Ke-sayyid-an, Berkah atau Beban?
Sejak lama saya berencana untuk membahas masalah yang super sensitif ini. Namun keterbatasan kemampuan terutama dalam forum umum, selalu mengurungkannya. Namun niat itu kali ini sudah tidak terbendung lagi karena beberapa faktor dan peristiwa, meski ditulis tanpa persiapan (bahkan mungkin banyak ditemukan salah ketik), dan tidak didukung dengan sumber-sumber yang memadai. Alasan utama keraguan saya untuk menulisnya ialah bahwa tulisan ini hanya mengulas fenomena yang sangat khas dan tidak umum.
Saya merasa terpanggil untuk membuka masalah ini karena beban psikologis yang terus menghimpit dada saya dan orang-orang yang senasib (baca: yang kejatuhan predikat ‘sayyid’) dengan saya.
Tanpa berpretensi melakukan justifikasi, apologi dan pembelaan atau memojokkan salah satu pihak, izinkan saya, Muhsin Labib (nama ini sejak di Yapi tidak pernah bersanding dengan marga dan pasti tidak diawali dengan kata sayyid, habib, syarif dan atribut-atribut sejenisnya sebagaimana di Iran) memberikan sebuah analisis sederhana.
Kata ‘sayyid’ adalah bentuk kata kerja (ism fa’il) yang berasal dari kata baku (mashdar) ‘siyadah’ atau kata kerja lampau ‘sada’ (dengan fathah dan alif setelah huruf sin), berarti ‘menguasai’ dan ‘memimpin’.
Karena penghargaan abadi kepada para tokoh Ahlul-Bait itulah, setiap alawi atau yang memiliki garis keturunan yang terbukti membimbing umat juga dipanggil dengan predikat ‘sayyid’. Artinya, gelar ini bukanlah semata-mata pengharagaan dan pemujaan simbolik, namun juga isyarat dan mekanisme alami untuk senantiasa mengingatkan mereka yang merasa berasal dari garis nasab Ahlul-Bait untuk senantiasa mewakafkan diri sebagai abdi dan pemandu umat. Sayyid sejati sangat berjiwa rakyat, peka terhadap derita umat, dan pantang dilayani apalagi minta disanjung. Penghormatan dan pengistimewaan umat terhadap para alawi karena kontribusi dan pengorbanan mereka demi umat.
Apabila peran dan kontribusi nir-laba ini tidak lagi diberikannya, maka seorang alawi tidak patut menunggu orang memanggilnya dengan ‘sang pemimpin’ (sayyid). Artinya, ada kalanya seorang alawi tidak menyandang predikat ‘sayyid’.
Ke-alawi-an (saya lebih suka menggunakan kata ini ketimbang ‘sayyid’) dapat pula dilihat dari dua perspektif, yaitu ke-alawi-an biologis, dan ke-alawi-an ideologis. Ke-alawi-an jenis pertama dan kedua bisa terhimpun dalam satu sosok, seperti Imam Khomeini dan Hasan nasrullah, namun bisa juga terpisah, sehingga tidak semua alawi biologis menyandang ke-alawi-an ideologis, begitu pula sebaliknya. Salman Farisi, sahabat yang berasal dari ras non Arab, telah diangkat oleh sebagai ‘alawi ideologis’ dengan sabdanya yang terkenal, “Salman dari kami, Ahlul-Bait’. Hanya saja, alawi ideologis (non biologis) tidak bisa diperalkaukan sama dengan alawi bilogis dalam bidang fikih. Sebaliknya ‘sayyid’ yang membenci mazhab Ahlubait dan menghahalkan darah para penganutnya adalah ‘Kan’an’ (miniatur dari putra Nabi Nuh as).
Dengan persepsi yang luas ini, semestinya pendekotomian dan pengangakatan isu-isu sensitif seputar kesayyidan dan ke-alawi-an tidak perlu mendominasi ruang-ruang diskusi dan membuat kita lupa akan agenda-agenda serta proyeksi dakwah ke depan.
Pesoalan ini menjadi memalukan dan memilukan mana kala tendensi negatif menjadi salah satu faktor di balik pewacanaannya. Isu kesayyidan telah memakan banyak korban dan menggerus militansi bahkan merenggangkan hubungan emosional kepada para tokoh Ahlul-Bait apabila diungkapkan dengan diksi yang sangat dangkal dan ambigu.
Harus diakui, predikat ‘sayyid’ di kalangan komunitas Syiah di Indonesia telah menjadi beban determinan. Bagaimana tidak, sering kali kesalahan seseorang bisa ditimpakan atas sebuah predikat atau bahkan atas sebuah keluarga besar dan argumentum ad hominem kerap menjadi senjata yang sangat efektif. Bila itu terjadi, maka kesayyidan adalah bencana karena diperlakukan sebagai dosa bersama.
Tidak sedikit generasi alawi yang bermazhab Syiah di Indonesia yang cenderung membenci kodrat diri sendiri (baca: kesayyidan yang diperoleh secara determinan) demi menegaskan bahwa apabila sikap kritis alawi terhadap prilaku sesama alawi lebih menjamin kebersihan dari b ias atau tendensi negatif yang sangat kontra-produktif. Saya sendiri dan beberapa teman yang merasa sesak karena ‘ketiban’ kesayyidan, seperti Ali Shahab alias Ben Sohib, dan Umar Baragbah alias Muawiyah bin Abu Gozok telah memulai sebuah gerakan auto-kritik yang tidak kalah ‘pedas’ dibanding dengan orang-orang yang tidak ketiban beban ini.
Apabila kita jujur dan membuka hati kita selebar lapangan Senayan, maka kita semua –baik yang ketiban maupun yang tidak- mesti berkesimpulan bahwa kesyiahan meniscayakan kecintaan dan ketaatan kepada Nabi dan keluarganya serta penghormatan kepada anak keturunannya.
Lalu mengapa isu ini masih saja mencuat ke permukaan? Banyak faktor yang mempengaruhinya. Salah satunya adalah lragam atarbelakang orientasi keagamaan masyarakat Indonesia, termasuk tradisi dan pola interkasi terhadap kominitas alawi yang berimplikasi terhadap intensitas yang beragam menyangkut persoalan kesayyidan –sebelum mengenal mazhab Syiah- . Tradisi dan pola penghormatan, yang sebagian irasional, terhadap alawi di kalangan sunni trasdisional seperti NU, yang memiliki hubungan historis dan emosional dengan para pendakwah dari Yaman, sangat berbeda dengan pola perlakuan kaum pembaharuan, seperti Muhammadiyah dan lainnya. Dua latar belakang orientasi keagamaan yang berbeda ini –akibat proses konversi ke mazhab Syiah- bertemu dalam sebuah komunitas yang masih baru di indonesia. Terjadilah pergesekan kecil, dari sekadar lontaran-lontaran gurau hingga meletus menjadi isu paling kontraproduktif.
Komunitas Syiah di indonesia, yang masih baru dan terdiri dari dua latar belakang yang bersebarang ini, memang sedang berproses untuk menemukan jatidirinya yang baru, bukan ala NU yang tradisionalis dan bukan pula ala Muhammdiyah, bukan ala Iran yang berbeda dengan karakter indonesia, dan bukan pula ala Irak yang tidak mirip dengan identitas Indonesia.
