Sayidah Zainab as, Perempuan Paling Sabar dari Nabi Ayyub
Kendati Nabi Ayyub as terkenal sebagai orang yang sabar dan beragam musibah berat telah menimpanya, namun kesusahan dan kesedihan ini akhirnya berakhir dan kehidupannya lebih banyak dilalui dengan kesenangan.
Lebih sabar lagi dari Nabi Ayyub as adalah seorang yang kehidupannya dari kecil sampai tua dipenuhi dengan kesedihan. Ia adalah Zainab Kubra binti Ali bin Abi Thalib as, induk segala musibah. Di masa kecil ia menyaksikan segala kezaliman yang dilakukan terhadap ayah dan ibunya. Pasca itu ia sebagai perawat kepala ayahnya yang terbela, ia mencuci hati kakaknya Imam Hasan Mujtaba as yang hancur berkeping-keping dengan air mata. Ia menanggung segala musibah berat dalam tragedi yang sangat menyedihkan, yaitu peristiwa Karbala dan pada saat yang sama semua itu baginya tidak lain hanyalah keindahan.
Siapakah Zainab as?
Ia adalah putri Amirul Mukiminin Ali bin Abi Thalib as dan Fathimah az-Zahra as. Ia bernama Zainab dan dikenal dengan sebutan Aqilah Bani Hasyim dan Shiddiqah Shughra. Julukannya adalah Ummu Kultsum Kubra dan Ummu Abdillah. Berdasarkan riwayat masyhur ia dilahirkan di Madinah pada tanggal 5 Jumadil Awal tahun 6 Hq. Ia dinamakan Zainab yang berarti perempuan yang cantik atau hiasan ayah.
Ilmu Sayidah Zainab as
Sayidah Zainab mendapat pendidikan wahyu di pangkuan Ali as dan Fathimah az-Zahra as. Meski ibunya meninggal dunia saat ia masih kanak-kanak, namun di masa yang tidak lama ini ia berhasil menukil hadis dari ibunya. Sanad khotbah Fadak sampai kepadanya dan tidak asing bagi siapapun bahwa penukilan hadis ini, dengan segala kefasihan dan keuniversalannya, menunjukkan kesempurnaan pertumbuhan dan pemahaman serta keilmuannya.
Pidato Sayidah Zainab as selama safari Karbala adalah bukti derajat keilmuan dan kesempurnaannya. Keilmuan yang membangkitkan semua orang sehingga pasca khotbah di Kufah Imam Sajjad as berkata kepada bibinya, "Anti Bihamdillahi Aalimah Ghairu Muallamah Wa Fahimah ghairu Mufahhamah." "Segala puji bagi Allah, Engkau adalah seorang wanita pandai tanpa diajar dan paham tanpa dipahamkan seseorang."
Pengorbanan dan jihad
Ketika Sayidah Zainab as merasa bahwa tanggung jawab besar jihad di jalan Allah berada di pundaknya. Ia meninggalkan segala harta kekayaannya dan siap mendampingi imam zamannya Husein as dengan penuh keberanian dan pengorbanan. Pasca syahadahnya Imam Husein as, ia merasa bertanggung jawab untuk menjaga jiwa Imam Sajjad as. Oleh karena itu, di bawah kondisi yang paling sulit ia bertahan menghadapi para pezalim. Ia mempermalukan dan mengungkapkan kezaliman serta kejahatan mereka.
Induk Segala Musibah
Pasca peristiwa wafatnya Rasulullah dan Syahadahnya Sayidah Fathimah az-Zahra as, kehidupan Sayidah Zainab dilanjutkan di Kufah sampai ketika Ibnu Muljam dengan pedangnya yang dilumuri racun membela kepala ayahnya Imam Ali bin Abi Thalib as. Syahadah ayah dan perpisahan dengannya betul-betul sulit bagi putrinya. Karena setelah wafat kakeknya Rasulullah Saw dan syahadah ibunya, hati Zainab bergantung pada ayahnya dan kasih sayang ayahnya-lah yang bisa menenangkan jiwanya yang berduka, namun kini duka perpisahan dengan ayah menambah segala dukanya selama ini. Ia menyaksikan pengkhianatan masyarakat dan konspirasi musuh yaitu Muawiyah bin Abi Sufyan terhadap kakaknya Imam Hasan Mujtaba as.
Setelah menyaksikan perjanjian damai Imam Hasan as dengan Muawiyah, Sayidah Zainab as kembali ke Madinah bersama kakak-kakak dan keluarganya. Wanita pandai Bani Hasyim ini betul betul menyadari bagaimana masyarakat mengorbankan Imam maksum Hasan al-Mujtaba as demi cita-cita dan kemaun kotor mereka. Ia juga merasakan segala kepedihan yang dirasakan oleh Imam Hasan as dan menjadi saksi kesedihan dan syahadah beliau yang terzalimi. Bahkan penghinaan mereka terhadap jenazah Imam Hasan as. Betapa pedihnya hati Zainab menyaksikan dan menganggung semua ini.
Pembawa Pesan Karbala
Periode kehidupan Sayidah Zainab as yang paling gemilang adalah ketika ia mendampingi cinta dan syahadah di sisi Sayid as-Syuhada Imam Husein as.
Meski sejarah kehidupan beliau dari sejak lahir sampai awal keberangkatan Imam Husein as menuju Karbala bisa didapatkan di dalam sejarah secara terpisah-pisah dan masih banyak yang belum diketahui, namun tahun-tahun terakhir kehidupannya sejak ia mendampingi Imam Husein as di Karbala betul-betul jelas dan abadi dalam sejarah.
Bisa dikatakan bahwa keabadian nama Zainab as dalam sejarah terikat dengan kebangkitan Imam Husein as, sebaliknya keabadian kebangkitan Imam Husein as juga terikat dengan pesan Sayidah Zainab as. Karena salah satu sisi kebangkitan Imam Husein as yang paling jelas dan bisa dikaji bersumber dari pesan Sayidah Zainab. Sayidah Zainab as adalah perawi sejarah Kebangkitan Sayid as-Syuhada.
Aqilah Bani Hasyim bergerak bersama sejarah Karbala. Seluruh kejadian dan peristiwanya terkait dengan Sayidah Zainab Kubra as. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa kalau sejarah Karbala ini menyangkut sebagian besar dari sejarah kehidupan Imam Husein as, ia juga menyangkut sebagian besar dari sejarah kehidupan Sayidah Zainab as.
Oleh karena itu, kehidupan Sayidah Zainab as tidak bisa dikaji tanpa menyertakan peristiwa Karbala. Meski sebagian dari peristiwa tahun 61 Hq terkait dengan aktifitas politik dan sosial Sayidah Zainab, namun banyak sumber yang menyebutkannya.
Tangisan Jibril atas Musibah Zainab as
Diriwayatkan bahwa setelah lahirnya Sayidah Zainab, Husein as yang masih berusia tiga sampai empat tahun mendatangi kakeknya Rasulullah Saw seraya berkata, "Allah telah memberikan seorang saudara perempuan kepadaku!" Mendengar ucapan itu Rasulullah Saw berubah menjadi sedih dan meneteskan air mata. Husein as bertanya, "Mengapa anda sedih dan menangis? Rasulullah Saw menjawab, "Wahai cahaya mataku! Dengan segera rahasianya akan jelas bagimu."
Sampai pada suatu saat ketika malaikat Jibril mendatangi Rasulullah Saw sambil menangis dan Rasulullah menanyakan sebab tangisannya. Malaikat Jibril menjawab, "Putri ini dari mulai lahir sampai akhir hidupnya senantiasa menghadapi musibah dan kesedihan. Terkadang ia terkena musibah perpisahan denganmu. Satu masa ia bersedih karena wafat ibunya. Kemudian bersedih karena syahadah saudaranya Hasan. Dan Musibah yang paling menyedihkan adalah musibah tragedi Karbala sehingga badannya membungkuk dan rambut kepalanya memutih."
Rasulullah Saw menangis tersedu-sedu dan menempelkan wajahnya yang penuh dengan air mata ke wajah Zainab. Sayidah Fathimah az-Zahra menanyakan sebab tangisan Rasulullah Saw. Rasulullah menjelaskan sebagian musibah yang akan menimpa Sayidah Zainab kepada Sayidah Fathimah as.
Sayidah Fathimah as bertanya, "Wahai Ayah! Apa pahala orang yang menangisi musibah yang menimpa putriku Zainab? Rasulullah Saw bersabda, "Pahalanya sama dengan pahala orang yang menangisi musibah yang menimpa Hasan dan Husein as. (Khashaish az-Zainabiyah, hal 155 Nasihk at-Tawarikh az-Zainab as) (IRIB Indonesia / ENH)
15 Rajab, Wafatnya Sayidah Zainab Al-Kubra sa
Wafatnya Sayidah Zainab Al-Kubra sa
Tanggal 15 Rajab tahun 62 Hijriah, Sayidah Zainab sa, cucu Rasulullah Saw, setelah melalui penderitaan hidup yang amat besar, meninggal dunia. Beliau lahir pada tahun 6 Hijriah dan dibesarkan dengan ajaran Ilahi oleh orangtuanya, yaitu Imam Ali as dan Fahimah az-Zahra, putri Rasulullah.
Pada tahun 61 Hijriah, beliau mendampingi kakaknya, Imam Husein as yang dikejar-kejar oleh pasukan Yazid bin Muawiyah. Sampai akhirnya, rombongan Imam Husain yang terdiri dari 72 orang, termasuk anak-anak dan perempuan, tiba di padang Karbala dan bertempur melawan pasukan Yazid yang berjumlah ribuan orang itu.
