Ketika Pemuda Iran Masuk Kristen…
Beberapa tahun yang lalu di bulan Ramadan, saya berkunjung ke sebuah negara Eropa untuk berceramah. Sekitar tanggal 8, 9, atau 10 Ramadan beberapa kawan mendatangi saya. Mereka mengatakan ada seorang pemuda dari Tehran, yang ibunya religius, ayahnya taat, dan dia sebenarnya juga saleh. Dulu dia datang ke Eropa dan sayangnya… sayangnya dia menjadi kristiani (Masihi). Allahu Akbar! Berhati-hatilah, wahai para pemuda. Tidak seorang pun yang menjamin bahwa kita akan terus berada di jalan ahlulbait sampai akhir hidup!
“Apakah Anda berkenan kalau kami mengajak pemuda ini kepada Anda agar Anda bisa berbicara kepadanya?” mereka bertanya. “Tentu saja, bawalah dia. Untuk tujuan itulah saya datang ke sini.” Mereka akhirnya pergi dan beberapa hari berlalu tanpa kabar.
Saya bertanya kepada kawan, “Apa yang terjadi dengan pemuda itu?” Mereka berkata lupakanlah, jangan pikirkan lagi. “Tidak. Katakan apa yang terjadi?”
“Kami mendatanginya dan dia mengatakan suatu penghinaan dan tidak ingin datang.”
“Lalu apa yang dia katakan?”
“Dia mengatakan tidak suka dengan ulama dan tidak ingin bertemu mereka.”
Saya berkata, “Itu bukan sesuatu yang buruk. Saya sudah mendengar hal seperti itu di banyak tempat. Kurangnya pengetahuan akan melahirkan kata-kata seperti itu.”
Orang yang paling dikasihi dan pengasih kepada masyarakat dan bimbingannya adalah ulama. Jantung ulama berdetak agar ia bisa menjaga seseorang berada di jalan ahlulbait. Tentu ada juga yang tidak jujur; saya tidak berusaha menutup mata. Dalam setiap kelompok dan golongan, selalu saja ada orang-orang seperti itu. Begitu juga di kalangan ulama. Imam Khomeini berkata bahwa jika sebuah negara memiliki banyak dokter (jasmani) maka tetap tidak akan bertahan lama. Ulama adalah dokter ruhani, bagaimana mungkin bisa bertahan tanpa mereka?
Di sini ada dunia, di sana ada akhirat. Orang yang mengatakan tidak ingin bertemu dengan ulama hari ini, sudah pasti jika Imam Mahdi datang esok hari, dia juga tidak ingin menemuinya. Cara dan niatnya sudah jelas. Saya berkata kepada kawan, “Baiklah, mari kita yang menemuinya.”
Ketika malam ke-19 atau 21 bulan Ramadan; saya tidak ingat dengan jelas… Di masjid kami salat dan buka puasa bersama, lalu membaca Doa Jausyan Kabir dan Ziarah Asyura. Mereka mengumumkan ada istirahat 45 menit sebelum saya berbicara dan ibadah lailatul kadar.
Saya berkata kepada kawan, “Sekaranglah waktu yang tepat. Bisakah kita pergi dan menemui pemuda itu?” Mereka khawatir dia akan bertindak kasar dan menghina lagi. Saya berkata, “Ucapan apa ini? Saya sama seperti Anda, tidak ada bedanya. Mari kita pergi.”
Sebuah mobil datang dan membawa kami ke pusat kota. Karena beberapa alasan saya tidak menyebutkan nama negara ini. Mereka membawa saya ke lantai lima sebuah apartemen dan di sanalah dia tinggal. Saya ketuk pintunya dan kawan saya yang berjumlah tiga orang diri di samping saya. Pintu terbuka dan di hadapan saya berdiri orang yang terlihat santun dan tampan. Dia memandangi saya dan saya bisa mengatakan apa yang ada di hatinya, “Orang-orang ini tidak bisa meninggalkan aku sendirian!”
Saya berkata kepadanya, “Wahai pemuda, saya telah bepergian ke banyak negara di dunia. Ke mana pun saya pergi, dan jika Anda bertanya kepada mereka tentang ciri-ciri orang Iran, mereka mengatakan orang Iran sangat ramah dan menghormati tamu. Anda orang Iran, saya orang Iran. Keramahan menuntut Anda untuk membiarkan saya masuk. Saya hanya akan duduk selama lima menit lalu pergi.”
