KABAR kurang menyenangkan terkait kondisi murid di Banua yang tinggal di kawasan pinggiran kembali terkuak. Kali ini, berita itu datang dari Desa Tanipah, Kecamatan Aluhaluh, Kabupaten Banjar.
Nasib murid sekolah dasar di desa yang sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai nelayan dan petani itu boleh dibilang tragis. Mengapa demikian, murid yang usianya sangat belia itu atau kalau dikategorikan tergolong masih bocah itu saaat menuju sekolah harus mengarungi sungai yang berarus cukup deras.
Penyebabnya, karena jembatan yang menghubungkan permukiman mereka dengan lokasi sekolah ambruk akibat diterjang banjir sekitar sebulan lalu.
Justru yang lebih memprihatinkan, banyak murid di sekolah itu yang membolos, gara-gara orangtua mereka tidak memiliki biaya untuk membayar ongkos getek (kelotok penyeberangan) bagi sang buah hati yang besarnya Rp 4.000 pulang pergi.
Itu bisa dimaklumi, karena penghasilan penduduk setempat memang sangat pas-pasan. Kawasan itu sebenarnya, bukanlah daerah pertanian potensial. Sistem pengairan modern dan tradisional sama sekali tidak ada.
Mereka hanya mengandalkan sistem pertanian tadah hujan. Artinya, panen hanya sekali setahun. Itu pun jika musim mendukung alias tidak terjadi kemarau berkepanjangan.
Hasil menangkap ikan juga tidak bisa diandalkan, sebab warga setempat hanyalah nelayan tradisonal yang sangat tergantung dengan cuaca di laut.
Mencermati fakta itu, memang tidak berlebihan jika dikatakan nasib murid di desa memprihantikan. Apalagi desa itu sebenarnya letaknya tidak terlalu jauh. Dari Banjarmasin, Ibukota Kalimantan Selatan cuma perlu waktu sekitar 1,5 jam menggunakan kelotok. Jika menggunakan speedboat tentu waktu yang diperlukan jauh lebih singkat.
Dari Martapura, Ibukota Kabupaten Banjar, desa yang terletak di pinggiran Sungai Barito ini juga tidak terlalu jauh. Bisa ditempuh lewat jalur darat sekitar dua jam perjalanan. Hanya, jalannya memang tidak mulus.
Apa yang terjadi di Desa Tanipah itu hanyalah salah satu contoh dari sekian banyak masalah pendidikan yang belum diselesaikan di Banua ini.
Lalu, siapa yang bertangggung jawab terhadap itu. Jawaban pertama tentu pemerintah. Karena pemerintah yang memiliki anggaran untuk persoalan seperti. Di sisi lain, pemerintah pula yang diamanatkan oleh undang undang memperhatinkan pendidikan warga negaranya.
Lagipula bukankah pemerintah selalu mendengung-dengungkan pendidikan menjadi prioritas perhatian mereka. Prioritas itu, bukan berarti hanya menaikkan gaji guru dan membangunkan gedung yang bagus. Namun sarana menuju sekolah itu juga harus menjadi perhatian utama .
Warga yang mampu pun bukan berarti lepas tangan terkait masalah seperti ini. Jika memang ada kepedulian terhadap mereka mereka berikanlah bantuan. Sebab bagaimana pun, mereka adalah tunas bangsa yang juga memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang layak.
Paling penting, persoalan seperti ini harus diselesaikan secepat mungkin. Murid tidak memerlukan rapat yang terlalu sering membahas sarana mereka atau tinjauan ke lapangan, namun tindaklanjutnya lamban. Yang mereka perlukan adalah dibangunnya sarana yang mempermudah mereka menuju sekolah.
Mungkin slogan Pak Jusuf Kalla (JK) ‘Lebih Cepat Lebih Baik’ harus segera diterapkan mengatasi problem tersebut. Jika tidak, nasib tragis murid pinggiran, sulit untuk berakhir. (*)
Izin tag ya.....
mudahanai pamarintah kita capat tanggap lawan kaadaan masalah prasarana gasan kakanakan kita sakulah.