Setelah Imam Husain gugur syahid, Sayidah Zainab berperan sebagai penyampai pesan perjuangan abadi Imam Husein kepada umat manusia.
Perubahan Kiblat Kaum Muslimin
Tanggal 15 Rajab tahun ke-2 Hijriah, atas perintah Allah, kiblat umat Islam dipindahkan dari Baitul Maqdis ke Ka'bah di Mekah. Sebelumnya, kaum Yahudi selalu mencela kaum muslimin karena kiblat mereka juga berada di Baitul Maqdis. Celaan seperti ini menimbulkan kesedihan di hati kaum muslimin, terutama Rasulullah Saw.
Allah SWT kemudian memerintahkan umat muslim agar memindahkan kiblat shalat mereka ke Ka'bah dengan menurunkan wahyu surat al-Baqarah ayat ke-144.
Muawiyah bin Abi Sufyan Meninggal Dunia
Tanggal 15 Rajab tahun 60 Hijriah, Muawiyah bin Abu Sufyan, pendiri dinasti Bani Umayah meninggal dunia. Ia dilahirkan 15 tahun sebelum Hijriah dan masuk Islam pada saat penaklukan kota Mekah di tahun 8 Hijriah. Pada masa kekhalifahan Umar bin Khatab, ia meraih poisi sebagai Gubernur Syam. Untuk memperluas kekuasaannya, ia melancarkan perang terhadap khalifah ke-4, Imam Ali as. Perang tersebut dinamakan perang Shiffin.
Setelah syahidnya Imam Ali, dengan berbagai taktik licik, ia memporak-porandakan barisan pendukung Imam Hasan, penerus Imam Ali, sehingga Imam Hasan terpaksa mengikat perjanjian damai dengan Muawiyah. Sejak saat itu hingga 19 tahun kemudian, Muawiyah menjadi khalifah umat Islam yang sangat despotik. Pengikut dan keluarga Ahlul Bait Rasuluh dikejar-kejar dan dibunuh.
Sepeninggal Muawiyah, kekuasaan dipegang oleh putranya Yazid yang memerintah kaum muslimin dengan lebih kejam lagi. (IRIB Indonesia)
Sayidah Zainab as, Srikandi Keadilan
Hari ini tepat tanggal 15 Rajab, kita memperingati wafatnya Sayidah Zainab al-Kubra binti Ali bin Abi Thalib as. Beliau adalah wanita agung yang memainkan peran besar dalam perjalanan sejarah Islam saat membela keadilan, kebenaran dan ajaran Allah dengan penuh kesabaran. Ketabahannya menghadapi berbagai musibah dan bencana sangat mengagumkan.
Nama Zainab selalu disebut kala kisah Karbala diungkap. Beliaulah yang memikul misi melanjutkan perjuangan Imam Husein dalam membela kebenaran dan agama Allah. Perjuangan Zainab sarat dengan derita dan musibah. Tak salah jika beliau menjadi simbol ketegaran dalam perjuangan.
Saat terjadinya peristiwa pembantaian keluarga Nabi di padang Karbala dan rangkaian peristiwa yang terjadi setelahnya, Zainab as menunjukkan perilaku yang bersumber dari keimanan dan makrifat yang dalam. Semua yang dilakukannya dalam membela kebenaran adalah demi mengharap ridha Allah Swt dan karena kecintaannya kepada Sang Maha Esa. Demi menjalankan perintah Allah, beliau rela meninggalkan kehidupannya yang nyaman di Madinah untuk pergi mengikuti saudaranya dalam sebuah safari penuh duka.
Zainab menyertai Imam Husein dalam sebuah gerakan kebangkitan besar untuk menghidupkan ajaran Nabi yang sudah disimpangkan dan menegakkan amar makruf dan nahi munkar. Imam Husein juga menyebut kebangkitannya ini dimaksudkan untuk memperbaiki kondisi umat Islam. Sebab, di masa itu dasar-dasar pemikiran Islam terancam diselewengkan oleh penguasa bani Umayah yang berkuasa atas nama agama padahal mereka tidak patuh melaksanakan perintah agama. Bisa dikata, gerakan Imam Husein ibarat percikan api yang menggugah kesadaran umat dan menggelora setelah Zainab al-Kubra dan Imam Sajjad as mengungkap kebobrokan bani Umayah dan menyadarkan umat akan ajaran Nabi yang benar.
Pidato-pidato yang disampaikan Zainab as setelah peristiwa Karbala memiliki kesamaan dalam satu hal, yaitu penekanannya pada logika dan rasionalitas. Dengan itu, beliau menjelaskan kepada masyarakat umum akan tujuan dari kebangkitan Imam Husein as dengan disertai argumentasi yang kokoh. Di Kufah maupun di istana Yazid di Damaskus, putri Ali ini menjelaskan apa yang terjadi di tengah masyarakat Islam saat itu dengan ungkapan yang indah dan tegas. Beliau menggugah akal umat untuk menghakimi sendiri apa yang terjadi. Zainab as meyakini bahwa Imam Husein bukan milik kelompok, daerah atau waktu tertentu. Husein as adalah gerakan sejarah. Untuk itu, beliau dalam banyak kesempatan menerangkan misi kebangkitan saudara dan imamnya itu untuk menggugah umat dan mereka yang tertindas agar bangkit melawan kezaliman.
Sekitar 14 abad sudah berlalu dari tragedi Karbala. Namun sampai saat ini, peristiwa agung itu tetap mengilhami kebangkitan kaum tertindas dan para pejuang kebenaran. Tak syak bahwa kebangkitan Islam yang kita saksikan saat ini di berbagai belahan dunia Islam terinspirasi oleh gerakan Imam Husein as di Karbala.
Keistimewaan lain dari gerakan pencerahan Zainab as adalah ketepatan dalam mengenal waktu dan kesempatan. Beliau mengenal dengan baik seluruh dimensi peristiwa Karbala dan rangkaian peristiwa setelahnya. Di saat banyak tokoh zaman itu yang meski dikenal dengan kedalaman ilmu dan keberanian meragukan misi gerakan Imam Husein sehingga membuat mereka enggan terlibat dan membantu beliau, Zainab justeru membulatkan tekad untuk menyertai saudaranya dalam perjuangan ini. Zainab tahu bahaya dan kesulitan yang ada. Namun semua itu tak membuat tekadnya mengendur untuk tetap mendampingi al-Husein as.
Zainab al-Kubra dikenal dengan kefasihan lisan dan ketinggian makrifatnya. Dengan bekal kefasihan dan makrifat itulah beliau memberikan pencerahan kepada umat. Tema-tema yang dibicarakannya dalam berbagai kesempatan di Kufah dan di Syam adalah soal nilai-nilai agama yang sudah dilupakan atau mulai dicampakkan oleh kaum Muslimin. Beliau mencela umat yang bungkam menyaksikan kejahatan Bani Umayah. Dengan kepiawaiannya dalam berpidato, Zainab mencegah pemutarbalikan fakta yang dilakukan oleh penguasa Syam dan kaki tangannya.
Kisah masuknya rombongan tawanan Karbala yang terdiri dari keluarga suci Nabi yang rata-rata perempuan dan anak kecil dalam kondisi kaki dan tangan terbelenggu ke kota Kufah merupakan pentas kesedihan tersendiri. Beberapa tahun sebelumnya, kota itu adalah markas para pencinta Ahlul Bait. Di sanalah Zainab al-Kubra menangkis konspirasi Ubaidillah bin Ziyad yang berusaha mengesankan keluarga Nabi sebagai kelompok pemberontak yang memecahbelah persatuan umat. Dengan kesabaran yang tiada tara, Zainab menjelaskan kepada umat akan apa sebenarnya yang terjadi dan misi apa yang diperjuangkan oleh Imam Husein as. Kesabaran putri Ali itu adalah bagian dari perjuangan dan aksinya dalam melawan penguasa yang zalim.
Dalam khotbahnya, Zainab menerangkan kedekatan hubungannya dengan Nabi Saw dengan menyebut beliau dengan sebutan ayah. Dengan cara ini, Zainab menggugah kesadaran umat akan siapa sebenarnya tawanan Karbala ini yang tak lain adalah anak cucu Nabi Saw. Beliau lantas menyinggung pengkhianatan warga Kufah. Dengan kata-kata yang indah memukau dan tajam, Zainab menjelaskan kejahatan besar apa yang telah dilakukan warga Kufah terhadap keluarga Nabi. Dalam salah satu penggalan khotbahnya yang menjelaskan pedihnya tragedi Karbala, Zainab berkata, "Hampir saja langit terbuka, bumi terbelah dan gunung berhamburan. Bukan hal yang mengherankan jika langit menurunkan tetesan-tetesan darah karena kepedihan duka ini."
Hal lain yang dilakukan Zainab dalam mengenalkan misi pengorbanan Imam Husein adalah dengan menggelar acara berkabung saat berada di Syam, pusat kekuasaan Bani Umayah. Acara berkabung itu menimbulkan kesan yang sangat dalam sehingga mereka yang menyaksikan atau mendengarnya terbakar kesedihan yang berujung pada gejolak umum untuk menyerang Yazid bin Muawiyah. Untuk menunjukkan kesedihan yang dalam, Zainab memerintahkan untuk memasang kain hitam supaya masyarakat mengetahui bahwa putra-putri Fathimah sedang berkabung.
Bagi pihak musuh, apa yang dilakukan srikandi Karbala ini terkesan kecil dan remeh. Namun tanpa mereka sadari, kesan yang ditimbulkannya sangat besar dan berhasil melahirkan gelombang penentangan terhadap kekuasaan Bani Umayah. Zainab hanya bertahan hidup setahun setelah peristiwa Karbala. Namun dalam masa yang singkat itu, setiap kesempatan selalu beliau manfaatkan untuk menerangkan misi kebangkitan Imam Husein yang berujung pada kesyahidan beliau di Karbala. Sosok Zainab menjadi teladan sepanjang sejarah untuk rasionalitas, ketegaran, keberanian, semangat, ketegasan dan kebesaran jiwa.
