Tiga Alasan kenapa saya Menolak Buku “Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia”
Oleh. Ir. Mushaddaq
Setelah membaca buku “Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia” yang ditulis oleh Tim Penulis MUI Pusat, saya merasa ingin menanggapi bahwa sebenarnya apa tujuan dan motivasi dari penulis tersebut. Kita sebagai umat manusia yang memiliki beragam budaya, dan perbedaan pandangan yang mendiami Republik tercinta ini tidak selayaknya mengklaim kebenaran sepihak dan mengecam pihak lain yang berbeda dengan kita. Syiah adalah bagian dari umat Islam, kaum Syiah adalah saudara bagi kaum Sunni. Baik Syiah maupun Sunni merupakan kekuatan umat Islam karena memiliki satu Tuhan, mengakui kenabian Muhammad saw, dan satu kiblat.
Kita hidup dalam alam Indonesia yang terlalu rukun bila dibandingkan dengan Negara-negara lain. Berbagai perbedaan ada di antara kita, adalah rahmat dari Sang Kuasa, oleh sebab itu marilah kita terima perbedaan ini sebagai sebuah kultur dan keyakinan yang tetap satu dalam bingkai ukhuwah Islamiyah di bawah bingkai Negara Indonesia.
Dengan demikian, setelah membaca buku itu kemudian membandingkan dengan realitas baik data referensi maupun fakta, maka ada tiga alasan kenapa saya menolak buku, “Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia”. Tiga alasan itu adalah sebagai berikut:
1. Buku tersebut tidak bisa dijadikan panduan bagi umat Muslim Indonesia khususnya dan dunia umumnya dalam merajut ukhuwah Islamiyah. Karena buku tersebut tidak memberikan penguatan pesan ukhuwah di tubuh umat Islam yang belakangan ini sedang didera berbagai fitnah sectarian. Buku ini lebih pantas dikatakan lahir dari adanya kelompok intoleran yang tidak menginginkan persatuan dan tidak mengakui Ahlulbayt sebagai saudara dalam Islam.
2. Buku tersebut sebenarnya tidak mewakili MUI Pusat (bukan hasil kajian Tim yang dibentuk secara resmi oleh MUI Pusat). Buku tersebut diterbitkan tanpa sepengetahuan MUI Pusat, bahkan bertolak belakang dengan pandangan-pandangan mereka, seperti: Ketua Umum MUI Pusat (KH Sahal Mahfudz), Wakil Ketua MUI Pusat (Prof Din Syamsuddin), Ketua MUI Pusat (Prof Dr Umar Shihab) dan juga Sekjend MUI Pusat (Drs. H. Ichwan Sam) yang selama ini menjunjung tinggi persatuan umat Islam dan mendukung pendekatan antara mazhab Sunni-Syiah.
3. Buku tersebut sangat bertolak belakang dengan 9 hasil konferensi Internasional Islam yang dilaksanakan di Hotel Barobudur, Jakarta pada tanggal 23-24 April 2013.Dimana dalam Konferensi tersebut dihadiri oleh sekitar 500 peserta dari Indonesia, Yordania, Jepang, Taiwan, Myanmar, Thailand, Kamboja, Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, Mesir, Oman, Arab Saudi, Sudan, dan Timor Timur. Konferensi ini dimotivasi oleh keinginan bersama untuk mempromosikan pesan suci Islam, yaitu persaudaraan, toleransi, peradaban, dan perdamaian. Konferensi juga bertujuan untuk merespon persepsi negatif tentang Islam di dunia. (http://media.kompasiana.com/buku/2014/02/04/tiga-alasan-kenapa-saya-menolak-buku-mengenal-dan-mewaspadai-penyimpangan-syiah-di-indonesia-632836.html)
(Republik Islam iran diwakili Pemimpin Spiritual Islam Syi'ah 12 Imam/Imamiah/Mazhab Jakfari dan Wakil Presiden Republik Indonesia / Islam Sunni Syafe'i ala Indonesia Prof. Dr. Boediono)
Khamenei kepada Boediono; "Konflik Antar Madzhab, Konspirasi Musuh"
Islam Times- Lebih lanjut Rahbar mengingatkan untuk selalu mewaspadai konspirasi yang menyulut perang antar kelompok dan madzhab di Indonesia, Mesir dan Libya. Beliau menegaskan, negara-negara Islam harus lebih mengintensifkan kerjasama di antara mereka.
|
Rahbar dan Wapres Boediono: Fars News
Pemimpin Besar Revolusi Islam Ayatollah al-Udzma Sayyid Ali Khamenei dalam pertemuan dengan Wakil Presiden Republik Indonesia Boediono beberapa pekan lalu mengingatkan kembali akan cita-cita utama Gerakan Non Blok (NAM) dan menjelaskan kapasitas serta potensi besar yang dimiliki oleh negara-negara anggota gerakan ini.
