Banjarmasin- Kali ini Team www.banjarkuumaibungasnya.blogspot.com menghadirkan berita yang sudah lama di ketahui dan kembali disajikan oleh Media Cetak terkenal dari Kalimantan Selatan yaitu Tabloid Serambi Ummah Edisi 30 Agustus- 5 September 2013 M / 23-29 Syawal 1434 H. No, 712 tentang Judul yang lumayan "Menghentak"======> "Kawin Kontrak Makin Marak".
Bukan bermaksud menggurui para Tokoh-tokoh Islam Wahabi yang notabene di pegang Kerajaan Arab Saudi dengan Pernikahan yang mereka sebut KAWIN KONTRAK, dan juga tidak bermaksud menggurui para Tokoh-tokoh Islam Sunni (dalam hal ini Islam Sunni Syafe'i ala Republik Indonesia) yang mengenal NIKAH SIRI serta juga tidak bermaksud menggurui Tokoh-tokoh Islam Syi'ah (dalam hal ini Islam Syiah 12 Imam yang ada di Republik Islam Iran). Tapi artikel kali ini kami ambil dari sumber-sumber yang terpampang jelas asal-usul artikelnya. Jadi bagi yang merasa TIDAK SEPAKAT dengan artikel ini anggap saja lagi KELILIPAN mata, sehingga kita sesama anak bangsa Indonesia, sesama Kaum Muslim dan sesama ummat manusia terhindar dari MERASA paling BENAR...kalau ANDA setuju atau tidak atas artikel ini, itu HAK ANDA, semoga artikel ini menjadi pencerahan kita bersama...Amin Ya rabbal 'allamin.
SALAM CINTA DAN PERSAUDARAAN sesama Ummat Islam dan sesama Ummat Manusia
=====>STOP KEBENCIAN<====== iyakah jar...^_^...
(AR/R/KNY/MFF/05/09/2013/Bjm/17:19wita)
Rabu, 29 Februari 2012 - 07:22:20 WIBKetika Sunni dan Syiah mengakui
tuhan yang sama, nabi yang sama, Alquran yang sama, kiblat yang sama,
syahadat yang sama, mengapa perbedaan harus dibesar-besarkan?
Ketika Sunni dan Syiah mengakui tuhan yang sama, nabi yang sama, Alquran
yang sama, kiblat yang sama, syahadat yang sama, mengapa perbedaan
harus dibesar-besarkan?
Sunni dan Syiah adalah dua mainstream Islam yang sama-sama post-quranic.
Keduanya terbentuk setelah wahyu berhenti diturunkan dan setelah nabi
Muhammad saw wafat. Perselisihan paham antarkeduanya berlangsung sejak
terbentuknya aliran tersebut di masa-masa awal Islam sampai hari ini.
Keduanya saling perang ayat dan riwayat, bahkan tidak jarang keduanya
saling mengafirkan. Kontestasi perebutan pengaruh juga berlangsung dari
dulu hingga sekarang dan kontak fisik sering tidak terhindarkan. Begitu
parahkah perbedaan antarkeduanya sehingga tak ada secercah harapan
mendekatkan kedua kekuatan dahsyat Islam ini?
Hasil diskusi intensif penulis (bersama dengan beberapa doktor dan guru
besar UIN Alauddin) dengan beberapa Ayatullah (ulama otoritatif) Syiah
di Hawza Ilmiah Syiah di jantung peradaban Syiah di Qum, Iran,
mengungkap sejumlah fakta menarik yang dipatut dipertimbangkan dalam
rangka mendekatkan kedua mainstream besar Islam ini.
Sejumlah isu-isu kritis kami diskusikan secara akademik dan kepala
dingin. Kami ke Iran mengikuti workshop ilmiah dengan membawa sejumlah
pemahaman apriori tentang Syiah. Di antaranya adalah asumsi bahwa kitab
suci Syiah (Alquran) berbeda dengan kitab suci (Alruran) Sunni. Asumsi
ini bukan tanpa dasar karena disebutkan dalam ratusan riwayat dalam
kitab al-Kafi karya al-Kulayni (salah satu dari empat kitab yang
dianggap oleh Syiah sebagai kitab suci kedua setelah Alquran, kurang
lebih sama dengan Sahih Bukhari dan Sahih Muslim yang diyakini oleh
Sunni sebagai kitab kedua setelah Alquran) bahwa terdapat manipulasi
atau perubahan (tahrif) terhadap Alquran yang ada sekarang.
Menurut al-Kulayni penulis kitab otoritatif tersebut, Alquran yang ada
di tangan kaum muslimin Sunni sekarang sebagian telah diubah. Inilah
salah satu penyebab mengapa kaum muslimin Sunni di dunia termasuk di
Indonesia, memandang Syiah sesat karena meyakini ketidakaslian Alquran.
Begitu kami sampai di Iran kami langsung memeriksa Alquran Syiah. Bahkan
kami dibawa ke tempat percetakan Alquran dan diberi hadiah Alquran.
Ternyata, Alquran Syiah dengan Alquran Sunni tidak ada bedanya sama
sekali. Ketika penulis menanyakan hal ini kepada salah seorang Ayatullah
di Hawza, beliaupun menjawab tak ada perbedaan. Yang menarik adalah
informasi dari kitab al-Kafi berbeda dengan kenyataan di lapangan.
Ketika kami menanyakan hal tersebut, Ayatullah menjawab kami tidak
menganggap al-Kafi sebagai kitab suci yang tidak mungkin salah. Di situ
banyak kesalahan yang kami kritisi, berbeda dengan kalian di Sunni yang
menjadikan Sahih al-Bukhari sebagai kitab suci yang tidak boleh
dikritisi. Saya sempat sedikit tersindir dengan jawaban tersebut.