Dia melihat saya lalu membiarkan kami masuk. Saya masuk ke sebuah ruangan kecil dengan sofa, lalu duduk. “Wahai pemuda, saya datang bukan untuk menasihati dan membantumu. Menasihati adanya di masjid. Ada sesuatu yang ingin saya tahu dan tanyakan. Jika berkehendak silakan menjawab, jika tidak maka jangan. Pertanyaanku, dengan latar belakang religius di Tehran, bagaimana Anda menjadi kristiani di sini? Saya ingin memahaminya.”
Dia berkata, “Haruskah saya menjawab?”
Saya jawab, “Tidak. Saya sudah katakan Anda tidak harus menjawab jika tidak ingin. Jika lima menit waktu saya habis maka saya akan pergi.”
Saya memandanginya dengan seksama dan dia memandingku. Suasana menjadi hening. Kawan-kawan di sekeliling saya bergetar dan menanti apa yang akan dia katakan. Karena sudah menjadi bagian dari pendidikan saya, saya mempelajari sedikit psikologi dan tahu bagaimana harus bertindak. Kami saling memandang dan akhirnya dia berkata, “Saya akan mengisahkannya.”(http://ejajufri.wordpress.com/2011/12/18/ketika-pemuda-iran-masuk-kristen/#more-6881)
Ketika saya berada di Tehran, saya tidak memiliki pekerjaan. Beberapa orang mengatakan kalau kamu pergi ke negara Eropa ini maka seperti di surga. Kalau kamu kerja atau tidak, mereka akan memberi makan dan rumah untuk hidup. Saya mulai memaksa orang tua bahwa saya ingin pergi ke Eropa dan belajar, menjadi filosof atau profesor. Orang tua saya yang berpikiran sederhana menjual beberapa barang, kemudian memberi saya uang dan saya pergi ke negara tetangga.Di sana mereka mengambil beberapa uangku dan memasukkan aku ke perahu di sebuahcontainer dengan bau busuk dan banyak kesulitan lainnya. Saya sampai ke negara lain dan akhirnya negara ini. Dengan berbagai kesulitan saya menuju ke sebuah departemen dan berkata kalau saya ingin tinggal di sini. Mereka berkata, “Apa engkau kira ini rumah penginapan? Cepat keluar dari sini!”Saya berkata, “Apa? Saya kira engkau akan berterima kasih atas kedatangan saya!” Mereka berkata, “Tidak di sini!” Seseorang berkata bahwa dia akan menyelesaikan masalahku. Dia meminta uang dariku dan ada orang lain yang juga meminta uang dariku. Singkat cerita, saya berada di sini selama setahun penuh. Saya kehabisan uang dan teman-teman meninggalkanku. Saya tidak punya rumah dan uang lagi. Saya bahkan tidak bisa lagi kembali ke Iran atau harta untuk tetap di sini.Suatu malam saya tidur di sebuah taman. Kalau cuaca buruk saya tidur di bawah jembatan agar tetap hangat. Hari itu, ketika tidak ada seorang pun, saya pergi ke tempat sampah dan mengambil sisa bekas orang-orang dan memakannya. Saya hampir mati kelaparan. Setahun penuh saya tanpa rumah.Suatu hari saya sedang duduk di taman dalam kesengsaraan, ketika saya merasakan tangan di pundakku, dan berkata, “Mengapa kamu sedih?” Saya melihat seorang pemuda. Saya mengatakan tidak ada masalah, pergilah. Dia berkata, “Katakan, apa yang terjadi? Apakah kamu mau saya bantu mengurus izin tinggal di sini?”Saya berkata, “Kamu bercanda.” Dia berkata, “Tidak. Saya sungguh-sungguh.”“Benarkah? Terima kasih! Saya sudah menanti selama setahun.”“Setelah saya mengurus izin tinggalmu, saya akan mengatur pekerjaan untukmu di sebuah pabrik besar. Kamu juga akan mendapatkan apartemen gratis. Kamu bayar biaya listrik dan telepon, selebihnya gratis.”Saya berkata, “Siapa kamu? Apakah kamu malaikat?”“Bukan.”“Lalu berapa lama waktu yang dibutuhkan?”“Saya akan melakukannya dalam waktu 24 jam.”Saya berkata, “Allahu Akbar! Ini mukjizat.”“Bukan.”“Lalu apa yang harus saya kerjakan? Mari lakukan sekarang.”Dia berkata, “Tidak. Jangan terburu-buru. Ada satu syarat.”“Apa syaratnya?”Dia berkata, “Syaratnya kamu harus menjadi kristiani. Kamu menjadi seorang Kristen dan saya selesaikan semuanya.”Saya seperti merasakan listrik menjalar di tubuhku. Tubuhku gemetar.Dia berkata, “Bagaimana menurutmu?”Saya mulai memikirkan tahun-tahun kesengsaraan, lalu menerimanya. Selanjutnya dia membawaku ke gereja, menjadikanku kristiani, dan menyelesaikan semua yang dijanjikannya. Dia memberikanku rumah ini dan pekerjaan. Ini pendapatanku dan aku mendapatkan izin tinggal. Begitulah kisahku.