Dikatakannya, "Para perintis gerakan ini tidak berencana membuat satu kelompok seremonial belaka. Mereka ingin membentuk satu gerakan yang berpengaruh dan hidup. Sekarang, cita-cita itu harus dihidupkan lagi."
Ditambahkannya,"Negara-negara anggota Gerakan Non Blok termasuk Indonesia sebagai salah satu perintisnya harus bekerjasama dan mengaktualisasi potensi yang ada untuk bisa memainkan peran yang berpengaruh dalam isu-isu internasional dan regional."
Menurut beliau, diantara hal yang bisa dilaksanakan dalam Gerakan Non Blok adalah memanfaatkan pengalaman dan kemajuan yang dimiliki oleh negara-negara anggota. "Tentunya ada yang menentang kemajuan negara-negara independen dan Islami. Karena itu, kita harus mewaspadai konspirasi dan tipu daya mereka," kata beliau.
Menyebut penyebaran fitnah yang berujung pada konflik partisan khususnya antara Sunni dan Syiah sebagai konspirasi musuh yang sangat berbahaya, Ayatollah al-Udzma Khamenei menandaskan, "Semua aksi itu didukung oleh sejumlah negara adidaya dengan memanfaatkan anasir bayaran. Contoh yang paling nyata saat ini dapat disaksikan di Afghanistan dan Pakistan."
Dijelaskannya"Al Qaeda dan Taliban lahir dengan dukungan sekutu-sekutu Amerika Serikat (AS) di kawasan, dan kini dengan alasan menumpas mereka, AS membombardir negara-negara seperti Afghanistan dan Pakistan. Padahal, tujuannya adalah menguasai negara-negara itu."
Lebih lanjut Rahbar mengingatkan untuk selalu mewaspadai konspirasi yang menyulut perang antar kelompok dan madzhab di Indonesia, Mesir dan Libya. Beliau menegaskan, negara-negara Islam harus lebih mengintensifkan kerjasama di antara mereka.
Sementara itu, Wakil Presiden Indonesia Boediono mengapresiasi Konferensi Tingkat Tinggi Gerakan Non Blok yang berlangsung sukses di Tehran dan menyatakan bahwa Indonesia dan Iran memiliki potensi besar untuk meningkatkan kerjasama bilateral di bidang ekonomi.
"Dalam perundingan di Tehran telah disepakati untuk lebih mengaktifkan kalangan swasta dan penguasaha kedua negara untuk mempelajari cara peningkatan kerjasama ekonomi." Kata Wapres.
Wapres menilai potensi negara-negara Gerakan Non Blok dalam memainkan peran dan pengaruh dalam isu-isu internasional adalah hal yang penting. Mengenai keberagaman suku dan madzhab di Indonesia, Boediono menjelaskan, "Pemerintah Indonesia selalu berupaya mewujudkan kondisi kehidupan yang damai dan kesatuan di antara suku dan madzhab yang beragam di negara ini."
Terkait masalah ekonomi, dengan mengenalkan dirinya sebagai seorang pakar ekonomi, kepada Pemimpin Besar Revolusi Islam, Wakil Presiden Indonesia mengatakan, "Saya sudah mempelajari pandangan Anda terkait ekonomi resistensi. Pandangan ini sangat menarik dan baru." [Islam Times/on/Fars News/http://www.islamtimes.org/vdcgqt9qqak9y74.1ira.html]
Menyikapi Fatwa MUI Jatim
Ujar Kebencian: Tanggapan Opini di Republika & Hidayatullah
Islam Times- Bila wewenang tersebut diperoleh dari MUI sendiri, maka itu berarti MUI memberikan wewenang kepada dirinya sendiri. Bila subjek pemberi wewenang adalah objek penerima wewenang itu sendiri, maka hal itu meniscayakan paradoks.
|
DR. (Honoris Causa), Ma’ruf Amin
Harian Republika dan Hidayatullah.com Kamis 8 Nopember 2012 memuat opini bertajuk “Menyikapi fatwa MUI Jatim". Tanpa bermaksud merendahkan penulisnya, banyak kejanggalan dalam artikel tersebut, yang bila tidak ditanggapi bisa dianggap sebagai pandangan yang menjustifikasi aksi kekerasan terhadap sesama warga negara.