Menurut Ayatullah yang lain, sudah terbit banyak buku yang mengkritik
al-Kafi karya al-Kulayni. Poin ini penting karena kitab ini sering
dijadikan sumber oleh Sunni untuk menyerang kaum Syiah, sementara kitab
ini sendiri sudah dikritik oleh Syiah.
Poin selanjutnya tentang sahabat. Dalam literatur-literatur yang ditulis
kaum Sunni disampaikan bahwa Syiah hanya menerima hadis-hadis yang
diriwayatkan oleh ahlul bait atau keluarga nabi, sementara hadis yang
diriwatkan oleh sahabat-sahabat yang lain mereka tolak mentah-mentah,
bahkan mereka, kaum Syiah mencerca sahabat. Para Ayatullah yang sempat
kami ajak diskusi mengingkari hal itu. Mereka mengatakan bahwa sepanjang
hadis tersebut bisa dibuktikan otentisitasnya dari nabi, siapapun
sahabat yang meriwayatkan kami terima. Abu Bakar, Umar dan Usman adalah
sahabat nabi yang mereka hormati. Poin ini sangat substantif karena
pendapat tentang sahabat nabi telah dan sedang menjadi sumber konflik
antara kedua mainstream Islam ini.
Bahkan, ada di antara Ayatullah yang menjelaskan bahwa sedang ada
konspirasi besar untuk mendiskreditkan Iran (Syiah) yang bertujuan untuk
memecah-belah umat Islam. Iran adalah negara Islam terbesar dan
terkuat, baik secara ekonomi, karakter, budaya dan politik dan paling
resisten terhadap pengaruh hegemoni Barat yang sama sekali tidak bisa
didikte oleh Amerika. Terdapat tidak kurang dari 200 chanel televisi di
luar negri, terutama di Amerika, yang dibuat dalam bahasa Parsi untuk
mendiskreditkan Iran, untuk menyerang budayanya. Stasiun televisi inilah
yang sering memunculkan padangan-pandangan miring yang berpotensi
menimbulkan kesalahpahaman terhadap Iran secara khusus dan Syiah secara
umum, agar Syiah dan saudaranya Sunni tidak bisa bersatu menurut
Ayatullah tersebut.
Tentang nikah mut'a (kawin kontrak), sungguh berbeda dengan apa yang
kami pahami sebelumnya. Nikah mut'a memang dibenarkan oleh ulama Syiah
dengan riwayat-riwayat yang menurut mereka dapat dipertanggungjawabkan
kesahihannya. Bahkan argumentasi quranipun dapat mereka tunjukkan.
Menurut mereka, nikah mut'a dipraktikkan pada masa nabi. Banyak sahabat
yang telah mempraktikkannya. Nanti pada masa Umar bin Khattab, khalifah
kedua, Nikah mut'a dilarang. Mengapa sesuatu di masa nabi dibolehkan
kemudian dilarang oleh Umar? Riwayat-riwayat tersebut tentu bisa
diperdebatkan, tetapi bukan tempatnya di sini mendiskusikannya. Tetapi,
meskipun demikian nikah mut'a di kalangan Syiah tidak semudah dan
semurah yang dibayangkan.
Nikah mut'a memang masih ada di Iran, tetapi sangat terbatas. Di samping
harus tercatat di catatan sipil, juga bukanlah trend terhormat di
masyarakat. Praktik nikah mut'a sangat jarang dan hanya dalam kasus
tertentu. Di tempat lain, praktik nikah mut'a sering dieksploitasi dan
dijadikan sebagai instrumen mengumbar nafsu. Nikah mut'a tentu tidak
dimaksudkan untuk tujuan-tujuan tersebut.
Perbedaan yang paling mendasar yang diakui oleh mereka adalah tentang
khilafah. Mereka meyakini bahwa yang berhak menjadi khalifah setelah
nabi adalah Ali, bukan Abu Bakar, Umar dan Usman. Keyakinan tersebut
tentu di-back up oleh riwayat-riwayat yang mereka yakini kesahihannya.
Konsep imamah dan wilayatul faqih adalah tema yang juga menarik dan
sangat panas dalam diskusi kami, tetapi keterbatasan halaman ini
menyebabkan penulis tidak mengurainya di sini.
Poin yang penulis ingin sampaikan adalah baik Sunni maupun Syiah
memiliki argumennya masing-masing, memiliki dasar-dasar dari Alquran dan
hadis masing-masing. Sunni dan Syiah berbeda dalam memahami teks,
berbeda dalam menilai keabsahan sumber atau riwayat-riwayat. Tetapi,
ketika Sunni dan Syiah mengakui tuhan yang sama, nabi yang sama, Alquran
yang sama, kiblat yang sama, syahadat yang sama, mengapa perbedaan
harus dibesar-besarkan. Apatah lagi kalau perbedaan-perbedaan itu
dipahami dari sumber yang tidak tepat.
Bagi Sunni yang ingin mengetahui substansi pemikiran dan hakikat ajaran
Syiah sebaiknya membaca dari literatur Syiah, bukan dari sumber yang
tidak suka kepada Syiah. Begitu pula sebaliknya, kelompok Syiah harus
fair membaca literatur otoritatif Sunni untuk mengetahui esensi
pemahaman Sunni. Mungkin dengan cara itu, Sunni dan Syiah dapat
bersinergi membangun peradaban Islam di masa yang akan datang/ Amien.
Wallahu a'lam. (*) sumber:http://kamaruddinamin.uin-alauddin.ac.id/berita-115-sunnisyiah-sebagai-produk-sejarah-.html
Dialog Ringan 1 (Mut’ah)
Sugeng : Syiah menghalalkan Mut'ah?
Jamal
: Ya. Semua nikah pada dasarnya adalah mut'ah. Coba liat sebagian ayat
yang menjelaskan nikah, menggunakan kata istamta'tum. Lagi pula, tidak
ada orang waraspun yang mau nikah utk tersiksa.
