SEJAK bergulirnya reformasi, TNI dan Polri ibarat pisah ranjang. Masing-masing hidup sendiri meski masih bersama-sama dalam sebuah rumah besar yang bernama Indonesia.
Namanya pisah ranjang pasti segala sesuatunya pun tidak bersama lagi, mulai urusan rumah tangga, pekerjaan sampai rezeki. Mereka masih bisa bersama kalau ada perintah, selebihnya sendiri-sendiri lagi. Ihwal sendiri-sendiri inilah yang dalam perkembangannya banyak melahirkan ketidaksepahaman yang berujung konflik.
Semasa masih di bawah Orde Baru, TNI dan Polri menjadi satu di Departemen Pertahanan dan Keamanan, di bawah komando Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Pangab). Tapi harus diakui posisi TNI memang lebih menonjol, khususnya Angkatan Darat. Ibaratnya merekalah penguasa negeri ini, banyak kepala daerah dijabat kalangan TNI, bahkan Akademi Militer (dulu Akabri) di Magelang, Jateng, sering dipelesetkan sebagai Akademi Bupati karena banyaknya tentara yang menjadi bupati.
Kekuasaan tentara seperti tidak terbatas, sementara rakyat tak berani protes karena takut. Harus diakui pamor polisi memang tidak menonjol seperti sekarang.
Ceritanya menjadi berubah setelah bergulirnya reformasi. TAP MPR/VI/MPR/1999 dan TAP MPR VII/MPR/1999 menetapkan pemisahan tugas TNI dan Polri. Keamanan yang dulu ikut ditangani TNI kini ditangani penuh oleh Polri, tentara menangani pertahanan. “Wewenang sudah dibagi habis, tidak ada masalah, ini harus dimengerti,” kata Panglima TNI Laksamana TNI Agus Suhartono (Kompas 13/3/2013).
Lain di atas lain pula di lapangan. Prajurit TNI dan Polri yang merasakan perubahan mau tak mau merasakan pula dampak psikologisnya. Tentara makin dikurangi wewenangnya, polisi makin berkuasa di bidang tugasnya. Makin besar kekuasaannya, makin besar pengaruhnya, makin besar pula rezekinya.
Ketidaknyamanan hubungan itu sering terlihat dari dinamika para prajurit di lapangan. Misalnya, konflik dengan sebab yang sepele. Pernah juga terjadai bentrokan ‘berat’ TNI dan Polri di Binjai (Sumut) yang menewaskan 8 orang pada 2002. Kontak senjata terjadi selama 9 jam hingga suasananya mirip perang.
Pembakaran Markas Polres OKU (Ogam Komering Ulu, Sumsel) oleh anggota TNI Batalyon Artileri Medan 15/76 Martapura baru-baru ini merupakan buntut insiden penembakan hingga tewasnya Pratu Heru Oktavianus dari batalyon tersebut oleh personel lalu lintas Brigadir BW pada 2013. TNI menjadikan komandan batalyonnya sebagai tersangka.
***
Agus Suhartono membantah jika konflik dipicu kesenjangan kesejahteraan, misalnya ada perbedaan antara gaji Kapolres dan Dandim. “Gajinya sama,” katanya. Diakui, tidak menutup kemungkinan ada perbedaan gaya hidup. “Itu perlu diubah, mungkin,” katanya.
Wakil Ketua DPR Pramono Anung lebih tegas. Penyimpangan yang dilakukan para aparat kepolisian, katanya, menjadi salah satu faktor yang menimbulkan kecemburuan. Ia memberi contoh antara Kapolres dan Dandim, gaji sama tapi beda. “Polisi harus instropeksi,” katanya.
Benar juga, gaji boleh sama, uang lauk pauk sama, macam-macamnya sama. Tapi penghasilan bisa lain karena ada yang hanya sibuk di barak dan ada yang sibuk di luaran. Yang satu sedang berfikir mencukup-cukupkan gaji untuk keluarga yang lain beramai-ramai mengecilkan perut yang mulai membuncit.
Mengikuti kisah mantan Kepala Korlantas Polri Irjen Djoko Susilo orang geleng kepala. Tentu tidak semua polisi, semoga masyarakat bisa melihat dengan adil. Semoga pula rekening gendut para petinggi segera terungkap tuntas atau hanya isu?
Usulan agar TNI dinaikkan gajinya juga tidak menyelesaikan masalah, karena pihak yang tidak dinaikkan akan semakin intens cari di luar. Kalau semua dinaikkan, yah... seperti sekarang juga, serupa tapi tak sama.
Faktornya memang bukan hanya gaji atau penghasilan, tapi bagaimana menempatkan Polri, TNI AD, AU, AL dalam posisi sejajar. Tugas dan tanggung jawab mereka sama, hanya beda lapangannya.
Bayangkan seorang jenderal bintang empat untuk menjadi kepala staf angkatan di TNI cukup dengan SK Presiden. Sedang Kepala Polri harus lewat persetujuan DPR seperti calon Panglima TNI.
Jadi konflik-konflik itu sebenarnya bukan semata masalah akar rumput. Kita terbiasa dengan penghalusan bahasa (eufemisme) sehingga masalah pokoknya malah tenggelam.
Wakil Ketua Komisi I DPR TB Hasanuddin mengingatkan agar kasus-kasus itu tidak dianggap sepele. Konflik serupa akan terulang lagi di masa datang.
Jadi mau pisah ranjang terus atau rujuk? (*)
0 comments to "PISAH RANJANG : TNI & POLRI"