Tulisan ini tidak ditujukan kepada penulis artikel tersebut maupun pihak-pihak yang secara sadar menganggap pensesatan dan pengkafiran Muslim Syiah sebagai cara mengais pahala Amar Makruf dan Nahi Munkar, namun ditulis semata-mata sebagai sebuah pertanggungjawawaban moral menggunakan hak jawab.
Namun karena terbatasnya jumlah karakter dalam kolom, artikel ini hanya menanggapi paragraf pertama dalam opini tersebut.
Artikel yang ditulis DR. (Honoris Causa), Ma’ruf Amin, dibuka dengan paragraf sebagai berikut: “
“Di antara wewenang Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah menetapkan fatwa terkait masalah akidah yang menyangkut kebenaran dan kemurnian keimanan umat Islam Indonesia (lihat Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa MUI)”
Mari kita urai paragraph tersebut secara silogistik demi mengukur validitasnya.
1. Di antara wewenang Majelis Ulama Indonesia
Bila wewenang tersebut diperoleh dari MUI sendiri, maka itu berarti MUI memberikan wewenang kepada dirinya sendiri. Bila subjek pemberi wewenang adalah objek penerima wewenang itu sendiri, maka hal itu meniscayakan paradoks.
Bila wewenang tersebut diperoleh dari luar MUI, maka wewenang tersbut haruslah diberikan oleh lembaga yang lebih tinggi. Sedangkan MUI bukan bagian dari setruktur negara, sehingga wewenang yang diklaimnya tidak valid.
Bila MUI memperoleh wewenang dari Negara dan menjadi bagian dari strukur negara, maka konskuensinya adalah agama Islam menjadi bagian dari konstitusi negara. Bila agama Islam menjadi bagian dari konstitusi, maka Negara menafikan Pancasila sebagai dasarnya.
2. Menetapkan Fatwa
Dalam konstitusi dan UUD, fatwa adalah produk hukum yurisprudensi yang menjadi wewenang lembaga yudikatif, yaitu Mahkamah Agung dan lembaga-lembaga peradilan di bawahnya, sebagaimana disebutkan dalam undang-undang no 4 tahun 2004 atau yang lebih purba lagi dalam Staatsblad 1847 no 23, pasal 22 AB. Dengan demikian, produk hukum apapun yang tidak dikeluarkan oleh lembaga yudikatif tidak memiliki asas, bahkan bisa dianggap sebagai inkonstitusional.
3. “Masalah akidah yang menyangkut kebenaran dan kemurnian keimanan umat Islam Indonesia”
Secara etimologis adalah, kata akidah berasal dari bahasa Arab, aqada yang berarti mengikat. Secara terminologis akidah premis metafisik yang mengikat seseorang karena dianggap sebagai kebenaran. Premis metafisik adalah pernyataan tentang hal-hal yang bersifat subjektif yang dibentuk berdasarkan metode penalaran deduktif. Karena bersifat metafisik, maka apapun yang termuat di dalamnya tidak berada dalam area penilaian dan persetujuan pihak selain subjek yang mempercayainya. Secara logis, pernyataan siapapun atau lembaga apapun tidak bisa mengintervensi, membatalkan maupun mengukuhkannya.
4. Kebenaran
Dalam bahasa Arab, kata “al-haqq” diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai “kebenaran”dan “yang benar”. Kata al-Haq terulang di dalam Al Qur’an sebanyak 227 kali dengan aneka ragam arti; seperti agama, Al Qur’an, Islam, keadilan, tauhid, keyakinan, kematian, kebangkitan dan lain-lain.
Dalam khazanah tasawuf dan filsafat Islam, al-Haq, yang diartikan sebagai “Yang Maha Benar” dilawankan dengan al-Khalq. Ia adalah kata yang dipahami sebagai entitas transenden yang merupakan wujud tunggal Tuhan. Karenanya, al-haq hanya bisa disandang oleh Allah SWT. Al Hallaj dan Syeh Siti Jenar adalah dua orang sufi yang terkenal dengan ucapan “ana al-Haq”-nya.
Dalam epistemologi, terutama epistemologi Islam, al-Haq yang diartikan sebagai “kebenaran” berlawanan dengan “kebatilan” (al-bathil). Kebenaran didefinisikan sebagai keselarasan proposisional, yang dikenal dengan teori koherensi. Ia juga didefinisikan pula sebagai ketersambungan antara fakta objektif dan data subjektif,yang disebut dengan teori “korespondensi”.
