Home , , � Istilah Advokat Jahat(Advocatus Diaboli atau Promotor Fidei ) dan Advokat Tuhan (Advocatus Iustitiaatau promoter of the Cause).

Istilah Advokat Jahat(Advocatus Diaboli atau Promotor Fidei ) dan Advokat Tuhan (Advocatus Iustitiaatau promoter of the Cause).










Advocatus Diaboli



Oleh: Berthy B. Rahawarin
 
Bila secara historis memahami profesi dan makna "Advocatus Diaboli" atau Advokat Iblis, sebutan dalam Tradisi Hukum Romawi, dan istilah lainnya, bersama seruan Wamen Kemenkum-HAM Denny Indrayana, dipahami dari konteks dan didukung sebagai bagian menciptakan penegakkan hukum, yang pada gilirannya menciptakan good and clean governance yang diimpikan bersama. Tulisan ini tidak memasuki wilayah privat dan tidak berpretensi membela pribadi Denny Indrayana. Debat para Advokat dan pemerhati hukum dalam tayangan Indonesia Lawyers Club (ILC) di TV swasta (28/8/2012), muncul dari Twitter Wamen Kemenkum-HAM Denny Indrayana.

Sebagian salah-paham mestinya boleh dianggap terjelaskan dan tuntas. Namun, sebagiannya meninggalkan kekaburan dan butuh catatan, termasuk mengkritisi kritik Prof. J.E. Sahetapi, yang umumnya menjadi referensi dunia hukum, namun karena (atau, betapa pun) pada konteks Denny adalah bagian dari kekuasaan Presiden SBY, Prof. Sahetapi tampak bertentangan dengan core issue, pergumulan etis Denny agar para Advokat menegakkan prinsip Etika Profesi. Karena itu, saya memberikan catatan dan konteks hukum dan Etika Profesi Advokat dalam pointers, agar pemirsa TV maupun pembaca dapat memiliki konteks lain dan memisahkan inti dari ‘kulit' masalah, serta cara berpikir out of the box.Pertama, bahasa Tweet Wamen Denny Indrayana adalah pernyataan etis-normatif, ketika mengatakan "Advokat koruptor sama dengan koruptor".

Pernyataan itu setingkat dengan pernyataan normatif lain seperti, "Politisi atau pejabat korup adalah penjahat". Pernyataan Denny jauh dari suatu "generalisasi" atau ‘gebyah-uyah' pada seluruh Advokat atau (apalagi) sebuah Lembaga yang menaunginya. Membuat premis bahwa Denny menghina profesi Advokat adalah premis yang keliru dan berlebihan, dan lahir sebuah loncatan pemikiran dari pemahaman garis logika bahasa yang tepat.

Generalisasi baru ada dalam kalimat, misalnya "Semua Advokat itu koruptor".Sebaliknya, generalisasi atau gebyah-uyah itu justeru muncul dari asumsi keliru, bahwa Denny telah menyerang Profesi, dan pembuat asumsi itu bertolak dari generalisasi buatan pembuat asumsi sendiri. Kedua, konteks pernyataan Denny seperti diungkapkan, datang dari situasiconditional atau kasuistik. Karena itu, pernyataan Denny sebagai suatu pernyataan etis-normatif, justeru melepaskan diri dari "ruang privat" itu dan ditingkatkan menjadi suatu pernyataan publik, sebagai suatu kerisauan.

Seorang pejabat yang risau pada kemungkinan adanya tindak pidana yang mungkin lahir dari praktek-praktek pilar penegak hukum, menurut nurani dan common sense, Denny harus didukung dan dibela dalam isu penegakkan etika profesi penegak hukum, terutama tugas Advokat sebagai officium nobelium.Ketiga, benar Denny mungkin "sedikit tidak sopan" membuat statemen lewat Tweeter. Tapi, bahasa Etikanya, Etiket boleh dilanggar (sedikit/banyak) asalkan target penegakkan ETIKA PROFESI dimenangkan.