Persoalan seputar taqlid, marja’iyah dan wilayah al-faqih juga tidak semestinya dijadikan sebagai alasan untuk berlomba mencari kata yang paling efektif untuk merawat kebencian dan menyuburkan rasa saling curiga. Menjadi alawi (sayyid biologis) bukanlah pilihan. Dan karena ia bukan pilihan, maka seseorang tidak layak dicemooh, didengki atau dijadikan sebagai alasan untuk sombong dan pongah. Sopir metromini yang ugal-ugalan tidak patut dicemooh karena kebatakannya, namun layak ditegur karena caranya mengemudi mobil. Ia tidak memilih menjadi sihombing atau Ginting. Demikian pula orang yang berkulit hitam atau bertubuh pendek, tidak layak dicemooh atau ditertawakan, karena itu bukanlah sesuatu yang diperoleh karena kerja keras atau prestasi. Bila seorang alawi (sayyid) melakukan perbuatan tercela, maka yang patut dicela bahkanb, bila perlu dihukum mati, karena perbuatannya, buka karena kesayyidannya.
Setiap alawi yang bermazhab Syiah pasti meyadari bahwa kesayyidan bukanlah alat dongkrak kesombongan, apalagi memang sejauh ini perlakuan istimewa itu tidak akan pernah didapat di tengah komunitas yang semi-NU dan mantan Muhammadiyah ini. Tapi, apabila ia bukan anugerah dan bintang jasa, setidaknya para non sayyid juga tidak menjadikannya sebagai jurus mematikan setiap kali terjadi polemik. Kasarnya, kalau bukan anugerah dan berkah, paling tidak, jangan jadi bencana.
Saya yakin, para sayyid yang menganut mazhab Ahlul-Bait adalah orang-orang yang telah rela untuk tidak mendapatkan hak-hak istimewa sebagaimana bisa dinikmatinya bila tetap Sunni, terutama bila hidup di sentra-sentra otoritas tradisional alawi di sejumlah kota di Indonesia. Kesyiahan mereka semestinya dilihat dengan positive thinking sebagai dekalarasi bahwa kesayyidan tanpa ketaatan kepada Nabi dan keluarganya adalah bumerang.
Setiap penganut mazhab Ahlul-Bait berpeluang untuk menjadi sayyid dan menjadi salman Farisi dan Muhammad bin Abu Bakr. Setiap orang yang memegang teguh tawalli dan tabarri adalah putra-putri Ali bin Abi Thalib.
Bila tulisan ini menyinggung dan mencederai perasaansiapapun, saya dari hati yang amat dalam memohon maaf sebesar-besarnya.(http://www.muhsinlabib.com/kontroversi/ke-sayyid-an-berkah-atau-beban/Posted on )
Qommi: Maju Kena, Mundur Apalagi..?
oleh DR. Muhsin Labib MA
Saya sempat dikabari oleh beberapa teman adanya opini (kalau tidak disebut serangan) atau pandangan yang berisikan kalimat2 pedas terhadap alumnus Qum bahkan terhadap marja' dan hauzah. Saya tidak menanggapinya secaraspesifik, karena di iklim keterbukaan, setiap orang dianggap berhak berpendapat.
Beberapa tahun lalu saya sempat menulis sebuah artikel ringan berjudul " Qummi, Maju, Kena Mundur, Apalagi...?" Seraya berharap tidak menimbulkan efek negatif dan memperlebar polemik yang merugikan persatuan internal, saya turunkan lagi artikel itu di bawah ini.
Qommi: Maju Kena, Mundur Apalagi..?
Selain ‘kesayyidan’ dan WF, masalah ‘Qomiyin’ merupakan salah satu hot issue sepanjang sejarah komunitas AB di Indonesia. Entah, bagaimana asal muasalnya, yang jelas, seorang yang ketiban predikat ‘alumni Qom’ berada di antara dua sisi ekstrem, dipuja-puja secara berlebihan dan dicemooh dan dibenci secara habis-habisan. Ini benar-benar menyesakkan dada. Kadang malah saya menyesali masa lalu bila membandingkan untung dan ruginya. Salah satu penyebab situasi ini, lagi-lagi adalah generalisasi dari suatu peristiwa negatif atau komunikasi yang buntu (bahasa halusnya) dan tidak tersedianya waktu untuk klarifikasi dan silaturahmi.
Paragraf-paragraf di bawah ini hanyalah analisa yang subjektif dari salah seorang yang ‘ketiban’ predikat ini. Mohon dimaklumi dan dimaafkan bila kurang ‘ilmiah’ atau kurang santun.
Meski belum ada pansus yang bertugas memperjelas pengertian ‘qommi’ dan kriteria-kriterianya, qommi dapat didefisinikan secara sederhana sebagai predikat oleh orang yang, menurut urf (opini umum), pernah menjadi pelajar resmi di Qom.
Sejauh pengamatan saya, banyak masalah yang bisa dijelentrehkan dalam tema ini, antara lain: 1) hubungan antara qomiyin senior dan yunior di Qom saat ini; 2) hubungan antara qumiyin aktif (terutama yang ter-mahasiswa-kan atau generasi Madrasah Imam Khomeini) dan alumnus Qom (generasi pra universitas atau Madrasah Hojjatiyeh); 3) hubungan antara qomiyin yang memiliki kiprah luas dan qomiyin yang belum memiliki kiprah luas; 4) hubungan antar sesama qumiyyin yang memiliki kiprah luas; 5) hubungan antara qummiyin dengan para alumnus non Qom, seperti Syria, Mesir, Arab Saudi dan lainnya maupun yang non-luar negeri.
Masing-masing relasi menyimpan persoalan-persoalan yang sebagian besar merupakan efek tak terhindarkan dari rendahnya kualitas komunikasi, kompetisi yang tidak disikapi secara dewasa, karakter sosial-budaya masyarakat Iran yang menjadi habit secara perlahan namun pasti. Tentu banyak persoalan lain yang terkait dengannya.
Perubahan iklim dan peta politik Iran dan Timur Tengah, terutama seusai perang Irak-Iran, Perang teluk II dan 11 September yang berujung dengan invasi AS di Irak telah menuntut Hawzah untuk melakukan perubahan demi perubahan terhadap sistem penyelenggaraan pendidikan yang semula lebih mengutamakan teks dan konten dan mengabaikan forma dan metodologi untuk menjadi komprehensif, terutama bagi para pelajar asing.