Dalam logika, kebenaran terdistribusi dalam premis minor, premis mayor dan premis konklusi. Logika menetapkan kebenaran sebagai validitas logis. Artinya, kebenaran tidak ditetapkan berdasarkan persetujuan maupun pernyataan seseorang dan lembaga.
5. Kemurnian
Murni adalah kata yang digunakan untuk menjadi pembeda dengan yang keruh, sebagai makna metaforis bagi sesuatu yang salah atau mengalami kekaburan. Sebagai kata predikat ia bisa disandangkan pada subjek apapun yang relevan dengannya oleh setiap subjek berdasarkan pemahaman dan penilaian subjektifnya. Karenanya, kata “murni” sering kali mengindikasikan truth claim, judgment dan pernyataan sinis yang ditujukan sebagai penilaian negatif terhadap keyakinan maupun pandangan yang bertentangan dengan keyakinan subjek. Secara kesastraan dan rasa bahasa, pengunaan kata “kemurnian” dalam alinea diatas terkesan sia-sia dan meaningless, karena kebenaran secara inheren telah menegasi kebatilan dan kekaburan. Dengan kata lain, kebenaran pastilah murni.
6. Keimanan
Iman secara morfologis adalah serumpun dengan “aman” . Karenanya, iman dianggap sebagai rasa aman atau keyakinan yang menumbuhkan rasa aman. Dalam al-Qur’an, kata iman dan kufr terulang sebanyak 17 kali.
Pada mulanya kata iman bersifat netral, bisa memuat pengertian negatif dan bahkan sering berkonotasi positif. Imbuhan predikat ‘negatif’ mesti dilekatkan bila objek yang diimani niscaya terkufurkan (tertolak). Iman harus menyandang sifat ‘positif’ bila objek yang diimaninya memang niscaya diimani. Baik, positif maupun negatif, iman adalah produk pengetahuan yang telah melewati dua tahap proses pengelolaan, tahap inteleksi (ta’aqqul) dan tahap emosi (dzawq). Dengan kata lain, iman adalah komposisi ‘tahu’ (kenal) dan ‘cinta’ (sayang).
Pengetahuan, yang merupakan produk proses inteleksi, tidaklah cukup untuk menghasilkan iman. Kecenderungan atau perasaan sangat mungkin mereduksi pengetahuan. Itulah sebabnya mengapa kadang manusia memutuskan untuk melakukan tindakan yang melawan pengetahuannya sendiri. Mereka mengingkarinya padahal hati mereka meyakininya karena kezaliman dan merasa tinggi hati. (QS. An-Naml : 14).
Iman memiliki dua jenis pasangan, protagonis dan antagonis. Pasangan protagonis iman adalah amal. Sedemikan erat keduanya sehingga tautan di antara keduanya bisa dikategorikan sebagai conditio sine qua non. Tidak mungkin ada iman bila di baliknya tidak ada amal. Iman tidak akan berguna bila tidak bersanding dengan amal.
Pasangan antagonis iman adalah kufur. Secara kebahasaan, kufur berarti ‘menutupi dan memendam’. Secara peristilahan, kata ini berarti menolak atau bersikap ‘anti iman’. Sebagaimana iman, pada mulanya kufur juga bersifat netral.
Karena objek iman adalah sesuatu yang bersifat metafisik, maka iman bersifat subjektif dan tidak tunduk pada penilaian subjek yang berbeda pandangan dengannya, kecuali bila masing-masing subjek pengiman menyepakati parameter dan criteria-kriteria keimanan. Bila tidak disepakati, maka setiap subjek berhak menggunakan kata “iman” betapapun berbeda dengan standar keimanan subjek lain. Karenanya, tidak ada orang maupun lembaga yang berhak menilai keimanan siapapun. Bila penilaian dilakukan oleh seseorang maupun lembaga dan menimbulkan dampak negatif bagi pihak yang dinilai secara subjektif, maka sikap tersebut dapat dianggap sebagai intervensi dan perbuatan distruktif.
7. Umat Islam Indonesia
Salah satu keistimewaan kata umat dalam bahasa Arab adalah cakupannya karena ia berlaku atas tunggal maupun plural, sebagaimana Ibrahim yang disebut “umat” (QS Al- Nahl [16]: 120). Kata umat atau ummah dalam bentuk tunggal terulang lima puluh dua kali dalam Al-Quran. Ad-Damighani, sebagaimana dikutip Quraish Shihab, menyebutkan sembilan arti untuk kata itu, yaitu, kelompok, agama (tauhid), waktu yang panjang, kaum, pemimpin, generasi lalu, umat Islam, orang-orang kafir, dan manusia seluruhnya.