Pejabat publik memang perlu kehati-hatian, seperti disarankan beberapa aktivis yang cukup kritis. Namun, dalam konteksnya, cara itu bahkan boleh didebat, karena Denny tidak hanya menulis di Tweeter, tapi dia punya konteks pernah menulis tentang topik yang sama. Budayawan Sudjiwo Tedjo dengan tepat mengatakan, "Masyarakat kita perlu orang (dengan cara) gila untuk menjadi pemecah kebekuan (komunikasi)." Tedjo juga menilai, Tweeter yang selama ini isinya tetek-bengek yang tak penting, sebagai sebuah produk kebudayaan, Tweeter dengan baik digunakan Denny sebagai cara komunikasi, meski kembali dapat didebat. Bahasa lainnya, sebuah ‘kenakalan Tweet' diperlukan sebagai CARA untuk TUJUAN lebih besar dan mulia, yaitu mendorong kemuliaan profesi Advokat (dan profesi lainnya). Argumen ad Hominem picisan terhadap pribadi Denny dan tidak terkait sebuah dalihnya adalah irrasional.

Keempat, khusus kritik Prof. J.E. Sahetapi, mungkin karena faktor waktu dan usia senior, core issue yang diperjuangkan dan menjadi komitmen Denny, tampak seolah dikritik Sahetapi. Sahetapi memang menganggap tidak patut pejabat publik tidak berkomunikasi dengan Tweeter. Tapi, kita tidak boleh lupa, bahwa Tweeter adalah salah satu cara dan produk peradaban untuk berkomunikasi. Atlit Olimpiade London 2012 yang mengirim TWEET dengan warna rasial dihukum. Tetapi, kalau tweet untuk kebaikan, tidak perlu ‘dihukum' sebaliknya harus dipromosikan, betapa pun bukan cara satu-satunya tentu. Saya tidak melihat pertentangan TUJUAN menegakkan ETIKA PROFESI (Advokat) Deny dan Sahetapi.

Kelima, Denny bukan hanya TIDAK melanggar, bahkan sebaliknya DIWAJIBKAN secara moral karena jabatan publiknya, membangun dan mendorong Etika Profesi Advokat yang layak dan dihormati sebagaiofficium nobile. Ketika memandang dan mengalami adanya sesuatu mengancam keluhuran profesi Advokat, maupun pilar penegak hukum lainnya, Denny dalam kapasitasnya adalah tepat untuk menyampaikan seruan moral itu. Itu adalah propaganda good and clean governance.

Keenam, paham profesi Advokat secara historis dan filosofinya: dalam sejarah Tradisi Hukum Romawi, di mana lahir peran Advokat Modern, IDEALNYA pekerjaan Advokat adalah seni menguji argumen-argumen secara rasional dan logis untuk mencapai pembuktian keadaan BERSALAH atau TIDAK BERSALAH-nya seseorang. Idealnya lagi, dalam debat hukum yang konstruktif, maka para Advokat, Jaksa, Hakim, secara bersama atau masing-masing mereka, dengan nuraninya, menetapkan, tentang memenuhi tidaknya unsur TINDAK PIDANA seseorang. Untuk menetapkan seseorang sebagai JAHAT dan melanggar HUKUM, Jaksa harus dapat membuktikan dengan seksama, dan yakin, bahwa SEORANG TERSANGKA telah dengan meyakinkan (tahu dan mau) memenuhi unsur CRIMEN (atau JAHAT) dan/atau karena kelalaiannya terjadi suatu kerugian pada pihak lain, dan karenanya harus dihukum, atau sebaliknya dibebaskan.Sebagai ilustrasi historis seni beracara.

Dalam praktek Hukum Romawi yang mempengaruhi Hukum Acara Kanonik (Katolik) Roma, muncul istilah Advokat Jahat(Advocatus Diaboli atau Promotor Fidei ) dan Advokat Tuhan (Advocatus Iustitiaatau promoter of the Cause).

Tugas "Advokat Jahat" adalah menyerang semua argumen Advokat Tuhan yang menyatakan seseorang sebagai SALEH, BAIK atau KUDUS dan karenanya harus dinyatakan atau dikanonisasikan. Jika argumen Advocatus Diaboli atau Promotor Fidei yang dimenangkan, maka Hakim (Gereja) akan menolak argumen "Advocatus Iustitia" atau Advokat Tuhan untuk menyatakan seseorang sebagai "SALEH" atau "KUDUS". Filosofi di sini (seperti doktrin militer) adalah semua orang adalah "biasa saja" (atau jahat), sampai dibuktikan bahwa orang tersebut patut dipandang sebagai "seorang saleh". Peran dramatis "Advokat Jahat" atau "Advokat Iblis" adalah menjernihkan orang yang terlanjur dianggap saleh atau kudus. Dalam profesi (dramatis) ini, sejumlah orang saleh adalah Advocatus Diaboli (Gereja).