Sugeng : Lho itu kan ayat yg dijadikan Syiah sbg dalil ttg Mut’ah?
Jamal : Ya, tapi karena diharamkan, kami pun menjadikannya sbg dalil untuk nikah secara umum.
Sugeng : Ya, kami yakini ayat itu ttg nikah tak bejangka.
Jamal : Lho, semua nikah berjangka.
Sugeng : Tidak bisa!
Jamal : Bisa dan anda Ahlussunnah juga mempercayainya.
Sugeng : Apa dalilnya?
Jamal
: Perceraian dan kematian adalah jangka akhir nikah. Karena itu, wanita
yang diceraikan atau ditinggal wafat dibolehkan nikah lagi. Ini yang
disepakati oleh seluruh ulama. Jadi, pada dasarnya.semua nikah adalah
mut’ah dan semua nikah berjangka.
Sugeng : Tidak bisa!
Jamal : Kalau begitu, jangan nikah!
Kunjungi (kalau berani???) http://satriasyiah.wordpress.com/
Dialog Ringan (3) Sahabat Nabi
Sugeng : Orang-orang Syiah tidak menghormati sahabat Nabi, bahkan mencaci maki mereka.
Jamal : Syiah tidak akan mencaci sahabat.
Sugeng : Alaaah… Itu taqiyah.
Jamal : Syiah tidak akan mencaci sahabat karena dalam definisi umum, Ali bin Abithalib, Fathimah Zahra juga sahabat.
Sugeng : Mereka kan dianggap Ahlulbait...
Jamal : Mereka adalah keluarga (Ahlulbait) sekaligus sahabat.
Sugeng : Bukankah Syiah, dalam beberapa riwayatnya, mengecam para sahabat Nabi….?
Jamal : Benar sebagian Syiah mengecam sebagian sahabat Nabi.
Sugeng : Nah, jelas kan, Syiah memang mengecam para sahabat!?
Jamal : Oh, itu… Mengecam sebagian sahabt Nabi tidak hanya dilakukan oleh Syiah. Sebagian ulama non Syiah juga melakukannya.
Sugeng : Tidak mungkin. Ulama kami sepakat untuk menganggap seluruh sahabat itu adil (udul).
Jamal
: Sejauh yang saya ketahui, kebanyakan orang yang memanggil Nabi saat
berada di kamar (al-hujarat) dikecam oleh Allah sebagai orang-orang yang
“tidak berakal”. Dan semua ayat yang melaknat para pembohong dan ayat2
kecaman lainnya berlaku berlaku atas setiap manusia, termasuk sahabat
Nabi.
Sugeng : Bisa aja!
Jamal : Emang bisa!
Sugeng : Ya, tapi kan ada riwayat dalam kitab Syiah yang mencaci sahabat-sahabat besar yang sangat kami hormati.
Jamal
: wah, itu hanya satu riwayat. Toh dalam kitab riwayat non Syiah juga
terdapat banyak riwayat yang menghina sahabat Nabi yang sangat kami
hormati.
Sugeng : Mana mungkin?
Jamal : Mungkin dan ada, namun kami tidak menganganggap riwayat itu sebagai bukti bahwa mazhab anda mengecam para sahabat.
Sugeng : Dimana? Sebutkan.
Jamal
: Dalam tafsir Ibnu Katsir, disebutkan sebuah riwayat bahwa ayat
pengharaman mabuk saat shalat turun karena Ali bin Abi Thalib sedang
shalat dalam keadaan mabuk. Telah menceritakan kepada kami Musaddad yang
berkata telah menceritakan kepada kami Yahya dari Sufyan yang berkata
telah menceritakan kepada kami ‘Atha’ bin As Saaib dari Abu Abdurrahman
As Sulami dari ‘Aliy bin Abi Thalib “bahwa ada seorang laki-laki dari
golongan Anshar memanggilnya dan Abdurrahman bin ‘Auf kemudian ia
memberi mereka khamar sebelum diharamkan. Kemudian Ali mengimami mereka
dalam shalat maghrib dan membaca “qul yaa ayyuhal kaafiruun” dan ia pun
salah dalam membacanya. Maka turunlah ayat “janganlah kamu shalat sedang
kamu dalam keadaan mabuk sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan”
[Sunan Abu Dawud 2/350 no 3671]
Sugeng : Mana mungkin?
Jamal :
Tidak mungkin kami menganggap Ahlussunnah mencaci Ali bin Abithalib
hanya karena sebuah riwayat yang tidak mu’tabar. Nah, tidak mungkin
Ahlussunnah yang bijak menganggap Syiah mengecam sahabat Umar karena
sebuah riawayat yang tidak popular dan mu’tabar.
Kunjungi (Kalau Berani???)http://jakfari.wordpress.com/
Posted on Agustus 14, 2007 by abusalafy
Setelah kita muat berita tentang peringatan sebuah lembaga partikelir Saudi
“Awashir” terhadap
warga Saudi agar berhati-hati menikah di negeri asing, dan fatwa Syekh
bin Baz tentang kawin kontrak ala wahabi/salafi atau yang disebut oleh
Syekh Bin Baz “NIKAH DENGAN NIAT (akan) DI TALAQ”. kami mendapat banyak
tanggapan dan banyak pula para wahabi yang menuduh kami berbohong atau
menfitnah, padahal telah kami kutipkan dengan jelas nama buku, halaman,
tahun dan tempat cetakan buku rujukan kami tersebut. Maka dengan ini
kami muat TEKS FATWA SYEKH BIN BAZ tersebut dan kami sertakan
scan-nan
buku fatawa tersebut. sebagai bukti kepada para wahabi/salafy bahwa
blog kita bukan seperti situs dan blog mereka yang suka menuduh dan
tanpa bukti.
kami heran dengan mereka kenapa tidak mau membuka buku fatawa Syekh
Bin Baz tersebut, kami yakin mereka pasti memilikinya, mungkin saja
mereka malu karena Imam Agung mereka Syekh bin Baz berfatwa mirip musuh
bebuyutannya (syi’ah) tentang kawin mut’ah, bahkan fatwa kawin dengan
niat talaq ini lebih jelek karena merupakan bentuk penipuan terhadap
calon istri yang akan dinikah.