Islam didefinisikan sebagai agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Para ulama dari pelbagai aliran kalam telah berusaha memberikan rumusan Islam, yang diberi nama “Rukun Iman” dan “Rukun Islam KamiIslam adalah agama yang satu. Tapi persepsi dan cara pandang terhadapnya berbeda-beda. Setidaknya ada dua cara pandang yang merepresentasi umat Islam, yaitu Ahlussunnah dan Syiah. Masing-masing memberikan penafsiran yang berbeda, meski sama menjadikan al-Quran dan Sunnah Nabi sebagai dasarnya.
Airan Sunni menjabarkan Islam dalam dua rumusan Rukun Iman dan Rukun Islam. Ironisnya, banyak orang menjadikan enam rukun iman sebagai salah satu kriteria pembeda antara mukmin dan sesat. Sebagian masyarakat awam menganggap rukun iman dan rukun Islam sebagai paket yang “turun dari langit” yang dipandang final dan tak layak didiskusikan, bukan sebuah produk interpretasi tentang agama dan akidah yang tentu saja spekluatif dan subjektif. Sehingga karena mindset inilah tidak sedikit tuduhan “sesat” dengan mudah dilemparkan terhadap orang atau aliran yang berbeda dalam merumuskan prinsip akidah.
Rumusan Rukun Iman dan Rukun Islam adalah konsensus atau konvensi. Banyak teks hadis dari jalur Sunni yang menunjukkan bahwa Rukun Islam dan Rukun Iman tidak baku dan terbuka bagi beragam penafsiran.
Hadis sahih riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab Sahih-nya,130 Bab al Imân Ma Huwa wa Bayâni Khishalihi:
Hadis Bukhari: Dari Abu Hurairah, dia berkata, “Pada suatu hari, Nabi saw. muncul di hadapan orang-orang. Kemudian Jibril mendatanginya dan berkata, ‘Apakah iman itu?’ Beliau menjawab, ‘Engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, percaya kepada pertemuan dengan-Nya, kepada rasul-rasul-Nya dan engkau percaya kepada yang ghaib.”
Hadis Muslim: Dari Abu Hurairah, dia berkata, “Pada suatu hari, Nabi saw. muncul di hadapan orang-orang. Kemudian Jibril mendatanginya dan berkata, ‘Apakah iman itu?’ Beliau menjawab, ‘Engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, percaya kepada pertemuan dengan-Nya, kepada rasul-rasul-Nya dan engkau percaya kepada yang ghaib.’”
Hadis di atas menyebutkan bahwa Rukun Iman itu hanya: (1) Beriman kepada Allah, (2) Kepada para malaikat, (3) Kepada kitab-Nya, (4) Perjumpaan dengan-Nya, (5) Kepada para rasul. Tidak ada sebutan apapun tentang kewajiban percaya kepada Qadha’ dan Qadar.
Hadis sahih dalam riwayat Imam Muslim dalam kitab Sahih-nya,135 Bab al Amru Bil Imân Billah wa rasûluhi.Salah satunya adalah sebagai berikut: “Aku perintahkan kamu agar mengesakan keimanan hanya kepada Allah! Tahukah kamu apa iman kepada Allah itu?” Mereka menjawab, ”Tidak.” Beliau bersabda, ”Bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah, menegakkan shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan membayar khumus (seperlima dari keuntungan/perolehan).”
Hadis di atas menegaskan bahwa inti keimanan itu sebagai berikut: (1) Bersaksi Tiada Tuhan Selain Allah, (2) bersaksi Muhammad adalah rasul Allah, (3) Menegakkan shalat, (4) Membayar zakat, (5) Berpuasa di bulan Ramadhan, (6) Membayar khumus.
Dengan demikian, ketiadaan unsur-unsur tertentu dalam rumusan Rukun Islam dan Rukun Iman tak bisa dipahami bahwa unsur-unsur tersebut adalah prinsip yang niscaya dalam keislaman dan keimanan seseorang.
Umat Islam Indonesia adalah bagian terbesar dari pendukuk dan warga negara. Karenanya, untuk mendapatkan representasi umat Islam Indonesia, diperlukan izin yang nyata. Tanpa pelimpahan hak representasi, pengunaan kata yang mencakup secara general setiap individu Muslim di Indonesia adalah modus kooptasi dan intervensi hak asasi, sebagaimana ditegaskan dalam teks undang-undang.