Dengan mengucapkan bela sungkawa atas peringatan wafatnya wanita suci cucu tercinta Nabi ini, sangat tepat bila kita menyimak bersama penggalan dari kata-kata Pemimpin Besar Revolusi Islam Ayatollah al-Udzma Sayid Ali Khamenei mengenai Zainab al-Kubra as. Beliau mengatakan, "Zainab adalah sosok wanita Muslimah teladan dalam bentuknya yang sempurna. Artinya, ini adalah teladan yang diperkenalkan Islam kepada semua orang dalam mendidik perempuan. Zainab memiliki kepribadian multi dimensi. Beliau adalah sosok yang pandai, berpengalaman, memiliki makrifat yang tinggi dan manusia yang menonjol. Siapa saja yang berhadapan dengannya akan tertunduk menyaksikan keagungan ilmu dan jiwanya... Zainab mengkombinasikan antara emosi dan afeksi dengan keagungan dan kekokohan hati seorang insan yang mukmin... Keberserahandirinya kepada rahmat Ilahi yang memberinya keagungan telah membuat segala derita dan musibah besar nampak kecil dan kerdil di matanya. Musibah besar seperti yang terjadi di hari Asyura tak mampu melumpuhkan Zainab.." (IRIB Indonesia)
Sekiranya Tiada Zainab....
|
Menurut Kantor Berita ABNA, Sayidah Zainab as adalah putri pasangan suci Imam Ali as dan Sayyidah Fatimah as. Beliau lahir 5 Jumadil Awal 5ahun kelima pasca hijrah di Madinah. Dan meninggal di Syam 14 Rajab tahun 62 Hijriah dalam usia 56 tahun. Beliau diantara tokoh besar yang menjadi pembela imam Husain as di Karbala, yang telah mengorbankan jiwa raganya untuk mempertahankan tegaknya ajaran Islam. Berikut sebuah artikel yang ditulis Ummu 'Aliyan, memberikan kita refleksi dan menapak tilasi perjuangan dan peran besar beliau dalam sejarah Islam. ****************
Apakah Anda hingga saat ini pernah berpikir bahwa jika bukan karena keindahan dan kemuliaan ayah, teladan tanpa cela dan cermin sempurna sang bunda Fatimah, dan penolong kokoh saudara kinasih, yang termanifestasi dalam diri Zainab, apa yang akan terjadi pada sejarah Islam? Perubahan apa yang akan terjadi pada lintasan gerakan Islam? Apa yang akan berlaku sekiranya bukan peran Zainab yang mewartakan kepada seluruh dunia atas apa yang terjadi di Karbala?
Sekiranya tiada Zainab, silsilah imamah yang jatuh di pundak Imam Keempat Syiah dan risalah Ilahi para imam dalam menjelaskan secara benar dan lurus agama Muhammad tidak akan sempurna. Sekiranya tiada Zainab pengorbanan abangnya al-Husain tidak akan tersiar ke seantero jagad. Karena Zainab As sehingga kita memiliki Imam Zaman saat ini. Muhammad Jawad Mughiniyah berkata "Ali As yang mendapatkan ilmu-ilmu Rasulullah Saw secara langsung darinya dan meneruskannya kepada keturunannya dan ilmu ini sampai di tangan kita melalui keluarga dan anak-keturunan Ali As."
Sejarah Islam merekam dengan baik peran elegan dan atraktif Zainab binti Ali bin Abi Thalib dalam mempropagandakan pesan Asyura kepada masyarakat. Hanya Allah yang tahu apa yang akan terjadi pada sejarah Islam sekiranya tiada Zainab. Sebagaimana datuknya, ayah, bunda dan kandanya, Zainab terdidik dengan sifat-sifat unggul kemanusiaan yang membuatnya tampil sebagai srikandi Karbala.
Dalam kamus bahasa disebutkan bahwa derivasi kata zainab adalah z-a-i-n+-a-b yang bermakna hiasan ayah. Dengan ilmu dan amal yang melekat pada diri Zainab, ia telah menjadi sumber kebanggaan bagi sang ayah dan keluarganya yang mulia di kelak kemudian hari. Oleh karena itu, Amirul Mukminin As bangga atas keberadaan Zainab. Sejarawan menulis bahwa malaikat tertinggi, Malaikat Jibril dari sisi Tuhan memilihkan nama ini untuk Zainab. Dalam sabdanya Nabi Saw berkata, Anak-anak Fatimah seperti anak-anakku juga, namun urusan mereka berada di tangan-Nya. Aku akan bersabar sampai Allah Swt memberi nama kepadanya. Pada saat itu juga Malaikat Jibril turun dan menemui Nabi Saw seraya berkata: Allah Swt menyampaikan salam kepadamu dan berfirman bahwa berilah putri itu dengan nama Zainab karena namanya telah tertulis di lauh mahfudz.[1] Sesuai dengan beberapa riwayat yang ada, setelah Zainab lahir, Salman pergi ke masjid dan menyampaikan ucapan selamat atas kabar kelahiran bayi ini kepada maulanya. Namun, seketika itu juga Nabi Saw menangis dan bersabda, Wahai Salman! Jibril memberitakan dari sisi-Nya bahwa bayi ini akan mengalami musibah yang sangat berat dalam peristiwa Karbala. Inilah sebabnya mengapa aku menangis.[2]
Dalam kamus bahasa disebutkan bahwa derivasi kata zainab adalah z-a-i-n+-a-b yang bermakna hiasan ayah. Dengan ilmu dan amal yang melekat pada diri Zainab, ia telah menjadi sumber kebanggaan bagi sang ayah dan keluarganya yang mulia di kelak kemudian hari. Oleh karena itu, Amirul Mukminin As bangga atas keberadaan Zainab. Sejarawan menulis bahwa malaikat tertinggi, Malaikat Jibril dari sisi Tuhan memilihkan nama ini untuk Zainab. Dalam sabdanya Nabi Saw berkata, Anak-anak Fatimah seperti anak-anakku juga, namun urusan mereka berada di tangan-Nya. Aku akan bersabar sampai Allah Swt memberi nama kepadanya. Pada saat itu juga Malaikat Jibril turun dan menemui Nabi Saw seraya berkata: Allah Swt menyampaikan salam kepadamu dan berfirman bahwa berilah putri itu dengan nama Zainab karena namanya telah tertulis di lauh mahfudz.[1] Sesuai dengan beberapa riwayat yang ada, setelah Zainab lahir, Salman pergi ke masjid dan menyampaikan ucapan selamat atas kabar kelahiran bayi ini kepada maulanya. Namun, seketika itu juga Nabi Saw menangis dan bersabda, Wahai Salman! Jibril memberitakan dari sisi-Nya bahwa bayi ini akan mengalami musibah yang sangat berat dalam peristiwa Karbala. Inilah sebabnya mengapa aku menangis.[2]
Keunggulan Pribadi
Zainab adalah wanita yang mempunyai kepribadian menjulang dalam dunia Islam. Ia adalah putri Ali bin Abi Thalib dan Fatimah az-Zahra yang lahir pada 5 Jumadil Awal tahun ke-5 H di kota Madinah. Pada usia 5 tahun, Ibunda tercintanya telah berpulang ke haribaan-Nya. Dan semenjak zaman itulah Zaenab kecil ini telah akrab dengan duka dan susah. Pada zaman khalifah Umar bin Khatab, Zainab telah bersabar atas aneka ragam kesusahan yang harus dideritanya. Wafatnya Rasulullah Saw, syahadah bunda kinasihnya, terkoyaknya hati Hamzah bin Abu Thalib dalam perang Badar, syahadah saudaranya, Hasan bin Ali As, syahidnya putra-putranya dan juga saudara-saudaranya, dipenggalnya kepala saudaranya, Imam Husain As dalam tragedi berdarah Karbala, adalah serentetan musibah yang telah dialami dan dilalui oleh Sayidah Zaenab. Zainab adalah saksi sejarah atas segala tragedi getir nan pilu ini.
Dengan segala musibah yang ia jalani, telah mencetak dirinya sebagai seorang yang sabar dalam menghadapi berbagai musibah. Ia dikenal sebagai Ummu Kultsum Kubra dan Shadiqah Sughra. Muhadatsah, Alimah dan Fatimah merupakan julukan yang ia sandang. Dia adalah seorang wanita yang abid, zuhud, arif, ahli retorika dan afif (menjaga kemuliaan).
Melalui Ilmu Psikologi, kita mengetahui bahwa ada tiga dimensi yang akan berpengaruh dalam membentuk kepribadian seseorang: keturunan, pendidikan dan lingkungan. Zainab mempunyai kepribadian yang utuh karena ia adalah buah dari keluarga nubuwah dan imamah. Kakeknya adalah nabi pamungkas zaman, Imam Ali As adalah ayahnya dan Ibunya adalah penghulu para wanita di segala zaman. Semenjak lahir sampai usia 6 tahun, selalu berada di bawah kasih sayang dan didikan Rasulullah Saw. Ia juga senantiasa di bawah pengawasan langsung dari kedua orang tuanya, ia dibesarkan dan tumbuh dalam pendidikan Islam hakiki. Ia di asuh dan dibesarkan oleh wanita yang paling baik dan paling suci. Zainab alumnus dari almamater yang guru besarnya adalah dua manusia yang suci, perguruan tingginya adalah kampus nubuwah dan imamah. Demikian juga, ia tumbuh besar dalam lingkungan yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai akhlak yang sangat luhur dan mulia. Jalinan yang ada dalam keluarga itu adalah hubungan yang sangat akrab dan sangat menghormati antara anggota keluarga yang satu dengan yang lain. Dengan kemuliaan yang dimilikinya, tidak diragukan lagi akan ketinggian kepribadiannya. Ia mempunyai sifat-sifat yang sangat mulia sehingga julukan aqilah Bani Hasyim juga disandangnya. Zainab menikah dengan keponakannya, Abdullah bin Ja'far dan buah dari pernikahan agung ini adalah putra-putra unggulan yang mana dua dari putra-putranya dipersembahkan dalam tragedi Karbala demi membela maulanya, Imam Husain As yang haknya atas khalifah telah direbut oleh Yazid bin Muawiyah.
