak. Segala sesuatunya harus dipersiapkan dengan matang, termasuk pendanaannya. Sumber dana termudah tentu saja, dengan merekrut orang-orang di sekeliling Qaddafi untuk menyimpan uang di bank-bank negara-negara NATO, lalu ‘dibekukan’ atas nama kemanusiaan. Dan kini, dengan dana yang sama, mereka menawarkan hutang kepada pemerintahan transisi Libya untuk merekonstruksi negeri yang sudah mereka porakporandakan itu.

(http://dinasulaeman.wordpress.com/2011/09/22/perampokan-a-la-nato/)


0 comments to "Teroris itu bernama Kapitalisme!!!!!!!"

Leave a comment