Indonesia adalah yang dibangun oleh para pendiri diatas empar pilar, yaitu Pancasila, UUD 45, Kehbinekaan dan NKRI. Agama apalagi aliran di dalam masing-masing agama tidak bisa dijadikan sebagai dasar dan asas yang mengikat masyarakat yang majemuk baik agama maupun aliran-aliran di dalamnya.
Atas dasar itu, pernyataan yang mendukung pernyataan MUI Jatim, yang tidak lebih dari sebuah ormas atau lembaga atau semacam perkumpulan beberapa ulama semata, yang mensesatkan aliran Syiah maupun kelompok Islam lainnya yang tidak dianut oleh kebanyakan umat Islam di Indonesia, bisa ditafsirkan sebagai justifikasi terhadap aksi kekerasan terhadap para penganut Syiah di Sampang, yang terbukti dipahami oleh masyarakat awam sebagai license to kil dan instruksi penyerangan atas nama agama dan aliran.
Bila saja pensesatan hanya berupa pandangan dan sikap semata, tentu tidak perlu dikhawatirkan. Namun, bila pensesatan dilakukan secara terbuka apalagi berisikan tuduhan-tuduhan dan fitnah harus diklarifikasi dan ditanggapi secara proporsional dan bertanggungjawab agar tidak mengundang kekerasan atas nama agama dan aliran lagi di masa mendatang.
Sebenarnya menyebarkan pandangan dan sikap mendukung fatwa MUI Jatim yang secara nyata menimbulkan aksi kekerasan dan kejahatan massal yang menelan korban nyawa dan mengancam keselamatan banyak orang bisa dianggap sebagai ujar kebencian, dan perbuatan tidak menyenangkan, bahkan penodaan terhadap agama Islam.
Menyudutkan dan mensesatkan kelompok lain apalagi minoritas yang dipastikan telah dan akan menahan diri untuk melakukan aksi balas bisa dianggap sebagai sikap arogansi dan provokasi par excellent dalam sebuah negara yang dihuni oleh bangsa yang majemuk dalam agama, aliran, suku, dan semua keanekaan. Semoga para tokoh yang dijadikan panutan masyarakat tetap menjalankan fungsinya sebagai penganjur toleransi dan kebhinekaan, bukan malah mendukung pernyataan (baca : fatwa non konstitusional) yang mengancam kesatuan dan kebhinekaan, yang merupakan salah satu pilar negara tercinta, Indonesia.
“Sesungguhnya umatmu ini adalah umat yang satu” (QS. Al-Anbiya’ [21]: 92) [Islam Times/Beritaprotes]
Oleh; Muhsin Labib http://www.islamtimes.org/vdcj8ve8auqevxz.bnfu.html
Dialog Sunah-Syiah
Sejarah "Hitam" Kaum Wahabi
Islam Times- Saya yakin seyakin-yakinnya jika suatu saat nanti kaum Wahabi di negeri ini memiliki kekuasaan yang berlebih dan kekuatan militer di negeri ini, mereka akan menggunakan cara-cara kekerasan dengan pembantaian dan pembunuhan terhadap sesama muslim yang tidak satu paham dengan mereka.
Duet ideal dan serasi : mamah dede mengatakan Rasulullah pernah ditolak doanya oleh Allah, krn keluarganya kafir, di stasiun ANtv smantara wakil walikota yg Dr dan alumni Gontor kemana mana kampanye waspadai dan hati hati dg bahaya syiah (krn syiah sesat). Jadilah pasangan duet harmonis.
Sejarah NU adalah sejarah perlawanan terhadap kaum Wahabi. Seperti dituturkan KH Abd. Muchith Muzadi, sang Begawan NU dalam kuliah Nahdlatulogi di Ma' had Aly Situbondo dua bulan yang silam, jam'iyyah Nahdlatul Ulama didirikan atas dasar perlawanan terhadap dua kutub ekstrem pemahaman agama dalam Islam. Yaitu: kubu ekstrem kanan yang diwakili kaum Wahabi di Saudi Arabia dan ekstrem kiri yang sekuler dan diwakili oleh Kemal Attartuk di Turki, saat itu. Tidak mengherankan jika kelahiran Nahdlatul Ulama di tahun 1926 M sejatinya merupakan simbol perlawanan terhadap dua kutub ekstrem tersebut.