Orang lain sangat menaruh rasa hormat kepada Zainab karena kedudukan yang ia miliki, sehingga ketika ia memasuki ke suatu majelis, seluruh hadirin akan berdiri demi menyambut kedatangannya. Perjalanan hidupnya yang paling penting adalah perjalanan sejarahnya menuju ke Karbala yang memiliki peranan yang sangat bermakna dalam revolusi Imam Husain As ini. Di samping musibah yang secara bersama-sama dilaluinya bersama saudaranya, Imam Husain As, ia juga menanggung musibah atas syahid saudaranya, menjadi penanggung jawab bagi tawanan perang keluarga Nabi Saw yang terdiri dari anak-anak dan orang-orang yang sakit. Ia juga berkewajiban untuk merawat Imam Sajad As yang ketika itu sedang sakit. Ya, Zaenab Kubra yang ibunya syahid, anaknya syahid, saudarinya syahid dan juga bibinya syahid. Kepribadian nan luhur yang sangat jarang ditemukan pada setiap seorang.
Sekarang kita akan coba menelaah kembali perannya dalam tragedi Asyura. Peran yang ia jalankan sedemikian penting sehingga sebagian ulama berkata bahwa sekiranya tiada Zainab maka peristiwa Asyura tidak akan dikenang oleh orang setelahnya.
Pembelaan Zainab terhadap Imam Zamannya
Masalah-masalah yang berkenaan dengan wilayah dan peran Zainab Kubra dalam menghidupkan ajaran ini, dapat kita tinjau dari berbagai sisi. Kadang-kadang kita bisa melihat dari pengetahuan dan pengenalannya terhadap kedudukan wilayah dan terkadang kita juga bisa melihat dari usahanya dalam menghidupkan dan mengenalkan kedudukan wilayah kepada masyarakat. Ia yang menjalani masa hidupnya bersama tujuh orang maksum, setiap kali melihat bahwa maslahat umat membutuhkan pengorbanannya, maka ia akan mengorbankan jiwanya sendiri dan juga jiwa anak-anaknya.
Ketika ia menyaksikan Imam Sajad As berada di tengah-tangah luapan api karena kemah-kemah keluaga Nabi Saw dibakar oleh musuh, ia menjatuhkan diri ke dalam api itu. Ketika itu, Syimr bermaksud hendak membunuh Imam Sajad As. Ia telah memasuki ke kemah Imam Sajad As. Tiba-tiba Zainab langsung masuk ke kemah saudaranya, dan berteriak dengan lantang, "Langkahilah dulu mayatku sebelum kau membunuhnya". Kata-kata tegas inilah yang menjadikan Syimr mengurungkan niatnya.[3] Di sini kita tidak bisa mengatakan bahwa perbuatan Zainab semata-mata hanya karena Imam Sajad As adalah keponakannya sendiri, namun hubungan antara imam dan makmum. Ia siap jiwanya menjadi tebusan bagi jiwa Imamnya.
Ketika ia menyaksikan Imam Sajad As berada di tengah-tangah luapan api karena kemah-kemah keluaga Nabi Saw dibakar oleh musuh, ia menjatuhkan diri ke dalam api itu. Ketika itu, Syimr bermaksud hendak membunuh Imam Sajad As. Ia telah memasuki ke kemah Imam Sajad As. Tiba-tiba Zainab langsung masuk ke kemah saudaranya, dan berteriak dengan lantang, "Langkahilah dulu mayatku sebelum kau membunuhnya". Kata-kata tegas inilah yang menjadikan Syimr mengurungkan niatnya.[3] Di sini kita tidak bisa mengatakan bahwa perbuatan Zainab semata-mata hanya karena Imam Sajad As adalah keponakannya sendiri, namun hubungan antara imam dan makmum. Ia siap jiwanya menjadi tebusan bagi jiwa Imamnya.
Walaupun keadaan Zainab sendiri tidak berada dalam kondisi yang baik dan di tengah-tengah penderitaan luar biasa akibat syahidnya orang-orang terdekat yang ia cintai, Zainab juga merawat saudaranya dengan sebaik-baiknya yang ketika itu sedang menderita sakit.
Perkataan dan pujian-pujian Zainab juga memberikan ketenangan yang mendalam bagi Imam Ali bin Husain As. Ketika Imam Sajad As tidak bisa terjun ke medan peperangan dikarenakan penyakit yang dideritanya, maka ia terpaksa hanya melihat perang itu dari balik tenda. Ketika ia menyaksikan bahwa kepala mubarak saudaranya sudah di penggal oleh musuh-musuh Tuhan dan tubuhnya telah dicabik-cabik, seketika itu pula tubuh Imam Sajad As langsung berubah total sehingga seolah-olah ruhnya telah terpisah dari badannya. Dengan menyaksikan keadaan Imam Sajad As, Zainab langsung menghampiri saudaranya dan kepadanya ia menghibur dengan kata-katanya: "Duhai engkau yang merupakan kenang-kenangan kakek, ayah dan saudara-saudaraku! Keadaan apa yang tengah kau alami sehingga engkau bermain-main dengan hayatmu dan menginginkan kematian atas dirimu."
Zainab, Pasca Tragedi Berdarah Asyura
Segera selepas tahapan pertama tragedi Karbala yang berakhir dengan pembantaian oleh pasukan Ibn Ziyad atas Imam Husain As dan para penolong setianya, kini giliran wanita-wanita keluarga Nabi yang akan meneruskan pesan suci Asyura. Mereka kini sedang dikawal oleh pasukan musuh dan diperlakukan sebagai tawanan perang yang sangat hina. Mereka menempatkan tawanan perang ini yang sebenarnya adalah anak-anak dan para wanita keluarga mulia Nubuwah di atas unta-unta yang tidak berpelana dan tidak jua mempunyai atap. Wajah-wajah mereka menjadi tontonan bagi masyarakat yang dilewati oleh iring-iringan itu. Mereka digiring dengan menanggung segala duka dan nestapa, melewati kota demi kota. Menurut beberapa riwayat, jumlah tawanan perang ketika itu adalah 25 orang. Di mana 20 orang dari mereka adalah kaum wanita dan anak-anak. Sedangkan sisanya adalah Imam Sajad As yang ketika itu masih sakit sehingga kelihatan lemah, Imam Baqir As yang kala itu berusia 4 tahun, dan 3 putra-putra Imam Hasan As: Hasan Mutsana, Zaid dan 'Amr yang dengan penuh ketabahan membela paman dan imamnya, hingga menderita cukup banyak luka di tubuhnya. Umur Sayidah Zainab kala itu adalah 55 tahun dan telah 5 bulan meninggalkan tanah kelahirannya. Dengan keadaan demikian, tentunya ia tidak berada dalam kondisi yang seperti biasanya. Terlebih pada hari-hari terakhirnya adalah puncak penderitaan mereka karena tiadanya bekal makanan, adanya blokade air yang dilakukan oleh pihak musuh dan kondisi-kondisi lainnya yang sangat susah. Namun ia mengerjakan tugas sebagai penanggung jawab rombongan tawanan perang itu dengan sebaik-baiknya.
Orasi Zainab di Hadapan Penduduk Kufah
Dengan pengawasan yang sangat ketat, iring-iringan tawanan perang itu bergerak menuju ke kota Kufah pada tanggal 11 Muharam 61 H. Mereka memasuki kota Kufah pada petang hari. Namun kemudian, Ibn Sa'ad melaporkan kejadian ini kepada Ibn Ziyad. Ia pun memerintahkan supaya menahan mereka di luar kota Kufah, sehingga pihak pemerintahannya bisa lebih matang dalam mempersiapkan perayaan kemenangannya. Mereka baru memasuki Kota kufah pada malam hari ke-12 Muharam 61 H.
Di pusat kota Kufah, di antara banyaknya rakyat Kufah, ia tengah menyiapkan serentetan pidatonya. Kemampuan yang dimiliki oratur ulung ini mengingatkan kembali kepada mereka akan kefasihan ayahnya ketika berpidato.
Pidato Zainab, tidak hanya mengundang rakyat Kufah untuk meratapi dan menangisi musibah yang menimpa saudara dan keluarganya saja, namun dalam berbagai kesempatan, ia juga berorasi untuk menjelaskan tujuan revolusi agung itu.
Basyir bin Khuzaim al-Asadi berkata: Aku melihat Zainab binti Ali As saat itu. Tak pernah kusaksikan seorang tawanan yang lebih piawai darinya dalam berbicara. Seakan-akan semua kata-katanya keluar dari lisan Amirul Mukminin Ali As. Kemudian ia memberi isyarat agar semuanya diam. Nafas-nafas bergetar. Suasana menjadi hening seketika. Zainab memulai untaian kata-katanya:
"Segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam atas kakekku Rasulullah Muhammad Saw dan keluarga pilihannya yang suci dan mulia.
