Home , , , , , , , , � Agama adalah "Mitos" Kisah-kisah Islam yang perlu "direnungkan" dan bukan "dipaksa" untuk meng "Iyakan" atau men "tindakkan"...Bukankah Anda tahu "Tidak ada paksaan dalam beragama Islam : "La Iqraha Fiddin" .....

Agama adalah "Mitos" Kisah-kisah Islam yang perlu "direnungkan" dan bukan "dipaksa" untuk meng "Iyakan" atau men "tindakkan"...Bukankah Anda tahu "Tidak ada paksaan dalam beragama Islam : "La Iqraha Fiddin" .....


PERCAKAPAN ABU HANIFAH DENGAN BAHLUL











                                                                                                                                                                                                                       Suatu hari, Abu Hanifah (pendiri Mazhab Hanafi) mengajar di sebuah perguruan tinggi. Bahlul duduk di sebuah sudut ruangan, mendengarkan pelajaran Abu Hanifah. Ditengah-tengah pelajarannya, Abu Hanifah berkata, “Imam Ja’far Shadiq (salah satu Imam dalam Mazhab Ahlul Bait) mengatakan tiga hal yang aku tidak menyetujuinya. 
Pertama, Imam berkata bahwa Iblis akan dihukum dalam api neraka. Karena Iblis terbuat dari api, maka bagaimana mungkin api akan menyakitinya? 
Suatu benda tidak dapat tersakiti oleh benda yang sejenis. 
Kedua, beliau berkata bahwa kita tidak dapat melihat Allah (dengan mata fisik). Namun, suatu keberadaan pastilah dapat dilihat. Oleh karena itu, Allah dapat dilihat dengan mata kita. Ketiga, beliau berkata bahwa siapa pun yang berbuat maka dirinya sendiri yang akan bertanggung jawab, dan akan ditanya tentang hal itu. Tetapi hal ini tidak terbukti. Maksudnya, apa pun yang dilakukan oleh manusia adalah kehendak Allah dan manusia tidak dapat mengusahakan apa yang ia lakukan.”
 berkata demikian, Bahlul Segera setelah Abu Hanifah selesai, Bahlul mengambil gumpalan tanah dan melemparkannya kearah Abu Hanifah. Lemparan itu mengenai dahi Abu Hanifah dan membuatnya sangat kesakitan. Kemudian Bahlul lari. Murid-murid Abu Hanifah segera mengejar Bahlul dan menangkapnya. Karena Bahlul berhubungan dekat dengan Khalifah, maka mereka membawanya ke Khalifah dan menceritakan seluruh kejadiannya.
Bahlul berkata, “Panggil Abu Hanifah, agar aku dapat memberikan jawabanku padanya.”
Abu Hanifah pun dipanggil dan Bahlul lalu berkata kepadanya, “Apa kesalahan yang aku lakukan padamu?”
Abu Hanifah mejawab, “Kau melempar dahiku dengan gumpalan tanah, sehingga dahi dan kepalaku menjadi sakit sekali.”
Bahlul bertanya lagi, “Dapatkah kau perlihatkan rasa sakitmu?”
Abu Hanifah menjawab, “Mana mungkin rasa sakit diperlihatkan?”
Bahlul menjawab, “Pertama, kau sendiri berkata bahwa suatu keberadaan pasti dapat dilihat, sehingga kau mengkritik Imam Ja’far Shadiq dengan mengatakan bagaimana mungkin Allah itu ada tetapi tidak terlihat (dengan mata fisik). 
Kedua, kau salah ketika mengatakan bahwa gumpalan tanah itu menyakiti kepalamu. Karena gumpalan tanah itu terbuat dari Lumpur (campuran tanah dan air) dan kau juga terbuat dari Lumpur. Jadi bagaimana bisa suatu benda menyakiti benda lain yang sejenis?
 Ketiga, kau mengatakan bahwa seluruh perbuatan manusia adalah kehendak Allah. Jadi bagaimana bisa kau mengatakan bahwa aku bersalah, lalu menyerahkan aku pada Khalifah, mengadukan aku, dan meminta hukuman untukku!”
Abu Hanifah mendengarkan jawaban Bahlul yang cerdas itu, dan dengan perasaan malu ia meninggalkan istana Harun. (berbai sumber)

Anda Putra Ali bukan Putra Rasulullah saw



Raja Harun al-Rasyid merasa terganggu jika mendengar masyarakat Muslim banyak memanggil Imam Musa al-Kazhim as dengan panggilan “Ibnu Rasul” yang artinya putra Rasulullah Saw, padahal menurutnya Rasulullah Saw tidak mempunyai keturunan laki-laki, sehingga menurut dia nasab Nabi Saw terputus.
Pada suatu kesempatan Harun al-Rasyid meminta Imam Musa al-Kazhim as untuk menemuinya.
Harun : “Mengapa Anda membiarkan masyarakat menasabkan diri Anda kepada Nabi Saw dan mereka memanggil Anda, “Ya Ibna Rasul – Wahai Putra Rasulullah” padahal, Anda adalah putra Ali (bukan putra Rasul), dan seseorang hanya dinasabkan kepada ayahnya. Sementara Fatimah hanyalah wadah. Nabi Saw adalah kakek atau moyang Anda dari pihak ibu Anda.”
Imam Musa : “Kalau Nabi Saw dibangkitkan, lalu menyampaikan kemuliaan Anda kepada Anda, akankah Anda menyambutnya?”
Harun : “Subhanallah! Mengapa saya tidak menyambut beliau? Saya akan membanggakan diri di hadapan bangsa Arab dan kaum non-Arab.”
Imam : “Akan tetapi, beliau tidak mengatakannya kepada saya dan saya pun tidak ingin mendahuluinya.”
Harun : “Anda benar. Akan tetapi, mengapa Anda sering mengatakan, “Kami keturunan Nabi Saw” padahal Nabi tidak memiliki keturunan? Sebab, keturunan itu dari pihak laki-laki, bukan dari pihak perempuan. Anda dilahirkan oleh putri Nabi (Fathimah). Oleh karena itu beritahukan kepada saya argumen Anda dalam masalah ini, wahai putra Ali. Anda dapat menegaskannya kepada saya dengan dalil dari Kitab Allah. Anda, wahai putra Ali, mengaku bahwa tidak turun dari kalian sedikit pun dari Kitab Allah itu, baik alif maupun wawu melainkan memiliki penakwilannya. Kalian berargumen dengan firman-Nya ‘Azza wa Jalla, “Tidaklah Kami alfakan sesuatu pun di dalam al-Kitab.” (QS al-An’am [6]: 38). Jadi, kalian tidak lagi memerlukan pendapat dan qiyas dari ulama lain.”
Imam : “Izinkanlah saya untuk menjawab.”
Harun : “Silahkan”
Imam : “Aku berlindung kepada Allah dari (godaan) setan yang terkutuk. Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. “Dan dari keturunannya (Nuh) yaitu Dawud, Sulaiman, Ayyub, orang-orang yang berbuat baik, dan Zakaria, Isa, dan Ilyas semuanya termasuk orang-orang yang shalih.” (QS al-An’am [6]: 84-85). Lalu, siapa ayah Nabi Isa?
Harun : “Isa tidak memiliki ayah.”
Imam : “Tetapi, mengapa Allah Azza wa Jalla menisbatkannya kepada keturunan para nabi melalui ibunya, Maryam as? Maka demikian pula kami (Ahlul-Bayt) dinisbatkan kepada keturunan Nabi Saw melalui ibu kami, Fathimah as! Maukah saya tambahkan penjelasannya?”
Harun: “Tentu!”
Imam : “Allah Swt berfirman, “Siapa yang membantahmu tentang kisah `Isa sesudah datang pengetahuan yang meyakinkanmu maka katakanlah (kepadanya), “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, perempuan kami dan perempuan kamu, diri kami dan diri kamu. Kemudian marilah kita ber-mubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang berdusta.” (QS Ali Imran [3]: 61). Tidak seorang pun mengaku bahwa ia disertakan Nabi Saw ke dalam jubah (al-kisa) ketika bermubahalah dengan kaum Nasrani kecuah Ali bin Abi Thalib as, Fatimah as, al-Hasan as, dan al-Husain as. Seluruh kaum Muslim sepakat bahwa maksud dari kalimat abna’ana (anak-anak kami) di dalam ayat mulia tersebut adalah Hasan dan Husain as, dan maksud nisa’ana (perempuan kami) adalah Fathimah al-Zahra as dan maksud kata anfusana (diri kami) adalah Ali bin Abi Thalib as.”
Harun : “Anda benar, wahai Musa!” 
(berbagai sumber)

APAKAH TUHAN MENCIPTAKAN KEJAHATAN



Apakah Tuhan menciptakan segala yang ada?
Apakah kejahatan itu ada?
Apakah Tuhan menciptakan kejahatan?
Seorang Profesor dari sebuah universitas terkenal menantang mahasiswa-mahasiswa nya dengan pertanyaan ini, 
“Apakah Tuhan menciptakan segala yang ada?”
Seorang mahasiswa dengan berani menjawab, 
“Betul, Dia yang menciptakan semuanya”.
 “Tuhan menciptakan semuanya?” Tanya professor sekali lagi.
“Ya, Pak, semuanya” kata mahasiswa tersebut.
Profesor itu menjawab, “Jika Tuhan menciptakan segalanya, berarti Tuhan menciptakan Kejahatan. Karena kejahatan itu ada, dan menurut prinsip kita bahwa pekerjaan kita menjelaskan siapa kita, jadi kita bisa berasumsi bahwa Tuhan itu adalah kejahatan.”
Mahasiswa itu terdiam dan tidak bisa menjawab hipotesis professor tersebut.
Profesor itu merasa menang dan menyombongkan diri bahwa sekali lagi dia telah membuktikan kalau agama itu adalah sebuah mitos.
Mahasiswa lain mengangkat tangan dan berkata, 
“Profesor, boleh saya bertanya sesuatu?”
“Tentu saja,” jawab si Profesor
Mahasiswa itu berdiri dan bertanya, “Profesor, apakah dingin itu ada?”
“Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja dingin itu ada. 
Kamu tidak pernah sakit flu?” Tanya si professor diiringi tawa mahasiswa lainnya.
Mahasiswa itu menjawab, 
“Kenyataannya, Pak, dingin itu tidak ada. Menurut hukum fisika, yang kita anggap dingin itu adalah ketiadaan panas. 
Suhu -460F adalah ketiadaan panas sama sekali. 
Dan semua partikel menjadi diam dan tidak bisa bereaksi pada suhu tersebut. 
Kita menciptakan kata dingin untuk mendeskripsikan ketiadaan panas.
Mahasiswa itu melanjutkan, 
“Profesor, apakah gelap itu ada?”
Profesor itu menjawab, “Tentu saja itu ada.”
Mahasiswa itu menjawab, “Sekali lagi anda salah, Pak. Gelap itu juga tidak ada. Gelap adalah keadaan dimana tidak ada cahaya. Cahaya bisa kita pelajari, gelap tidak. Kita bisa menggunakan prisma Newton untuk memecahkan cahaya menjadi beberapa warna dan mempelajari berbagai panjang gelombang setiap warna. Tapi Anda tidak bisa mengukur gelap. Seberapa gelap suatu ruangan diukur dengan berapa intensitas cahaya di ruangan tersebut. Kata gelap dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan cahaya.”
Akhirnya mahasiswa itu bertanya,
 “Profesor, apakah kejahatan itu ada?”
Dengan bimbang professor itu menjawab, 
“Tentu saja seperti yang telah kukatakan sebelumnya. Kita melihat setiap hari di Koran dan TV. Banyak perkara kriminal dan kekerasan di antara manusia. Perkara-perkara tersebut adalah manifestasi dari kejahatan.”
Terhadap pernyataan ini mahasiswa itu menjawab,
 “Sekali lagi Anda salah, Pak. Kajahatan itu tidak ada. 
Kejahatan adalah ketiadaan Tuhan. Seperti dingin atau gelap, kajahatan adalah kata yang dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan Tuhan. Tuhan tidak menciptakan kejahatan.
Kajahatan adalah hasil dari tidak adanya kasih Tuhan dihati manusia. 
Seperti dingin yang timbul dari ketiadaan panas dan gelap yang timbul dari ketiadaan cahaya.”
Profesor itu terdiam.
Nama mahasiswa itu adalah Albert Einstein (Kisah Nyata)

Tuhan Itu Tidak Ada!!! Tanya Kenapa???



Seorang pelanggan tiba di barber shop untuk memotong rambut dan merapikan brewoknya. Tak lama kemudian, si tukang cukur pun mulai memotong rambut pelanggannya. 
Tanpa maksud apapun, mulailah keduanya terlibat dalam suatu topik pembicaraan yang menghangatkan … !
Mereka membicarakan banyak hal yang gak karuan … entah kenapa … tiba-tiba topik pembicaraan itu beralih membicarakan tentang eksistensi Tuhan.
Tukang cukur berkata: “Saya tidak percaya kalau Tuhan itu ada.”
Pelanggan: “Kenapa kamu berkata begitu?!”, timpal si pelanggan yang kaget!
Tukang Cukur: “Begini … coba Anda perhatikan di depan sana, dijalanan …”, tukang cukur itu tiba-tiba terdiam. Seolah-olah dia sedang berpikir untuk menjelaskan dari mana dia harus memulai pembicaraannya sehingga bisa membuktikan bahwa Tuhan itu tidak ada.
Pelanggan: “Coba yakinkanlah diriku kalau Tuhan itu memang tidak ada.” Katanya.
Tukang Cukur: “jika Tuhan itu ada, adakah orang yang sakit? Akan adakah anak-anak yang terlantar? Jika Tuhan ada, maka otomatis tidak akan ada orang sakit ataupun kesusahan. Sungguh … saya tak bisa membayangkan bagaimana Tuhan Yang Maha Penyayang itu akan membiarkan semua hal ini terjadi.”
 Demikianlah argumen-argumen pedas yang dilontarkan tukang cukur kepada si pelanggan.
Pelanggan itupun diam sejenak dan kata-kata itu benar-benar memiliki makna yang dalam baginya, apalagi tukang cukur itu sedang memegang pisau cukur yang tajam dan bersiap-siap untuk mencukur brewok yang tumbuh lebat di sekitar lehernya. Demi menjaga konsentrasi tukang cukur, akhirnya pelanggan itu memutuskan untuk diam dan tidak meresponnya. Lagipula, tak ada pelanggan waras yang ingin membuat seorang tukang cukur skeptis marah dalam posisi seperti itu kan … ?
Walhasil pelanggan itu memutuskan untuk tidak berdebat dengannya.
Sejurus kemudian, tukang cukur itu akhirnya menyelesaikan pekerjaannya dengan senyuman dan pelanggan itupun pergi meninggalkan barber shop tersebut.
Akan tetapi, tak seberapa jauh setelah dia meninggalkan tempat itu … tiba-tiba pelanggan tadi melihat seseorang di jalanan dengan rambut yang panjang, berombak kasar, dekil dan brewok yang tidak dicukur. Orang itu benar-benar terlihat kotor dan tidak terawat. Setelah menyaksikan orang tersebut, si pelanggan segera memutuskan untuk kembali ke barber shop tempat dia menyukur rambutnya.
Setibanya di sana, dia langsung berkata kepada si tukang cukur, “Kamu tahu gak? Sebenarnya TUKANG CUKUR itu tidak ada!” katanya.
Tukang cukur itu sangat kaget dan merasa terhina. Tukang cukur itu tidak terima ucapan si pelanggan, sementara dia sedang mencukur rambut pelanggan lain.
 Sembari sewot, tukang cukur itu berkata, “Apa kamu bilang? Kamu pikir saya tidak tahu cara mencukur yaa?! Kenapa kamu bisa bilang begitu? Ini barber shop saya, dan saya selalu ada di sini, dan saya adalah seorang tukang cukur. Bahkan bukankah saya baru mencukur rambutmu?!” Demikian kata si tukang cukur yang kesal dengan perkataan pelanggan tadi.
Pelanggan: “Tidak! Tukang cukur itu tidak ada. Sebab jika tukang cukur itu ada, maka tidak akan ada orang yang rambutnya panjang, dekil dan brewok yang tak terurus seperti orang yang saya lihat di luar sana …”
Tukang cukur: “Ah tidak! Itu jelas bukan alasan! Karena faktanya, tukang cukur itu tetap ada!” Sanggahnya. Lalu tukang cukur itu menambahkan lagi, “Apa yang kamu lihat itu adalah disebabkan kesalahan mereka sendiri … Kenapa mereka tidak datang saja ke saya” Jawab tukang cukur itu seraya membela diri.
Pelanggan: “Cocok!” kata si pelanggan menyetujui perkataan si tukang cukur. Lalu pelanggan tadi menambahkan: “Itulah poin utamanya! Sama saja kasusnya dengan Tuhan, TUHAN ITU JUGA ADA! Tapi apa yang terjadi …? Manusia-lah yang tidak mau datang kepadaNya, dan tidak mau mencariNya. Oleh karena itu banyak manusia yang sakit dan tertimpa berbagai kesusahan di dunia ini.”
Tukang cukur tadi terbengong !!!
Semoga bermanfaat …

Dia Bukan Anak Haram.