Sebagai salah satu anggota kloter pertama yang masuk ke hawzah, pada 1982, saya cukup bisa merasakan tingkat keberuntungan para pelajar era 2000 tahun. Tanpa bermaksud menceritakan duka seorang ‘kelinci percobaan’, situasi yang saya rasakan saat pertama kali menjejakkan kaki di kota Qom, benar-benar membuat saya yang saat itu berusia 15 tahun, geleng-geleng kepala. Tak ada persiapan yang wajar, apalagi di atasnya. Bangunan madrasah yang kita masuki masih penuh debu. Hari-hari itu bangsa Iran sedang sibuk dengan mobilisasi militer guna menghadang agresi Saddam. Di sana sini terdengar dentuman bom yang dikentutkan oleh MIG 2000 dan Mirage di tengah kota. Warga Qom nampak sibuk antri mengambil jatah minyak goreng dan sembako. Kelas sering diliburkan secara mendadak karena ada upacara pemakaman puluhan jazanah pahalawan yang gugur di medan tempur. Kurikulum selalu berubah. Nampaknya para pejabat Shura-ye Sarparasti Tholab-e Ghare Irani memang sedang kebingungan untuk mencari format pendidikan yang sesuai dengan para pelajar asing yang berbeda kemampuan, dari Indonesia, negara-negara Arab non Syiah, Afrika, dan bahkan Eropa. Soal fasilitas, jangan ditanya karena akan mengembalikan kenangan buruk. Dengan bekal pendidikan yang semrawut dan sisitem yang ‘megelin’, para alumnus yang lahir dari situasi demikian, mesti harus diterima dan diapresiasi. Apalagi dengan bekal pendidikan dan fasilitas yang serba kurang (nir-ijazah lagi!!), mereka masih harus memulai tugas yang sunggu berat, membabat hutan dan memperkenalkan mazhab AB dengan segala risiko, terutama risiko politik Orde Baru yang mencurigai Iran sebagai pengekspor revolusi. Mungkin suatu saat bisa dinovelkan, asalkan ada yang rela merekam tuturannya lebih dulu, he he…
Kini para qumiyin memilih ‘nasib’nya sendiri-sendiri. Ada yang sukses secara material, banyak pula yang belum beranjak dari tahta kemiskinan. Ada yang menjadi pembina lembaga-lembaga dakwah dan merawat umat dengan segala persoalannya. Ada yang hpnya tidak pernah dihinggapi undangan ceramah di majelis taklim ibu-ibu. Ada yang memang sudah tidak akrab dengan mike dan podium bahkan dalam majelis taklim non ibu-ibu. Ada pula yang melenggang sendiri sebagai ‘ustadz swasta’, tanpa yayasan dan miskin umat. Ada pula yang banting setir dan menyandang aneka profesi, mulai dari makelar sampai penerjemah.
Beberapa tahun lalu saat diminta mengisi sebuah lokakarya di yayasan Al-Jawad Bandung, saya secara gurau membagi pra ustzadz dalam beberapa kategori, 1) ‘Ustadz afwan’, yaitu dai yang bukan hanya tidak dapat amplop, malah diminta untuk mengganti ongkos angkutan para peserta pengajian. Satu-satunya penghargaan yang dia peroleh adalah ucapan ‘ahsantum’ tanpa sedikitpun embel-embel. Ia juga kerap menjadi sasaran serbuan proposal dan surat keluhan. Biasanya, semua uangnya sudah habis karena lenyap dalam ajakan kerjasama bisnis yang sangat abstrak, dan dipinjam oleh seseorang yang, tiba-tiba, menjadi anggota ormas yang berafiliasi lain, sehingga hampir tidak pernah bertemu lagi dalam even-even khas AB. 2) ‘Ustadz syukran’, yaitu dai yang meski tidak dirugikan secara finansial, tidak mendapatkan reward dari pengabdiannya. Semoga Allah melipatgandakan pahala mereka. 3) ‘Ustadz tafadhdhal’. Wah kalau yang ini memang punya pesona spesial yang sulit ditandingi bahkan oleh para profesor dan doktor lulusan luar negeri. Tapi, setahu saya, para ustadz kelompok ketiga ini punya kepedulian sosial yang luar biasa. Ada beberapa keluarga miskin di kalangan AB yang dibiayayinya. Ia juga mendanai beberapa yayasan AB di Jakarta dan lainnya. Mereka menjadi tempat parkir aneka keluhan dan curhak ekonomi. Semoga Allah membalas kebaikan mereka.
Sepatutnya para senior jangan terlalu larut dalam posisi itu, namun juga merentangkan jalan bagi para yunior untuk melanjutkan proyek dakwah yang tentu lebih berat dan menantang. Harus ada penghormatan mutual agar tidak menyuguhkan hiburan gratis ‘adu jotos’ di hadapan para pembenci mazhab AB di Indonesia.
Sebetulnya secara natural, para ustadz dan dai AB terdistribusi ke lahan-lahan dakwah sesusai kemampuan dan bidang utamanya. Sekelompok ustadz memfokuskan dakwahnya di kalangan ekternal non AB baik di majelis-majelis taklim rutin maupun pengajian even seperti maulid dan sebagainya. Sebagian dari mereka sukses menembus media elektronik televisi dan radio FM. Tentu, pola dakwahnya cenderung menampilkan kesamaan dan menghindari penggunaan simbol-simbol eksplisit AB (soft ustadz). Sekelompok lain mengabdikan waktunya untuk membina komunitas internal AB. Sebagian dari mereka membina secara struktural dan permanen lembaga yayasan atau sekolah diniyah. Sebagian lain membina dan mengisi acara-acara dakwah di berbagai lembaga AB sebagaimana diatur dengan regulasi dan rotasi IMAN. Para ustadz internal adalah dai-dai yang paling layak untuk dihormati karena merekalah yang rela membina dan duduk bersama dengan kelompok miskin AB. Kelompok ketiga cenderung ‘berjalan’ sendiri, kadang aktif di kalangan internal dan sering pula aktif di luar, terutama seminar dan sarasehan serta bedah buku. Semuanya memberikan kontribusi yang layak dihargai, dengan segala kekurangannya. Tentu ini semua dapat lebih optimal bila teman-teman yunior yang lebih segar dan terdidik dengan sistem yang lebih rapi bisa ‘turun gurung’ kelak.
Senior kalah pandai? La iya lah.. Sistem pendidikan yang lebih maju dan terbukanya akses informasi dan komunikai modern dan lainnya adalah faktor-faktir yang menunjang melebarnya jarak prestasi kedua generasi ini. Generasi yunior atau para mahasiswa Indonesia lebih cerdas, kritis dan komunikatif, dan semoga lebih teduh dan lebih matang. Para senior dengan hati yang lapang mesti merentangkan jalan bagi generasi fresh untuk melanjutkan misi dakwah dengan paradigma yang lebih strong.(http://www.facebook.com/yandasadra/posts/4670129428886)
Beberapa tahun lalu saya sempat menulis sebuah artikel ringan berjudul " Qummi, Maju, Kena Mundur, Apalagi...?" Seraya berharap tidak menimbulkan efek negatif dan memperlebar polemik yang merugikan persatuan internal, saya turunkan lagi artikel itu di bawah ini.
Qommi: Maju Kena, Mundur Apalagi..?
Selain ‘kesayyidan’ dan WF, masalah ‘Qomiyin’ merupakan salah satu hot issue sepanjang sejarah komunitas AB di Indonesia. Entah, bagaimana asal muasalnya, yang jelas, seorang yang ketiban predikat ‘alumni Qom’ berada di antara dua sisi ekstrem, dipuja-puja secara berlebihan dan dicemooh dan dibenci secara habis-habisan. Ini benar-benar menyesakkan dada. Kadang malah saya menyesali masa lalu bila membandingkan untung dan ruginya. Salah satu penyebab situasi ini, lagi-lagi adalah generalisasi dari suatu peristiwa negatif atau komunikasi yang buntu (bahasa halusnya) dan tidak tersedianya waktu untuk klarifikasi dan silaturahmi.