Selanjutanya silahkan membaca TEKS FATWA SYEKH BIN BAZ
“NIKAH DENGAN NIAT TALAK” yang kami kutip dari buku “
Majmuk Fatawa“-nya
Syekh Abdul Aziz bin Abdullah yang dikenal dengan sebuatan Bin Baz,
Jilid 4, hal 29-30 cetakan Riyadh – Saudi Arabia, Tahun 1411/1990″
-NIKAH DENGAN NIAT (AKAN) DI TALAQ-
Pertanyaan: Saya mendengar bahwa anda
berfatwa kepada salah seorang polisi bahwa diperbolehkan nikah di negeri
rantau (negeri tempat merantau), dimana dia bermaksud untuk mentalak
istrinya setelah masa tertentu bila habis masa tugasnya. Apa perbedaan
nikah semacam ini dengan nikah mut’ah? Dan bagaimana kalau si wanita
melahirkan anak? Apakah anak yang dilahirkan dibiarkan bersama ibunya
yang sudah ditalak di negara itu? Saya mohon penjelasanya.
Jawab: benar. Telah keluar fatwa dari
“Lajnah Daimah”, di mana saya adalah ketuanya, bahwa dibenarkan nikah
dengan niat (akan) talak sebagai urusan hati antara hamba dan Tuhannya.
Jika seseorang menikah di negara lain (di rantau) dan niat bahwa kapan
saja selesai dari masa belajar atau tugas kerja, atau lainnya, maka hal
itu dibenarkan menurut jumhur para ulama. Dan niat talak semacam ini
adalah urusan antara dia dan Tuhannya, dan bukan merupakan syarat dari
sahnya nikah.
Dan perbedaan antara nikah ini dan nikah mut’ah adalah dalam nikah
mut’ah disyaratkan masa tertentu, seperti satu bulan, dua bulan, dan
semisalnya. Jika masa tersebut habis, nikah tersebut gugur dengan
sendirinya. Inilah nikah mut’ah yang batil itu. Tetapi jika seseorang
menikah, di mana dalam hatinya berniat untuk mentalak istrinya bila
tugasnya berakhir di negara lain, maka hal ini tidak merusak akad nikah.
Niat itu bisa berubah-ubah, tidak pasti, dan bukan merupakan syarat
sahnya nikah. Niat semacam ini hanyalah urusan dia dan Tuhannya. Dan
cara ini merupakan salah satu sebab terhindarnya dia dari perbuatan zina
dan kemungkaran. Inilah pendapat para pakar (ahl al-ilm), yang dikutip
oleh penulis
Al-Mughni Muwaffaquddin bin Qudamah rahimahullah
______________________
Dan dibawah ini Scan dari buku asli Fatwa tersebut.
sumber:http://abusalafy.wordpress.com/2007/08/14/teks-fatwa-syekh-bin-baz-tentang-kawin-dengan-niat-talaq-kawin-kontrak-ala-wahabi/
Dalam Islam Mazhab Jakfari atau Islam
Syiah Imamiah 12 atau pengikut setia Ahlulbayt Rasulullah saww tidak
ada istilah pacaran (perkenalan secara pribadi tanpa ikatan pernikahan)
yang sering dipraktekkan oleh masyarakat Islam non Syiah . Namun di
sisi lain, hampir mustahil nikah tanpa perkenalan sebelumnya, terkhusus
berbicara dari hati ke hati yang hanya melibatkan dua orang saja. Dan
Islam harus mampu memberikan solusinya. Nikah mut’ah adalah solusi
terbaik dalam hal ini.
Mut'ah adalah jawabannya buat orang non
Muslim, dimana mereka menganggap Islam itu kolot dengan alasan masak dua
insan yang hendak melanjutkan perkawinannya dilaksanakan tanpa
pendekatan persesuaian terlebih dahulu (baca pacaran). Mut'ah adalah
versi "pacarannya" Islam dimana lebih indah daripada pacaran non Syiah,
dimana mereka dalam masa persesuaian itu bebas melakukan hubungan suami
- isteri sebagaimana nikah Bain. Tinggal lagi nikah Mut'ah tidak
wajib memberikan nafkah lahir dan bathin. Namun suami yang murah hati
tidak mungkin tidak memberikan belanjanya kepada sang Isteri sebagai
kekasih yang resmi, kecuali memang benar-benar belum punya rezki.
Logisnya pasangan pacaran non Syiah yang murah hati juga akan melakukan
hal yang sama sebagai nilai kasihsayangnya kepada sang kekasih.
Adapun perbedaan "pacaran" Islam (baca mut'ah) dengan pacaran non Syiah Imamiah 12
diantaranya yang pertama hukumnya halal berdasarkan surah an Nisa'
ayat 24, sedangkan yang ke dua hukumnya haram. Yang pertama bebas
bergaul sebagaimana lazimnya suami- isteri dalam nikah ba'in sedangkan
yang kedua bukan saja dosa besar melakukan hubungan suami - isteri
tetapi juga haram berdua-duan.