Saya berkata, “Wahai pemuda, waktu lima menitku hampir habis.” Sebenarnya sudah lebih dari lima menit dia bercerita panjang. “Saya sudah berkata bahwa saya tidak memberikan nasihat apapun. Ketika kamu bercerita tadi, saya teringat sebuah hadis. Apakah kamu mau saya ceritakan atau saya pergi?”
Pemuda itu berkata, “Ceritakan.”
Ada seorang pedagang yang ekonominya sudah hancur dan dia bangkrut. Dia mendatangi Imam Ridha a.s. dan berkata, “Wahai putra Rasulullah, saya bangkrut. Bantulah aku!” Imam melihatnya dan berkata, “Tidak. Keadaanmu masih sangat baik. Kamu tidak membutuhkan bantuan.”Dia berkata, “Wahai putra Rasulullah, saya telah kehilangan hartaku. Saya tidak punya apapun. Pemberi pinjaman menunggu di depan pintu rumahku. Mereka ingin pinjamannya kembali.” Imam berkata, “Keadaanmu masih sangat baik. Kamu tidak membutuhkan bantuan.”Dia berkata lagi, “Wahai putra Rasulullah, sepertinya penyampaian masalah saya kurang jelas. Sekarang saya butuh bantuan orang-orang yang biasa saya bantu untuk makan sehari-hari. Saya malu di hadapan istri dan anak-anak. Saya tidak bisa membelikan mereka roti.”Imam Ridha a.s. berkata, “Haruskah kita melakukan transaksi? Kamu adalah pedagang, mari kita bertransaksi.”Orang itu berkata, “Baiklah.”Imam berkata, “Anda tahu saya adalah imam dan bisa melakukan apa yang saya kehendaki?”Orang itu berkata, “Ya, saya tahu.”Imam berkata, “Saya akan mengosongkan seluruh isi emas bumi untuk Anda. Saya akan dan bisa melakukannya lalu saya berikan kepada Anda. Ini satu sisi transaksi.”Orang itu berkata, “Luar biasa! Saya akan menjadi pemimpin para pedagang. Apa sisi lain transaksinya?”Imam Ridha a.s. berkata, “Untuk seluruh emas bumi itu saya inginkan satu hal dari Anda.”“Apa itu?”Imam Ridha a.s. berkata, “Saya akan mengambil kecintaan kepada ahlulbait dari Anda. Berikan kepada saya cinta kepada Ali dan Fatimah, maka saya berikan seluruh emas di bumi. Berikan cinta kepadaku dan Imam Husain dan saya akan berikan seluruh emas. Apakah Anda menerimanya?”Orang itu berkata, “Wahai putra Rasulullah, tidak akan!”Imam berkata, “Lalu, mengapa kamu mengatakan keadaanmu sulit? Kamu memiliki sesuatu yang bernilai yang tidak mau kamu tukar dengan dunia yang penuh dengan emas. Kamu masih mengatakan kondisimu sulit? Engkau adalah orang paling kaya.”
Apakah kecintaan kepada ahlulbait kecil? Saya mengatakan hal itu lalu berdiri. “Selamat tinggal, Tuan. Terima kasih telah menerima saya.”
Lalu kami pergi kembali ke masjid. Saya duduk di mimbar dan mulai berbicara. Pintu masjid ada di belakang. Semua orang menghadap ke saya. Di pertengahan ceramah, saya melihat pintu masjid terbuka dan seorang pemuda datang. Dia mengepalkan tangan dan memukul kepalanya. Dia memukul dirinya sendiri sambil menangis. Majelis malam itu menjadi ramai. Dia mendatangi bawah mimbar dan membenturkan kepalanya ke mimbar.
Orang-orang menariknya, tapi dia berteriak, “Biar! Lepaskan! Aku telah menjual Husain untuk dunia ini! Aku telah menjual Zahra untuk dunia ini!”
Kedudukan fana seseorang berarti tidak menukar apapun untuk menggantikan Allah dan ahlulbait.
Penerjemah: Ali Reza Aljufri © 2011
Catatan: Ceramah yang disampaikan di Vienna, Austria, pada tahun 2008. Informasi lebih lanjut mengenai Ayatullah Sayid Mahdi Syamsuddin kunjungi ShamsAlDin.net
Amazing...Luarbiasa...artikel ini bikin kecintaan ku bertambah...terimakasih...