Paragraf-paragraf di bawah ini hanyalah analisa yang subjektif dari salah seorang yang ‘ketiban’ predikat ini. Mohon dimaklumi dan dimaafkan bila kurang ‘ilmiah’ atau kurang santun.
Meski belum ada pansus yang bertugas memperjelas pengertian ‘qommi’ dan kriteria-kriterianya, qommi dapat didefisinikan secara sederhana sebagai predikat oleh orang yang, menurut urf (opini umum), pernah menjadi pelajar resmi di Qom.
Sejauh pengamatan saya, banyak masalah yang bisa dijelentrehkan dalam tema ini, antara lain: 1) hubungan antara qomiyin senior dan yunior di Qom saat ini; 2) hubungan antara qumiyin aktif (terutama yang ter-mahasiswa-kan atau generasi Madrasah Imam Khomeini) dan alumnus Qom (generasi pra universitas atau Madrasah Hojjatiyeh); 3) hubungan antara qomiyin yang memiliki kiprah luas dan qomiyin yang belum memiliki kiprah luas; 4) hubungan antar sesama qumiyyin yang memiliki kiprah luas; 5) hubungan antara qummiyin dengan para alumnus non Qom, seperti Syria, Mesir, Arab Saudi dan lainnya maupun yang non-luar negeri.
Masing-masing relasi menyimpan persoalan-persoalan yang sebagian besar merupakan efek tak terhindarkan dari rendahnya kualitas komunikasi, kompetisi yang tidak disikapi secara dewasa, karakter sosial-budaya masyarakat Iran yang menjadi habit secara perlahan namun pasti. Tentu banyak persoalan lain yang terkait dengannya.
Perubahan iklim dan peta politik Iran dan Timur Tengah, terutama seusai perang Irak-Iran, Perang teluk II dan 11 September yang berujung dengan invasi AS di Irak telah menuntut Hawzah untuk melakukan perubahan demi perubahan terhadap sistem penyelenggaraan pendidikan yang semula lebih mengutamakan teks dan konten dan mengabaikan forma dan metodologi untuk menjadi komprehensif, terutama bagi para pelajar asing.
Sebagai salah satu anggota kloter pertama yang masuk ke hawzah, pada 1982, saya cukup bisa merasakan tingkat keberuntungan para pelajar era 2000 tahun. Tanpa bermaksud menceritakan duka seorang ‘kelinci percobaan’, situasi yang saya rasakan saat pertama kali menjejakkan kaki di kota Qom, benar-benar membuat saya yang saat itu berusia 15 tahun, geleng-geleng kepala. Tak ada persiapan yang wajar, apalagi di atasnya. Bangunan madrasah yang kita masuki masih penuh debu. Hari-hari itu bangsa Iran sedang sibuk dengan mobilisasi militer guna menghadang agresi Saddam. Di sana sini terdengar dentuman bom yang dikentutkan oleh MIG 2000 dan Mirage di tengah kota. Warga Qom nampak sibuk antri mengambil jatah minyak goreng dan sembako. Kelas sering diliburkan secara mendadak karena ada upacara pemakaman puluhan jazanah pahalawan yang gugur di medan tempur. Kurikulum selalu berubah. Nampaknya para pejabat Shura-ye Sarparasti Tholab-e Ghare Irani memang sedang kebingungan untuk mencari format pendidikan yang sesuai dengan para pelajar asing yang berbeda kemampuan, dari Indonesia, negara-negara Arab non Syiah, Afrika, dan bahkan Eropa. Soal fasilitas, jangan ditanya karena akan mengembalikan kenangan buruk. Dengan bekal pendidikan yang semrawut dan sisitem yang ‘megelin’, para alumnus yang lahir dari situasi demikian, mesti harus diterima dan diapresiasi. Apalagi dengan bekal pendidikan dan fasilitas yang serba kurang (nir-ijazah lagi!!), mereka masih harus memulai tugas yang sunggu berat, membabat hutan dan memperkenalkan mazhab AB dengan segala risiko, terutama risiko politik Orde Baru yang mencurigai Iran sebagai pengekspor revolusi. Mungkin suatu saat bisa dinovelkan, asalkan ada yang rela merekam tuturannya lebih dulu, he he…
Kini para qumiyin memilih ‘nasib’nya sendiri-sendiri. Ada yang sukses secara material, banyak pula yang belum beranjak dari tahta kemiskinan. Ada yang menjadi pembina lembaga-lembaga dakwah dan merawat umat dengan segala persoalannya. Ada yang hpnya tidak pernah dihinggapi undangan ceramah di majelis taklim ibu-ibu. Ada yang memang sudah tidak akrab dengan mike dan podium bahkan dalam majelis taklim non ibu-ibu. Ada pula yang melenggang sendiri sebagai ‘ustadz swasta’, tanpa yayasan dan miskin umat. Ada pula yang banting setir dan menyandang aneka profesi, mulai dari makelar sampai penerjemah.
Beberapa tahun lalu saat diminta mengisi sebuah lokakarya di yayasan Al-Jawad Bandung, saya secara gurau membagi pra ustzadz dalam beberapa kategori, 1) ‘Ustadz afwan’, yaitu dai yang bukan hanya tidak dapat amplop, malah diminta untuk mengganti ongkos angkutan para peserta pengajian. Satu-satunya penghargaan yang dia peroleh adalah ucapan ‘ahsantum’ tanpa sedikitpun embel-embel. Ia juga kerap menjadi sasaran serbuan proposal dan surat keluhan. Biasanya, semua uangnya sudah habis karena lenyap dalam ajakan kerjasama bisnis yang sangat abstrak, dan dipinjam oleh seseorang yang, tiba-tiba, menjadi anggota ormas yang berafiliasi lain, sehingga hampir tidak pernah bertemu lagi dalam even-even khas AB. 2) ‘Ustadz syukran’, yaitu dai yang meski tidak dirugikan secara finansial, tidak mendapatkan reward dari pengabdiannya. Semoga Allah melipatgandakan pahala mereka. 3) ‘Ustadz tafadhdhal’. Wah kalau yang ini memang punya pesona spesial yang sulit ditandingi bahkan oleh para profesor dan doktor lulusan luar negeri. Tapi, setahu saya, para ustadz kelompok ketiga ini punya kepedulian sosial yang luar biasa. Ada beberapa keluarga miskin di kalangan AB yang dibiayayinya. Ia juga mendanai beberapa yayasan AB di Jakarta dan lainnya. Mereka menjadi tempat parkir aneka keluhan dan curhak ekonomi. Semoga Allah membalas kebaikan mereka.
Sepatutnya para senior jangan terlalu larut dalam posisi itu, namun juga merentangkan jalan bagi para yunior untuk melanjutkan proyek dakwah yang tentu lebih berat dan menantang. Harus ada penghormatan mutual agar tidak menyuguhkan hiburan gratis ‘adu jotos’ di hadapan para pembenci mazhab AB di Indonesia.