Mungkin anda pernah mendengar lagu “Kepompong” yang syairnya bertemakan persahabatan. Lagu-lagu atau kisah-kisah tentang persahabatan memang sangat disukai banyak orang.
Mungkin karena persahabatan banyak menyimpan kenangan indah dan menyenangkan. Tapi banyak juga kenangan pahit yang takkan bisa kita lupakan dari sebuah jalinan persahabatan.
Namun yang paling pahit dari semuanya adalah putusnya persahabatan dengan orang yang kita cintai. Terlebih kalau orang yang kita cintai itu adalah orang shalih. Semoga kita dijauhkan Allah dari hal semacam itu. Na’udzubillah min dzalik!
Kisah di bawah ini adalah peristiwa terputusnya persahabatan akibat alasan tertentu yang mungkin dianggap sepele, padahal sebenarnya hal itu masalah besar dan bisa berakibat fatal.
Dan peristiwa yang dianggap sepele dan mengakibatkan hal besar itu terjadi pada sahabat Imam Ja’far al-Shadiq as. Suatu hari, seperti biasanya Imam Ja’far al-Shadiq as berjalan bersama sahabatnya memasuki pasar sepatu diikuti pelayan sahabat Imam yang berkulit hitam.
Di tengah pasar, sahabat Imam menengok ke belakang, namun ia tidak melihat pelayannya. Setelah melanjutkan beberapa langkah, ia kembali menengok ke belakang sambil pandangannya mencari-cari pelayannya dan ia tetap tidak menemukan pelayannya.
Untuk ketiga kalinya ia kembali membalikkan tubuhnya dan sang pelayan tak juga kunjung muncul di hadapannya. Padahal sebenarnya pelayannya itu tertinggal di belakang karena ikut sibuk melihat-lihat barang-barang di pasar.
Terakhir kali ia menengok ke belakang ia menemukan sosok pelayannya sudah berada di hadapannya. Dengan geram ia memaki pelayannya, “Dasar kamu anak zina! Anak haram! Ke mana saja kamu?”
Suara makian yang keras itu terdengar oleh Imam Ja’far as dan membuat Imam sangat terkejut sambil mengangkat tangannya dan menepuk dahinya seraya berkata, “Maha Suci Allah, mengapa engkau menghina ibunya? Selama ini kupikir engkau seorang yang shalih dan takut kepada Allah. Namun kini, nyatanya engkau tak memiliki keshalihan maupun kebajikan.”
Sahabat Imam itu menjawab, “Wahai cucu Rasulullah, pelayan ini berasal dari Sind (India), demikian pula ibunya. Engkau tentunya tahu bahwa orang Sind bukanlah Muslim, demikian juga ibu si pelayan ini, dia juga bukan seorang Muslim. Jika ia Muslim, pasti aku takkan berlaku kasar kepadanya.”
“Memang kenapa kalau ibunya bukan Muslim?” sahut Imam, “tiap ras dan agama memiliki hukum dan aturan masing-masing berkenaan dengan perkawinan. Jika mereka mematuhi hukum dan peraturan agama yang mereka anut, maka itu bukanlah zina, dan anak-anak mereka pun bukan anak haram.” Setelah menyatakan hal itu, Imam as berkata, “Mulai sekarang, menjauhlah dariku!”
Setelah peristiwa tersebut, tak seorang pun melihat Imam al-Shadiq as berjalan bersamanya hingga ajal menjemput salah seorang di antara mereka dan memisahkan mereka selamanya. Imam Muhammad al-Baqir as berkata, “Seseorang tidak akan dapat terhindar dari dosa sampai ia sanggup mengendalikan lidahnya.” (Tuhaf al-‘Uqul hal. 298)

PEMUDA JUGA BISA MATI

Kebanyakan di zaman sekarang pemuda beranggapan bahwasannya masa hidup mereka itu panjang dan seakan-akan itu terasa lama. Dia tidak menyadari bahwasannya ketika umur mereka bertambah di hari ulang tahunnya dari waktu ke waktu, zaman ke zaman, mereka selalu saja di buntuti oleh yang namanya kematian. 
Secara tidak langsung kematian itu telah membuntuti kita kemanapun kita pergi. Dan umur kita akan semakin berkurang seiring bertambanya umur. Kematian adalah hal yang paling pasti. Apakah kita tidak menyadari akan hal itu ?. jelas kita tidak sadar, karena kita telah terlenakan oleh dunia yang fana ini. Kita selalu tergelincir karena bisikan setan, selalu terlena dalam kemaksiatan dan terlanjur menjadi “budak” dari hawa nafsu.
Kematian merupakan hal yang paling dekat walaupun kita sering menyangka dan beranggapan bahwa kematian hanya akan menjemput orang-orang sudah tua renta. Anda telah keliru apabila beranggapan seperti itu, bahwa anak muda tidak bisa mati. Karena anak muda juga bisa mati. dan kematian, dia tidak akan memilih-milih orang yang akan ia hampiri. Anak muda juga akan mati sama seperti orang tua. Jadi kematian telah menanti anda sekalian, sekalipun anda masih bayi, balita, anak-anak, remaja, dewasa, dan tua. 
Berapa banyak anak-anak muda yang telah mati menghadap tuhannya, sedangkan ia belum membawa bekal apapun yang akan ia banggakan di akherat kelak. Belum sempat untuk beribadah kepada allah,rasul,dan ahlul baytnya. Mereka semua tertipu oleh dunia ini. Maka dari itu saya himbau kepada anda sekalian para calon-calon orang yang akan di cabut nyawanya oleh malaikat izrail. Yaitu untuk selalu menjadi pemuda yang gigih dan berani, bertaqwa, beriman kepada allah, rasul, dan ahlul baytnya.
Maka dari itu tinggalkanlah segala hal-hal yang berkaitan dengan duniawi,urusilah urusan akheratmu,jangan urusi urusan yang tidak kekal (dunia). Carilah yang kekal (akherat). Karena semua manusia pasti akan mati dan kembali kepada allah. Yakinilah itu.
Seperti firman allah :
كل نفس دائقة الموت
Artinya : setiap manusia pasti akan mati.

Maka jadilah pemuda yang bermanfaat bagi orang lain. Janganlah engkau menjadi pemuda yang kritis Yang tak punya kebaikan sedikitpun. Karena masa muda tidak akan datang dua kali. Dan sering-seringlah mengingat kematian, karena jika anda sering mengingat kematian, maka anda akan selalu di jalan yang benar. Dan pilihlah teman yang membawamu kepada allah. Karena mungkin saja malaikat pencabut nyawa sudah menanti anda saat ini. Bersiap-siaplah !…

Arti cinta padamu dalam 178 bahasa

Mungkin Anda pernah mendengar sebuah hadis, bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Ungkapan terindah suami kepada istrinya “Aku cinta padamu” takkan pernah sirna dari kalbu sang istri.” (Wasa’il Al-Syi’ah )"
Atau hadis lainnya dari Imam Ja’far al-Shadiq as, “Bila engkau mencintai seseorang, biarkan dia mengetahuinya.” (Bihar AL-Anwar )"
Nah ini ada ungkapan cinta dalam 178 Bahasa. 
Siapa tahu Anda jatuh cinta atau mempunyai istri orang Bosnia, maka ucapkanlah : Ja te volim! Atau Anda akan menikah dengan pria Italia, maka katakanlah : Ti amo atau Ti voglio bene!
Afrikaans – Ek is lief vir jou
Albanian – te dua
Alentejano (Portugal) – Gosto De Ti, Porra!
Alsacien (Elsass) – Ich hoan dich gear
Amharic (Aethio.) – Afekrishalehou
Arabic – Ana Ahebak / Ana Bahibak
Armenian – yes kez shat em siroom
Assamese – Moi tomak bhal pau
Assyr – Az tha hijthmekem
Bambara – M’bi fe
Bangla – Ami tomakay bala basi
Bangladeschi – Ami tomake walobashi
Basque – Nere maitea
Batak – Holong rohangku di ho
Bavarian – tuI mog di
Belarusian – Ya tabe kahayu
Bengali – Ami tomake bhalobashi
Berber – Lakh tirikh
Bicol – Namumutan ta ka
Bisaya – Nahigugma ako kanimo
Bolivian Quechua – Qanta munani
Bosnian – Ja te volim (formally) or volim-te Turkish seni seviyorum
Bulgarian – As te obicham
Bulgarian – Obicham te
Burmese – chit pa de
Cambodian (to the female) – bon saleng oun
Cambodian (to the male) – oun saleng bon
Canadian French – Je t’adore (“I love you”)
Canadian French – Je t’aime (“I like you”)
Catalan – T’estim (mallorcan)
Cebuano – Gihigugma ko ikaw
Chamoru (or Chamorro) – Hu guaiya hao
Cherokee – Tsi ge yu i
Cheyenne – Ne mohotatse
Chichewa – Ndimakukonda
Chickasaw – Chiholloli (first ‘i’ nasalized)
Chinese – Ngo oi ney a (Cantonese)
Chinese – Wuo ai nee (Mandarin)
Corsican – Ti tengu cara (to female)
Corsican – Ti tengu caru (to male)
Creol – Mi aime jou
Croatian – Volim te (used in common speech)
Czech – Miluji Te
Danish – Jeg elsker dig
Dutch – Ik hou van jou
Dutch – Jeg elsker dig
Ecuador Quechua – Canda munani
English – I love thee (used only in Christian context)
English – I love you
Eskimo – Nagligivaget
Esperanto – Mi amas vim
Estonian – Ma armastan sind / Mina armastan sind (formal)
Ethiopia – afekereshe alhu
Faroese – Eg elski teg
Farsi – Tora dost daram
Filipino – Mahal ka ta
Finnish (Minä) rakastan sinua
Flemish (Ghent) – ‘k’ou van ui
French (formal) – Je vous aime
Friesian – Ik hald fan dei
Gaelic – Tá mé i ngrá leat
Galician – Querote (or) Amote
Georgian – Miquar shen
German – Ich liebe Dich
Ghanaian – Me dor wo
Greek – agapo se
Greek – S’agapo
Greenlandic – Asavakit
Gronings – Ik hol van die
Gujarati – oo tane prem karu chu
Hausa – Ina sonki
Hawaiian – Aloha au ia`oe
Hebrew – Ani ohevet ota
Hiligaynon – Guina higugma ko ikaw
Hindi – Main tumsey pyaar karta hoon / Maine Pyar Kiya
Hmong – Kuv hlub koj
Hokkien – Wa ai lu
Hopi – Nu’ umi unangwa’ta
Hungarian – Szeretlek te’ged
Icelandic – Eg elska thig
Ilocano – Ay ayating ka
Indi – Mai Tujhe Pyaar Kartha Ho
Indonesian – Saya cinta padamu
Inuit – Negligevapse
Iranian – Mahn doostaht doh-rahm
Irish – taim i’ ngra leat
Italian – Ti amo/Ti voglio bene
Japanese – Anata wa, dai suki desu
Javanese (formal) – Kulo tresno marang panjenengan
Javanese (informal) – aku terno kowe
Kannada – Naanu ninna preetisuttene
Kapampangan – Kaluguran daka
Kenya (Kalenjin) – Achamin
Kenya (Kiswahili) – Ninakupenda
Kikongo – Mono ke zola nge (mono ke’ zola nge’)
Kiswahili – Nakupenda
Konkani – Tu magel moga cho
Korean – SA LANG HAE / Na No Sa Lan Hei
Kurdish – Khoshtm Auyt
Laos – Chanrackkun
Latin – Te amo
Latvian – Es mîlu Tevi
Lebanese – Bahibak
Lingala – Nalingi yo
Lithuanian – As Myliu Tave
Lojban – mi do prami
Luo – Aheri
Luxembourgeois – Ech hun dech gäer
Macedonian – Jas Te Sakam
Madrid – lingo Me molas, tronca
Maiese – Wa wa
Malay – Saya cintakan kamu
Maltese – Inhobbok hafna
Marathi – Me tula prem karto
Mohawk – Kanbhik
Moroccan – Ana moajaba bik
Nahuatl – Ni mits neki
Navaho – Ayor anosh’ni
Ndebele – Niyakutanda
Nigeria (Hausa) – Ina sonki
Nigeria (Yoruba langauge) – Mo fe ran re
Norwegian – Jeg elsker deg
Osetian – Aez dae warzyn
Pakistan (Urdu) – May tum say pyar karta hun
Pandacan – Syota na kita!!
Pangasinan – Inaru Taka
Papiamento – Mi ta stimabo
Persian – Tora Doost Darem
Pig Latin – I-yea Ove-lea Ou-yea
Polish – Kocham Cie
Portuguese (Brazilian) – Eu te amo
Punjabi – me tumse pyar ker ta hu’
Quenya – Tye-mela’ne
Romanian – Te ador (stronger)
Romanian – Te iubesc
Russian – Ya tyebya lyublyu
Samoan – Ou te alofa outou
Sanskrit – tvayi snihyaami
Scottish Gaelic – Tha gra\dh agam ort
Serbo-Croatian – Volim te
Setswana – Ke a go rata
Shona – Ndinokuda
Sign language – Spread hand out so no fingers are touching. Bring in middle & ring fingers and touch then to the palm of your hand.
Sindhi – Maa tokhe pyar kendo ahyan
Singhalese – Mama oyaata aadareyi
Slovenian – ljubim te
South Sotho – Ke o Rata
Spanish – Te quiero / te amo / yo amor
Sri Lanka – mame adhare
Surinam – Mi lobi joe
Swahili – Naku penda
Swedish – Jag älskar dig
Swiss-German – Ch-ha di gärn
Tagalong – Mahal Kita / Iniibig kita
Tahitian – Ua here au ia oe
Taiwanese – Wa ga ei li
Tamil – Naan Unnai Khadalikkeren
Telugu – Nenu Ninnu Premisthunnanu
Thailand – Khao Raak Thoe / chun raak ter
Tunisian – Ha eh bak
Turkish – Seni Seviyorum
Ukrainian – Yalleh blutebeh / ya tebe kohayu
Urdu – Mea tum se pyaar karta hu (to a girl)
Urdu – Mea tum se pyar karti hu (to a boy)
Vietnamese (Females) – Em yeu Anh
Vietnamese (Males) – Anh yeu Em
Vlaams – Ik hue van ye
Vulcan – Wani ra yana ro aisha
Welsh – Rwy’n dy garu di
Wolof – Da ma la nope
Yiddish – Ich han dich lib
Yoruba – Mo ni fe
Yucatec Maya – ‘in k’aatech (the love of lovers)
Yugoslavian – Ya te volim
Zambia (Chibemba) – Nali ku temwa
Zazi – Ezhele hezdege (sp?)
Zimbabwe – Ndinokuda
Zulu – Mina funani wena

Hawa tidak diciptakan dari tulang rusuk Adam as

Benarkah Hawaa diciptakan dari tulang rusuk Adam as.? Banyak riwayat dari jalur Ahlus-Sunnah maupun Ahlul-Bayt yang menyebutkan bahwa Hawwa diciptakan dari tulang rusuk Adam as.
Namun ada beberapa riwayat dari Ahlul-Bayt yang membantah bahwa Hawwa diciptakan dari tulang rusuk Adam as dan pada era emansipasi ini, saya pikir riwayat-riwayat yang menyebutkan Hawwa diciptakan dari tulang-rusuk Adam as. sudah tidak relevan lagi.
Sudah selayaknya riwayat yang membantah Hawaa diciptakan dari tulang rusuk Adam as. juga dipopulerkan agar masyarakat Muslim mengetahui dan memahami bagaimana sebenarnya Islam memandang wanita.
Tafsir al-Ayyasyi dan kitab kompilasi hadis, Bihar al-Anwar, menyebutkan bahwa Hawaa diciptakan sama seperti Adam as. *)
Al-Ayyasyi mengutip Amr bin al-Miqdam yang mengutip ayahnya, “Aku bertanya kepada Abu Ja`far (Imam Muhammad al-Baqir as.) : “Dari apakah Allah menciptakan Hawwa?”
 “Apa kata banyak orang tentang dari apakah Hawwa diciptakan?” tanya Imam. 
“Mereka mengatakan bahwa Allah menciptakan Hawwa dari satu tulang rusuk Adam,” jawabku. “Sesungguhnya mereka telah berkata dusta. Seakan-akan Allah tidak mampu menciptakan Hawwa dari selain tulang rusuk.” 
Aku berkata, “Kukorbankan diriku bagimu, wahai putra Rasulullah! 
Dari apakah sebenarnya Allah menciptakan Hawwa?”
Imam mengatakan seraya mengutip dari ayahnya dari ayahnya sampai ke Rasulullah Saw, bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Allah Swt mengambil segenggam lumpur dan mencampurnya dengan tangan kanan-Nya, lalu Dia menciptakan Adam dari itu. Dan campuran lumpur itu. Setelah digunakan untuk menciptakan Adam, masih tersisa, dan sisanya itu digunakan Allah untuk menciptakan Hawwa.”
Karena Allah Mahakuasa menciptakan Adam dari debu, maka tentu Dia juga kuasa menciptakan Hawwa dari debu. **)
______________
* Tafsir Al-Ayyasyi, Jil. 1, hlm. 216, menjelaskan Surah al-Nisa