Kalau harus diparalelkan dengan Hukum Acara Pidana (Sipil) sekarang, Advocatus Diaboli diperankan Jaksa yang harus membuktikan bahwa seseorang adalah jahat, karena memenuhi unsur-unsur pidana dan harus dihukum. Beban pembuktian (onus probandi) bahwa seseorang adalah jahat diargumentasikan penyidik dan Jaksa. Sementara, Advokat (Sipil sekarang) memerankan posisi Advocatus Iustitia (atau Advokat Tuhan), di mana salah satu filosofi utama adalah semua orang adalah baik, sampai dibuktikan sebaliknya. Filosofi daripresumption of innocent.William Shakespeare dengan statemennya "The first thing we do, let's kill all the lawyers", konteksnya adalah penguasa yang terganggu dengan argumen-argumen Advokat demgam pembelaan terhadap Rakyat di satu sisi, dan di lain pihak menentang kesewenangan penguasa. Advokat di sini secara moral berkualifikasi baik, integritas tinggi, komit pada penegakkan hukum. Sebaliknya, dengan konotasi dan kualifikasi bila, Rowan Atkinson atau populer dikenal Mr. Bean dalam peran jenakanya sebagai Setan (Devil) mengatakan, "Looters and advocates, welcome to hell."

Ketujuh, salah-satu cara untuk memulai praktek Advokat dalam bingkai Etika Profesi yang diidealkan adalah penjabaran praktek Hukum Acara Pidana atau Perdata lain yang mengharuskan klien sejak awal menandatangani segala bentuk "perjanjian" di mana Advokat dengan mudah terjerumus dalam kepentingan (koruptif). Argumen bahwa tidak mungkin seorang klien ditanya asal hartanya oleh calon lawyer-nya, preseden buruk atau dalih untuk menghindar dari penegakkan Advokat sebagai profesi mulia. Seolah, Advokat dapat menghalalkan segala cara untuk menutup suatu kejahatan. Menutup kebaikan atau kejahatan seseorang sehingga menerima hukuman yang tidak patut, karena rendahnya komitmen dan integritas Advokat adalah sebuah bencana penegakkan hukum. Sebaliknya, Advokat yang mempersilahkan dirinya sendiri agar mengindari conflict of interest adalah tindakan nyata yang baik.

Lebih dari itu, Organisasi Advokat atau Dewan Etik-nya memasukkan UU yang menjamin para anggotanya menjalankan Etika Profesi yang BUKAN bebas aturan dan nilai.Kedelapan, dalam semua Argumen ILC dimaksud, apresiasi khusus patut diberikan kepada aktivis (muda) dari ICW, YLBHI, PUKAT, dan beberapa tokoh muda lainnya yang membangun idealisme penegakkan Etika Profesi, di segala bidang, terutama Advokat. Tidak ada yang dihukum dan menghukum. Semua pilar penegak hukum bicara Good and clean Governance. Semestinya, Denny dianggap "makhluk aneh" karena malah mengkampanyekan penegakkan Etika Profesi. Karena, ini akan mengikat dirinya sendiri. Di situlah Denny mendapat apresiasi saya, sebagai pemerhati Etika Profesi.Pilar penegak hukum legendaris ada di negeri kita. Polisi Hoegeng, Advokat Yap Thiam Hien, aktivis-pejuang HAM Munir.

Dalam segala diskusi dan pesimisme kita tentang penegakkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, propaganda Etika Profesi dan komitmen ada pada banyak di antara kita. Wakil Ketua KPK Bambang Widjoyanto dan Denny Indrayana, boleh disebut sebagai dua orang pejabat yang punya komitmen dan terus bergumul.Selama ajal belum menjemput, seseorang tidak berhak menghakimi orang lain sebagai baik atau buruk/jahat secara mutlak. Inilah paradoks penegakkan hukum. Para penegak hukum menyadari relativitas kebenaran (hukum) mereka. Diskursus ILC besutan Karni Ilyas, dalam keseluruhannya adalah sebuah proses pencerdasan dan pemurnian komitmen pada nilai kemanusiaan, keadilan dan kebenaran demi Indonesia sebagai rechtstaat yang bermartabat di panggung dunia peradaban.*) 

*) Penulis, pemerhati Etika Profesi (IRIB Indonesia/Kompasiana/PH)

0 comments to "Istilah Advokat Jahat(Advocatus Diaboli atau Promotor Fidei ) dan Advokat Tuhan (Advocatus Iustitiaatau promoter of the Cause)."

Leave a comment