Sebetulnya secara natural, para ustadz dan dai AB terdistribusi ke lahan-lahan dakwah sesusai kemampuan dan bidang utamanya. Sekelompok ustadz memfokuskan dakwahnya di kalangan ekternal non AB baik di majelis-majelis taklim rutin maupun pengajian even seperti maulid dan sebagainya. Sebagian dari mereka sukses menembus media elektronik televisi dan radio FM. Tentu, pola dakwahnya cenderung menampilkan kesamaan dan menghindari penggunaan simbol-simbol eksplisit AB (soft ustadz). Sekelompok lain mengabdikan waktunya untuk membina komunitas internal AB. Sebagian dari mereka membina secara struktural dan permanen lembaga yayasan atau sekolah diniyah. Sebagian lain membina dan mengisi acara-acara dakwah di berbagai lembaga AB sebagaimana diatur dengan regulasi dan rotasi IMAN. Para ustadz internal adalah dai-dai yang paling layak untuk dihormati karena merekalah yang rela membina dan duduk bersama dengan kelompok miskin AB. Kelompok ketiga cenderung ‘berjalan’ sendiri, kadang aktif di kalangan internal dan sering pula aktif di luar, terutama seminar dan sarasehan serta bedah buku. Semuanya memberikan kontribusi yang layak dihargai, dengan segala kekurangannya. Tentu ini semua dapat lebih optimal bila teman-teman yunior yang lebih segar dan terdidik dengan sistem yang lebih rapi bisa ‘turun gurung’ kelak.
Senior kalah pandai? La iya lah.. Sistem pendidikan yang lebih maju dan terbukanya akses informasi dan komunikai modern dan lainnya adalah faktor-faktir yang menunjang melebarnya jarak prestasi kedua generasi ini. Generasi yunior atau para mahasiswa Indonesia lebih cerdas, kritis dan komunikatif, dan semoga lebih teduh dan lebih matang. Para senior dengan hati yang lapang mesti merentangkan jalan bagi generasi fresh untuk melanjutkan misi dakwah dengan paradigma yang lebih strong.(http://www.facebook.com/yandasadra/posts/4670129428886)
ALQOIMKALTIM.COM- Di kalangan aktivis LSM Kalimantan Selatan, lelaki kelahiran Barabay, 15 September 1966 ini biasa dipanggil Habib Ali. Dari namanya mudah diketahui ia berdarah Arab dari garis Al-Habsyi, nama sebuah klan. Saya beruntung dalam sebuah kesempatan awal tahun lalu, tepatnya 26 Februari 2008, bisa menemui lelaki ramah dan terbuka ini.
Ditemani Ghazali salah seorang teman aktivisLembaga Kajian KeislamandanKemasyarakatan(LK3) Banjarmasin, kami menemui Habib Ali di sekretariatBaitul Mal Wattamwil (BMT) Ar-Ridha, tak jauh dari Pasar Martapura. Dengan berkendara motor, dari kota Banjarmasin butuh waktu hampir sejam untuk sampai ke tempat itu. Kami tiba menjelang siang.
Saat memasuki Kabupaten Banjar, aura islamisasi terasa kental. Di gapura gerbang wilayah yang menghadang perjalanan menuju Kabupaten Banjar tertera ucapan Selamat Datang menggunakan dua versi bahasa: Indonesia dan Arab Melayu. Dan hampir semua papan nama instansi pemerintah di sisi kiri-kanan jalan saya lihat menggunakan dua bahasa.
Di kabupaten ini pemandangan tersebut terjadi berkat “kerja keras”Rudy Ariffin, Bupati Banjar periode 2000-2004. Rancangan peraturan daerah (raperda) yang diajukannya disetujui DPRD setempat. Tokoh yang berlatar belakang Nahdliyin dan dekat dengan tokoh agama setempat itu sukses meraih simpati warganya. Modal itu yang digunakannya menuju kursi Gubernur yang sekarang dipegang untuk periode 2005-2010. Sejumlah aktivis di Kalimantan Selatan, termasukLK3 mengkritik keras usaha Rudi Arifin dan para politisi di DPRD itu. Mereka menganggapnya bagian dari formalisasi agama yang dapat mengancam pluralitas masyarakat Kalsel.
”Saya sudah bosan di LSM. Sudah puluhan tahun. Kalau tidak ada proyek, tidur. Saya berpikir mengapa kita tidak mandiri saja? Kita kan punya pasar, masjid, lahan, ada kelompok,” jawab Ali Al-Habsyi ketika saya tanya mengapa tertarik menekuni BMT. Di sebuah kedai minuman pinggir jalan, ditemani jus jambu, kopi, dan beberapa panganan ringan, ia berkisah panjang lebar tentang pengelolaan ekonomi umat, termasuk isu pluralisme, dan gerakan sosial keagamaan di Kalimantan Selatan.Beberapa jam bertemu lelaki ini, saya bisa merasakan bahwaAli Al-Habsyi dikenal baik olehmasyarakat. Sejumlah orang yang berpapasan biasa memberi salam.
Mulai tahun 90-an Ali Al-Habsyi memang sudah malang melintang di dunia NGO lokal.Salah satunya Kompas Borneo. Setelah itu pernah aktif di Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Adat (LPMA) Borneo Selatan, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalimantan Selatan, dan LK3. Sampai sekarang ia masih menjalin komunikasi inten dengan para aktivis kelompok-kelompok tersebut.
Ia memulai aktivitasnya mengembangkan potensi ekonomi akar rumput itu lewat pemberdayaan BMT masyarakat pada tahun 1997. ”Saya bikin proposal lalu menemui banyak orang dan bicara kepada mereka mengenai BMT termasuk meminta mereka menitipkan uangnya untuk dikelola. Alhamdulillah berhasil,” kenangnya.
Sebelum memiliki kendaraan motor yang baru bisa dibeli tahun2002, ia biasa berjalan kaki berkilo-kilo untuk menawarkan dan mengelola kegiatan ekonomi. Bersama Jahirudin, temannya di Kompas Borneo, mereka berbagi peran. Jahirudin di dalam, Ali yang bertugas di jalanan sebagai marketing.
Dari aktivitas inilah ia mulai banyak terlibat di sejumlah pendampingan dan pengelolaan BMT. Di antaranya menjadi salah seorang pendiri BMT NU Banjarmasin yang kini beromset sekitar 7 milyar dengan anggota kebanyakan pedagang kecil pasar Martapura. Selain itu BMT Muhammadiyah Surya Sekawan, BMTMasjid Al-Karomah, KUB Alpa Salam Landasan Ulin beranggotakan 87 orang para petani sayur, dan KUB di Astambun dengan dana bergulir 25 juta rupiah.
Tak puas dengan itu, tahun 2002 ia mendirikan BMT yang dikelolannya sendiri. Namanya BMT Ar-Ridha Martapura. Modal awalnya 54 juta rupiah.DariHabib Abu Bakar Al-Athas salah seorang tokoh agama setempat 35 juta, dan 19 juta dari kantong pribadinya. Sekarang BMT inisudahmemiliki omset sekitar 5 milyar. Dana outstanding 1 milyar, 500 juta dalam bentuk kas. Selebihnya berbentuk tanah dan bangunan. Dalam pengelolaannya ia dibantu lima karyawan yang digaji sesuai UMP sekitar 800 ribu rupiah.