Apa makna Muhammad

Sahabat Nabi Saw, Jabir bin Abdullah al-Anshari, mengatakan bahwa Rasulullah saw telah bersabda, “Lebih daripada yang lain, aku ini terlihat seperti Adam, sedangkan Ibrahim, lebih daripada yang lain, tampak seperti diriku, sikapnya terhadap orang pun sama dengan sikapku.
Dari Arsy-Nya, Allah memberiku 10 nama dan menyampaikan kabar gembira tentang kedatanganku kepada SETIAP rasul yang diutus-Nya.
Di dalam Taurat dan Alkitab (Injil), Dia menyebutkan namaku dan mengajariku berbicara yang bagus lagi menarik. Dia membesarkanku di langit-Nya, dan menamaiku dengan nama yang diambil dari salah satu Nama-Nya sendiri, yaitu “Muhammad” sementara Dia menyebut dirinya sendin dengan “Mahmud.”
Dan benihku disarikanNya dari sebaik-baik umatku *], dan di dalam Taurat menyebutku “Ahid” karena melalui Tauhid-lah Dia mengharamkan raga umatku untuk disentuh api neraka.
Di dalam Al-kitab (Injil), Dia menyebutku “Ahmad” karena akulah yang lebih dipuji oleh penghuni langit (ketimbang penghuni bumi lainnya), Dia jadikan umatku “hamidin” (orang-orang yang gemar memanjatkan pujian untukku).
Di dalam Mazmur (Kitab Zabur), Dia menyebutku “Mahi”, karena melalui akulah Allah Ta’ala melenyapkan segala bentuk penyembahan berhala. Dan di dalam Al-Qur’an, Dia menamakanku “Muhammad”, karena pada Hari Pengadilan (kelak), masa ketika keputusan akan dikeluarkan, semuanya memanjatkan pujian untukku, dan selain aku tak ada lagi yang akan menerima pujian semacam itu.
Pada Hari Kebangkitan Dia akan memanggilku dengan nama “Hasyir”, karena seluruh manusia akan dihimpun dari bawah kakiku. Dan pada Hari Qiyamat Dia akan memanggilku dengan nama “al-Mauqif”, karena aku akan membuat semua manusia berdiri di hadapan-Nya untuk diadili.
Dan Dia menyebutku “al-Aqib”, karena aku adalah nabi-Nya yang terakhir; dan tidak ada nabi lagi sepeninggalku. Dan Dia menjadikanku rasul yang membawa rahmat dan tobat, Imam bagi semua imam salat, karena akulah yang mengimami semua nabi dalam salat berjamaah. Aku juga mendapat panggilah al-Qayyim, al-Kamil, dan al-Jami’.”

Dialog dengan kaum Salafy

Ini sebuah dialog imajiner antara Haji Na’im bin Yusuf dengan Hartono bin Masduki. 
Haji Na’im yang tidak pernah absen ngaji tiap hari Minggu ke Masjid Sunda - Kelapa  sangat terkejut dengan dakwah Hartono yang gencar membid’ah-bid’ahkan perayaan Maulud Nabi Saw dan Isra’ Mi’raj di kampungnya. Maklum, soalnya Hartono ini lulusan LIPIA dan menyatakan dirinya sebagai pengikut kaum Salafy. 
Konon kabarnya juga, dia sedang mempersiapkan diri untuk belajar di Universitas Abdul Aziz Saudi Arabia. Katanya, dia mendapatkan beasiswa.
Haji Na’im : “Ane denger ente suka bilang kalo ngadain Maulud Nabi itu bid’ah, ape bener??”
Hartono : “Bener, Wan Haji!”
Haji Na’im : “Apa dalil ente?”
Hartono : “Setiap perkara yang diada-adakan yang tidak ada contoh sebelumnya adalah bid’ah. Nah, maulud itu khan gak pernah diadakan di zaman Nabi Wan Haji, jadi maulud itu bid’ah!”
Haji Na’im : “Tapi itu khan bid’ah hasanah!”
Hartono : “Gak ada yang namanya bid’ah hasanah Wan Haji!”
Haji Na’im : “Apa dalil ente?”
Hartono : “Hadits Nabi : “Maka sebaik-baik perkara adalah kitab Allah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, dan seburuk-buruk perkara itu yang diada-adakan (muhdatsatuha), dan setiap (kullu) yang diada-adakan (muhdatsah) itu adalah bid’ah, dan setiap (kullu) bid’ah itu sesat.” 3) Kata “kullu” di dalam hadits di atas, Wan Haji, menafikan pengecualian. Jadi semua bid’ah itu dholalah alias sesat, Wan Haji!”
Haji Na’im : “Heh kupra! Kalo bener omongan ente, kenape ulama-ulama yang ente belajar di LIPIA dan di Saudi Arabia sono nggak protes ame raja-raja Saudi yang tiap tahun ngerayain ulang tahun berdirinya Kerajaan Saudi? 
Apakah menurut ulama-ulama kaum Salaf ini para raja Saudi itu lebih mulia ketimbang Rasulullah Saw.? Kenape entu orang pade diem ngatupin cangkemnye? 
Coba ente tanya ama syekh-syekh Arab Baduwi itu!

Hartono bengong kelimpungan clangak clinguk sambil garuk-garuk kepala.
Haji Na’im : “Nah gue mao tanya lagi ama ente. Kenape nggak sekalian aja ente bilang Umar bin Khathab itu melakukan bid’ah, khan dia bilang tentang shalat tarawih, “Ni’matul bid’ah hadzihi! – sebaik-baik bid’ah adalah ini!” 4)
Hartono : “Oo itu cuma istilah bahasa, Wan Haji, jadi bukan makna yang sebenarnya. Toh Rasulullah juga melakukan shalat tarawih.”
Haji Na’im : “Lho kalau emang udah ada contoh dari Nabi kenape Umar make istilah bid’ah, bukan sunnah. 
Mustinya khan Umar bilang : “Ni’matus sunnah hadzihi!”
Lagi pula jika betul shalat tarawih itu sunnah, kenape Abu Bakar nggak melakukannya di masa kekhalifahannya? Gimana hukumnya orang yang meninggalkan sunnah Nabi? Kalo gak salah ente juga suka ngafir-ngafirin orang yang gak shalat tarawih ya? Berarti ente juga ngafirin Abu Bakar dong?
Hartono Si Salafy terkejut dengan pertanyaan ini. Dia tidak menduga Haji Na’im punya ilmu yang cukup tentang ini. Ketika Hartono masih kebingungan cari jawaban, Haji Na’im melanjutkan pertanyaannya.

Haji Na’im : “Menurut ente berapa raka’at mustinya orang shalat tarawih?”
Hartono : “Ditambah dengan shalat witir seharusnya 11 raka’at!”
Haji Na’im : “Kalo 23 rakaat ama witir bid’ah dong?”
Hartono : “Itu namanya ghuluw artinya berlebih-lebihan dalam beribadah. Ghuluw itu bid’ah!”
Haji Na’im : “Nah, emangnye ente nggak pernah nonton tipi di RCTI. Ente nggak tau kalo orang-orang di Mekkah shalat tarawih lebih dari 11 raka’at? Yang mengimaminya juga ulama Saudi. Kenape ente orang-orang Salafy diem aja ngeliat “bid’ah” yang dilakukan ulama-ulama Saudi itu?”
Hartono makin terkejut dan makin bingung. Dia sudah merasa “gerah” dengan berondongan pertanyaan Haji Na’im yang cukup telak itu.

Haji Na’im : “Heh kupra! Ente pernah denger nggak hadits Shahih Bukhari yang mana Nabi Saw bersabda, “Shalat yang terbaik adalah shalat kalian di rumah-rumah kalian kecuali shalat fardhu!”? 5)
Hartono : “Pernah Wan Haji!” (Hartono masih bengong dan bertanya-tanya dalam hati : apalagi neh yang mao ditanyain Wan Haji)
Haji Na’im : “Nah, kalo begitu, untuk mengikuti sabda Nabi saw tadi, shalat tarawih yang notabene adalah shalat sunnah mustinya harus dilakukan di rumah dong ketimbang di masjid? Mana yang ente ikuti : bid’ah Umar atau Sunnah Rasul?”
Haji Na’im : “Ane denger ente juga membid;ahkan ucapan shodaqollahul ‘azhim setelah orang membaca al-Quran? Bener?”
Hartono : “Bener Wan Haji. Khan Nabi dan para sahabatnya tidak pernah mengucapkan atau mencontohkan seperti itu.”
Haji Na’im : “Lho? Kenape ente juga melakukan bid’ah dengan menambahkan kata-kata “rodhiyallohu ‘anhu” kepada para sahabat Nabi, khan nggak ada satu hadits pun dari Nabi Saw yang mencontohkan ucapan untuk sahabat-sahabatnya seperti itu? Ente ini belajar agame tanggung-tanggung ye?!
Mungkin karena malu, tanpa berkata-kata Hartono ngeloyor meninggalkan Haji Na’im yang akhirnya ikut bengong melihat Hartono “kabur” tanpa salam.
Haji Na’im (sambil menggerutu berujar sendiri) : “Ape sih yang sebenernya ada di batok kepale kaum Wahabi-Salafi ini?”
Ini salah satu contoh standar ganda yang dilakukan Kaum Wahabi-Salafy.
Laa hawla wa laa quwwata illa billah,...

Mengapa Mereka Mendukung Musuh - Musuh Nabi saww dan Ahli Baitnya



Di Saqifah, Umar bin Khaththab memainkan perannya membantu Abu Bakar sampai ke tampuk kekhalifahan dan sebagai balasan atas ‘jasa’ Umar, Abu Bakar menghadiahi Umar dengan menunjuknya sebagai pelanjut (successor) kekhalifahan setelah Abu Bakar. Jika kita menerima argumen bahwa Nabi Muhammad Saw meninggalkan umatnya tanpa menunjuk seorang pun pelanjut kepemimpinan, lalu apa hak Abu Bakar menunjuk seorang pelanjut kepemnimpinan?
Bukankah seharusnya Abu Bakar menyerahkan urusan kepemimpinan ini kepada umat agar umat memutuskan sendiri siapa yang layak menjadi pemimpin mereka sebagaimana yang dilakukan Nabi Saw? (seperti yang diyakini Ahlus Sunnah tentunya)
Selama menjabat sebagai khalifah, Umar bin Khaththab memberikan jabatan Gubernur Syria (Damaskus) kepada 2 orang putra Abu Sufyan, Yazid bin Abu Sufyan dan kemudian Mu’awiyah bin AbuSufyan.
Apa tujuan Umar di balik penunjukkannya atas putra-putra Abu Sufyan ini? Padahal keduanya bukan termasuk kaum Muhajirin dan juga bukan kaum Anshar? Mereka berdua juga bukan termasuk orang-orang yang pernah memberikan janji setia pada saat perjanjian Hudaibiyyah, bahkan mereka berdua hanyalah kaum tulaqa’, yaitu orang-orang yang masuk Islam dengan terpaksa ketika penaklukkan kota Mekkah.
Al Alwani menulis bahwa selama Abu Bakar menjabat sebagai khalifah dia menyatakan, “…bahwa setiap orang memiliki hak yang sama atas kekayaan publik.” Namun Umar memprotes, “Bagaimana engkau memperlakukan secara sama orang yang masuk Islam dengan terpaksa (tulaqa’) dengan mereka yang meninggalkan rumah dan harta mereka untuk berhijrah agar bisa bergabung dengan Rasulullah (kaum Muhajirin)?” Abu Bakar menjawab dengan tegas, “Mereka semua masuk Islam karena Allah, dan pahala mereka ada pada-Nya; dunia ini tak ada apa-apanya.”

Namun kemudian ketika Umar menjadi khalifah, dia mengubah kebijakan Abu Bakar ini dengan membeda-bedakan tunjangan atas sahabat-sahabat Nabi berdasarkan besar kecil perjuangan dan pengorbanan mereka demi tegaknya Islam.
[Usul al Fiqh al Islami – Source methodology in Islamic Jurisprudence, yang ditulis oleh Thaha Jabir Al Alwani, hlm. 19, diterjemahkan oleh Yusuf Talal DeLorenzo, penerbit Zain International, UK, Edisi II]
Anehnya, ketika Umar mengangkat putra-putra Abu Sufyan sebagai Gubernur Syria, seolah-olah Umar lupa akan prinsipnya untuk tidak memberikan jabatan atau hadiah kepada orang-orang yang tidak mempunyai jasa terhadap Islam. Mungkinkah dia tidak tahu bahwa Abu Sufyan dan putra-putranya adalah orang-orang yang sangat keras memusuhi Islam sebelum mereka dengan terpaksa menerima Islam? Dan juga bukankah kedua putra Abu Sufyan (Yazid dan Muawiyah) ini tidak punya jasa terhadap Islam sedikit pun. Mengapa Umar menempuh kebijakan ini? Ada apa di balik tindakannya yang bertentangan dengan kebijakan yang digembar-gemborkannya sebelum ini? Karena bagaimanapun pemberian posisi kekuasaan kepada Yazid dan Muawiyyah sebagai Gubernur Syiria ini sudah jauh melebihi tunjangan yang pernah dia berikan kepada sahabat-sahabat Nabi yang pernah berjuang bersama Nabi Saw membela Islam? Hal ini jelas perlu diteliti dan diselidiki secara tuntas!
Apa alasan Umar memberikan jabatan penting ini (Gubernur) atas orang-orang yang tak memiliki jasa apa pun dalam Islam, padahal saat itu masih banyak sahabat Nabi yang masih hidup dan telah banyak berjasa di dalam menegakkan Islam?
Tampaknya ada strategi yang telah disusun secara diam-diam oleh Umar bersama Utsman dan ini bisa terbukti setelah Umar memaksa 6 sahabat Nabi yang dia tunjuk sendiri untuk bermusyawarah memilih penggantinya. Ini pun jelas-jelas menunjukkan sebuah tindakan Umar yang lagi-lagi bertentangan dengan “sunnah Nabi” yang tidak menunjuk seorang pun untuk menentukan penggantinya (lagi-lagi masih dalam wacana Ahlus Sunnah).
Rencana Umar bin Khathab untuk memuluskan pengangkatan Utsman sebagai penggantinya berjalan sukses, karena memang tidak bisa tidak Utsman akan menang dalam formasi yang disusun Umar untuk mengalahkan Ali dan sahabat lainnya. (Baca buku Dialog Sunnah Syi’ah, karya Syarafuddin al-Musawi)
Skenario menjadikan Utsman bin Affan sebagai Khalifah dan Mu’awiyyah bin Abu Sufyan sebagai Gubernur Syria yang kedua-duanya dari klan Bani Umayyah, jelas-jelas sangat melemahkan posisi Bani Hasyim. Ini mungkin semacam skakmat Umar terhadap Ali bin Abi Thalib, yang sangat dibenci oleh Bani Umayyah, karena keluarga terdekat mereka yang kafir yang telah dibunuh oleh Ali, Hamzah dan Ja’far yang ketiganya dari Bani Hasyim.
Inilah reaksi Abu Sufyan setelah Utsman berhasil diangkat sebagai khalifah, yang direkam Ibn Abil Hadid :
“…dia (Abu Sufyan) berangkat ke Uhud dan menendang kuburan sang syahid Hamzah (paman Nabi Saw) sambil berkata: “Hei Abu Ya’la (panggilan Hamzah)! Saksikanlah olehmu! Kerajaan yang dulu kamu perjuangkan akhirnya justru jatuh ke tangan kami!” [Syarah Nahjul-Balaghah, oleh Ibn al Hadid, Jilid 16, hlm. 136, Edisi Kedua , Mesir]
Syria merupakan negeri yang kaya; yang menghasilkan jumlah pendapatan yang tinggi. Tidak mungkin Umar tidak mengetahui kebencian Bani Umayyah yang sangat terhadap Bani Hasyim. Pengangkatan Mu’awiyyah sebagai Gubernur Syria merupakan sebuah strategi jangka panjang Umar untuk menekan Bani Hasyim. Karena Umar juga tahu bahwa Bani Umayyah tidak akan tinggal diam jika Ahlul Bait Nabi (dari Bani Hasyim) berada ditampuk kekhalifahan. Ini sudah menjadi persaingan berdarah yang turun temurun yang diusung Bani Umayyah sebagai dendam sejarah.
Lihat saja apa yang dilakukan Mu’awiyyah ketika dia mengetahui Ali bin Abi Thalib diangkat umat secara sah sebagai khalifah. Mu’awiiyah memberontak terhadap pemerintahan sah dan terjadilah perang Shiffin.
Permusuhan dan kebencian Mu’awiyyah yang sangat diperjelas dengan fakta bahwa dia tetap mempertahankan kebijakan oposisinya yang telah lebih awal dibentuk oleh khalifah-khalifah sebelumnya (Abu Bakar, Umar dan Utsman).
Di bawah ini surat Muawiyah yang ditulisnya untuk menjawab kritik yang dilontarkan Muhammad putra Abu Bakar:
“Kami dan ayah Anda (Abu Bakar) semasa hidup Rasululullah biasa menganggap hak Putra Abu Thalib (Imam Ali) telah mengikat kami, dan keunggulannya memang di atas apa yang kami miliki. Meskipun begitu, ketika Allah memilih untuk Nabi-Nya apa yang Dia miliki dalam simpanan-Nya…Dia mengambilnya untuk Diri-Nya Sendiri. Kemudian ayah Anda (Abu Bakar) dan sahabatnya (Umar) adalah orang-orang pertama merampas hak Putra Abu Thalib dan menentangnya, mereka bekerjasama melakukan ini…Bagaimana Anda katakan ini tidak adil, padahal ayah Anda sendiri yang pertama-tama melakukannya. Dengan begitu kami (Bani Umayyah) hanya melanjutkan kebijakan ayah Anda. Kami mengikuti petunjuk dan meneladani apa yang ayah Anda lakukan.”