Diawal perkembangan Islam kawin
mut'ah pada umumnya diaplikasikan oleh pejuang ketika jauh dari
isterinya. Ini membuktikan bahwa Islam itu benar-benar agama yang haq
disisi Allah (baca innad diina 'indallahil Islam). "Al Islamu ya'lu
wala yukla 'alaih" (hadist), dimana Islam itu tidak memberatkan
pemeluknya dan senantiasa ada jalan keluarnya asal saja tidak keluar
jalan. Masa Perang jaman Rasulullah adalah masa darurat, justeru itu
maharnya diselesaikan ketika itu juga hingga ada yang berupa sebuah
baju (hadist). Hal ini dapat dipahami bahwa apabila tidak diselesaikan
maharnya dengan segera, besar kemungkinan tidak terselesaikan mengingat
pasukan tersebut senantiasa berpindah-pindah. Sedangkan nikah mut'ah
dimasa aman, tidak disyaratkan maharnya kecuali ketika habis masa
mut'ahnya, nyakni memasuki fase nikah bain (baca nikah permanent) atau
berpisah andaikata dalam masa persesuaian itu tidak berjalan dengan
baik hingga isteri berhak menolak untuk diteruskan ke nikah Bain.
Sedangkan dalam nikah ba'in isteri tidak memiliki hak untuk menceraikan
suami (baca hak suami lebih besar dari hak isteri)
Perlu juga
digarisbawahi bahwa nikah mut'ah itu dilakukan secara suka-rela tidak
boleh ada paksaan sebagaimana juga nikah ba'in. Dari itu masak bodoh
calon isteri atau orang tuanya bersedia nikah mut'ah hanya dalam jangka
satu minggu atau satu bulan. Inilah yang membuat musuh Islam
berkesempatan untuk merendahkan nikah mut'ah dengan alasan jangka yang
demikian pendek sebagaimana kawin kontrak yang terlarang dalam Islam.
Jangka waktunya yang normal cukup untuk saling mengenal watak
masing-masing, minimal 2 tahun.
Sedangkan masa perang jaman Rasulullah dulu bisa saja terjadi dalam
tempo satu minggu atau malah 2,3 hari sekalipun. Itu adalah kepentingan
jihad fisabilillah yang diistimewakan Allah dan Rasul Nya. Kalau ada
pihak yang mempersoalkan hal ini dengan alasan tidak ada nilai orang
perempuan, mereka lupa kenapa Allah membenarkan melakukan hubungan suami
- isteri terhadap perempuan yang didapat dalam peperangan sebagai
harta rampasan, padahal perempuan itu juga sebahagian besar masih
memiliki suaminya sendiri.
Persoalannya, kenapa orang non Syiah
Imamiah 12 mengira nikah Mut'ah itu haram? Jawabannya adalah terlalu
percaya kepada Umar bin Khattab. Hanya dialah dan konco-konconya yang
berani melawan ketentuan Allah dan Rasul Nya sebagai mana keterangan
berikut ini:
Ia (Jabir) mengatakan: “Melalui diriku hadis
tersebut didapat, kita telah melakukan mut’ah bersama Rasulullah (saww)
juga bersama Abu bakar, akan tetapi setelah berkuasanya Umar, ia
(Umar) pun mengumumkannya pada masyarakat dengan ucapan: “Sesungguhnya
Al-Qur’an tetap posisinya sebagai Al-Qur’an sedang Rasulullah (saww)
tetap sebagai Rasul, ada dua jenis mut’ah yang ada pada zaman Rasul;
haji mut’ah (haji tamattu’ .red) dan nikah mut’ah kuharamkan”. Kalaupun
nikah mut’ah haram lantas kenapa kita juga tidak mengharamkan mut’ah
haji yang sampai detik ini masih dilakukan oleh semua kaum muslimin
dunia padahal ia termasuk yang diharamkan oleh Umar bin Khattab.
Dalil naqli lainnya:Beberapa ungkapan para
sahabat Rasul dan para tabi’in (yang hidup setelah zaman para
sahabat) sebagai contoh pribadi-pribadi yang mengingkari akan
pelarangan (pengharaman) mut’ah:
Imam
Ali bin Abi Thalib, sebagaimana diungkapakan oleh Thabari dalam kitab
tafsirnya (lihat: jil:5 hal:9) dimana Imam Ali bersabda: “jika mut’ah
tidak dilarang oleh Umar niscaya tidak akan ada yang berzina kecuali
orang yang benar-benar celaka saja”.
Riwayat
ini sebagai bukti bahwa yang mengharamkan mut’ah adalah Umar bin
Khatab, lantas setelah banyaknya kasus perzinaan dan pemerkosaan
sekarang ini –berdasarkan riwayat diatas- siapakah yang termasuk
bertanggungjawab atas semua peristiwa itu?
Abdullah bin Umar
bin Khatab (putera khalifah kedua), sebagaimana yang dinukil oleh Imam
Ahmad bin Hambal dalam kitab musnadnya (lihat: jil:2 hal:95) dimana
Abdullah berkata ketika ditanya tentang nikah mut’ah: “Demi Allah,
sewaktu kita dizaman Rasul tidak kita dapati orang berzina ataupun
serong”. Kemudian berkata, aku pernah mendengar Rasul bersabda:
“sebelum datangnya hari kiamat akan muncul masihud-dajjal dan
pembohong besar sebanyak tiga puluh orang atau lebih”. Lantas siapakah
yang layak disebut pembohong dalam riwayat diatas tadi? Adakah orang
yang memutar balikkan syariat Rasul layak untuk dibilang pembohong?
Abdullah
bin Masud, sebagaimana yang dinukil oleh al-Bukhari dalam kitab
shahihnya (lihat: jil:7 hal:4 kitab nikah bab:8 hadis ke:3), dimana
Abdullah berkata: “sewaktu kita berperang bersama Rasulullah sedang
kita tidak membawa apa-apa, lantas kita bertanya kepada beliau:
bolehkah kita lakukan pengebirian? Lantas beliau melarang kita untuk
melakukannya kemudian beliau memberi izin kita untuk menikahi wanita
dengan mahar baju untuk jangka waktu tertentu. Saat itu beliau
membacakan kepada kami ayat yang berbunyi: “wahai orang-orang yang
beriman janganlah kalian mengharamkan apa-apa yang baik yang telah
Allah halalkan bagi kalian dan janganlah kalian melampaui batas…”(Qs
Al-Ma’idah:87)
Adapun
legalitas hukumnya kawin mut'ah demikian jelas dalam surah an Nisa'
ayat 24:
"....................................................................