Wahai penduduk Kufah! Wahai para pendusta dan orang-orang licik. Untuk apa kalian menangis? Semoga aliran air mata kalian tidak akan pernah berhenti. Aku berharap jeritan kalian tidak akan pernah berakhir. Kalian ibarat wanita yang mengurai benang yang sudah dipintalnya dengan kuat namun kemudian kalian membuyarkannya kembali hingga bercerai-berai. Sumpah dan janji setia yang kalian lontarkan hanyalah sebuah makar dan tipu daya semata.
Ketahuilah, wahai penduduk Kufah! Yang kalian miliki hanyalah omong kosong, cela dan kebencian. Kalian hanya tampak perkasa di depan wanita tapi lemah di hadapan lawan. Kalian lebih mirip dengan rumput yang tumbuh di selokan yang berbau busuk atau perak yang terpendam. Ketahuilah bahwa kalian sendiri telah membuat nasib buruk terhadap hari akherat kelak dan alangkah kejinya perbuatan kalian yang telah membuat murka Allah dan kalian akan tinggal selama-lamanya di neraka.
Untuk apa kini kalian menangis tersengguk-sengguk? Ya, aku bersumpah demi Allah, perbanyaklah kalian menangis dan kurangilah tertawa kalian, sebab kalian telah mencoreng diri kalian sendiri dengan aib dan cela yang tidak dapat dihapuskan selamanya. Bagaimana mungkin kalian akan mampu untuk menghapuskan darah suci putra Nabi sedangkan orang yang kalian bunuh adalah cucu penghulu para nabi, poros risalah, penghulu pemuda surga, tempat bergantungnya orang-orang baik, pengayom mereka yang tertimpa musibah, menara hujjah dan pusat sunnah bagi kalian.
Ketahuilah, bahwa kalian sudah terjerembab dalam dosa yang sangat besar. Terkutuklah kalian! Semua usaha yang telah kau lakukan akan menjadi sia-sia, tangan-tangan jadi celaka, dan jual beli membawa kerugian. Rahmat-Nya tidak akan meliputimu karena kau telah membinasakan sendiri usaha-usaha kalian. Murka Allah telah Dia turunkan atas kalian. Kini hanya kehinaanlah yang akan selalu menyertai kalian.
Celakalah kalian wahai penduduk Kufah! Tahukah kalian, bahwa kalian telah melukai hati Rasulullah? Putri-putri beliau kalian gelandangkan dan pertontonkan di depan khalayak ramai? Darah beliau yang sangat berharga telah kalian tumpahkan ke bumi? Kehormatan beliau kalian injak-injak? Aku yakin bahwa apa-apa yang telah kalian lakukan adalah kejahatan yang paling buruk dalam sejarah yang akan disaksikan oleh semua orang dan tak akan pernah hilang dari ingatan.
Mengapa kalian mesti heran ketika menyaksikan langit meneteskan darah? Sungguh azab Allah di akhirat kelak sangat pedih. Dan tidak akan ada seorang pun yang akan menolong kalian. Kalian jangan tertipu dengan kesempatan waktu yang telah Allah ulurkan ini. Sebab masa itu pasti akan datang dan pembalasan Allah tidak akan meleset. Tuhanmu menyaksikan semua yang kalian lakukan."[4]
Rakyat Kufah menangis tersedu-sedu setelah mendengar pidato itu. Mereka tertegun dan larut dalam duka dan tangisan yang tiada tara. Tangan-tangan mereka berada di mulut mereka.
Rakyat Kufah menangis tersedu-sedu setelah mendengar pidato itu. Mereka tertegun dan larut dalam duka dan tangisan yang tiada tara. Tangan-tangan mereka berada di mulut mereka.
Dalam khutbahnya yang lain ia berorasi:
"Wahai penduduk Kufah, berdiamlah! Suami-suami kalianlah yang telah membunuh keluarga kami. Kemudian wanita-wanita kalian terus-menerus menangisi keadaan kami. Tuhan akan mengadili kami dan kalian pada hari kiamat.
Wahai rakyat Kufah! Kalian telah melakukan perbuatan yang sangat tercela. Kalian telah membuat hitam hari-hari kalian sendiri. Mengapa Husain kau tinggalkan sendirian? Kemudian ia kau bunuh? Kalian rampas hartanya dan kalian tawan para wanita sehingga mereka menderita yang sangat berat?
Semoga kau binasa dan jauh dari rahmat Tuhan. Sungguh celakalah kalian, apakah kalian tahu seberapa besar kejahatan yang telah kau kerjakan? Seberapa berat dosa yang kalian tanggung. Berapa banyak darah yang telah kau tumpahkan? Siapa saja yang telah kalian bunuh? Anak-anak dan para wanita mereka kau jadikan tawanan perang? Harta-harta apakah yang telah kalian jarah? Kau telah membunuh laki-laki terbaik setelah Rasulullah Saw. Di hatimu sudah tidak tersisa sedikitpun rasa belas dan kasihan. Ketahuilah bahwa golongan Allahlah yang menang dan kelompok syetan selalu pasti akan kalah."
Khutbah ini sedemikian memberikan pengaruh yang sangat dalam kepada rakyat Kufah sehingga membuat mereka berubah, dan terdengar suara jeritan dan tangisan yang sangat memekik telinga dari segala penjuru, sehingga para wanitanya mengacak-acak rambut mereka dan memukul-mukulkan rambut ke wajah-wajahnya serta meronta-ronta [5].
Pesan-pesan Khutbah Zainab
Dari orasi itu, kita dapat mengambil pelajaran-pelajaran yang sangat penting dalam kehidupan kekinian kita.
Selama bertahun-tahun lamanya rakyat Kufah telah mendengarkan khutbah-khutbah dan pelajaran-pelajaran yang telah disampaikan oleh Imam Ali di mimbar-mimbar masjid mereka. Dan mereka telah mengenal kefasihan Imam Ali As dalam bertutur-wicara. Para wanita Kufah pun sudah sekian lama menghadiri pelajaran-pelajaran tafsir yang diberikan oleh Zainab, putri Imam Ali As dan Fatimah Zahra As. Sehingga, meskipun Zainab saat itu berstatus sebagai tawanan perang Ibn Ziyad, penjelasannya dalam khutbah-khutbah yang ia sampaikan sangat berpengaruh di hati masyarakat Kufah. Ia masih mempunyai wibawa dan cukup disegani dan dihormati oleh rakyat Kufah. Ketika ia memberikan isyarat supaya mereka menutup mulut guna mendengarkan pidato-pidatonya, maka mereka serta merta terdiam dan keadaan pada waktu itu menjadi tenang dan tubuh-tubuh mereka pun bergetar, nafas-nafas mereka berhenti di dada-dada mereka, keadaan menjadi sangat tegang. Ia berpidato sedemikian lantang sehingga seakan-akan Ali As hidup kembali dan berkata-kata terhadap penduduk Kufah.
Keadaan Rakyat Kufah sangat berbeda dengan masyarakat Syam dan keduanya tidak bisa di samakan. Penduduk Syam berada di bawah tekanan Abu Sufyan. Oleh karena itu tidak mengherankan sekiranya masyarakat Syam tidak mengenal siapa sebenarnya Ahlulbait Nabi Muhammad Saw itu, karena mereka adalah hasil didikan Abu Sufyan. Sehingga ketidakkenalan masyarakat Kufah terhadap para Imamnya tidak bisa dihukumi sama dengan ketidakmengertian rakyat Syam. Bertahun-tahun lamanya mereka hidup semasa dan sezaman dengan para Imam. Rakyat Kufah meyakini akan kebenaran ajaran Ahlulbait As. Oleh karena itu segala keputusan yang mereka ambil dan kemudian mereka jalankan, atas dasar pengetahuan dan hujah atas mereka telah sempurna.
Ketika Rakyat Kufah mendengar kematian Mu'awiyah, mereka bertekad untuk menebus kesalahan-kesalahan yang mereka lakukan terhadap Imam Ali As dam Imam Hasan As. Dan dengan mengundang Imam Husain As dan akan meruntuhkan pemerintahan Bani Umayah sehingga pada kemudian hari akan mengembalikan pemerintahan kepada keluarga Nabi Saw. Sekitar 12.000 surat yang beliau terima dalam berbagai kesempatan berisi ikrar mereka akan pembaiatan yang akan diberikan kepada Muslim bin Aqil sebagai utusan Imam Husain As dan mereka bertekad akan membela Muslim sampai nafas penghabisan!
Namun dengan ditunjuknya Ubaidillah bin Ziyad sebagai gubernur Kufah serta ancaman-ancaman terhadap para pembangkang dan janji muluk-muluk bagi yang setia serta patuh kepadanya, maka keadaan kota Kufah menjadi berubah total dan hanya beberapa orang saja yang masih setia terhadap janjinya kepada Imam Husain As. Sisanya adalah hanya para pembual saja dan orang yang mengingkari terhadap janji mereka sendiri. Sebagian dari mereka, bahkan penduduk yang menulis surat kepada Imam Husain As bergabung dengan pasukan Ubaidillah dan bahkan ada di antara mereka yang juga ikut andil dalam membunuh Imam Husain As!
Pidato Zainab yang yang ia sampaikan kepada penduduk Kota Kufah, telah memberikan kesadaran Rakyat Kufah yang tertipu oleh berita penguasa bahwa para kekasih Nabi Saw menemui kesyahidannya hanya karena mempertahankan akan hak kehalifahannya yang telah dirampas secara paksa dan memerangi pemerintahan tiran.