Utsman bin Affan menjadi khalifah pada usia 74, sekali lagi muncul pertanyaan mengapa dia lebih disukai ketimbang sahabat-sahabat lainnya yang lebih muda dan lebih mampu? Apakah ini merupakan siasat Umar bin Khathab untuk memberikan kekuasaan mutlak kepada klan Bani Umayyah?
Strategi ini memuluskan berdirinya kekuasaan Utsman yang notabene adalah Bani Umayyah. Dan ketika berkuasa, Utsman pun menunjuk salah seorang musuh Nabi (Saw), saudara sepupunya, Abdullah bin Sarh sebagaimana yang ditulis Amir Ali: “…Abdullah ini, suatu waktu pernah menjadi seorang sekretaris Nabi, dan ketika Nabi mendiktekan wahyu yang diterimanya, dia (Abdullah) selalu mengubah kata-katanya dan mengubah maknanya” [Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, p. 294]
Utsman juga mengangkat Walid bin Uqbah sebagai guberbur Kufah, padahal Walid bin Uqbah, pada masa Nabi Saw disebut al-Quran sebagai seorang fasik seperti yang diungkapkan dalam ayat Quran (QS al-Hujurat [49] ayat 6). Suatu waktu Nabi Saw mengirimkan Walid bin Uqbah ke Bani Musthaliq untuk mengumpulkan zakat, padahal sebelum Walid menjadi Muslim, dia adalah orang yang tidak disukai suku itu (Bani Musthaliq).
Belum lagi sampai di tujuan, Walid mengubah pikirannya, karena dia takut dibunuh oleh orang-orang Bani Musthaliq. Walid pun kembali kepada Rasulullah dan berbohong kepada Rasulullah bahwa suku Bani Musthaliq menolak memberikan zakat.

Mendengar hal ini Rasulullah Saw marah dan sempat ingin bertindak lebih jauh, namun Allah Swt segera mencegahnya dengan menurunkan ayat (QS 49:6) demi membongkar kebohongan Walid.

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (QS Al-Hujurat [49]:6) [Jalaluddin Al-Suyuthi, Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul, ayat QS 49:6]
Pada masa berkuasanya Utsman bin ‘Affan, suatu ketika, Walid yang diangkat menjadi Gubernur Kufah mengimami shalat subuh dalam keadaan mabuk khamr, dan melakukan shalat subuh 4 rakaat. Bahkan dia berkata kepada makmum, akan menambahkan rakaatnya jika dia mau. [Abu A’la al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, Penerbit Mizan.] Inilah profil salah seorang sahabat yang dikatakan Al-Qur’an sebagai FASIQ!
Utsman juga mengangkat Marwan bin Hakam dengan sepenuh keyakinan, yang oleh Baladzuri dikatakan: “…dia (Marwan) memeluk Islam setelah penaklukan kota Makkah, namun dia tetap terus menghina Nabi, yang mengakibatkan Hakam dan anaknya (Marwan) diusir dari kota Madinah. Pengasingan ini tetap dilaksanakan Abu Bakar dan Umar. Namun ketika Utsman berkuasa, dia mengabaikan hukum yang telah ditetapkan Nabi Saw, dia justru memanggil balik Marwan dan Hakam ke Madinah, bahkan menjadikan Marwan sebagai Asistennya dan Kepala Hakim Pengadilan”.
[Al-Baladzuri, Ansab al-Ashaf, Jil. 5, hlm. 17]
Maka dengan tiga jabatan kunci ini, Utsman bin Affan telah menunjuk tiga orang, yaitu orang-orang yang Allah dan Rasul-Nya telah menjelaskan status mereka sesungguhnya. Bahkan seorang sarjana ternama Muslim Sunni, Al-Syahid Sayyid Quthb, tidak dapat menyembunyikan kekecewaannya atas fakta sejarah ini. Sayyid Quthub menulis, “Adalah celaka sekali bahwa kekuasaan kekhalifahan diberikan kepada Utsman yang pada saat itu telah tua renta, lemah semangat juangnya untuk menegakkan Islam, tak berdaya menentang tipu daya pembantunya, Marwan bin Hakam serta pendukungnya, kaum keluarga Ummayyah.” [Sayyid Quthb, Keadilan Sosial Dalam Islam, hlm. 270, Penerbit Pustaka Bandung, Cet. I, 1984.]
“…tetapi sejarah juga sulit untuk memaafkan kesalahannya (Utsman bin Affan) akibat usianya yang telah sangat tua dan fisiknya yang sudah lemah, terombang-ambing dalam pengaruh buruk Bani Umayyah.” [Ibid, hlm. 272.]
Ketika para shahabat yang shalih masih hidup mengapa kedudukkan-kedudukkan penting justru diberikan kepada orang-orang berperilaku buruk seperti itu? Jawaban obyektifnya adalah agar sang khalifah dengan mudah mempunyai kesempatan untuk memberikan kekuasaan yang langgeng bagi Bani Umayyah. Inilah suatu kaum yang di dalam sejarahnya berambisi untuk memadamkan Cahaya Islam, yang mendapatkan kesempatan secara mulus dari para khalifah-khlaifah sebelumnya untuk berkuasa dan menghancurkan Islam dari dalam.
Dan saat itu pula musuh bebuyutan mereka, Bani Hasyim tidak lagi memiliki kekuatan yang berarti setelah pertahanan ekonomi mereka (Fadak) dirampas, dan posisi-posisi penting mereka dan para pendukung mereka berhasil digusur. Kemutlakan pilih kasih telah diberikan kepada Bani Umayyah dan menghapus segala kemungkinan Bani Hasyim dapat meraih kekhalifahan.
Utsman telah memberikan khumus (20%) dari rampasan perang dari expedisi pertama ke Afrika kepada saudara lelakinya, Abdullah ibn Abu Sarh. Marwan bin Hakam memperoleh khumus (20%) dari expedisi ke 2 Afrika. Dan akhirnya khalifah memberikan kepadanya keseluruhannya (100%). [Tarikh Ibn al Athir Volume 3 page 49 publishers, Dar ul Kitan al Lubnani, 1973.]
* Tanah Fadak yang merupakan milik Rasulullah Saw, yang disita Abu Bakar dari tangan Sayyidah Fathimah, akhirnya diberikan Utsman kepada Marwan.
[Ibn Qutayba, Al Ma'arif, p. 190 edited by Tharwat 'Ukasha, Cairo edition 1960.]
* Utsman juga memberikan sepupunya, Harits hadiah yaitu, unta-unta yang telah dikumpulkan sebagai zakat dan pajak, lalu membawa unta-unta itu ke Madinah. [Ansab al-Ashraf, Baladhuri, Vol 5 p 28, edited by S.D.F. Goitein Jerusalem 1936.]
* Apakah hal ini tidak mengundang keingintahuan, bahwa Abu Bakar telah menetapkan Fadak menjadi milik negara, lalu ‘diberikan’ kepada Marwan? Utsman telah memberikan Zakat dari Qud’ah yang berjumlah 300.000 dirham. [Thaha Hussayn, Al-Fitnah al-Kubra, Vol. 1, p. 193, Dar al- Ma’arif, Egypt, 1953] dan Abdul Rahman bin Auf 3 juta dirham. [Thaha Hussayn, Al-Fitnah al-Kubra, Vol. 3, p. 126, Dar al-Ma'arif, Egypt 1953]
Mungkin menurut Umar bin Khaththab hal ini dipandang sebagai alternatif, setelah menyadari ketamakan Bani Umayyah, dengan dalih agar tidak terjadi perang saudara (antara Bani Umayyah dan Bani Hasyim) dan menjaga persatuan umat Islam secara keseluruhan.
Tidak bisa dibantah, mengapa Umar bin Khaththab tidak menganugerahkan kekhilafahan kepada putranya, Abdullah bin Umar? Ternyata Umar mempunya visi yang terlalu jauh untuk ini.
Dia menyadari jika dia memberikan kekhalifahan kepada putranya, Abdullah bin Umar, dia akan mendapatkan ancaman kekuasaan dari Bani Umayyah, sehingga dengan terpaksa dia memberikannya kepada Banu Umayyah, yang dia ketahui sangat haus kekuasaan. Pada kenyataannya, dia telah membuat putranya sendiri, Abdullah bin Umar mesti memutuskan pemilihan suara dalam Dewan Syura yang sudah disiapkan Umar bin Khaththab sedemikian rupa agar Utsman bin Affan unggul dalam pemilihan tersebut.
Dengan cara ini, putra Umar, Abdullah bin Umar menjadi sekutu dekat dengan Bani Umayyah dan menjadi seorang musuh yang pahit bagi putra-putra Imam Ali, khususnya Imam Husain (as).
Catatan :
Semua refensi di atas adalah kitab-kitab yang ditulis oleh sarjana-sarjana Muslim Sunni.


TANGAN YANG PERNAH DI CIUM RASULULLAH SAWW


jika Anda mencium tangan seorang ulama, tentu saja karena sang alim memang memiliki kemuliaan dan layak memperoleh penghormatan seperti itu. Biasanya tangan yang dicium lebih mulia ketimbang yang mencium. Jika semua itu benar, bagaimana jika orang yang paling mulia di dunia dan akhirat, yaitu Muhammad Rasulullah Saw yang mencium tangan seseorang? Apakah orang yang tangannya dicium itu lebih mulia ketimbang Rasulullah Saw?


Siapa orang beruntung yang dicium tangannya oleh Sang Rasul?
Tidak selalu orang yang tangannya dicium lebih mulia dari yang mencium. Apa maksud dan tujuan Rasulullah Saw mencium tangan seseorang?
Ketika Rasulullah Saw mencium tangan seorang pekerja (buruh), Rasulullah Saw ingin mengajarkan kepada masyarakat masa itu – yang masih materialistik dan feodalistik – agar mereka menghargai kerja keras orang lain.
Mereka harus memuliakan keringat para buruh, para petani, para nelayan, dan orang-orang kecil yang sudah bekerja keras membanting tulang demi penghidupan mereka. Manusia harus saling menghormati, mesti saling menghargai semua kerja keras yang dilakukan siapa pun.
Manusia mesti menilai setiap tetes keringat seseorang tidak hanya dari sisi materi belaka, tapi juga mesti menilainya dari besarnya usaha dan perjuangannya. Bukankah mencari penghidupan itu juga sebuah jihad? Sebuah perjuangan yang juga memiliki nilai-nilai spiritual?
Ketika suatu masyarakat atau suatu pemerintahan tidak lagi menghargai kaum pekerja, maka akan terjadi suatu “kezaliman”, suatu ketidakseimbangan, suatu tanda-tanda kehancuran yang mungkin tidak terlihat oleh mata telanjang, tetapi mata moral maupun spiritual mampu melihat “ketimpangan” dan “lubang besar” yang akan menghisap seluruh “kestabilan” tatanan masyarakat yang ada.
Sikap orang-orang besar yang meremehkan orang-orang kecil sama saja dengan sikap meremehkan “sebuah batu bata kecil” yang diletakkan di dalam susunan terbawah sebuah menara yang tinggi dan besar. Tapi dapatkah kita sadari bahwa jika “batu bata kecil” ini kita copot maka kestabilan tatanan menara yang besar dan tinggi ini menjadi goyah?
Di masa kekhalifahan Imam Ali (as), suatu ketika Imam Ali (as) berjalan bersama salah seorang sahabatnya dan beliau melihat seorang tua yang sedang mengemis.
Imam Ali (as) bertanya kepada sahabatnya, “Mengapa lelaki tua ini mengemis?”
Sahabatnya menjawab, “Lelaki ini seorang Nasrani.”
Imam Ali as marah seraya menukas, “Bukankah ketika lelaki ini masih muda kalian mempekerjakannya dan mengambil pajak (jizyah) darinya, tapi mengapa ketika ia sudah tua kalian melepaskannya begitu saja?!” Setelah berkata begitu Imam Ali (as) memerintahkan agar lelaki tua itu diberi tunjangan hari tua dari Baitul Mal. [1]
Siapa Lagi Tangan Mulia Yang Dicium Sang Nabi?
Ada satu tangan mulia lagi yang kerap dicium oleh Sang Baginda Rasul Saw. Tangan mulia itu tidak lain adalah milik tangan putri tercinta Nabi sendiri, Sayyidah Fatimah Az-Zahra (as). Mengapa Rasulullah Saw mencium tangan kecil yang mulia ini? Prilaku Rasulullah Saw ini membuka mata orang-orang penting, para politisi dan mayoritas Muslim pada masa itu.
Ketika sebagian masyarakat Arab masih merendahkan kaum perempuan pada masa itu, Rasulullah Saw justru melakukan tindakan revolusioner dengan mencium tangan anak perempuannya. Ketika kaum perempuan sedemikian mendewa-dewakan kaum lelaki. Ketika kaum lelaki menginjak-injak harkat kaum perempuan. Ketika masih bercokol di kepala kaum bangsawan Arab saat itu bahwa anak-anak perempuan hanya membawa sial bagi mereka, Rasulullah Saw justru menghormati anak perempuannya.
Luar biasa!
Ketika Rasulullah Saw mencium tangan putri tercintanya, Fatimah Az-Zahra (as), Rasulullah Saw ingin mengajarkan kepada masyarakat Arab dan umat manusia seluruhnya bahwa perempuan mesti dihormati, mesti dihargai dan mesti dicintai!
Bukan dihina, bukan diinjak-injak apalagi disingkirkan. Sejarah masih menyimpan catatan bagaimana bapak-bapak kaum Quraisy pada masa lalu merasa terhina jika mendapatkan anak perempuan. Mereka bahkan – saking malunya – rela membunuh dan menanam hidup-hidup putri-putri mereka yang masih merah di tengah-tengah padang pasir.
Salah seorang sahabat Nabi terkemuka juga mengakui pernah melakukan perbuatan keji seperti itu. Poin lainnya yang mesti dicermati adalah bahwa Nabi Saw tidak melakukan hal ini hanya karena alasan di atas. Poin terpenting lainnya adalah Nabi Saw ingin memberitahu kepada umat Islam pada masa itu dan di masa-masa yang akan datang bahwa putrinya adalah orang yang dimuliakan Allah dan Rasul-Nya.
Rasulullah Saw bersabda, “Sebaik-baik wanita di Surga adalah Maryam binti ‘Imran, Khadijah binti Khuwailid, Fathimah binti Muhammad, Asiyah binti Muzahim, isteri Fir’aun” (Bihar al-Anwar 13 : 162, Jalaluddin Suyuthi juga meriwayatkan di dalam kitabnya, Musnad Fatimah Az-Zahra, hlm 111)
Aisyah sendiri meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda kepada putrinya Fatimah, “Wahai Fatimah, apakah engkau rela menjadi pemimpin kaum perempuan di dunia dan akhirat.” (H.R Al-Hakim)
Tidak hanya itu! Ketika Rasulullah Saw mencium tangan putrinya di hadapan umat Islam saat itu, Nabi Saw juga mengisyaratkan kepada mereka, “Inilah putriku, yang darinyalah lahir keturunanku yang mereka itu adalah para Imam Ahlul Bait, para pemimpin sejati kalian!”
Laa hawla wa laa quwwata illa billah!
Catatan kaki:
1. Ma’alim al-Hukumah hlm. 522