Umumnya anggota BMT Ali ibu-ibu wargasekitar Martapura. Untukkategorimudharabah (bagi hasil)sudah mencapai1500 orang, 1000 santri yang menabung, dan 1000 orang tercatat sebagai penabung Gula Ramadhan. Gula Ramadhanmerupakan tabungan 1000 rupiahsetiap minggu yang akan diambil menjelang Ramadhan. Ada pula Tabungan Zarah ke Jawa yang minimal diikuti 60-an orang.
Ali Al-Habsyi sengaja memilih target ibu-ibu karena dianggap sebagai kelompok paling strategis. Alasannya pertama, kebanyakan ibu-ibu adalah yang memegang uang rumah tangga. Kedua, ketimbang kaum bapap, kaum ibu lebih aktif seperti mengikuti pengajian, arisan dan lain-lain. Ketiga, mereka rata-rata yang mengelola manajemen ekonomi keluarga. ”Kalau mereka boros, rumah tangga bisa berantakan”.
Sebagian anggota BMT tak semuanya muslim. ”Hindu Bali, Katolik, juga ada”. Namun buatnya perbedaan itu bukanlah masalah. Islam, katanya, menghargai kemanusian sebab berasal dari nabi yang sama: Nabi Adam. ”Saya percaya, mereka yang beramal saleh, siapa saja, pasti akan mendapat pahala dari Allah. Wa man ay-ya`mal mitsqal al-ladzaratin khairan yarah, Wa man ay-ya`mal mitsqal al-ladzaratin syarran yarah (barang siapa berbuat kebaikan meski sebiji zarah pasti terlihat, dan barang siapa berbuat keburukan meski sebiji zarah pun akan tetap terlihat). Dalam tataran sosial tidak ada istilah kafir. Soal aqidah? Lakum dinukum waliyadin (bagimu agamamu, bagiku agamaku)”.
Hasil usaha puluhan tahun itu sudah dirasakan dampaknya. Masyarakat sekitar sudah mulai gemar menabung. Mereka juga telah terbiasa menabung dulu sebelum dibelanjakan. ”Bahkan ada orang tua santri yang menitipkan uang untuk diambil tiga tahun kemudian setelah anaknya lulus dari pesantren,” kata Ali memberi contoh.
Untuk meyakinkan masyarakat menabung di BMT, mula-mula Ali masuk ke pengajian-pengajian dan bersilaturrahim dengan tokoh agama setempat. Dengan latar belakang kultur keagamaan yang kental, Ali berpikir bahasa dakwah akan lebih mengena. Karena itu ia mulai bicara tentang konsep mensyukuri nikmat dengan cara menabung. Tak hanya bahasa dakwah, ia juga memakain bahasa rasional dan logis dengan contoh-contoh. ”Misalnya Ibu Tuti itu mulanya kaya. Tapi dia boros dan banyak utang. Sekarang Jatuh miskin. Ibu Safiah penjual jamu sekarang bisa kaya karena menabung. Bisa membuat rumah kontrakan dan menyekolahkan anak-anaknya”
Pengalaman pengelolaan ekonomi mikro didapat Ali Al-Habsyi dari berbagai pelatihan. Ia pernah mengikuti pelatihan pengelolaan ekonomi mikro oleh BPRS Kalsel selama tiga bulan di Bandung, sempat magang di Bank Muamalat di Jakarta atasbiayaPemdasetempatselama dua bulan, pelatihan ekonomi mikro dan simpan pinjam disponsori LPMA bekerja sama dengan Credit Union.
Ia juga punya pengalaman sebagaikonsultandibeberapa program ekonomi mikro. Salah satunya konsultas progrma Bank Dunia untuk ekonomi Mikro di Kalsel sejak 2003-2006. “Mau ditambah ngga mau”. Konsultan untuk program subsidi BBM Kabupaten Banjar tahun 2000-2003.
Di luar aktivitas ekonomi sekarang,ia jugamendampingi sekitar 90 orang pamulungdi wilayahMartapura, dan sekitar 100 para pedagang kaki lima Murjani Banjarbaru sejak tahun 2000 waktu ada isu pembunuhan anak jalanan. Sudah setahun ini mantan aktivis HMI Unlamitumenggelar pengajian bagi sekitar 50 orang anak-anak punk yang diberi nama Pengajian Kaki Langit di trotoar-trotoar jalan. Mereka sering melakukan pengajian santai di tempat terbuka. Rumahnya yang bisa ditempuh 10 menit menggunakan sepeda motor dari Pasar Martapura menjadi basecamp bagi kelompok-kelompok dampingannya.
Ia sendiri sangat sadar usahanya ini hanya bagian kecil, bahkan tak ada apa-apanya, dari usaha untuk memperbaiki negara yang kata Ali Habsyi tak punya cukup visi jauh ke depan. Tapi ia percaya jika banyak orang mau berbuat sesuatu pasti akan bisa merubah sesuatu ke arah yang lebih baik. Negeri ini menurutnya punya kemampuan untuk mandiri, namun lantaran sistem tak mendukung justru terpuruk. ”Sistem kita lebih banyak sistem pragmatis!”
Sumber: majalah Majemuk, Edisi 37 Maret-April 2009 hal. 51-54/alqoimkaltim.com
Syiah, tasawuf, dan Revolusi Islam Iran
14 September 2012 - 19:51 WIB
Tradisi Islam Syiah pertama kali masuk Indonesia antara lain melalui jalur tasawuf sekian ratus tahun silam, tetapi Revolusi Islam 1979 di Iran menumbuhkan Syiah menjadi ideologi yang menarik kaum intelektual.
Anggota Dewan Syura Ahlulbait Indonesia ABI, Muhsin Labib mengatakan, mengutip sebuah penelitian, salah-satu bukti bahwa pengaruh Syiah telah lama berkembang di Indonesia, dapat dilihat dari kesamaan beberapa tradisi Syiah dengan praktek tasawuf, ajaran Kejawen serta nilai-nilai yang diajarkan para Wali Songo di Jawa.
Hal itu hanyalah satu contoh, kata Muhsin, betapa ajaran Syiah sudah lama terserap di masyarakat Indonesia."Ajaran pantheisme, seperti manunggal ing kawulo gusti, itu 'kan sinkron dengan pandangan teologis Syiah," kata Muhsin Labib kepada wartawan BBC Indonesia, Heyder Affan, melalui telepon, Kamis (13/09).
"
"Kemudian kita lihat jejak dan situs sejarah yang menegaskan kehadiran Syiah di Indonseia, jauh sebelum Islam Arab yang muncul di bumi nusantara," kata Muhsin, " misalnya di Aceh, Bengkulu, kraton Solo, ada (tradisi) Suro..."
Karenanya, lanjut Muhsin, banyak istilah dalam bahasa Indonesia yang berasal dari Persia. "Misalnya nakhoda, bandara, syah.. Itu semuanya menghubungkan ada hubungan yang cukup lama antara Syiah dan Indonesia.
Dan, "orang memakai peci hitam itu bisa dikaitkan dengan simbol ke-Syiah-an," ungkap Doktor Muhsin Labib, yang juga menjadi staf pengajar di Universitas Paramadina, Jakarta.
Dari kenyataan sejarah ini, lanjutnya, menunjukkan betapa tradisi Syiah mampu diterima oleh masyarakat lokal di wilayah Nusantara."