Dalam khutbah yang ia katakan, Zainab menyamakan orang-orang Kufah seperti wanita-wanita yang kurang mempunyai akal, yang telah bersusah payah menenun benang-benang dengan kuat, namun kemudian mereka mengurai lagi benang-benang yang telah mereka tenun. Perumpamaan ini sebagaimana firman-Nya:
"Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat menjadi tercerai-berai kembali, sedang kamu menjadikan sumpah (perjanjian)mu sebagai sarana pengkhianatan di antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain (dan kamu menjadikan banyaknya jumlah musuh sebagai alasan untuk membatalkan baiat dengan Rasulullah)." (Qs. an-Nahl [16]: 92)
Ayat ini merupakan perumpamaan yang paling baik dalam menggambarkan kepribadian penduduk Kufah. Orang-orang Kufah telah susah payah dalam menanam pepohonan di kebun-kebun dan ladang-ladang mereka dan mereka telah bersabar atas pekerjaan ini namun hasil jerih payah mereka dipersembahkan kepada musuh-musuh Islam. Demikian juga jalan-jalan yang mereka buat dengan memeras keringat telah dilewati oleh pembenci Ahlulbait As. Ini semua menunjukkan bahwa rakyat Kufah itu memang penduduk yang tidak menepati janji mereka sendiri dan juga menandakan ketidakrestinen mereka dalam berperilaku. Masyarakat Kufah sungguh tidak mempunyai kepribadian yang teguh, di mana setelah mereka menyaksikan bahwa jumlah pembangkang Imam Husain As sangat banyak, mereka juga dengan mudahnya melupakan janji yang telah diucapkan dan menyatukan diri mereka dengan para pembangkang. Zainab memandang rakyat Kufah sebagai masyarakat yang mengingkari terhadap janjinya sendiri, keindahannya hanya berada di dhahirnya saja, tidak dalam batin mereka. Ia juga mengingatkan kepada seluruh penduduk dunia supaya tidak tertarik akan janji-janji bual penguasa zalim.
Tanpa diragukan lagi bahwa khutbah yang disampaikan oleh Zainab merupakan peringatan keras yang disampaikan kepada rakyat Kufah dan telah menyadarkan mereka dari kelalaiannya yang pada akhirnya terbentuk gerakan tawabin di Kufah. Setelah terjadi tragedi Karbala, mereka bertobat karena tidak menolong cucu Rasul Saw. Mereka bertekad untuk menuntut balas atas darah Husain As. Sebagian dari pengikut syiah Kufah berkumpul di rumah Sulaiman bin Sarad al Khuza'i dan secara sembunyi-sembunyi menghimpun masa. Mereka telah merencanakan semenjak tahun 61 H untuk menuntut balas atas darah Sayyidus Syuhada dan para penolongnya namun mereka baru merealisasikan rencananya tersebut 4 tahun kemudian. Dalam rentang waktu itu, mereka mengumpulkan persenjataan dan segala peralatan perang. Akhirnya pada hari Rabu, 22 Rabiuts Tsani tahun 65 H dengan pasukan sejumlah 4000 dengan yel-yelnya "Ya latsaratil Husain"[6] bergerak ke arah Syam. Pemberontakan Tawabin (orang-orang yang bertaubat) dipelopori oleh 5 pembesar pecinta Ahlulbait As: Sulaiman bin Sarad Khuza'i, Musaib ibn Najbah, Abdullah ibn Sa'd bin Nufail, Abdullah bin Wal dan juga Rifa'ah Syadad. Ketika itu kekhalifahan Syam dipegang oleh Marwan bin Hakam.[7] Mereka bertemu dengan pasukan Syam yang jumlahnya 20.000 orang di suatu daerah yang bernama 'Ainul Wardah. Setelah beberapa hari perang sengit berkecamuk, perang ini berakhir dengan banyaknya korban yang syahid pada pasukan Tawabin termasuk pemimpin mereka, Sulaiman bin Sarad yang ketika itu berumur 93 tahun. Dan sejumlah dari pasukan itu juga menjadi tawanan perang.[8]
Zainab telah menyampaikan pesan Karbala, yaitu menghidupkan ajaran Islam, menumbuhkan keadilan di masyarakat, menghidupkan kembali ajaran-ajaran para nabi dan ritual-ritual keagamaan di tengah-tengah masyarakat, memberikan kejelasan kepada masyarakat akan kebejatan pemerintahan Umawi dan penghancuran terhadap kekuasaan Bani Umayah di seluruh dunia serta membebaskan umat Islam dari cengkerama penguasa taghut Umawi.
Tujuan-tujuan dari Revolusi Karbala ini sangat terpatri pada diri Imam Husain dan juga para pengikutnya. Di antara sabda-sabda Imam Husain As yang mengisyaratkan tujuan itu adalah: Sesungguhnya aku ke luar untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan yang ada pada umat kakekku, aku mau beramar ma'ruf dan mencegah kemungkaran dan akan mengamalkan gaya hidup Nabi dan Ali."[9]
Pada suratnya yang ia peruntukkan kepada para pembesar Basrah, ia menulis: Aku menyeru kalian untuk mengikuti tuntunan al-Qur'an dan Sunah nabi. Sesungguhnya sunat sudah mati dan bid'ah telah dicintai.[10]
Pada suratnya yang ia peruntukkan kepada para pembesar Basrah, ia menulis: Aku menyeru kalian untuk mengikuti tuntunan al-Qur'an dan Sunah nabi. Sesungguhnya sunat sudah mati dan bid'ah telah dicintai.[10]
Dalam suratnya yang ia bawakan kepada Muslim bin Aqil, mengisyaratkan untuk beramal kepada ajaran al-Qur'an, menegakkan keadilan dan kebenaran.[11] Di gurun Karbala yang kering dan tandus, ia berujar kepada pengikutnya tentang pentingnya untuk mengadakan perlawanan pada hari ketika nilai-nilai kebatilan telah menyebar luas di tengah-tengah masyarakat.[12]
Zainab juga memberikan pelajaran yang sangat penting sampai akhir hayat. Ia jelaskan bahwa azab Allah itu bersifat abadi dan segala sesuatu yang ada di dunia ini akan ditinggalkan dan apabila mereka tidak mau bertaubat dan memperbaiki tingkah laku mereka, maka akan menemui kehidupan yang pahit di dunia, dan terlebih lagi di akherat.
Ya Zainab binti Ali telah menjadi seorang propagandis sempurna dalam menyampaikan pesan abadi Asyura dan memelihara kisah kebangkitan Husaini sehingga kita pada abad ini juga bisa mengenal dan mengenang serta mengambil pelajaran dari tragedi ini. Sekiranya tiada Zainab apa yang akan terjadi? Mari kita dengan rendah hati berkata…Wallahu 'Alam..
[1]. Riyahain as Syari'ah, Jil. 3, Hal. 38
[2]. Khasâish Zainabiyah, Hal. 166
[3] . Muqaram, Maqtal al Husain, hal. 371
[4]. Sayid Ibnu Thawus, Luhuf, hal. 146, Thabarsi, Ihtijâj, Jil. 2, hal. 303, Syaikh Mufid, Amali, hal. 321, Syaikh Thusi, Amali, hal. 91, Ibnu Syahr Asyub, Manâqib, Jil. 4, hal. 115, Allamah Majlisi, Bihâr al Anwâr, jil. 45, Hal. 108 dan 162.
[5] . Muqaram, Maqtal Husain, Hal. 392
[6] . Allamah al-Majlisi, Bihâr al-Anwâr, Jil. 52 Hal. 308
[7] . Syamsudin Din, Anshare Husain, hal. 205
[8] . Hayât al-Imâm Husain bin 'Ali, jil. 3, Hal. 450
[9] . Hayât al-Imâm Husain bin 'Ali, jil. 2, Hal. 264
[10] . Idem, Hal. 322
[11] . Idem, Hal. 340
[12] . Op. cit, jil. 3, Hal.
Ayatullah Husein Sadr: Syiah Bukan Sekedar Slogan
Ayatullah Sayid Husein Sadr, ulama Kadzimain, Irak menyinggung kecintaan umat Muslim dari berbagai negara terhadap Ahlul Bait as dan menyatakan, "Kita harus mengubah afeksi ini menjadi suluk, perilaku, dan makrifat."
Hawzah News (6/6) melaporkan, pernyataan itu dikemukakan Ayatullah Husein Sadr dalam pertemuannya dengan tokoh hauzah di berbagai negara yang berpartisipasi dalam Kongres Internasoinal Imam Kadzim as di Irak. Menurut beliau, hawzah ilmiah baik di Qom maupun di Najaf adalah dalam rangka menghidupkan maarif Ahlul Bait as dan ini merupakan kebanggaan. "Pada hakikatnya, hauzah ilmiah terbentuk adalah untuk menyampaikan warisan ilmu dan maknawiyah dalam masyarakat dan berkat upaya ini, unsur spiritualitas dalam masyarakat semakin kental."
Seraya menekankan peran ilmu dalam proses kesempurnaan manusia, Ayatullah Husein Sadr menegaskan, "Agama ilahi harus dijelaskan kepada masyarakat dengan metode ilmiah, berhikmah, dan dengan menggunakan akhlak yang mulia. Kita harus memanfaatkan ajaran agama dalam memperluas dan meningkatkan nilai-nilai kemanusiaan, hak-hak asasi manusia, dan keadilan dalam masyarakat."
Ulama Syiah ini di bagian lain pernyataannya menyinggung perluasan maarif Ahlul Bait as di dunia dan mengatakan, "Kecintaan masyarakat terhadap Ahlul Bait as tidak terbatas pada negara-negara tertentu saja melainkan dapat dirasakan di seluruh negara Arab dan Islam. Akan tetapi kita harus memperhatikan bahwa tasyayu' bukan sekedar slogan melainkan amal, suluk, dan jalan hidup."