IBADAH ,ATEISME DAN SYIRIK



“Janganlah kamu adakan tuhan yang lain disamping Allah, agar kamu tidak menjadi tercela 
dan tidak ditinggalkan.” (QS Al-Isra’ ayat 22)
Diriwayatkan dari Abi Abdillah (Imam Ja’far) as tentang firman Allah ‘Azza wa Jalla ,”hanifan musliman”, beliau as menjelaskan, “Keikhlasan yang benar-benar murni, yang tiada sesuatu pun di dalamnya terkandung penghambaan (ibadah) kepada berhala.” (al-Kafi 2 : 15)
Perjuangan Islam yang terus menerus menentang ateisme dan kemusyrikan, dalam realitas peradabannya, merupakan perjuangan melawan dua sisi masalah dalam dimensi histori mereka. Kedua sisi masalah tersebut (atheisme dan kemusyrikan) bertemu di satu titik penting, yaitu, penghalang gerakan kemajuan manusia untuk memiliki kreatifitas imajinatif yang positif dan berkelanjutan.
Pergerakan ketiadaan tanpa campur tangan sang Maha Mutlak merupakan gerakan yang tidak terarah laksana bulu-bulu yang diterbangkan angin. Fenomena sekitarnya mempengaruhinya sedang dirinya tidak mampu mempengaruhi. Tidak ada pencapaian atau hasil dalam perjalanan manusia tanpa hubungan dan peleburan dengan Yang Maha Mutlak dalam perjalanan yang objektif.
Ketika yang relatif dianggap sebagai yang mutlak, menjadi “tuhan”, hal ini menjadi faktor yang mengungkungi manusia, membekukan kapasitasnya untuk berkembang dan berkreasi, serta melumpuhkan manusia yang semestinya melaksanakan fitrah peranannya dalam pergerakan menuju kepada kesempurnaan.
Pada masa kini, manusia mengembangkan sains dan teknologi dan menjadikannya sebagai sekutunya untuk mencapai kemajuan peradaban. Namun secara perlahan dan pasti, tanpa bimbingan spiritualisme yang benar, sains dan teknologi menjadi sekutu untuk menggilas esensi kemanusiaan itu sendiri.
Penyembahan manusia kepada ego, sains, teknologi, dan uang menjadikan manusia tidak lagi beradab dalam hubungannya dengan sesama manusia. Sikap individualis, acuh tak acuh terhadap kepentingan orang lain dirajai oleh ketamakan materi. 
Manusia yang mengaku modern ini, pada hakikatnya tidaklah berbeda dengan orang-orang Barbar, dimana pikiran mereka sesungguhnya terbelenggu oleh kedangkalan pemahaman akan kesejatiannya.
Sebaliknya, manusia yang mengarahkan hidupnya dalam pengabdian kepada Yang Maha Mutlak, hakikatnya sedang mengadakan perjalanan panjang menuju kepada Kesempurnaan Tak Terbatas, yaitu Tuhan.
Manusia yang serba terbatas yang mengikatkan pergerakannya kepada Yang Maha Mutlak tidak akan menemui kontradiksi sepanjang perjalanannya yang panjang itu.
Meyakini Tuhan berarti menempatkan manusia pada posisi tanggung jawab, yang kepadanya pergerakan dan pengelolaan alam terkait.
Manusia yang dijadikan Tuhan sebagai Khalifah di muka bumi menyiratkan suatu tanggung jawab dan ganjaran yang akan diterimanya berdasarkan pelaksanaan tanggung jawabnya itu, sehingga dikatakan bahwa manusia bergerak dalam lingkup tanggung jawab dan tujuannya sebagai hamba dari Tuhannya.
Manusia yang menghamba kepada Tuhan dengan lurus, menjadikan sains dan teknologi untuk kesejahteraan bersama, baik itu dengan sesama manusia, juga dengan alam lingkungannya. Ibadah dan pengabdian yang tulus akan mengikis habis rasa tamak dan sikap individualis yang tumbuh dalam jiwa manusia, tergantikan dengan tumbuhnya rasa cinta dan kepedulian kepada makhluk-makhluk Tuhan lainnya.
Semboyan utama dalam Islam : Laa ilaha illa Allah, Tiada tuhan kecuali Allah, menghubungkan perjalanan manusia dengan Yang Maha Mutlak seraya menolak setiap kemutlakan palsu. Kebenaranlah yang menyelamatkan pergerakan manusia dari kesia-siaan, membantunya mengaktifkan semua energi kreatif dan membebaskannya dari kemutlakan palsu yang merintanginya.


Mengapa Ali Tidak Menuntut Hak Kekhalifahannya?


Seseorang telah bertanya kepada Imam Ali as, “Jika hak kekhilafahan Anda didasari nash-nash yang jelas, mengapa Anda tidak menuntut hak kekhilafahannya ketika Abu Bakar mengambil alih kekhilafahan setelah Rasulullah Saw wafat?”
Imam Ali as menjawab pertanyaan ini :
“Demi Allah, bukannya aku takut (tidak ada yang menghalangiku dari rasa takut) dan bukan pula aku takut mati, akan tetapi saudaraku, Rasulullah Saw telah mencegahku, seraya berkata kepadaku: “Wahai Abal Hasan, sesungguhnya umat ini akan mengingkari (hak kekhilafahan)mu sedangkan engkau melaksanakan janjiku sebagaimana Harun kepada Musa.”
Aku (Imam Ali) pun bertanya kepada Rasulullah Saw : “Apa yang akan engkau perintahkan kepadaku apabila hal ini terjadi?”
Nabi Saw menjawab, “Apabila engkau mendapatkan sahabat-sahabat yang menolong maka tahanlah tanganmu dan peliharalah darahmu sampai engkau menyusulku sesudah engkau dizalimi.”
Ima Ali as berkata, “Sesungguhnya aku ini mengambil suri tauladan tujuh para nabi. Yang pertama, adalah Nabi Nuh as yang ketika mengadu kepada Tuhannya :
“Maka dia (Nuh) mengadu kepada Tuhannya: “Bahwasanya aku ini adalah orang yang dikalahkan, oleh sebab itu menangkanlah.” (QS Al-Qamar [54] ayat 10)
Dan yang kedua, adalah Nabi Ibrahim al-Khalil as yang berkata, “Dan Dan aku akan menjauhkan diri darimu dan dari apa yang kamu seru selain Allah,” (QS Maryam [19] ayat 48)
Dan yang ketiga adalah Nabi Luth as yang mengatakan, “Seandainya aku ada mempunyai kekuatan atau kalau aku dapat berlindung kepada keluarga yang kuat.” (QS Hud [11] ayat 80)
Dan yang keempat, adalah Nabi Yusuf as yang mengatakan : “Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.” (QS Yusuf [12] ayat 33)
Dan yang kelima, Nabi Musa as yang berkata, “Lalu aku lari meninggalkan kamu ketika aku takut kepadamu,” (QS Al-Syu’ara [26] ayat 21)
Dan yang keenam, adalah Nabi Harun as yang berkata kepada Nabi Musa as, “Sesungguhnya kaum ini telah menganggapku lemah dan hampir-hampir mereka membunuhku,” (QS Al-A’raf [7] ayat 150)
Adapun yang ke tujuh adalah Rasulullah Saw yang ketika melarikan diri dari kaum Musyrik Quraisy menuju sebuah gua (Tsur).
Seseorang telah bertanya kepada Imam Ali al-Ridha as :
“Mengapa Imam Ali tidak melawan (memerangi) musuh-musuhnya selama 25 tahun sesudah Rasulullah Saw wafat, akan tetapi beliau memerangi mereka saat beliau menjadi khalifah?”
Imam Ali al-Ridha as menjawab :
“Karena beliau mengikuti jejak langkah Rasulullah Saw yang membiarkan kaum musyrikin dan tidak memerangi mereka di Makkah selama 13 tahun setelah kenabiannya. Dan itu beliau lakukan dikarenakan jumlah pendukung beliau masih teramat sedikit. Begitu pulalah yang dilakukan Imam Ali as.
Dan apabila kiat megikuti Al-Quran yang mulia, kita akan menemukan 2 macam argumen yang sangat kuat. Yang pertama adalah al-Quran yang meyuruh beliau bersabar atas gangguan kaum musyrikin :
“Bersabarlah dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan.”
(QS Al-Nahl [16] ayat 126)
“Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik.” (QS Al-Muzzamil [73] ayat 10)
“Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul telah bersabar.” (QS Al-Ahqaaf [46] ayat 35)
“Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu, maka sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan Kami, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu ketika kamu bangun berdiri.” (QS 52 : 48)
Dan satu macam lagi al-Quran yang mulia menyuruh beliau berperang :
“Janganlah kamu lemah dan minta damai padahal kamulah yang di atas.” (QS Muhammad [47] ayat 35)
“Perangilah mereka, niscaya Allah akan menghancurkan mereka dengan tangan-tanganmu dan Allah akan menghinakan mereka dan menolong kamu terhadap mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman.” (QS Al-Taubah [9] ayat 14)
“Apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang ingkar maka pancunglah batang leher mereka. Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka maka tawanlah mereka.” (QS Muhammad [47] ayat 4)
Allah telah menyampaikan kepada Nabi-Nya ayat-ayat agar beliau bersabar ketika jumlah sahabat-sahabat beliau belum memadai, namun Dia juga memerintahkan Nabi-Nya menggunakan kekerasan ketika Nabi Saw telah memiliki kekuatan yang seimbang dengan musuh dan menghancurkan para mufsidin sampai ke akar-akarnya. Dan dengan hujjah-hujjah ini, jelaslah bahwa sesungguhnya sabar itu baik dalam beberapa keadaan tertentu, tapi tidak seluruhnya.

IMAMAH dan AHLUL BAIT


Akidah Islamiyah adalah kumpulan kaidah, hukum, landasan, perintah, larangan dan pengetahuan yang universal dan terperinci yang diturunkan Allah SWT kepada hamba-Nya, Muhammad SAW. Rasululullah SAW bertugas memberikan penjelasan kepada umat mausia melalui perantara dakwah dan daulah yang dipimpinnya sendiri. Oleh karena itu setiap perkataan, perbuatan dan taqrir Rasulullah SAW adalah juga aturan Ilahi sebagai pelengkap Al-Qur’an. Semasa hidupnya, Rasulullah menjadi satu-satunya sumber rujukan syar’i yang merupakan pengejewantahan akidah Ilahiah. Adalah mustahil jika aqidah yang berasal dari Allah ini dibiarkan tanpa seorang rujukan yang bertugas menjelaskan aqidah tersebut. Sumber rujukan ini haruslah orang yang memiliki pengetahuan Ilahiah, paling baik, afdhal dan tepat dari sekian manusia yang ada. Untuk memilih dan mengangkat orang yang memiliki kapasitas itu, hanya Allah sendirilah yang berhak menentukan. Sejarah perjalanan manusiapun membuktikan, semua nabi-nabi yang 124 ribu jumlahnya diutus dan diangkat oleh Allah SWT. Tak sekalipun Allah SWT menyerahkan penentuan dan pemilihan orang yang menjadi sumber rujukan kepada hawa nafsu dan pendapat-pendapat manusia. Begitulah sejarah membuktikan, dan tidak ada seorangpun yang menyelisihi ini.

Lewat tulisan ini, saya ingin memperlihatkan ada realitas lain selain Nabi dan Rasul yang juga menjadi ketetapan Ilahi. Allah SWT berfirman, "Dan ingatlah ketika Ibrahim di uji Tuhannya dengan beberapa perintah, lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman :"Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu seorang Imam bagi umat manusia." Ibrahim berkata, "(Dan aku mohon juga) dari keturunanku." Allah berfirman :"Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim." (Qs. Al-Baqarah : 124).

Ayat ini menunjukkan bahwa menurut Al-Qur'an ada satu lagi realitas selain nabi dan rasul yakni imam, sebab bukankah penunjukan Ibrahim sebagai imam setelah ia menjadi nabi dan rasul dengan berbagai ujian ?. Dalam ayat lain Allah SWT berfirman, "Dan Kami menganugerahkan kepadanya (Ibrahim), Ishak dan Yaqub sebagai suatu anugerah. Dan masing-masing Kami jadikan orang yang saleh. Dan Kami menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami, dan Kami wahyukan kepada mereka agar berbuat kebaikan, melaksanakan shalat, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kami mereka menyembah." (Qs. Al-Anbiya : 73). Di ayat lain, "…Kemudian Allah memberinya (Dawud) kerajaan dan hikmah dan mengajarinya apa yang Dia kehendaki." (Qs. Al-Baqarah : 41). Dari ayat-ayat ini menunjukkan bahwa penunjukkan imam, khalifah ataupun pemimpin atas umat manusia adalah wewenang dan otoritas mutlak Allah SWT sebagaimana penunjukan nabi dan rasul.

Sebagaimana surah Al-Baqarah ayat 124 di atas, kedudukan imam sebagai jabatan langit selain nabi dan rasul juga dianugerahkan kepada keturunan biologis nabi Ibrahim as.

Pada dasarnya, jabatan imam Allah merupakan tunas dari “Pohon Kejadian” yang menjadi tujuan atas penciptaan manusia di bumi. Sedangkan kenabian atau kerasulan adalah cabang dari “Pohon Kejadian” tersebut. Artiya, institusi ilahiah ini secara gradual diawali lebih dahulu oleh kenabian, kerasulan dan berakhir pada keimamahan. Ini bisa dimaklumi bahwa tidak mungkin ada hukum tanpa ada hakim. Hukum Islam telah sempurna, karenanya dengan wafatnya Nabi terakhir meniscayakan adanya hakim Ilahiah yang mendampingi pelaksanaan hukum. Hakim di bumi inilah yang disebut Imam.

Setelah nabi Ibrahim as wafat, jabatan-jabatan ini terus diwariskan melalui keturunan biologis Ismail dan Ishak yang mana keduanya adalah nabi. Dalam Alkitab dinubuatkan bahwa dari Ismail dan keturunannya akan muncul duabelas orang imam “Tentang Ismael, Aku telah mendengarkan permintaanmu; ia akan Kuberkati, Kubuat beranak cucu dan sangat banyak; ia akan memperanakkan dua belas imam dan Aku akan membuatnya menjadi umat yang besar (Kejadian 17:20). Kondisi serupa juga ditampakkan kepada bangsa Israel pada zaman Musa as yang mana dia telah diperintahkan oleh Allah untuk melantik dua belas orang imam yang dikepalai oleh Harun dan keturunannya, “Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian dari Bani Israil dan telah Kami angkat di antara mereka 12 orang pemimpin” (QS. Al-Maidah :12)

Pelantikan para imam Allah ini menandai kesempurnaan RisalahNya dan puncak dari perjanjian antara Allah dan para nabi yang ditugaskan untuk menyampaikan AjaranNya kepada manusia. Bahkan fungsi utama dari pengutusan seorang nabi atau rasul itu adalah untuk menegakkan kerajaan imam dan umat yang kudus. Al-Qur’an menyatakan: “Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari para nabi dan dari kamu, dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putera Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh”. (QS. 33:7)

Alhasil, substansi yang ingin saya tegaskan, bahwa status seorang imam di dalam Islam bahkan dalam ajaran Ibrahimik lainnya (Yahudi dan Nashrani) memang ada dan dipilih secara mutlak oleh Allah sebagaimana halnya kenabian dan kerasulan. Artinya tidak melalui konsensus. Imam Allah adalah jabatan sorgawi yang kudus dan tidak terbentuk melalui mekanisme pemilihan umum ataupun cara-cara lain yang dilandasi oleh perspektif manusia. Imamah atau kekhalifaan terlalu berharga, terlalu tinggi dan tidak pantas hanya disebut sebagai pemimpin sebuah pemerintahan. Imamah terlalu pelik dan rumit bagi manusia biasa untuk memilih dan mengangkat sendiri imam mereka. Imamah tidak dapat diputuskan dalam pemilihan. Sebab imamah bukan sekedar masalah mengurus ummat melainkan perwakilan Allah SWT di muka bumi. Karena itu hanya Allah SWT yang berhak memilih dan mengangkatnya.

Sungguh tidak mengherankan bila Al-Qur’an sendiri pernah menegaskan bahwa keluarga Ibrahim as telah dianugerahi suatu kerajaan yang besar.

“Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya? Sesungguhnya Kami memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar”. (QS. 4:54) Maka bagaimanakah dengan keluarga Muhammad saw sendiri? Dan apabila jumlah para imam dari keluarga Ibrahim as ini selalu duabelas orang, maka mungkinkah jumlah para imam dari keluarga Muhammad pun juga demikian?. Sebagai penutup, barangkali hadis Nabi saw yang pernah diriwayatkan dalam Sahih Bukhari ini bisa membawa kita kepada kontemplasi mendalam yang selaras dengan pendewasaan beragama. Bukhari-Muslim meriwayatkan, "Agama (Islam) akan selalu tegak kukuh sampai tiba saatnya, atau sampai dua belas khalifah, semuanya dari Qurays."