Maka isteri-isteri yang telah kamu ni'mati (campuri) di antara mereka,
berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu
kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu
telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu . Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana" (Q,S. an Nisa' 24)
Sebahagian
tokoh Sunni berpegang pada ketentuan Umar bukan ketentuan Allah dan
Raasul Nya. Adakah orang yang waras menganggap Umar lebih berhak
menentukan sesuatu daripada Rasulullah? Sementara tokoh Sunni lainnya
meyakini bahwa Umar tidak berhak membatalkan atau memansuhkan Ketentuan
Allah dan Rasulnya, namun mereka berkilah bahwa benar nikah Mut'ah di
aplikasikan para shahabat akan tetapi Rasulullah sendiri yang
memansuhkannya. Tokoh tersebut tidak memahami bahwa Ayat Qur-an tidak
boleh diman suhkan oleh Hadist dan bagi Rasulullah sendiri mustahil
melawan ketentuan Allah. Ayat Qur-an hanya dapat dimansuhkan dengan
ayat Qur-an yang lainnya sebagaimana ayat yang berhubungan dengan
Khamar (baca minuman yang memabukkan), dimana pada mulanya Allah tidak
mengharamkan, tinggal lagi memberitahukan bahwa pada khamar itu
mengandung kebaikan dan keburukan tetapi keburukan lebih besar dari
kebaikan. Ayat tersebut dimansuhkan dengan ayat terakhir turun mengenai
larangan minum khamar.
Tidak ada satu ayatpun yang memansuhkan
ayat nikah Mut'ah (baca an Nisa' 24). Namun Para tokoh Sunni lainnya
telah menyebutkan beberapa ayat yang dalam hemat mereka seba gai ayat
naasikhah (yang memansukhkan) ayat Mut’ah. Di bawah ini akan saya
sebutkan ayat-ayat tersebut.
Ayat Pertama:
Firman Allah SWT:
و
الذين هُمْ لِفُرُوْجِهِمْ حافِظُونَ إلاَّ علىَ أَزْواجِهِمْ أَوْ ما
مَلَكَتْ أَيْمانُهُمْ، فَإِنَّهُمْ غيرُ مَلُوْمِيْنَ. (المؤمنون:5-6)
“Dan
orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri
mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam
hal yang tiada tercela.” (QS:23;5-6)
Keterangan Ayat:
Dalam pandangan mereka ayat di atas menerangkan bahwa dibolehkan/ dihalalkanya meng gauli seorang wanita karena dua sebab;
Pertama, hubungan pernikahan (permanen).
Kedua, kepemilikan budak.
Sementara itu kata mereka wanita yang dinikahi dengan akad Mut’ah, bukan seorang istri.
Tanggapan:
Pertama-tama
yang perlu difahami ialah bahwa mut’ah adalah sebuah ikatan pernikahan
dan perkawinan, baik dari sudut pandang bahasa, tafsir ayat maupun
syari’at, seperti telah dijelaskan sebelumnya. Jadi ia sebenarnya dalam
keumuman ayat di atas yang diasumsikan sebagai pemansukh, tidak ada
alasan yang membenarkan dikeluarkannya dari keumuman tersebut. Kata
Azwaajihim dalam ayat di atas mencakup istri yang dinikahi baik dengan
akad nikah daim (permanent) maupun akad nikah Mut’ah.
Kedua,
selain itu ayat 5-6 Surah Mu’minun (sebagai pemansukh) berstatus
Makkiyah (turun sebelum Hijrah) sementara ayat hukum Mut’ah (ayat 24
surah al-Nisa’) berstatus Madaniyah (turun setelah Hijrah). Lalu
bagaimana mungkin ayat Makkiyah yang turun sebelum ayat Madaniyah dapat
memansukhkannya?! Ayat yang memansukh turun lebih dahuluan dari ayat
yang sedang dimansukhkan hukumnya. Mungkinkah itu?!
Ketiga,
Tetap diberlakukannya hukum nikah Mut’ah adalah hal pasti, seperti
telah ditegaskan oleh para ulama Sunni sendiri. Az zamakhsyari
menukilIbnu Abbas ra.sebagai mengatakan, “Sesungguhnya ayat Mut’ah itu
muhkam (tidak mansukh). Pernyataan yang sama juga datang dari Ibnu
Uyainah.
Keempat, Para Imam Ahlubait as. menegaskan bahwa hukum yang terkandung dalam ayat tersebut tetap berlaku, tidak mansukh.
Kelima,
Ayat 5-6 Surah Mu’minun sedang berbicara tentang hukum nikah permanent
dibanding tindakan-tindakan yang diharamkan dalam Syari’at Islam,
seperti perzinahan, liwath (homo) atau kekejian lain. Ia tidak sedang
berbicara tentang nikah Mut’ah, sehingga diasumsikan adanya saling
bertentangan antara keduanya.
Adapun anggapan bahwa seorang
wanita yang dinikahi dengan nikah Mut’ah itu bukan berstatus sebagai
isrti, zawjah, maka anggapan itu tidak benar. Sebab:
1. Mereka
mengatakan bahwa nikah ini telah dimansukhkan dengan ayat إلاَّ علىَ
أَزْواجِهِمْ … atau ayat-ayat lain atau dengan riwayat-riwayat yang
mereka riwayatkan bahwa Nabi saww. telah memansukhnya setelah
sebelumnya pernah menghalalkannya. Bukankah ini semua bukti kuat bahwa
Mut’ah itu adalah sebuah akad nikah?! Bukankah itu pengakuan bahwa
wanita yang dinikahi dengan akad Mut’ah itu adalahh seorang isrti,
zawjah?! Sekali lagi, terjadinya pemansukhan – dalam pandangan mereka-
adalah bukti nyata bahwa yang dimansukh itu adalah nikah!