Doktor Fuad, staf pengajar UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Diyakini ada kedekatan tradisi Syiah dan Nahdlatul Ulama di Indonesia.
Kelompok Alawiyin
Bukti lainnya, menurut staf pengajar paska Sarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Doktor Fuad Jabali, dapat dilacak dari manuskrip dan buku-buku yang ditulis pada abad 16 dan 17 di wilayah Nusantara.
Buku-buku yang ditulis para ulama itu, menurutnya, menunjukkan kuatnya pengaruh Syiah di wilayah Nusantara.
"Itu kalau dibaca, bisa melihat dengan gampang betapa kuatnya pengaruh Persia atau Syiah," katanya kepada BBC Indonesia.
Dari kenyataan sejarah ini, lanjutnya, menunjukkan betapa tradisi Syiah mampu diterima oleh masyarakat lokal di wilayah Nusantara. "Tidak ada problem kan.."
Pada perjalanannya, gelombang kedua pengaruh Syiah ke Indonesia ditandai "kehadiran tokoh-tokoh tertentu yang dikaitkan dengan taraqih alawiyin (dari Hadramaut, Yaman)", kata Muhsin Labib.
"
"Itu memperkuat masyarakat Syiah dengan keluarga Nahdlatul Ulama (NU). Makanya parahabib dapat posisi penting dalam masyarakat NU," ungkapnya.
Walaupun masuknya ajaran Islam ke Indonesia diyakini sebagian para ahli mengandung unsur-unsur Syiah, belum ada sepakat diantara para ahli sejarah.
Pengamat masalah keislaman Azyumardi Azra, misalnya, menyatakan "masuk dan berkembangnya Syiah di Indonesia dari perspektif sejarah masih kontroversial".
Hal itu dia utarakan dalam kata pengantar berjudul Syiah di Indonesia: antara mitos dan realitas, dalam buku Syiah dan Politik di Indonesia, sebuah penelitian karya A Rahman Zainuddin dan M Hamdan Basyar (terbitan Mizan, 2000).
Revolusi Islam Iran pada 1979 diinspirasi oleh sosok yang sangat dihormati umat Syiah, Ayatullah Khomeini.
Revolusi Islam Iran 1979
Terlepas dari polemik soal kebenaran sejarah, sejumlah kalangan mencatat peristiwa Revolusi Islam Iran pada 1979 merupakan gelombang berikutnya masuknya pengaruh Syiah ke Indonesia.
"Gelombang kedua ini ditandai dengan sifatnya yang intelektual," kata Jalaludin Rahmat, dalam buku Catatan Kang Jalal, Visi Media, Politik dan Pendidikan (1998).
Dalam masa-masa ini, menurut Jalaludin yang juga Ketua Dewan Syura Ikatan Jemaah Ahlulbait Indonesia, orang-orang yang simpatik terhadap Syiah ini "kebanyakan berasal dari perguruan tinggi".
Kebanyakan diantara mereka, lanjutnya, juga tertarik dengan Syiah sebagai "alternatif terhadap pemikiran-pemikiran Islam yang ada".
"Mereka lebih tertarik kepada pemikiran Syiah ketimbang pada ritus-ritus atau fiqihnya," jelasnya. "Dari segi ideologi, mereka cenderung radikal".
Dalam pandangan Doktor Fuad Jabali, Revolusi Islam Iran menjadi daya tarik bagi sebagian kalangan Islam terdidik, karena "memberikan jawaban terhadap sebuah persoalan besar yang tidak bisa dijawab oleh masyarakat dan tradisi sunni".
"
Dia kemudian memberikan contoh: "Misalnya, di dunia Muslim Sunni, karena otoritas politik dan agama diserahkan pada masyarakat kebanyakan, maka akan terbuka konflik yang lebih luas, karena masing-masing mengklaim lebih baik dari lainnya... Tidak ada mekanisme atau cara-ara untuk memilih kepemimpinan yang bisa diterima..."
Persoalan seperti ini, menurutnya, tidak ada pada Islam Syiah. "Syiah sangat solid karena konsep Imamah, karena kepemimpinan diserahkan pada satu orang."
Di masa ini, menurut Jalaludin Rahmat (dalam wawancara dengan harianRepublika, Kamis, 30 Agustus 2012), penyebaran Syiah belum menjadi ancaman. "Sebab, hanya dianggap sebagai gerakan intelektual. Mereka tak membahas fikih".
"Jadi gelombang kedua itu tak menimbulkan kerusuhan," ujarnya.
Mereka lebih tertarik kepada pemikiran Syiah ketimbang pada ritus-ritus atau fiqihnya," jelasnya. "Dari segi ideologi, mereka cenderung radikal."
Jalaludin Rahmat, Ketua Dewan Syura Ikatan Jemaah Ahlulbait Indonesia.
Mereka lebih tertarik kepada pemikiran Syiah ketimbang pada ritus-ritus atau fiqihnya," jelasnya. "Dari segi ideologi, mereka cenderung radikal."
Jalaludin Rahmat, Ketua Dewan Syura Ikatan Jemaah Ahlulbait Indonesia.
Mendalami Fiqih
Namun demikian, masih menurut Jalaludin Rahmat dalam bukunya (1998), ada perubahan pendekatan ketika muncul gelombang berikutnya "yang ditandai dengan kehadiran alumnus-alumnus Qum yang lebih berorientasi pada pendekatan fiqih".
"Ketika mereka datang ke Indonesia, mereka memenuhi kebutuhan akan fiqih ini," tulisnya.
"Mulailah mereka memberikan pengajian-pengajian Syiah di berbagai tempat".
Dalam wawancara dengan Republika, Jalaludin Rahmat mengatakan, pada 1990-an para habib yang pulang dari Qum, Iran, "mulai mengajarkan Syiah ke kalangan terbatas. Seperti Ustad Umar di Palembang dan Ustad Husein Al Habsyi di Jawa Timur. Mereka datang dengan fikih Syiah".
Dalam perkembangannya, "Mulailah muncul benih konflik... Karena pada tahap pemikiran, tak terjadi pergesekan," kata Jalaludin.
Sejauh ini, ungkap Jalaludin, komunitas Syiah banyak mendiami Bandung dan sekitarnya, Makasar serta Jakarta.
Walaupun jumlahnya jauh lebih kecil dibanding warga Islam Sunni, diperkirakan jumlah warga Syiah di Indonesia antara 500 ribu hingga lima juta jiwa, kata Jalaludin.(http://www.bbc.co.uk/indonesia/laporan_khusus/2012/09/120912_lapsus_syiahsampang_sejarahsyiahindonesia.shtml)
Holocaus dan UU Penodaan Agama
Oleh Ikhwanul Kiram Mashuri
ALQOIMKALTIM.COM – Berikut mengenai holocaus (holocaust). Holocaus, mengutip Wikipedia Bahasa Indonesia, didefinisikan sebagai penganiayaan dan pemusnahan (genosida) orang Eropa keturunan Yahudi secara sistematis yang disponsori negara Jerman Nazi dan sekutunya, dipimpin Adolf Hitler, antara 1933-1945. Disebutkan, sekitar enam juta orang Yahudi meninggal dunia dalam peristiwa tersebut. Perinciannya, satu juta anak-anak, dua juta wanita, dan tiga juta laki-laki.