Nabi Muhammad saww Adalah Penentu Para Imam Mazhab Syi’ah


Seorang peneliti tidak akan dapat meragukan pelajaran sejarah Nabi saww dan pengetahuan sejarah Islam, bahwa Nabi saww telah menentukan para Imam yang ke dua belas (12 Imam as. ) dan beliau telah menetapkan mereka sebagai khalifah-khalifah setelahnya dan menjadi penerima wasiat di tengah umatnya. Telah disebutkan jumlah mereka dalam hadis-hadis shahih Ahlussunnah bahwa mereka itu adalah dua belas orang semuanya dari Quraisy, dan hal itu telah diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim serta lainnya. Sebagaimana dalam Sunni telah menyebutkan nama-nama mereka penjelasan Nabi Muhammad saww, bahwa yang pertama adalah ‘Ali bin Abi Thalib dan setelahnya ialah putranya yakni al-Hasan as,kemudian saudaranya al-Husein as, sedang yang terakhir ialah al-Mahdi. Sebagaimana tersebut dalam hadis berikut ini : Shahibu Yanabi’ al-Mawaddah telah meriwayatkan dalam kitabnya, dia berkata, “Seorang Yahudi disebut al-A’tal datang kepada Nabi Muhammad saww, dan ia berkata, “Hai Muhammad, saya menayakan kepadamu perkara-perkara yang telah terdetak dalam dadaku semenjak beberapa waktu, jika engkau dapat menjawabnya niscaya saya akan menyatakan masuk Islam di tanganmu.’Beliau menjawab, ‘Tanyalah! hai Aba Ammarah, maka ia menanyakan beberapa perkara yang sijawab oleh Nabi saww dan ia membenarkan, kemudian ia menanyakan, ‘Beritahukanlah padaku tentang penerimaan wasiatmu, siapakah ia itu? karena tidak seorang Nabi pun kecuali ia mempunyai seorang penerima wasiat, dan sesungguhnya Nabi kami Musa bin Imran telah berwasiat kepada Yusa’ bin Nun.’ Maka beliau bersabda, ‘Sesungguhnya penerima wasiatku adalah ‘Ali bin Abi Thalib dan setelahnya adalah kedua cucuku al-Hasan dan al-Husein kemudian beliau menyebutkan sembilan Imam dari tulang sulbi al-Husein. ‘Lalu ia berkata, ‘Ya Muhammad, sebutkanlah nama-nama mereka kepadaku!’ Beliau bersabda, “Bila al-Husein telah berlalu maka diganti oleh anaknya “Ali, bila ‘Ali telah berlalu maka diganti anaknya Muhammad, bila Muhammad berlalu maka diganti anaknya Ja’far, Musa, ‘Ali, Muhammad, ‘Ali, Hasan, al Hujjah Muhammad al-Mahdi as, maka itu semuanya adalah dua belas orang Imam.’ Kemudian orang Yahudi itu pun masuk Islam dan ia memuji Aallah SWT karena petunjuk-Nya.”(1)

Seandainya kita mau membuka lembaran kitab-kitab Syi’ah dan apa yang terkandung di dalamnya, dari hal kebenaran khusususnya tentang masalah ini niscaya kita akan mendapatkan lebih banyak dari itu. Tapi cukuplah bagi kita sebagai bukti bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah mengakui jumlah para Imam yang ke-12 itu, dan tidak terwujud para Imam itu selain ‘Ali dan anak-anaknya yang telah disucikan. Dan yang dapat menambahkan kayakinan bagi kita ialah, bahwa Imam yang ke-12 dari Ahlulbait itu tidak pernah belajar pada satu orang pun dari para ulama umat ini, tidak ada yang meriwayatkan pada kita baik para ahli tarikh maupun ahli hadis dan sejarawan, bahwa salah seorang Imam dari Ahlulbait itu mendapatkan ilmunya dari sebagian sahabat atau tabi’in sebagaimana halnya para ulama umat dan para imam mereka. Sebagaimana Abu Hanifah belajar kepada Imam Ja’far ash -Shadiq dan Malik belajar kepada Abu Hanifah sedang Syafi’i mendapat ilmu dari Malik dan ia mengambil darinya, begitu pula Ahmad bin Hanbal. Adapun para imam Ahlulbait maka ilmu mereka adalah merupakan pemberian dari Allah SWT yang mereka mewarisi dari Bapak yang berasal dari datuk mereka, mereka itulah yang diistimewakan oleh Allah SWT dengan firmannya:“Kemudian kami mewariskan kitab pada orang-orang yang telah kami pilih dari antara hamba-hamba Kami.” (QS.Fathir:32) Imam Ja’far ash-Shadiq pernah menyatakan tentang hakikat tersebut sekali waktu dengan ungkapannya, “Sungguh mengherankan orang-orang itu, mereka mengatakan bahwa mereka mengambil ilmu seluruhnya dari Rasulullah saww dan mengamalkannya serta mendapat petunjuk ! Kemudian mereka mengatakan bahwa kami Ahlulbait tidak mengambil ilmu beliau dan tidak mendapat petunjuk, padahal kami adalah keluarga dan keturunan beliau, di rumah kamilah wahyu itu diturunkan dan dari sisi kami ilmu itu keluar kepada manusia, apakah Anda menganggap mereka berilmu dan mendapat petunjuk sedangkan kami bodoh dan tersesat...

Ya, bagaimana Imam ash-Shadiq tidak mengherankan mereka itu yang mendakwahkan diri telah mengambil ilmu dari Rasulullah saww, padahal mereka memusuhi Ahlulbait beliau dan pintu ilmunya yang melalui dirinya ilmu itu diberikan, bagaimana tidak mengherankan penempatan nama Ahlussunnah, padahal mereka sendiri penentang sunah itu. Dan bila Syi’ah sebagaimana telah disaksikan oleh sejarah, mereka itu mengistimewakan ‘Ali dan membelanya serta mereka berdiri tegak menentang musuhnya, memerangi orang yang memeranginya, dan damai dengan orang yang damai dengannya dan mereka telah mengambil seluruh ilmu darinya. Maka Ahulussunnah wal Jama’ah itu tidaklah mengikuti dan ingin membinasakannya, dan mereka telah meneruskan sikap itu terhadap anak keturunan setelahnya dengan pembunuhan, penjara, dan pengusiran. Mereka telah bertentangan dengannya dalam kebanyakan hukum dengan dasar mengikuti para pendakwah ilmu pengetahuan yang mereka itu saling berselisih sesuai dengan pendapat dan ijtihad mereka dalam perkara hukum Allah, lalu mereka menggantikannya sesuai dengan hawa nafsu dan kepentingan yang mereka tuju. Dan bagaimana kita sekarang tidak heran terhadap orang-orang yang mendakwahkan mengikuti sunah Nabi saww, dan menyatakan sendiri telah meninggalkan sunah Nabi saww karena ia telah menjadi Syi’ah bagi Syi’ah, (2)
bukanlah ini merupakan hal yang mengherankan? Bagaimana kita tidak heran terhadap orang-orang yang mendakwahkan diri sebagai Ahlussunnah wal Jama’ah, sedang mereka merupakan kelompok yang banyak, seperti pengikut Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hambali yang mereka itu saling berselisih sebagian dengan lainnya dala hukum-hukum fiqih dan menganggap bahwa perselisihan itu adalah merupakan suatu rahmat bagi mereka, sehingga dengan demikian agama Allah SWT menjadi lampiasan hawa nafsu dan pendapat serta sasaran selera diri mereka. Memang benarlah, bahwa mereka adalah kelompok terbanyak yang saling berpecah-belah dalam hukum Allah SWT dan Rasul-Nya, tetapi mereka bersatu dan bersepakat dalam mengesakan kekhalifahan Saqifah yang durhaka dan bersepakat dalam meninggalkan dan menjauhkan keluarga Nabi saww, yang Suci. Bagaimana kita tidak heran terhadap mereka itu yang membanggakan diri sebagai Ahlussunnah, padahal mereka telah meninggalkan yang berharga yakni Kitabullah dan keluarga Rasul betapapun mereka sendiri telah meriwayatkan hadis tersebut dan menshahihkannya...? Sesungguhnya mereka itu tidak berpegang baik pada Al-Qur’an maupun pada keluarga Rasul, sebab dengan meninggalkan keluarga Rasul yang suci itu berarti mereka telah meninggalkan Al-Qur’an, karena hadis yang mulia menetapkannya bahwa Al-Qur’an dan keluarga Rasul itu tidak pernah berpisah selama-lamanya, sebagaimana Rasulullah telah menyatakan hal itu dengan sabdanya: “Tuhan Yang Maha Halus lagi Maha Sadar telah memberitahukan padaku bahwa keduanya yakni Aal-Qur’an dan keluarga Rasul tidak akan pernah berpisah sehingga menemui aku di telaga surga.”(3)
Dan bagaimana kita tidak heran kepada kaum yang mendakwahkan diri sebagai Ahlussunnah padahal mereka bersikap menentang terhadap apa yang telah ditetapkan dalam kitab shahih mereka dari hal perbuatan Nabi saww dan perintahnya serta larangannya.(4)
Adapun bila kita meyakini dan membenarkan hadis, “aku tinggalkan pada kalian Kitabullah dan sunahku, selama kalian berpegang pada keduanya niscaya kalian tidak akan sesat selama-lamanya.” Sebagaimana yang telah ditetapkan bagi sebagian Ahlussunnah sekarang ini, maka keheranan itu akan menjadi lebih besar dan kecelakaan itu akan lebih jelas. Karena justru para tokoh mereka dan imam mereka itulah orang-orang yang telah membakar sunah yang telah ditinggalkan Rasulullah saww di kalangan mereka, dan telah mencegah periwayatannya dan penulisannya sebagaimana yang telah kita ketahui dalam pembahasan terdahulu. Umar bin khatab sendiri dengan terang-terangan telah menyatakan ucapan, “Cukup bagi kami Kitabullah,” itu adalah merupakan penolakan yang nyata terhadap Rasulullah saww, sedangkan orang yang menolak Rasulullah berarti menolak Allah SWT sebagaimana hal itu tak bisa disembunyikan lagi. Ucapan Umar bin Khathab tersebut telah diriwayatkan oleh seluruh hadis-hadis shahih Ahlussunnah termasuk di dalamnya Bukhari dan Muslim. Apabila Nabi saww telah bersabda, “Aku telah tinggalkan pada kalian Kitabullah dan sunahku, dan kami tidak membutuhkan sunahmu, dan bila Umar telah berkata dihadapan Nabi saww, “Cukup bagi kami Kitabullah, maka sesungguhnya Abu Bakar telah menguatkan untuk mewujudkan pandangan temannya itu lalu ia menyatakan setelah menjadi Khalifah: Janganlah kalian meriwayatkan suatu hadis dari Rasulullah saww, maka jika seseorang bertanya pada kalian, katakanlah di antara mereka kita dan kalian ada Kitabullah, maka halalkanlah apa yang telah dihalalkannya dan haramkanlah apa yang telah diharamkan. (5). 
Bagaimana kita tidak heran terhadap kaum yang telah meninggalkan sunah Nabi saww mereka dan membelakanginya lalu mereka menggantikan kedudukannya dengan suatu bid’ah yang mereka perbuat yang mana tidak diizinkan oleh Allah SWT, kemudian mereka menamakan diri dan pengikutnya dengan Ahlussunnah wal Jama’ah...? Tetapi keheranan tersebut akan musnah ketika kita katahui bahwa Abu Bakar, Umar, dan Utsman sebenarnya tidak mengenal pemberian nama tersebut selama-lamanya. Inilah Abu Bakar yang telah menyatakan: Jika kalian membebani aku dengan sunah Nabi saww, niscaya aku tidak akan mampu. (6). 
Bagaimana mungkin Abu Bakar tidak mampu menjalankan sunah Nabi saww? Apakah sunah beliau itu suatu perkara yang mustahil dilaksanakan, sehingga Abu bakar tidak mampu? Bagaimana Ahlussunnah bisa mendakwahkan diri berpegang padanya jika tokoh mereka yang pertama dan pembina mazhab mereka itu tidak mampu melaksanakan sunah? Bukankah Allah SWT menyatakan, “Pada diri Rasulullah suatu tauladan yang baik bagi kalian .” (QS. al-Ahzab:21) dan firman-Nya, “Allah tidak membebani seseorang kecuali semampunya.” (QS. at-Thalaq:7) Dan juga firman-Nya, “Dan tidak menjadikan suatu kesulitan bagi kalian dalam agama.” (QS. al-Haj :78) Apaakah Abu Bakar dan temannya Umar menganggap bahwa Rasulullah telah menciptakan suatu agama yang bukan diturunkan oleh Allah SWT, lalu beliau memerintah kaum Muslim ini dengan sesuatu yang tak terangkat dan membebani mereka dengan kesuliatan? Hal itu tidak mungkin, bahkan yang sering beliau katakan yakni, “Gembirakanlah dan jangan jadikan mereka lari, mudahkanlah dan jangan kalian mempersulit, sesungguhnya Allah SWT telah memberi kalian keringanan maka jangan kalian memberatkan diri kalian sendiri.” Tetapi pengakuan Abu Bakar bahwa ia tidak mampu melaksanakan sunah Nabi saww itu adalah menguatkan apa yang menjadi pendapat kami bahwa ia telah melakukan suatu bid’ah yang mampu ia laksanakan sesuai dengan keinginannya dan sejalan dengan politik yang ia kuasai. Dan mungkin Umar bin Khathab berpandangan yang lain, bahwa hukum-hukum Al-Qur’an dan sunah itu tak mampu dilaksanakan, lalu ia sengaja meninggalkan shalat ketika ia junub sedangkan air tidak didapatinya dan ia berfatwa demikian di saat kekhalifahannya, sedang orang khusus dan yang umum telah mengetahui hal itu dan seluruh ahli hadis telah meriwayatkan itu darinya. Hal itu dikarenakan Umar adalah orang yang gemar banyak bersetubuh dan dialah yang disinggung oleh firman Allah SWT, “Allah mengetahui bahwa kalian mengkhianati diri kalian lalu Dia mengampuni kalian.” (Qs. al-Baqarah: 187) Ini lantaran ia tidak mampu menahan diri dari bersetubuh di waktu puasa, dan dikarenakan air sangat sedikit maka Umar berpendapat bahwa yang paling mudah ialah meningalkan shalat dan bersantai-santai sampai ia mendapatkan air yang mencukupi untuk mandi, ketika itu baru ia kembali mengerjakan shalat. Adapun Utsman maka ia benar-benar telah mengabaikan sunah Nabi saww sebagaimana yang telah dikenal, sehingga ‘Aisyah mengeluarkan baju Nabi saww dan berkata, “Sungguh Utsman telah menghancurkan sunah Nabi saww sebelum baju beliau sendiri menjadi rusak.” Sehingga ia dicela oleh para sahabat bahwa ia telah menentang sunah Nabi saww, dan sunah Abu Bakar, Umar dan mereka pun membunuhnya lantaran itu. Mengenai Muawiyah, terserah apa yang Anda katakan, tidak mengapa, sesungguhnya ia telah meninggalkan Al-Qur’an dan sunah adalah dariku dan aku darinya, siapa yang mencaci ‘Ali sungguh telah mencaciku dan siapa yang mencaciku sungguh ia telah mencaci Allah SWT,” Kita dapati Muawiyah telah mengarahkan cacian dan kutukan padanya ia belum merasa cukup dengan itu sehingga ia memerintahkan seluruh wali-walinya dan para pegawainya untuk mencaci dan mengutuknya, siapa yang menolak di antara mereka maka ia disingkirkan dan dibunuh. Dan kita telah mengetahui bahwa Muawiyah itu adalah orang yang telah menamakan dirinya dan pengikutnya sebagai Ahlussunnah wal jama’ah dalam rangka menentang penamaan Syi’ah sebagai pengikut kebenaran. Dan sebagian ahli sejarah meriwayatkan bahwa tahun dimana Muawiyah memegang penuh kekuasaan umat Islam, setelah mengadakan perjanjian dengan al-Hasan bin ‘Ali Thalib bin Abi Thalib, maka tahun itu dinamakan tahun jama’ah. Dan keheranan pun akan hilang ketika kita memahami bahwa kata-kata sunah itu tidak dimaksudkan oleh Muawiyah dan pengikutnya kecuali hanyalah pengutukan ‘Ali bin Abi Thalib dari atas mimbar-mimbar Islam pada setiap hari Jumat dan hari Raya. Apabila Ahlussunnah wal Jama’ah itu merupakan rekayasa Muawiyah bin Abi Sofyan maka kita memohon pada Allah SWT agar mematikan kita di dalam bid’ah rafidhi yang telah dibina oleh ‘Ali bin Abi Thalib dan Ahlulbait (salam atas mereka). Anda tidak usah kaget wahai pembaca yang mulia, bila Ahlul bid’ah dan kesesatan itu menjadi Ahlussunnah wal Jama’ah sedang imam-imam yang suci dari Ahlulbait itu menjadi Ahli bid’ah. Inilah al-Allamah Ibnu Khaldun yang termasuk ulama termasyhur dari Ahlussunnah wal Jama’ah, ia menyatakannya dengan tegas setelah ia memerinci mazhab-mazhab jumhur ia mengatakan, “Ahlulbait itu menjadi terasing karena aliran faham yang mereka adakan dan fiqih yang berlainan dan mereka telah membina mazhab mereka atas dasar pencacian sebagian sahabat.” (7).

Wahai pembaca, bukankah saya telah katakan dari semula, seandainya Anda berbuat sebaliknya niscaya Anda benar/tepat. Maka jika orang-orang fasik dari kalangan Bani Umayah mereka itu adalah Ahlussunnah dan Ahlulbait itu adalah Ahli bid’ah seperti yang dikatakan Ibnu Khaldun, maka buat Islam ucapan selamat jalan dan buat dunia ucapan selamat datang.

Foot note

1. Riwayat al-Qunduzi al-Hanafi dalam kitab Yanabi’ al-Mawaddah, hal. 440, dan Faraid as-Samthain oleh al-Humawaini dengan sanad dari Ibnu Abbas.

2. Sesuai pernyataan Ibnu Taimiyah untuk meninggalkan sunah Nabi saww bila itu telah menjadi syi’ar bagi Syi’ah, lihat Minhaj as-Sunnah oleh Ibnu Taimiyah,II, hal. 143, dan Syarh al-Mawahib oleh Zargani,V, hal.13.