2.
Tafsiran para tokoh dan para mufassir Sunni terhadap ayat surah An
Nisaa’ bahwa yang dimaksud adalah nikah Mut’ah adalah bukti nyata bahwa
akad Mut’ah adalah akad nikah dalam Islam.
3. Nikah Mut’ah
telah dibenarkan adanya di masa hidup Nabi saww. oleh para muhaddis
terpercaya Sunni, seperti Bukhari, Muslim, Adu Daud dll.
4. Ada
ketetapan emas kawin, mahar dalam nikah Mut’ah adalah bukti bahwa ia
adalah sebuah akad nikah. Kata أُجُوْرَهُنَّ (Ujuurahunna=mahar
mereka). Seperti juga pada ayat-ayat lain yang berbicara tentang
pernikahan.
Perhatikan ayat 25 surah An Nisaa’, ayat 50 surah Al
Ahzaab (33) dan ayat 10 surah Al Mumtahanah (60). Pada ayat-ayat
tersebut kata أُجُوْرَهُنَّ diartikan mahar.
Apakah
benar orang-orang Syiah berkata bahwa barang siapa yang tidak melakukan
nikah mut’ah maka ia tidak menyempurnakan keimanannya?
Ulama
Syiah berkata, “Barang siapa yang tidak melakukan mut’ah maka ia tidak
menyempurnakan imannya hingga ia melakukan nikah mut’ah.” Mut’ah dalam
pandangan ulama Syiah adalah pria melakukan senggama (jima) dengan
wanita dan wanita tersebut menikah dengan pria tanpa adanya saksi-saksi
atau wali. Mereka meyakini bahwa barang siapa yang melakukan nikah
mut’ah dengan mukminah maka sesungguhnya ia telah melakukan ziarah
sebanyak tujuh puluh kali ke Ka’bah. Mishbâh al-Mujtahid, Thusi, hal.
252.
Riwayat sedemikian tidak kami jumpai pada kitab Mishbâh al-Mujtahid.
Dalam pandangan Syiah, nikah mut’ah memiliki syarat-syarat yang harus
dipenuhi di antaranya menyampaikan formula bukan semata-mata bermakna
senggama antara pria dan wanita tanpa menyertakan formula. Formula tersebut menunjukkan adanya kerelaan di antara kedua belah pihak.
Riwayat ini dengan penjelasan seperti yang tertera dalam pertanyaan tidak terdapat pada kitab Mishbâh al-Mujtahid. Karena itu penyandaran seperti ini tidak benar adanya. Di samping itu, Mishbâh al-Mujtahid
melingkupi riwayat-riwayat tentang ibadah, doa, amalan-amaan ritual
harian, mingguan dan bulan-bulan khusus seperti bulan Ramadhan,
Muharram, Safar dan sebagianya serta tidak ada sangkut pautnya dengan
pembahasan akad-akad seperti akad nikah temporer (mut’ah) dan permanen (daim). Benar terdapat riwayat yang serupa dalam hal ini, misalnya apabila seseorang melangsungkan akad mut’ah dan mandi maka setiap tetesan air mandinya mendapatkan ganjaran permohonan ampunan dari para malaikat.[1] Atau imannya akan sempurna ketika ia melangsungkan pernikahan mut’ah dengan syarat tertentu.[2]
Iman
menjadi sempurna dengan mut’ah tentu dengan terpenuhinya syarat-syarat
yang akan kami sampaikan kemudian. Syarat-syarat ini juga disebutkan
dalam riwayat.[3]
Syarat-syarat Pernikahan Sementara (mut’ah)
Pernikahan sementara (mut’ah) dalam Islam merupakan sebuah pernikahan resmi. Bagi
orang-orang yang ingin melampiaskan libido seksualnya namun tidak
memiliki kemampuan dari sisi finansial untuk melangsungkan pernikahan
permanen (daim) serta membina bahtera rumah tangga maka ia dapat
menggunakan jalan ini. Dengan cara seperti ini ia menyelamatkan dirinya
dari perbuatan dosa.