Namun, banyak pihak yang hingga kini masih memperdebatkan, baik jumlah korban tewas maupun definisi dan peristiwa holocaus itu sendiri. Ada yang mengatakan, holocaus seharusnya tidak hanya mengenai bangsa Yahudi, tapi juga bangsa-bangsa lain yang menjadi korban pembunuhan Nazi Hitler. Misalnya, orang-orang Romania, Polandia, Rusia, dan bangsa-bangsa lainnya. Jumlah mereka semuanya diperkirakan mencapai 11 hingga 17 juta jiwa. Mereka tewas dalam kamp-kamp Nazi menjelang dan selama Perang Dunia II.
Pertanyaan lainnya, benarkah Hitler pernah memerintahkan pembantaian massal terhadap orang-orang Yahudi itu sendiri. Karena, untuk membunuh massal enam juta orang tentu membutuhkan dana yang sangat besar. Padahal, saat itu Nazi Jermah sedang menghadapi perang besar yang juga membutuhkan biaya sangat besar pula.
Berikutnya, bila benar Hitler menginstruksikan pembunuhan besar-besaran terhadap orang-orang Yahudi, lalu untuk tujuan apa. Adakah orang-orang Yahudi dianggap ancaman besar bagi eksistensi bangsa Nazi Jerman, padahal saat itu mereka tidak mempunyai negara dan apalagi militer yang kuat. Kalau begitu, holocaus itu mitos atau benar-benar ada?
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu biarlah para sejarawan yang akan membuktikannya. Yang jelas, holocaus kini telah dimanfaatkan sedemikian rupa oleh bangsa Israel, terutama oleh para tokoh dan pimpinan kaum zionis. Mereka menjadikan tragedi holocaus sebagai trik untuk menarik perhatian masyarakat internasional agar jatuh kasihan dan iba. Bahwa, mereka adalah bangsa yang terzalimi. Bahwa, mereka adalah bangsa yang perlu dibantu dan didukung, termasuk pendirian negara Israel meskipun harus menduduki tanah air bangsa Palestina.
Apa yang saya sampaikan mengenai holocaus di atas sebenarnya bukanlah fokus dari tulisan ini. Yang saya ingin garis bawahi adalah sebegitu besar pengaruh lobi Yahudi sehingga mereka telah berhasil mendesak negara-negara Barat agar mempunyai undang-undang tentang holocaus yang disebut UU Gitto. Yakni, siapa pun yang menolak tragedi holocaus (Holocaust Denial) akan dianggap sebagai anti-Yahudi (anti-Semit) dan akan diganjar dengan hukuman penjara dan denda. Selain AS, minimal 10 negara Eropa kini mempunyai UU tersebut, antara lain Prancis, Polandia, Austria, Swiss, Belgia, Romania, dan Jerman.
Sejumlah ilmuwan, mengutip berbagai sumber, telah menjadi korban dari undang-undang tersebut. Seorang peneliti asal Australia, Fredick Toban, diganjar enam bulan penjara ketika menolak peristiwa holocaus. Kata Toban, “Di Eropa, setiap orang bisa menghujat Yesus dan Maryam yang suci, namun tidak dapat mengkritik orang-orang Yahudi dan holocaus.”
Ilmuwan lain yang jadi korban UU Gitto adalah Robert Forison. “Sampai saat ini mereka tidak dapat menjawab argumentasi kita atas kebenaran tragedi holocaus, melainkan menyerang kita dengan menyeret ke pengadilan, menindak, dan menyiksa,” ujar Forison yang berkewarganegaraan Prancis dan Inggris ini.
Forison diberhentikan dari mengajar di Universitas Lion pada 1978 akibat mempertanyakan holocaus dan menolak keberadaan ruangan gas yang ditulis dalam bukunya “Ruangan Gas: Fiktif atau Nyata?”. “Kami para penentang holocaus tidak diberi hak untuk mencetak dan menyebarkan artikel dan buku. Mereka melarang buku-buku kami dan melarang penerbitannya di luar negeri.”
Forison diberhentikan dari mengajar di Universitas Lion pada 1978 akibat mempertanyakan holocaus dan menolak keberadaan ruangan gas yang ditulis dalam bukunya “Ruangan Gas: Fiktif atau Nyata?”. “Kami para penentang holocaus tidak diberi hak untuk mencetak dan menyebarkan artikel dan buku. Mereka melarang buku-buku kami dan melarang penerbitannya di luar negeri.”
Ernes Zundel dan almarhum Roger Garaudy adalah contoh lain ilmuwan yang menjadi korban dari UU tentang holocaus. Garaudy, warga Prancis, pernah diseret ke pengadilan ketika menerbitkan buku Mitos-Mitos Pembangunan Politik Israel yang antara lain mempertanyakan kebenaran tragedi holocaus.
Zundel adalah penelitik asal Jerman. Sebelum hijrah ke AS, ia bermukim di Kanada. Namun, akibat tekanan dan intimidasi kaum Zionis di Kanada, Zundel terpaksa pindah ke AS. Di Negeri Paman Sam ini, Zundel terus diburu dan kemudian ditangkap. Ia lalu diekstradisi ke Jerman untuk diadili karena keyakinannya yang menentang adanya holocaus.
Zundel adalah penelitik asal Jerman. Sebelum hijrah ke AS, ia bermukim di Kanada. Namun, akibat tekanan dan intimidasi kaum Zionis di Kanada, Zundel terpaksa pindah ke AS. Di Negeri Paman Sam ini, Zundel terus diburu dan kemudian ditangkap. Ia lalu diekstradisi ke Jerman untuk diadili karena keyakinannya yang menentang adanya holocaus.
Saya tidak sedang mempersoalkan undang-undang tentang holocaus. Yang sedang saya gugat adalah mengapa negara-negara Barat tidak menerapkan undang-undang antipenodaan dan pelecehan terhadap agama, agama apa pun, seperti halnya mereka mempunyai undang-undang Holocaust Denial? Bahwa siapa pun yang menghina, melecehkan, dan menodai suatu agama, dapat dikenai sanksi sebagaimana mereka yang tidak mengakui adanya holocaus.
Karena, selama tidak ada undang-undang yang melarang pelecehan terhadap suatu agama, bisa dipastikan peristiwa film “the Innocence of Muslims”, kartun yang melecehkan Islam, dan hal-hal lain yang menghina agama akan muncul dan muncul lagi. Bisa dipastikan pula protes besar-besaran akan berlangsung di berbagai negara. Kalau sudah begitu, korbannya bukan hanya beberapa orang yang meninggal dunia, tapi juga terganggunya hubungan antara umat Islam dan Barat yang bisa saja justru mempersubur adanya terorisme internasional.
Jangan hanya lantaran alasan demokrasi dan kebebasan berekspresi, orang lalu bisa sebebas-bebasnya berbuat semaunya, termasuk menodai, melecehkan, dan menghina suatu agama.
Sumber : Republika/alqoimkaltim.com
0 comments to "Menyandang Gelar Sayid / Habib menurut Habib / Sayid : Habib Ali Al Habsy Mengentaskan Warga Miskin Mengantarkan Penghargaan Maarif Award"