3. Imam Ahmad dalam Musnad-nya, V, hal. 189, dan al-Hakim dalam Mustadark, III, hal. 148 dan ia menyatakan shahih menurut syarat Bukhari Muslim.

4. Diriwayatkan Bukhari dalam Shahih-nya bahwa Nabi saww melarang shalat tarawih dalam bulan Ramadhan secara jama’ah dengan sabdanya, “Shalatlah wahai manusia di rumah-rumah kalian, sesungguhnya seutama-seutama shalat seseorang adalah di rumahnya selain shalat fardu.” Tetapi Ahlussunnah mengabaikan larangan Nabi saww dan mereka mengikuti bid’ah Umar bin Khathab.

5. Tadzkirat al-Huffadz oleh Dzahabi, I, hal. 3.

6. Lihat Musnad Ahmad bin Hanbal, I, hal. 4

7. Muqaddaimah Ibnu Khaldun, hal. 494 dalam fasal Ilmu Fiqih.

Dosa- dosa Besar dan Dosa- Dosa Kecil


Menjauhi Dosa-dosa Besar Sebabkan Dosa-dosa Kecil Diampuni
Jika orang menjauhi dosa-dosa besar, dosa-dosa kecil akan diampuni, Allah Yang Mahakuasa, dengan kelembutan-Nya, memaafkan dosa-dosa kecil. Sebagaimana disebutkan dalam ayat al-Quran berikut, Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga). (QS an-Nisa:31)
Pintu-pintu Surga Dibuka bagi Orang-orang yang Takwa
Nabi saw diriwayatkan telah bersabda, “Aku bersumpah demi Allah, yang dalam kekuasaan-Nya hidupku, tidak satu orang pun yang mendirikan salat lima kali sehari, puasa fardhu di bulan Ramadhan, dan menjauhi dosa-dosa yang pintu-pintu surga tidak akan dibukakan baginya.” Intinya, pintu-pintu surga akan dibukakan bagi orang yang mendirikan salat lima kali sehari, puasa di bulan Ramadhan, dan menjauhi dosa-dosa. Setelah ini Nabi membacakan ayat al-Quran di atas. (Tafsir Minhaj ash-Shadiqin)

Syafaat
Seseorang yang melakukan sebuah dosa besar dan tidak bertaubat atasnya, adalah seorang yang zalim. Salat di belakangnya tidak diperbolehkan (ia tidak boleh memimpin salat jamaah). Kesaksiannya tidak dapat diterima. Setelah kematian, ia mungkin mendapatkan hukuman Tuhan. Dengan kelembutan Allah, orang semacam itu mungkin mendapatkan keselamatan; dan kelembutan Allah yang menjadikan ini mungkin terjadi adalah syafaat Muhammad saw dan Ahlulbaitnya as.
Dalam sebuah hadisnya, Nabi suci saw berkata, “Syafaatku diperuntukkan bagi orang-orang pendosa di kalangan pengikutku.” (Bihar al-Anwar, jilid 3)
Nabi saw juga berkata, “Syafaatku dikhususkan untuk orang-orang pendosa di antara pengikutku. Namun mereka yang menjauh dari dosa-dosa besar, bagi mereka tidak ada hisab (atas amal-amal mereka).” Yakni, mereka akan dimasukkan ke dalam surga seketika.

Syafaat Bukanlah Izin untuk Berbuat Dosa
Hampir tidak ada keraguan mengenai hakikat syafaat. Sebenarnya itu merupakan hak yang diberikan kepada Nabi saw dan para imam maksum as, oleh Allah, untuk menunjukkan keagungan dan kedudukan mereka. Tujuan lain dari syafaat adalah untuk memperjelas penghormatan atas mereka. Orang-orang yang telah melakukan dosa-dosa besar akan dipercayakan kepada mereka. Dengan kelembutan syafaat mereka orang-orang berdosa akan bisa menaiki puncak-puncak ketinggian seperti halnya kelompok manusia lainnya. Semua ini merupakan bukti dari al-Quran suci dan riwayat-riwayat sahih. Ini juga jelas dari hadis-hadis mutawatir. Tidaklah penting menyampaikan hadis-hadis seperti itu untuk pembahasan yang ringkas dalam buku ini.
Satu hal yang mesti ditekankan di sini. Syafaat semestinya tidak dianggap sebagai izin untuk melakukan perbuatan dosa atau menjadikan orang lalai dari taubat.

Bunuh Diri dalam Harapan Keselamatan
Berbuat dosa dan tidak bertaubat dengan mengharapkan syafaat ibarat mengkonsumsi racun atau meletakkan tangan di mulut ular dengan harapan bahwa seorang dokter akan tiba dan menyembuhkanmu. Hal ini berlawanan dengan logika, karena setelah meminum racun tidak bisa dipastikan bantuan medis tersedia. Meski dokter dan paramedis tiba pada waktunya, tetaplah sulit untuk mengatakan bahwa kehidupan akan diselamatkan. Karena sebelum obat itu dapat memberi efek sembuh, racun tersebut mungkin menyebar hingga ke seluruh tubuh, dan kematian bisa terjadi.
Demikian pula halnya, orang yang melakukan perbuatan-perbuatan kasar dengan harapan bahwa ia akan disyafaati setelah kematian; tidak bisa yakin bahwa syafaat akan datang untuk menyelamatkannya dengan segera.

Tiga Jenis Kematian
Imam Muhammad Taqi as telah meriwayatkan dari leluhurnya bahwa Amirul Mukminin Ali ditanya oleh seseorang ihwal kematian. Beliau menjawab as, “Anda telah datang kepada orang yang berilmu.” “Kematian terjadi kepada seseorang dalam salah satu dari tiga cara berikut:ia diberi berita-berita gembira dari karunia-karunia abadi, atau diberi tahu ganjaran yang kekal atau ia tetap dalam kengerian dan ketakutan yang abadi.
“Urusannya tetap tidak dapat diputuskan dan diprediksi, dan tidak diketahui mengenai jenis masa depan yang menantinya. Maka (engkau harus tahu) bahwa pengikut kami, (adalah) yang menaati perintah kami dan tidak berbuat dosa, diberi kabar-kabar gembira dari karunia-karunia abadi. Namun penentang kami akan dimasukkan ke dalam azab Ilahi selamanya. Dan orang yang berbuat zalim pada dirinya dan yang menyakitinya akan ditemukan dalam kondisi tidak menentu. Tidak mengetahui masa depan apa yang akan ditempuh. Orang tersebut adalah pendosa yang kematiannya akan disertai dengan kengerian dan ketakutan. Namun Allah tidak menganggapnya pada level yang sama sebagaimana musuh kami. Sebaliknya, ia akan diangkat dari neraka karena syafaat kami.
“Maka, berbuat baiklah dan patuhi perintah-perintah Allah. Jangan meremehkan murka Allah. Tentu saja, ada orang-orang seperti itu yang tidak akan mampu untuk menerima syafaat kami sampai setelah tiga ratus ribu tahun.” (Bihar al-Anwar, jilid 3, dinukil dari Ma’ani al-Akhbar

DIALOG FILSAFAT
Imam Ja’far Shodiq as. suatu ketika didatangi seorang atheist dan berdialog dngnya.
Atheist : ‘Wahai Ja’far, apakah Tuhanmu bisa memasukkan gajah kedalam sebuah telur, tanpa gajah itu mengecil juga tanpa telur itu membesar ?’
Imam Ja’far as : “Tuhan terlepas dari kuantitas, Tuhan tidak dibatasi ruang dan waktu. Berapa indera yang kau miliki ?”
Atheist : ‘Ya, aku bisa melihat, aku bisa mendengar, aku bisa mencium, merasa dan bicara..’
Imam Ja’far as : “Mana yang paling kecil ?”
Atheist : ‘Mata’.
Imam Ja’far as : “Berdirilah diluar sana, dan lihat sekelilingmu. Katakan kepadaku apa yang kau lihat ?”
Atheist : ‘Ya, aku melihat pasar, aku melihat bangunan, aku melihat binatang ternak, aku melihat orang2 berjualan dsb..’
Imam Ja’far as : “Apakah kau masih berfikir ALLAH tidak mampu memasukkan gajah ke dalam telur tanpa gajah itu mengecil atau telur itu membesar ? ALLAH telah menciptakan mata dengan ukuran lebih kecil dari telur, dan menjadikan segala sesuatu yang dilihat masuk kedalamnya.”

Berbahagialah......


Ketika Aisyah ,meminta wasiat kepada Nabi saww," Ya Rasulullah , aku ingin dekat dengan Allah, bagaimana caranya ? Nabi saww bersabda, "dekatilah orang - orang miskin, nanti kamu akan dekat dengan Allah, dekatilah orang - orang kecil. "Jadi Nabi Muhammad saww sangat senang berada di tengah - tengah orang miskin. Dan Rasulullah saww berkata lagi kepada Aisyah, "kepadaku di perlihatkan semua penghuni syurga, ternyata yang aku saksikan kebanyakan penghuni syurga itu adalah orang - orang miskin, dan penghuni neraka adalah orang - orang kaya.

SEJARAH ADALAH CERMIN



Sedemikian penting sejarah bagi kita, karena ia menyuguhkan hukum keserupaan (qanun at-tamatsul). Bahwa umat manusia kapan dan dimanapun memiliki watak dan tabiat yang sama. “Demikianlah fitrah Allah yang telah ia ciptakan untuk manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan dalam ciptaan Allah," (QS. Ar-Ruum: 30). Maka suatu sebab yang telah mengakibatkan peristiwa histories, akan membuat peristiwa yang sama jika sebab itu ada pada hari ini. Mustahil sebab yang sama kemudi




FILSAFAT CINTA


Dalam perjalanan menuju manifestasi, jiwa melewati empat keadaan, 'Ilm, 'Ishq, Wujud, Shuhud.
'Ilm adalah keadaan awal dari kesadaran, kecerdasan murni. 'Ishq adalah cinta, tahap kecerdasan berikutnya menuju manifestasi; karena itu kecerdasan dan cinta sama unsurnya. Benda-benda seperti batu dan tumbuh-tumbuhan, tak memiliki kecerdasan, sehingga tak memiliki cinta, kecuali suatu persepsi kecil tentang cinta yang ada di dalam kehidupan tumbuh-tumbuhan. Tetapi di antara hewan dan burung-burung, kecerdasan berkembang, sehingga cinta di dalam diri mereka dapat menunjukkan diri. Wujud adalah dunia obyektif, yang diciptakan untuk dicintai, karena cinta tak dapat diwujudkan bila tak ada sesuatu yang dicintai. Shuhud adalah realisasi pengalaman cinta dalam aspek apapun.
Kata cinta, dalam bahasa Inggris 'love', dalam bahasa Sanskrit 'Lobh', berarti keinginan, hasrat.

Cinta adalah hasrat untuk menyadari sesuatu yang dicintai. Karena itu, Shuhud, realisasi cinta,
merupakan satu-satunya tujuan setiap jiwa. Cinta, dalam berbagai aspeknya, dikenal pula dengan sebutan: kehendak, keinginan, hasrat, kebaikan, suka, dan lain-lain.
Di dalam cinta terdapat segala pengetahuan. Cinta manusia dan ketertarikannya kepada sesuatu, pada saatnya akan membuat sesuatu itu mengungkapkan rahasianya, sehingga manusia dapat mengetahui bagaimana cara mengembangkan, mengendalikan, dan memanfaatkannya. Tak seorang pun dapat mengetahui seseorang, sebesar apapun keinginannya untuk tahu, kecuali dengan cinta, karena tanpa cinta, mata ruhani buta; hanya mata luar yang terbuka, dan mata luar hanyalah semacam kaca mata bagi mata ruhani. Bila pandangan tidak tajam, apa manfaat kaca mata? Karena itulah kita mengagumi semua yang kita cintai, dan kita buta terhadap kebaikan orang yang tidak kita cintai. Bukan karena mereka berhak kita abaikan, tetapi tanpa cinta, mata kita tak dapat melihat kebaikan mereka. Seseorang atau sesuatu yang kita cintai mungkin mempunyai keburukan pula, tetapi karena cinta melihat keindahan, kita hanya melihat kebaikan itu. Kecerdasan sendiri dalam langkah selanjutnya menuju manifestasi adalah cinta.

Ketika cahaya cinta telah dinyalakan, hati menjadi transparan, hingga kecerdasan jiwa dapat melihat melaluinya. Namun sebelum hati dinyalakan dengan api cinta, kecerdasan, yang senantiasa berupaya untuk mengalami hidup di permukaan, meraba-raba dalam kegelapan. Seluruh alam semesta diciptakan untuk cinta. Manusia adalah yang paling mampu melakukannya. Bila kita memiliki batu di dalam rumah dan kita sangat menyukainya, batu itu tidak akan menyadari cinta kita sejauh yang disadari oleh tumbuh-tumbuhan. Bila kita memiliki sebuah tanaman dan kita memeliharanya dengan rasa sayang, ia akan bereaksi dan akan tumbuh. Hewan dapat merasakan kasih sayang. Bila kita memelihara hewan di rumah, mereka akan lebih banyak merasakan cinta dan perhatian! Hewan piaraan pada waktunya akan menjadi pengasih seperti anggota keluarga. Anjing Nabi Yusuf telah memberi makan kepada tuannya ketika beliau berada di dalam sumur sampai beliau ditemukan oleh orang yang berjalan melalui tempat itu. Dikisahkan, kuda seorang Arab yang tewas di medan perang tetap menungguinya selama tiga hari, menjaga mayatnya dari burung pemakan bangkai, sampai ia ditemukan kawannya. Tetapi manusia, yang memiliki kecerdasan terbanyak, memiliki cinta terbanyak secara alamiah. Semua ini menunjukkan bahwa ciptaan telah berevolusi dari mineral ke tumbuh-tumbuhan, dari tumbuh-tumbuhan menjadi kehidupan hewan, dan dari hewan ke manusia, berupa perkembangan cinta secara bertahap.

Para Sufi berkata bahwa alasan penciptaan adalah karena Yang Mahasempurna ingin mengetahui diri-Nya, dan melakukannya dengan membangkitkan cinta dari sifat-Nya dan membuatnya menjadi obyek cinta, yang merupakan keindahan. Dengan makna ini, para darwis saling menghormati satu sama lain dengan berkata, "Ishq Allah, Ma'bud Allah" -- 'Allah adalah cinta dan Allah adalah [kekasih] yang dicintai.'

Seorang penyair Hindustan berkata, "Hasrat untuk melihat kekasih membawaku ke dunia, dan hasrat yang sama untuk melihat kekasih membawaku ke surga."

Karena cinta merupakan sumber ciptaan dan pemelihara nyata dari semua keberadaan, maka, bila manusia tahu bagaimana cara memberikannya kepada dunia di sekelilingnya sebagai simpati, sebagai kebaikan, pelayanan, ia memberi kepada semuanya makanan kepada setiap jiwa yang lapar. Jika orang mengetahui rahasia hidup ini ia akan menguasai dunia dengan pasti.

Cinta selalu dapat dikenal di dalam gagasan, ucapan, dan perbuatan orang yang mencintai, karena setiap ekspresinya terdapat kehangatan yang muncul sebagai keindahan, kelembutan, dan kehalusan. Hati yang terbakar oleh api cinta cenderung untuk melelehkan setiap hati yang dijumpainya.

Cinta menghasilkan pesona pada pecinta sehingga sementara ia mencintai seseorang, semua mencintai pecinta itu. Magnetisme cinta dijelaskan oleh seorang penyair Hindustan: "Mengapa tidak semua hati dilelehkan menjadi tetesan-tetesan oleh api yang dipelihara hatiku sepanjang hidupku? Karena sepanjang hidup aku meneteskan air mata derita karena cinta, pecinta berkunjung ke kuburku penuh dengan air mata." Untuk mengajarkan cinta, Nabi Isa berkata, "Aku akan membuatmu menjadi pemancing manusia." Jalaluddin Rumi berkata: "Setiap orang tertarik kepadaku, untuk menjadi sahabatku, tapi tak seorang pun tahu apa di dalam hatiku yang menariknya."

Cinta itu alami dalam setiap jiwa. Semua pekerjaan dalam hidup, penting atau tak penting, dalam
suatu cara cenderung ke arah cinta; karena itu tak seorang pun di dunia yang dapat disebut sepenuhnya tanpa cinta. Cinta adalah sesuatu yang dibawa setiap jiwa ke dunia, tetapi setelah tiba di dunia, orang berperan dalam semua kualitas tanpa cinta. Andai tidak, kita pasti sudah pahit, cemburu, marah, dan penuh kebencian ketika kita lahir. Bayi tak punya kebencian. Anak kecil yang kita sakiti, dalam beberapa menit akan datang dan memeluk kita.

Mencintai, memuja seseorang yang berhubungan dengan kita baik dalam hal kelahiran, ras, kepercayaan atau hubungan duniawi lain, datang dari cinta jiwa. Kadang-kadang jatuh cinta pada pandangan pertama, kadang-kadang kehadiran seseorang menarik kita seperti magnet, kadangkadang kita melihat seseorang dan merasa, "Mungkin aku telah mengenalnya." Kadang-kadang kita berbicara dengan orang lain dan merasakan mudah memahami seolah-olah kedua jiwa saling mengenal. Semua ini berkaitan dengan 'pasangan jiwa'.