Hanya saja, kali ini, karena keterbatasan space, saya akan membatasi tulisan ini pada bahasan kutub ekstrem yang pertama, Wahabi. Pun bahwa saya akan membatasi pembahasan Wahabi secara khusus pada sejarah kelamnya di masa lampau, belum pada doktrin-doktrin, tokoh-tokohnya atau juga yang lainnya. Saya berharap bahwa fakta sejarah ini akan dapat kita gunakan untuk memprediksi kehidupan sosial keagamaan kita di masa-masa yang akan datang. Karena bagaimanapun juga, apa yang dilakukan oleh kaum Wahabi saat itu merupakan goresan noda hitam. Goresan noda hitam inilah yang kini mengubah wajah Islam yang sejatinya pro damai menjadi sangat keras dan mengubah Islam yang semula ramah menjadi penuh amarah.
***
Sebagaimana dimaklumi, kaum Wahabi adalah sebuah sekte Islam yang kaku dan keras serta menjadi pengikut Muhammad Ibn Abdul Wahab. Ayahnya, Abdul Wahab, adalah seorang hakim Uyainah pengikut Ahmad Ibn Hanbal. Ibnu Abd Wahab sendiri lahir pada tahun 1703 M/1115 H di Uyainah, masuk daerah Najd yang menjadi belahan Timur kerajaan Saudi Arabia sekarang. Dalam perjalanan sejarahnya, Abdul Wahab, sang ayah harus diberhentikan dari jabatan hakim dan dikeluarkan dari Uyainah pada tahun 1726 M/1139 H karena ulah sang anak yang aneh dan membahayakan tersebut. Kakak kandungnya, Sulaiman bin Abd Wahab mengkritik dan menolak secara panjang lebar tentang pemikiran adik kandungnya tersebut (as-sawaiq al-ilahiyah fi ar-rad al-wahabiyah). (Abdurrahman Wahid: Ilusi Negara Islam, 2009, hlm. 62)
Pemikiran Wahabi yang keras dan kaku ini dipicu oleh pemahaman keagamaan yang mengacu bunyi harfiah teks al-Qur'an maupun al-Hadits. Ini yang menjadikan Wahabi menjadi sangat anti-tradisi, menolak tahlil, maulid Nabi Saw, barzanji, manaqib, dan sebagainya. Pemahaman yang literer ala Wahabi pada akhirnya mengeklusi dan memandang orang-orang di luar Wahabi sebagai orang kafir dan keluar dari Islam. Dus, orang Wahabi merasa dirinya sebagai orang yang paling benar, paling muslim, paling saleh, paling mukmin dan juga paling selamat. Mereka lupa bahwa keselamatan yang sejati tidak ditunjukkan dengan klaim-klaim Wahabi tersebut, melainkan dengan cara beragama yang ikhlas, tulus dan tunduk sepenuhnya pada Allah Swt.
Namun, ironisnya pemahaman keagamaan Wahabi ini ditopang oleh kekuasaan Ibnu Saud yang saat itu menjadi penguasa Najd. Ibnu Saud sendiri adalah seorang politikus yang cerdas yang hanya memanfaatkan dukungan Wahabi, demi untuk meraih kepentingan politiknya belaka. Ibnu Saud misalnya meminta kompensasi jaminan Ibnu Abdul Wahab agar tidak mengganggu kebiasaannya mengumpulkan upeti tahunan dari penduduk Dir'iyyah. Koalisipun dibangun secara permanen untuk meneguhkan keduanya. Jika sebelum bergabung dengan kekuasaan, Ibnu Abdul Wahab telah melakukan kekerasan dengan membid'ahkan dan mengkafirkan orang di luar mereka, maka ketika kekuasaan Ibnu Saud menopangnya, Ibnu Abdul Wahab sontak melakukan kekerasan untuk menghabisi orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka.
Pada tahun 1746 M/1159 H, koalisi Ibnu Abdul Wahab dan Ibnu Saud memproklamirkan jihad melawan siapapun yang berbeda pemahaman tauhid dengan mereka. Mereka tak segan-segan menyerang yang tidak sepaham dengan tuduhan syirik, murtad dan kafir. Setiap muslim yang tidak sepaham dengan mereka dianggap murtad, yang oleh karenanya, boleh dan bahkan wajib diperangi. Sementara, predikat muslim menurut Wahabi, hanya merujuk secara eklusif pada pengikut Wahabi, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Unwan al-Majd fi Tarikh an-Najd. Tahun 1802 M /1217 H, Wahabi menyerang Karbala dan membunuh mayoritas penduduknya yang mereka temui baik di pasar maupun di rumah, termasuk anak-anak dan wanita.