"Tasyayu' adalah sebuah program hidup dalam kehidupan individu dan masyarkat. Kecintaan masyarakat terhadap Ahlul Bait mewajibkan kita semua untuk berusaha lebih keras meningkatkan pengetahuan masyarakat terhadap Ahlul Bait. Kita harus berusaha mengubah afeksi tersebut menjadi suluk, makrifat, perilaku dan akhlak. Dunia saat ini sangat memerlukan ucapan tayibah dan jujur."
Menyinggung tabligh dan gerilya wahabi di berbagai negara, Ayatullah Husein Sadr mengatakan, "Mereka [Wahabi] tidak hanya bermasalah dengan keyakinan Ahlul Bait as, melainkan bermasalah dengan seluruh mazhab Islam dan kita harus tetap memikul beban tabligh ini serta tidak lelah dan putus asa menghadapi segala gangguan. Kita harus menyusun program untuk memberikan bimbingan kepada masyarakat kita sendiri melainkan juga dalam rangka membimbing musuh-musuh."
Menurut beliau dukungan terhadap Wahabi umumnya adalah dikarenakan kecenderungan dan kepentingan politik. "Dalam hal ini, kita harus mendukung perspektif moderat dalam dunia Islam dan untuk itu saya telah berulangkali menghubungi Doktor Ahmad al-Tayyib, Syeikh al-Azhar." (IRIB Indonesia/MZ)
Hujan di Taman Penyair
Oleh: Afifah Ahmad
"Dan Ayatullah Khomeini pun menulis puisi" Begitulah, sebaris kalimat yang tertulis di sebuah buku travelling terkemuka tentang Iran.
Puisi memang telah menjadi bagian yang sulit dipisahkan dari tradisi masyarakat Persia. Bila bangsa Italia besar dengan opera, maka bangsa Iran tumbuh bersama syair. Hampir setiap rumah di Iran, menyimpan satu buku puisi. Ibu-ibu rumah tangga sederhana saja sudah terbiasa melafalkan baris-baris syair. Apalagi para dai dan presenter, tidak pernah ketinggalan menyisipkan larik-larik puisi.
Sebuah keburuntungan bagi penyair-penyair Iran yang selalu mendapat sanjungan. Nama-nama mereka diabadikan menjadi jalan-jalan utama, layaknya pahlawan nasional. Bahkan setelah kematiannya, makam mereka dipayungi kubah serta dipagari taman-taman indah, seperti yang kujumpai hari itu di kompleks pemakaman Hafiz.
Hafiziyeh, tanah yang membentang sekitar dua hektar di sebelah utara kota Shiraz. Saat kumasuki gerbang utama, pohon-pohon cemara kecil tampak rapi berjajar, seakan menyambut hangat para tamu yang datang. Dari kejauhan terlihat tangga-tangga menuju sebuah hall terbuka. Bangunan yang terdiri dari 20 tiang-tiang itu, membelah area Hafiziyeh dari gerbang menuju ke pusara. Dari atas hall inilah, dapat kulihat tempat makam Hafiz, sekaligus lalu lalang pengunjung dari arah gerbang.
Hujan di penghujung musim dingin baru saja mengguyur kota Shiraz saat aku tiba di Hafiziyah. Namun, pelataran kompleks tetap dipenuhi pengunjung yang akan menziarahi makam penyair kesayangan mereka. Tua muda berjalan dalam balutan baju hangat. Ada pasangan sejoli, keluarga, bahkan anak-anak.
Di antara penyair lainnya, Hafiz yang bernama kecil Syamsuddin Muhammad, memang mendapat tempat istimewa di tengah masyarakat Iran. Bahkan, syair-syairnya sering digunakan sebagai ‘petunjuk' atau faalnameh. Misalnya, ketika seseorang ragu terhadap sebuah keputusan, ia akan membuka buku Divan Hafiz secara acak. Di buku tersebut, terdapat penjelasan berupa anjuran atau larangan. Aku sendiri pernah mencobanya beberapa kali, kebanyakan hasilnya lebih bersifat motivasi dan nasihat positif. Melalui syair-syairnya, Hafiz seolah ingin memberikan semangat pada setiap pembaca. Itulah sebabnya, aku sangat mendamba bisa bertandang ke tempat peristirahatanya.
Dan kini bahagia rasanya. Setelah bertahun-tahun menanti, akhirnya aku bisa langsung melihat dari dekat pusara Hafiz dalam sebuah taman yang megah. Kompleks taman itu dilengkapi dengan perpustakaan, pusat riset, kedai teh, dan ruangan-ruangan lainnya yang biasa digunakan untuk diskusi puisi atau kelas sastra. Setiap tahunnya, para penyair dari berbagai belahan dunia berkumpul di taman ini untuk mengenang hari kepergiannya. Mereka membacakan kembali syair-syair sang pujangga.
Tiba-tiba hati kecilku usil berceloteh "Sedang apa gerangan sang penyair? Apakah ia sekarang bahagia?" Jika menilik perjalanan hidupnya, Hafiz bukan termasuk orang yang begitu buruntung. Tidak seperti pendahulunya, Sa'adi yang banyak mengembara ke berbagai negara di Asia dan Eropa, Hafiz sepanjang hidupnya berada di kota kelahirannya. Dia juga tidak pernah menerbitkan antologi puisi, Naskah-naskahnya baru diterbitkan setelah kematiannya. Bahkan, semasa kecil, Hafiz yang yatim, harus meninggalkan bangku sekolah serta bekerja di tukang kain dan roti untuk menafkahi keluarga.
Namun, lihatlah hari ini! Tempat pemakaman Hafiz tak pernah sepi dari pengunjung, bahkan di musim dingin, di tengah guyuran hujan. Hawa yang menusuk inipun tak mampu mencegahku untuk segera bertemu sang penyair. Dalam balutan mantel cokelat tebal, kunaiki tangga-tangga menuju pavilion kecil terbuka, tempat pusara Hafiz berada.
Makam Hafiz dibangun satu meter lebih tinggi dari permukaan tanah, dinaungi kubah berbentuk topi darwis. Bagian dalam kubah dihiasi ubin keramik bercorak irfani. Biru turquois melambangkan langit, merah keunguan melambangkan anggur atau kemanisan abadi, sedangkan hitam putih, melambangkan malam dan siang, serta warna coklat melambangkan tanah. Sungguh perpaduan yang syahdu.
Dua perempuan muda berdiri di tepi makam sambil melantunkan syair-syair Hafiz. Mendengarkan puisi di area makam sang pujangga dan di tengah rintik hujan, memang terasa berbeda. Seakan jiwaku ikut terbang bersama laik-larik puisi.
"Apakah anda sekarang bahagia atau tidak, hanya Allah yang tahu. Tapi, apa yang membuat anda begitu dicinta dan puisi anda sangat dipuja?" Bisikku sesaat setelah menyentuhkan tangan ke pusara, mengikuti tradisi masyarakat Iran.
Sambil menerka-nerka jawaban, pandangannku beredar menyapu area di sekitar makam. Tanah yang basah, daun-daun yang menjuntai tertimpa air, langit yang mendung, serta puluhan pengunjung yang datang dan pergi. Dua pemuda bule terlihat sibuk mengambil gambar makam Hafiz dari berbagai sudut, seakan tidak ingin melewatkan moment yang begitu penting. Hafiz memang tidak hanya dicintai di Timur, namun namanya juga amat dikenal di belahan Barat sana.
Sejak pertengahan abad ke 18, Goethe, penyair legendaris Jerman amat menggandrungi puisi-puisi Hafiz. Karena begitu tergeraknya oleh sang pujangga, ia menempatkan Hafiz jauh lebih tinggi dari siapapun di dunia sastra. Bukunya yang berjudul West-Eastern Divan, sangat kental dengan nuansa Divan Hafiz, bahkan beberapa judulnya pun menggunakan bahasa Persia, seperti: Hafis Nameh (surat untuk Hafiz) dan Uschk Nameh(surat cinta).
Syair-syair Hafiz merembas dalam diri Goethe dan sedikit banyak mempengaruhi cara pandangnya terhadap dunia Timur dan Islam. Goethe pernah menulis puisi berjudulHegire (Hijrah) dan prosa tentang Nabi Muhammad, juga sebuah sajak Mahomet's Gesang(Nyanyian Muhammad): Di bawah jejaknya, kembang-kembang dimunculkan dan nafasnya memberikan hayat atas padang-padang.
Sedang dalam puisi Hijrah, Goethe mengajak Barat untuk belajar spiritualitas dan kearifan Timur agar terlepas dari jeratan material. Sayangnya, yang terjadi hari ini justru sebaliknya. Banyak para pemuda Timur yang tercengang dan silau dengan budaya Barat, seolah dari sanalah segala sumber kemakmuran. Sehingga Timur hanya pantas menjiplak ilmu dan teknologi Barat. Lebih parah lagi, kondisi ini sudah mengakar dalam keseharian mereka dari cara bepakaian, gaya hidup sampai pola makan. Padahal Goethe yang besar dalam rahim Barat sangat ingin meniru Hafiz: "Aku ingin mencintai seperti Anda, minum seperti Anda. Ini akan menjadi kebanggaan hidupku"
"Ah…Siapa sangka, penyair yang sekarang terbaring itu, ternyata memiliki pengaruh luar biasa dan mendunia" Begitu gumanku saat akan meninggalkan sang pujangga.