Hati yang tercerahkan dan cinta lebih berharga daripada semua permata di dunia. Ada berbagai
macam hati sebagaimana adanya berbagai macam unsur di dunia. Pertama, hati dari metal perlu
lebih banyak waktu dan lebih banyak api cinta untuk memanaskannya, setelah panas ia akan meleleh dan dapat dibentuk menurut kehendak ketika itu, namun kemudian menjadi dingin kembali. Kedua, hati yang terbuat dari lilin, yang segera meleleh ketika bersentuhan dengan api,
dan bila mempunyai sumbu ideal, ia akan mempertahankan api itu hingga lilin habis terbakar. Ketiga, hati dari kertas yang dapat menyala dengan cepat ketika bersentuhan dengan api dan berubah menjadi abu dalam sekejap.

Cinta itu seperti api. Nyalanya adalah pengorbanan, apinya adalah kearifan, asapnya adalah keterikatan, dan abunya adalah keterlepasan. Api muncul dari nyala, demikian pula kearifan yang muncul dari pengorbanan. Bila api cinta menghasilkan nyala, ia menerangi jalan, dan semua
kegelapan lenyap. Bila daya-hidup bekerja di dalam jiwa, itu adalah cinta; bila bekerja di dalam hati, itu adalah emosi, dan bila bekerja di dalam tubuh, itu adalah nafsu. Karena itu orang yang paling mencinta adalah yang paling emosional, dan yang paling emosional adalah yang paling bernafsu, sesuai dengan dataran yang paling disadarinya. Bila ia bangkit di dalam jiwa, ia mencintai; bila bangkit di dalam hati, ia emosional; bila sadar akan tubuh, ia bernafsu. Ketiganya dapat digambarkan dengan api, nyala api, dan asap. Cinta adalah api di dalam jiwa, ia adalah nyala api bila hati dinyalakan, dan ia adalah asap bila ia menjelma melalui tubuh.

Cinta pertama adalah bagi diri sendiri. Bila dicerahkan, orang melihat manfaatnya yang sejati dan ia menjadi orang suci. Tanpa cahaya pencerahan, manusia menjadi egois hingga ia menjadi setan. Cinta kedua diperuntukkan bagi lawan jenis kelamin. Bila demi cinta, ia bersifat surgawi; dan bila demi nafsu, ia bersifat duniawi. Bila cukup murni, cinta ini tentu dapat menghilangkan gagasan tentang diri sendiri, tetapi manfaatnya tipis dan bahayanya besar. Cinta ketiga diperuntukkan bagi anak-anak, dan ini merupakan pelayanan pertama bagi makhluk Allah. Memberikan cinta kepada anak-anak, adalah memanfaatkan dengan sebaik-baiknya apa yang dipercayakan oleh Pencipta, tetapi bila cinta ini meluas hingga mencakup seluruh ciptaan Allah, hal ini mengangkat manusia menjadi orang-orang pilihan Allah.

Cinta orang tua kepada anak-anaknya jauh lebih besar daripada cinta akan-anak itu kepada orang tuanya, karena semua pemikiran penggunaan tua terpusat pada anak, tetapi cinta anak mula-mula terpusat pada diri sendiri. Muhammad s.a.w. ditanya seseorang, "Cinta siapa yang lebih besar, cinta anak-anak kepada orang tua mereka, atau cinta orang tua kepada anak-anaknya?" Beliau menjawab, "Cinta orang tua lebih besar, karena sementara melakukan semua hal, mereka berpikir bagaimana agar anaknya tumbuh dan bahagia, seolah-olah ia mengharap untuk hidup di dalam kehidupan anak-anaknya setelah ia mati; sementara anak-anak yang saleh berpikir bahwa suatu hari orang tuanya akan mati, dan dengan demikian mereka hanya sebentar dapat melayani orang tua mereka." Orang itu bertanya, "Cinta ayah atau ibu-kah yang lebih besar?" Nabi menjawab, "Ibu. Ia berhak memperoleh penghormatan dan pelayanan, karena surga terletak di bawah kakinya." Cinta orang tua adalah cinta yang paling diberkahi, karena cinta mereka sebening kristal.

Alkisah, Shirvan Bhagat adalah anak yang sangat berbakti kepada orang tuanya yang sangat tua,
hingga tak berdaya dan sepenuhnya bergantung kepada pelayanan anak lelaki satu-satunya. Shirvan begitu berbakti kepada mereka hingga ia mengorbankan kebebasan dan kesenangan hidup agar dapat melayani mereka. Dengan lembut ia memenuhi setiap panggilan mereka, dan dengan sabar menghadapi semua kesulitan yang berkaitan dengan ketuaan mereka. Suatu hari, orang tua itu berkata bahwa mereka sangat ingin berziarah ke Kashi. Anak yang saleh itu seketika menyetujui kehendak mereka, dan karena pada saat itu belum ada kendaraan, mereka pergi berjalan kaki. Ia membuat keranjang, memasukkan orang tuanya ke dalamnya, mengangkutnya dengan punggungnya, dan menempuh perjalanan ribuan mil melalui hutan, pegunungan, dan sungai-sungai. Ia menempuh perjalanan itu berbulan-bulan, tetapi sebelum sampai, nasib malang menimpa. Atas perintah orang tuanya, Shirvan meletakkan keranjangnya di tanah dan pergi untuk mengambil air. Ketika berada di dekat sungai, ia terkena panah Raja Destaratha, yang sebenarnya diarahkan kepada seekor kijang. Mendengar teriakan manusia, Raja itu datang kepadanya, dan menangis sejadi-jadinya. Ia berkata, "Adakah sesuatu yang dapat kulakukan untukmu?" Shirvan berkata, "Aku sedang sekarat. Aku hanya punya satu keinginan, yaitu memberi air kepada orang tuaku; mereka haus karena terik matahari." "Hanya itu? Aku akan melakukannya dengan senang hati sebagai tugas pertamaku." Shirvan berkata, "Bila tuan ingin melakukan yang lain, maka rawatlah mereka dan pastikan bahwa mereka dibawa ke Kashi, meskipun aku ragu apakah mereka akan hidup lebih lama setelah aku pergi." Raja itu pergi, membawa air di tangannya dan memberikannya kepada orang tua itu tanpa mengucapkan sepatah kata, khawatir mereka tidak akan mau minum bila mendengar suara orang asing. Orang tua itu berkata, "Hai anakku, sepanjang hidup, kami tak pernah melihatmu sedih. Ini adalah pertama kali engkau memberi kami air tanpa mengucapkan kata cinta yang selalu memberi kami hidup baru." Raja Destaratha menangis, dan menceritakan kematian Shirvan. Mendengar itu, mereka tak dapat lagi hidup untuk menikmati air itu. Mereka hanya hidup karena anak mereka, mereka menarik napas dalam, berkata "Oh, anakku Shirvan", dan meninggal.

Kisah di atas menjadi tradisi di India, dan ada pengikut dari tradisi itu yang membawa keranjang di pundaknya ke mana-mana, mengajarkan kebaktian dan pelayanan kepada orang tua. Bila cinta dipusatkan pada satu obyek, ia adalah cinta. Bila diarahkan ke beberapa obyek, ia disebut kasih. Bila seperti kabut, ia disebut nafsu. Bila cenderung kepada moral, ia adalah kebaktian. Bila diperuntukkan bagi Allah, Yang Mahaberada dan Mahaperkasa, yang merupakan Keberadaan Total, ia disebut cinta ilahi, pecinta itu disebut suci.

Tiada daya yang lebih besar daripada cinta. Semua kekuatan muncul ketika cinta bangkit di dalam hati. Orang berkata, "Ia berhati lembut, ia lemah," tetapi banyak orang yang tidak tahu kekuatan apa yang muncul dari hati yang menjadi lembut dalam cinta. Seorang serdadu bertempur di medan perang demi cinta kepada rakyatnya. Setiap pekerjaan yang dilakukan dalam cinta, dilakukan dengan seluruh daya dan kekuatan. Khawatir dan alasan, yang membatasi daya, tak mampu melawan cinta. Seekor induk ayam, meskipun sangat takut, dapat melawan seekor singa untuk melindungi anak-anaknya. Tiada sesuatu yang terlalu kuat bagi hati yang mencintai. Daya cinta menyelesaikan semua urusan dalam hidup sebagaimana daya dinamit yang mengalahkan dunia. Dinamit membakar segala sesuatu, demikian pula cinta: bila terlalu kuat ia menjadi roda pemusnah, dan segalanya menjadi salah dalam hidup pecinta. Itulah misteri yang menjadi penyebab penderitaan hidup seorang pecinta. Namun, pecinta itu mengambil manfaat dalam kedua kasus. Bila ia menguasai keadaan, ia seorang penguasa (master). Bila ia kehilangan semuanya, ia orang suci.

Cinta mengatasi [berada di atas] hukum, dan hukum berada di bawah cinta. Keduanya tak dapat
dibandingkan. Yang satu dari langit, yang satu dari bumi. Bila cinta mati, hukum mulai hidup. Maka, hukum tak pernah menemukan tempat bagi cinta, demikian pula cinta tak dapat membatasi diri dengan hukum; hukum itu terbatas, dan cinta itu tak berbatas. Seseorang tak dapat memberi alasan mengapa ia mencintai orang tertentu, karena tiada alasan bagi segalanya kecuali cinta. Waktu dan ruang berada di dalam genggaman cinta. Perjalanan ribuan kilometer terasa hanya beberapa meter dalam kehadiran orang yang dicintai, dan beberapa meter terasa ribuan kilometer tanpa kehadirannya. Satu hari berpisah dalam cinta sama dengan seribu tahun, dan seribu tahun bersama kekasih terasa hanya sehari.

Bila ada pengaruh yang melindungi di dunia ini, itu tak lain dari cinta. Dalam segala aspek kehidupan, ke mana pun kita mencari perlindungan, motifnya selalu cinta. Tak seorang pun dapat mempercayai suatu perlindungan, betapa pun besarnya, kecuali perlindungan yang diberikan oleh cinta. Kalau seorang raksasa menakuti seorang anak kecil, anak itu akan berkata, "Aku akan katakan kepada ibuku." Daya kekuatan manusia terlalu kecil bila dibandingkan dengan perlindungan cinta yang diberikan ibu kepada anaknya. Cinta dapat menyembuhkan lebih dari apa pun di dunia. Tak ada sesuatu seperti sentuhan seorang ibu ketika anaknya menderita sakit. Tak ada penyembuh yang lebih baik daripada kehadiran orang yang dikasihi bila seorang pecinta sakit. Bahkan anjing dan kucing pun disembuhkan dengan sedikit sentuhan cinta.

Untuk membaca pikiran, untuk mengirimkan dan menerima pesan telepati, orang mencoba proses-proses fisik dengan sia-sia. Andai mereka tahu bahwa rahasia semua itu berada di dalam cinta! Seorang pecinta mengetahui semuanya: kesenangan, kesedihan, pikiran dan imajinasi orang yang dicintainya. Tiada ruang atau waktu yang menghalanginya, karena arus telepati secara alami terjadi antara pecinta dan kekasihnya. Imajinasi, pikiran, mimpi dan visi seorang pecinta, semuanya mengungkapkan segala sesuatu tentang obyek yang dicintainya.

Meditasi, yang merupakan rahasia setiap pencapaian dalam hidup, dan faktor terpenting dalam semua aspek hidup, terutama dalam jalur agama dan mistisisme, merupakan bal yang alami dalam cinta. Orang tanpa cinta akan menghabiskan waktu bertahun-tahun dalam jalur ini, dan akan selalu gagal untuk memusatkan pikiran mereka pada satu obyek. Tetapi cinta memaksa pecinta, menahan visi tentang kekasihnya di depan pandangannya. Maka pecinta tak perlu berkonsentrasi dalam pikirannya. Cintanya sendiri adalah konsentrasi yang memberinya penguasaan atas semua hal di dunia. Pecinta itu mencapai cintanya dan daya konsentrasi sekaligus. Bila ia tak mencapai obyeknya, maka ia terangkat ke atasnya. Dalam kedua kasus, pecinta itu.

PENJELASAN CINTA.


Seseorang bertanya kepada Hazrat Syaikh Abul Hasan as Syadzili, dengan pertanyaan sebagai berikut :
1. Apakah yang disebut minuman Cinta?
2. Apa gelas piala Cinta?
3. Siapa sang peminum?
4. Apakah rasa minumannya?
5. Siapakan para peminum sejati?
6. Apakah rasa segar minuman?
7. Apakah yang disebut mabuk Cinta?
8. Apa pula sadar dari mabuk itu?
Hazrat Syaikh Abul Hasan as Syadzili menjawab :
Minuman Cinta adalah Cahaya yang cemerlang berkalian dari Kemahaindahan Sang Kekasih.
Gelas pialanya adalah kelembutan yang menghubungkan ke bibir-bibir hati.Sang peminum adalah pihak yang mendapat limpahan agung kepada orang-orang istemewa seperti para Auliya dan hamba-hambaNya yang saleh. Allah Yang Maha Tahu kadar kepastian dan kebajikan bagi kekasih-kekasihNya.
Sang Peminum adalah pecinta yang dibukakan keindahan cinta itu dan menyerap minuman nafas demi nafas jiwa.
Rasa minuman adalah rasa dibalik orang yang terdendam rindunya ketika hijab diturunkan.
Sang peminum sejati adalah pecinta yang meneguk arak cinta itu, sejam dua jam.
Rasa segar peminuman cinta adalah bagi orang yang dilimpahi arak cinta dan terus menerus meminumnya hingga kerongkongan penuh sampai ke urat nadinya. Cahaya Allah ada dibalik minuman yang melimpah itu.
Mabuk Cinta adalah ketika seseorang hanyut dalam rasa dan hilang akal, tidak mengerti apa yang dikatakan dan diucapkan padanya.
Sadar dari mabuk cinta, adalah situasi sadar ketika gelas piala minuman cinta dikelilingkan, di hadapan mereka berbagai kondisi ruhani silih berganti, lalu kembali pada dzikir dan ketaatan, tidak terhijabi oleh sifat-sifat dengan berbagai ragam kadar yang ada, itulah yang disebut sebagai waktu sadar cinta, ketika pandangannya meluas melintas batas dan pengetahuannya semakin bertambah.
Mereka berada di bintang-bintang pengetahuan, berada di rembulan Tauhid, untuk menjadi petunjuk ketika malam menjadi gulita. Mereka dengan matahari ma'rifat, mencerahi padang harinya. Mereka itulah yang disebut Hizbullah (Pasukan-pasukan Allah) dan ingatlah bahwa Hizbullah itulah yang menang."
(Al-Mujadilah: 22)

Lima belas siksa bagi yang meremehkan sholat
Sayyidah Fatimah az-Zahro (as) bertanya pada (ayahnya) Rasulullah saww, "Wahai ayahku, apakah siksa bagi orang yang meremehkan sholatnya? baik ia seorang lelaki maupun perempuan? "Beliau saww menjawab; " Wahai Fatimah, barang siapa yang meramehkan sholatnya lelaki maupun perempuan, maka Allah akan memberikan petaka sebanyak 15 siksa, enam di antaranya di dunia, tiga saat kematiannya, tiga di dalam kuburnya, dan tiga pada hari kiamat di saat dia bangkit dari kuburnya."
Yang menimpanya di dunia yaitu;
   1. Allah akan mencabut berkah umurnya
   2. Allah akan mencabut berkah rezeqinya
   3. Allah akan mencabut ciri orang sholeh dari mukanya
   4. Semua amal yang di lakukannya tidak di beri pahala
   5. Doanya tidak terangkat ke langit
   6. Tidak mendapat bagian di dalam doa -doa orang sholeh
Adapun yang akan menimpanya menjelang kematiannya adalah;
   7. Matinya dalam keadaan terhina
   8. Matinya dalam keadaan lapar
   9. Matinya kehausan.Yang sekiranya ia di beri minuman sebanyak isi air sungai,
       hausnya takkan hilang.        
Sedang yang akan menimpanya di dalam kuburnya;
   10. Allah akan menyerahkan pada malaikat yang menakutkan di dalam kuburnya
   11. Kuburnya menjepitnya
   12. Kuburnya gelap gulita
Adapaun yang akan menimpanya pada hari kiamat, jika ia bangkit dari kuburnya;
    13. Allah menyuruh malaikat menyeretnya ( seperti binatang ternak) sedang para makhluk        
           melihatnya          
    14. Di hisab ( di adili ) secara ketat
    15. Allah tidak akan menoleh kepadanya dan tidak akan mensucikannya
           serta baginya azab yang sangat pedih.






































0 comments to "Agama adalah "Mitos" Kisah-kisah Islam yang perlu "direnungkan" dan bukan "dipaksa" untuk meng "Iyakan" atau men "tindakkan"...Bukankah Anda tahu "Tidak ada paksaan dalam beragama Islam : "La Iqraha Fiddin" ....."

Leave a comment