Tak lama kemudian, yaitu tahun 1805 M/1220 H, Wahabi merebut kota Madinah. Satu tahun berikutnya, Wahabi pun menguasai kota Mekah. Di dua kota ini, Wahabi mendudukinya selama enam tahun setengah. Para ulama dipaksa sumpah setia dalam todongan senjata. Pembantaian demi pembantaian pun dimulai. Wahabi pun melakukan penghancuran besar-besaran terhadap bangunan bersejarah dan pekuburan, pembakaran buku-buku selain al-Qur'an dan al-Hadits, pembacaan puisi Barzanji, pembacaan beberapa mau'idzah hasanah sebelum khutbah Jumat, larangan memiliki rokok dan menghisapnya bahkan sempat mengharamkan kopi.
Tercatat dalam sejarah, Wahabi selalu menggunakan jalan kekerasan baik secara doktrinal, kultural maupun sosial. Misalnya, dalam penaklukan jazirah Arab hingga tahun 1920-an, lebih dari 400 ribu umat Islam telah dibunuh dan dieksekusi secara publik, termasuk anak-anak dan wanita. (Hamid Algar: Wahabism, A Critical Essay, hlm. 42). Ketika berkuasa di Hijaz, Wahabi menyembelih Syaikh Abdullah Zawawi, guru para ulama Madzhab Syafii, meskipun umur beliau sudah sembilan puluh tahun. (M. Idrus Romli: Buku Pintar Berdebat dengan Wahabi, 2010, hlm. 27). Di samping itu, kekayaan dan para wanita di daerah yang ditaklukkan Wahabi, acapkali juga dibawa mereka sebagai harta rampasan perang.
Di sini, setidaknya kita melihat dua hal tipologi Wahabi yang senantiasa memaksakan kehendak pemikirannya. Pertama, ketika belum memiliki kekuatan fisik dan militer, Wahabi melakukan kekerasan secara doktrinal, intelektual dan psikologis dengan menyerang siapapun yang berbeda dengan mereka sebagai murtad, musyrik dan kafir. Kedua, setelah mereka memiliki kekuatan fisik dan militer, tuduhan-tuduhan tersebut dilanjutkan dengan kekerasan fisik dengan cara amputasi, pemukulan dan bahkan pembunuhan. Ironisnya, Wahabi ini menyebut yang apa yang dilakukannya sebagai dakwah dan amar maruf nahi mungkar yang menjadi intisari ajaran Islam.
***
Membanjirnya buku-buku Wahabi di Toko Buku Gramedia, Toga Mas, dan sebagainya akhir-akhir ini, hemat saya, adalah merupakan teror dan jalan kekerasan yang ditempuh kaum Wahabi secara doktrinal, intelektual dan sekaligus psikologis terhadap umat Islam di Indonesia. Wahabi Indonesia yang merasa masih lemah saat ini menilai bahwa cara efektif yang bisa dilakukan adalah dengan membid'ahkan, memurtadkan, memusyrikkan dan mengkafirkan orang yang berada di luar mereka. Jumlah mereka yang minoritas hanya memungkinkan mereka untuk melakukan jalan tersebut di tengah-tengah kran demokrasi yang dibuka lebar-lebar untuk mereka.
Saya yakin seyakin-yakinnya jika suatu saat nanti kaum Wahabi di negeri ini memiliki kekuasaan yang berlebih dan kekuatan militer di negeri ini, mereka akan menggunakan cara-cara kekerasan dengan pembantaian dan pembunuhan terhadap sesama muslim yang tidak satu paham dengan mereka. Jika wong NU, jam'iyyah Nahdlatul Ulama, dan ormas lain yang satu barisan dengan keislaman yang moderat dan rahmatan lil alamien tidak mampu membentenginya, saya membayangkan Indonesia yang kelak menjadi Arab Saudi jilid kedua. Saya tidak dapat membayangkan betapa mirisnya jika para kiai dan ulama kita kelak akan menjadi korban pembantaian kaum Wahabi, terutama ketika mereka sedang berkuasa di negeri ini. Naudzubillah wa naudzubilah min dzalik.
Wallahualam. **
* Wakil Sekretaris PCNU Jember, Wakil Sekretaris Yayasan Pendidikan Nahdaltul Ulama Jember, PW Lajnah Talif wa an-Nasyr NU Jawa Timur dan kini menjabat sebagai Deputi Direktur Salsabila Group.http://www.islamtimes.org/vdcfmcdyxw6dmca.,8iw.html
Sumber; nu.or.id/page/id/dinamic_detil/4/32688/Kolom/Sejarah__Hitam__Kaum_Wahabi.html
0 comments to "TOLAK BUKU “Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia”..!!!!! dan INILAH Dialog Sunah-Syiah Sejarah "Hitam" Kaum Wahabi Takfiri Zionis "