Barangkali, karena kata-kata Hafiz juga terinspirasi dari Qur'an yang merupakan petunjuk setiap umat. Sejak kecil, Hafiz sudah mencintai kitab Qur'an. Bahkan, julukan ‘Hafiz' pun disandangnya, lantaran ia tidak hanya menghafal, tapi juga memahami ayat-ayat al-Qur'an. Dalam salah satu baitnya, Hafiz menulis:
Ah…jangan berduka! Tuhan telah mendengar
Jika derita datang dan dalam malam kau karam
Hafiz, ambil Quran dan bacalah
Lagu maha abadi, jangan berduka!
Hujan mulai mereda. Namun, di atas sana mendung masih bergelayut, siap menumpahkan kembali airnya. Air yang akan menggenangi kolam-kolam mungil di taman, menyirami cemara-cemara, pohon jeruk, dan terus merembas ke dalam tanah, menyegarkan kembali nafas kehidupan makhluk-makhluk di bawah sana. Seperti anugrah hujan yang tak pernah putus, langit pun selalu menebarkan berkahnya melalui lisan-lisan bijaksana. Sehingga pesan-pesanNya akan terus menggema di alam raya.
Dan, bisa jadi syair-syair Hafiz menjadi abadi karena bersandar pada firman-firman-Nya. Seperti pesan Ahmadinejad dalam pembukaan kongres penyair Iran dan Dunia tahun 2010: "Dengan menautkan bahasa kepada Tuhan, kata-kata jadi abadi."(IRIB Indonesia/majalah Ithrah, edisi Juni 2012/PH)
Itikaf adalah Salah Satu Cara Revolusi
|
Menurut Kantor Berita ABNA, pertengan bulan Rajab sangat dianjurkan kepada kaum muslimin untuk melaksanakan i'tikaf. Masalah itikaf merupakan salah satu hal yang juga senantiasa ditekankan oleh Ayatullah Sayid Ali Khamenei di tahun-tahun terakhir. Berikut ini poin-poin yang ditekankan beliau yang telah dihimpun oleh IRIB Indonesia:
"Para pemuda yang melakukan i'tikaf pada hakikatnya sedang menyendiri dengan Allah. I'tikaf sebagian besar adalah sebuah pekerjaan pribadi. Mewujudkan hubungan dengan Allah. Jangan sampai acara-acara umum di pusat-pusat itikaf melemahkan atau mengganggu kondisi kesendirian dan hubungan pribadi dan hati para pelaku itikaf dengan Allah. Berikan kepada mereka tempat dan waktu. Biarkan pemuda-pemuda ini membaca al-Quran, membaca Nahjul Balaghah, membaca Sahifah Sajjadiah.
Khususnya di hari-hari i'tikaf ini saya menganjurkan untuk membaca Sahifah Sajjadiah. Sahifah Sajjadiah ini benar-benar kitab .... untungnya sekarang sudah diterjemahkan dan banyak terjemahannya. Tahun kemarin saya diberi terjemahan yang bagus dari Sahifah Sajjadiah dan saya melihatnya. Terjemahan yang sangat bagus. Manfaatkan, baca dan pikrikan pengetahuan-pengetahuan yang ada di dalam doa Imam Ali bin Husein as yang ada di dalam Sahfah Sajjadiah ini.
Semua ini bukan hanya doa, tapi pelajaran. Ucapan-ucapan Imam Sajjad as dan seluruh doa-doa yang berasal dari para imam maksum dan sampai ke tangan kita penuh dengan pengetahuan.
Bulan Rajab adalah bulan ibadah. Bulan tawasul kepada Allah. Bulan permohonan. Bulan ini disamakan dengan Amirul Mukminin Ali as. Perkuatlah hubungan kita dengan Allah supaya kita bisa memasuki setiap medan kehidupan dengan kemaun keras, dengan langkah tegap dan dengan pikiran yang terang."
(Pertemuan dengan semua lapisan masyarakat pada ulang tahun kelahiran Imam Ali, 26/4/1387 Hs)
Itikaf adalah tanda seseorang mampu mengambil keputusan yang benar
"Di hari-hari itikaf di bulan Rajab mayoritas masjid di seluruh negeri dipenuhi oleh para pemuda, wanita dan pria dari pelbagai lapisan mayarakat dan usia yang berbeda-beda. Mereka tinggal di masjid dan berpuasa selama tiga hari dan mendekatkan diri kepada Allah. Setelah itu dengan tangisan dan cucuran air mata mereka keluar dan meninggalkan masjid. Untuk menyiapkan diri sampai tahun depan.
Saudara-saudaraku! Ini bagi sebuah komunitas masyarakat adalah sebuah tanda yang baik. "(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan shalat..." (Hajj:41) Tanda sebuah pemerintahan ilahi, tanda sebuah gerakan yang benar dan memiliki arah yang benar. Seriusi masalah ini dan perkuatlah."
(pertemuan dengan pelajar agama dan masyarakat Qom bertepatan dengan kebangkitan 19 Dey, 19/10/1375 Hs)
Sebaik-baik pemuda adalah mereka yang berpikir
"Universitas Tehran dan masjidnya adalah saksi peribadahan, permohonan, shalat jamaah, itikaf dan puasanya para pemuda negara yang paling unggul. Sebaik-baik pemuda setiap negara adalah pemuda-pemuda yang berpikir. Biasanya di kalangan para mahasiswa banyak ditemui pribadi-pribadi seperti ini. Tentunya di kalangan selain mahasiswa juga banyak pemuda-pemuda yang baik.
Akan tetapi pada zaman dulu ketika kami masih muda di kalangan mahasiswa di universitas Tehran dan universitas lainnya di seluruh Iran mungkin tidak sampai seribu orang yang beritikaf. Di Qom sendiri yang merupakan pusat agama dan peribadahan mungkin tidak sampai seratus pelajar agama yang beritikaf. Pada zaman itu tidak umum dan masyarakat tidak terbiasa beritikaf."
(Khotbah shalat Jumat Tehran, 12/10/1376 Hs)
Bulan Rajab adalah bulan penyucian diri
"Rajab adalah bulan pembersihan hati dan penyegaran jiwa. Bulan tawasul, khusyu, zikir, taubah, penyucian diri dan membersihkan karat-karat hati dan kotoran-kotoran jiwa. Doa-doa bulan Rajab, itikaf bulan Rajab dan shalat di bulan Rajab semuanya adalah perantara bagi kita untuk bisa membersihkan dan menyegarkan hati dan jiwa kita. Menjauhkan dosa-dosa dan noda dari diri kita. Menerangi diri kita. Ini adalah kesempatan besar bagi kita. Khususnya bagi yang mendapatkan kesempatan untuk beritikaf di hari-hari ini."
(Khotbah shalat Jumat Tehran, 28/5/1384 Hs)
Itikaf adalah salah satu cara revolusi
"Berbahagialah kalian para pelaku itikaf. Fenomena itikaf merupakan salah satu cara revolusi. Di permulaan Revolusi Islam masih belum ada budaya itikaf. Itikaf senantiasa ada. Ketika masa muda kami, ketika bulan Rajab tiba, di masjid Imam di Qom itu pun hanya di Qom, -saya tidak melihat itikaf di Mashad- mungkin lima puluh sampai seratus orang beritikaf. Ini adalah fenomena umum. Kalau ada puluhan ribu orang ikut dalam acara itikaf itu pun mayoritas pemuda, ini merupakan bagian dari cara Revolusi Islam. Suatu hari saya pernah berkata bahwa dalam revolusi ada juga yang gugur, namun ada juga yang tumbuh. Yang tumbuh telah mengalahkan yang gugur. Beruntunglah kalian para pelaku itikaf!"
(Khotbah shalat Jumat Tehran, 28/5/1384 Hs)
Pesan Ayatullah Khamenei kepada para pelaku itikaf
"Pesan saya adalah selama tiga hari kalian berada di dalam masjid, latihlah diri kalian untuk menjaga diri. Kalau kalian berbicara, makan, berinteraksi, membaca buku, berpikir, merancang masa depan, maka berhati-hatilah dalam semua ini. Dahulukan ridha dan kemauan Allah atas hawa nafsu kalian. Jangan menyerah di hadapan hawa nafsu. Melatih semua ini dalam tiga hari bisa menjadi sebuah pelajaran bagi diri kalian dan bagi kita yang duduk di sini dan melihat kondisi para pemuda yang sedang beritikaf dengan rasa cemburu, ajari kami dengan amal perbuatan kalian."
(Khotbah shalat Jumat Tehran, 28/5/1384 Hs)
Gerakan ini tidak ada padanannya di dunia
"Pada tahun-tahun silam dari masa remaja dan masa muda kami, di negara ini saya tidak pernah melihat di bulan Ramadhan masyarakat datang dan beritikaf di masjid-masjid negeri atau di masjid Gouharshad Mashad. Di Ayyamul Biydh hari ke 13, 14 dan 15 dari bulan Rajab atau bulan Sya'ban, kami melihat hanya beberapa gelintir orang beritikaf di Qom, itu pun mayoritas pelajar agama. Selain pelajar agama, melakukan itikaf tidak umum bagi yang lainnya. Sekarang, di hari-hari itikaf, universitas dan masjid seluruh negeri dan masjid jami penuh dengan para pelaku itikaf. Selain itu, pada sepuluh akhir bulan Ramadhan banyak orang yang sibuk beritikaf. Siapakah mereka? Para pria lanjut usia? Para wanita lanjut usia? Bukan, mereka adalah para pemuda, para remaja, yang demikian ini tidak ada padanannya di dunia. Ini adalah generasi muda kita. Sekarang kecondongan kepada agama dan nilai-nilai Revolusi Islam mendominasi masyarakat."
(Pertemuan dengan warga Garmsar, 21/8/1385 Hs)
0 comments to "15 Rajab, Wafatnya Sayidah Zainab Al-Kubra sa"