Islam sebagai agama terparipurna mensyariatkan dan membolehkan pernikahan sementara (mut’ah)
lantaran persoalan yang boleh jadi dihadapi oleh sebagian orang ketika
ia menikah secara permanen. Apabila hakikat, seluruh hukum, konsekuensi
dan syarat-syarat pernikahan sementara dipahami dengan baik dan
menimbang dengan seksama apa yang menjadi tujuan dan maksud Islam
menetapkan aturan seperti ini demikian juga menunaikan segala hukum,
konsekuensi dan syarat-syaratnya di samping amalan-amalan dan
aturan-aturan Islam lainya, maka tentu saja pernikahan sementara
merupakan sebaik-baik jalan untuk menjaga masyarakat dan setiap orang
serta mampu mengantisipasi pelbagai kerusakan yang dapat dihadapi semua
orang. Demikianlah tujuan dan maksud Syâri’ Muqaddas (Pemberi Syariat yang Suci).[4]
Pernikahan
sementara memiliki selaksa syarat. Di antara syarat tersebut adalah
ketika membaca formula akad maka yang membacanya harus menyatakannya
secara imperatif (insyâ). Hal ini disepakati oleh masyhur fukaha, bahkan secara konsensus (ijma)[5] disepakati oleh para ulama yang terdahulu dan terkemudian.[6] Perbedaan
hanya terdapat pada boleh tidaknya menggunakan bahasa Arab atau selain
Arab dalam membaca formula dan akadnya. Sebagian fukaha tidak memandang
pembacaan dengan menggunakan bahasa Arab sebagai syarat terlaksananya
pernikahan mut’ah.[7]
Aban
bin Taghlib bertanya kepada Imam Shadiq As bahwa apabila ia
berdua-duaan dengan seorang wanita apa yang harus dikatakan kepada
wanita tersebut? (Bagaimana aku menikah dengannya). Imam Shadiq As
bersabda: Katakan kepadanya, “Apakah kunikahi engkau dengan cara mut’ah
berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya?” Hingga Imam Shadiq As
bersabda bahwa apabila wanita tersebut berkata “iya” maka ia telah
menjadi istrimu.[8]
Dengan
demikian apa yang mengemuka dalam pertanyaan Syiah tidak memandang
senggama antara pria dan wanita sebagai mut’ah melainkan menandaskan
bahwa nikah mut’ah harus menggunakan akad yang dinyatakan secara
imperatif. Atas dasar itu, apabila riwayat secara lahir, menyatakan
tidak perlunya membaca akad dengan lafaz (memadai dengan nikah mu’athâti [tidak perlu ijab dan qabul])[9] yang dijadikan sebagai dalil oleh sebagian fukaha,[10]
maka hal itu bertentangan dengan riwayat-riwayat dan dalil-dalil
lainnya yang dijelaskan dalam kitab-kitab fikih Syiah dan fukaha Syiah
tidak mengamalkan hal tersebut.[IQuest]
Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat, “Pernikahan Sementara dan Ketenangan” dan No. 3130 pada site ini.
[1]. Wasâil al-Syiah, jkil. 21, hal. 16, Hadis 26402.
[2]. Man Lâ Yahdhur al-Faqih, jil. 3, hal. 466.
وَ رُوِیَ أَنَّ الْمُؤْمِنَ لَا یَکْمُلُ حَتَّى یَتَمَتَّعَ
[3]. Wasâil al-Syiah, jil. 21, hal. 14.
[4]. Diadaptasi dari pertanyaan No. 2925 (Site: 3130).
[5]. Muhammad Hasan Najafi, Jawâhir al-Kalâm fi Syarhi Syarâ’i al-Islâm, Syaikh Abbas Qucani, jil. 30, hal. 153, Dar al-Ihya Turats al-‘Arabi, Cetakan Kedelapan, Beirut, Libanon.
[6]. Silahkan lihat, Taudhi al-Masâil 13 Marâji’, jil. 2, hal. 453-455, berkenaan dengan Masalah 2369-2370, Daftar Intisyarat-e Islami, Cetakan 11, 1384 S. Fakhrul Muhaqqiqin, Aidhâ al-Fawâid fi Syarhi Musykilât al-Qawâid,
Sayid Husain Musawi Kermani-Syaikh Ali Panah Isytihardi, Syaikh
Abdurrahim Burujerdi, jil. 3, hal. 12, Muassasah Ismailiyan, Qum,
Cetakan Pertama, 1387 H. Jawâhir al-Kalâm fi Syarhi Syarâ’i al-Islâm, jil. 30, hal. 153. Muhammad Fadhil Lankarani, al-Ta’liqât ‘ala al-Urwat al-Wutsqâ, jil. 2, hal. 732-733. Markaz Fiqhi Aimmah Athar As, Cetakan Pertama, Qum dan kitab-kitab fikih lainnya.
[7]. Taudhil al-Masâil 13 Maraji, jil. 2, hal. 453 & 454, terkait dengan Masalah 2370.
[8]. Al-Hurr al-‘Amili, Wasail al-Syiah, jil. 21, hal 43, Muassasah Ali al-Bait As Liihya al-Turats, 1409 H.
مُحَمَّدُ
بْنُ یَعْقُوبَ عَنْ عَلِیِّ بْنِ إِبْرَاهِیمَ عَنْ أَبِیهِ عَنْ عَمْرِو
بْنِ عُثْمَانَ عَنْ إِبْرَاهِیمَ بْنِ الْفَضْلِ عَنْ أَبَانِ بْنِ
تَغْلِبَ وَ عَنْ عَلِیِّ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ سَهْلِ بْنِ زِیَادٍ عَنْ
إِسْمَاعِیلَ بْنِ مِهْرَانَ وَ مُحَمَّدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ إِبْرَاهِیمَ
بْنِ الْفَضْلِ عَنْ أَبَانِ بْنِ تَغْلِبَ قَالَ قُلْتُ لِأَبِی عَبْدِ
اللَّهِ (ع) کَیْفَ أَقُولُ لَهَا إِذَا خَلَوْتُ بِهَا قَالَ تَقُولُ
أَتَزَوَّجُکِ مُتْعَةً عَلَى کِتَابِ اللَّهِ- وَ سُنَّةِ نَبِیِّه لَا
وَارِثَةً وَ لَا مَوْرُوثَةً کَذَا وَ کَذَا یَوْماً وَ إِنْ شِئْتَ کَذَا
وَ کَذَا سَنَةً بِکَذَا وَ کَذَا دِرْهَماً وَ تُسَمِّی (مِنَ الْأَجْرِ)
مَا تَرَاضَیْتُمَا عَلَیْهِ قَلِیلًا کَانَ أَوْ کَثِیراً فَإِذَا
قَالَتْ نَعَمْ فَقَدْ رَضِیَتْ وَ هِیَ امْرَأَتُکَ وَ أَنْتَ أَوْلَى
النَّاسِ بِهَا الْحَدِیثَ.
[9].
Disebutkan dalam riwayat bahwa Umar ingin merajam seorang wanita pezina
dan hal ini diketahui oleh Baginda Ali As dan beliau setelah bertanya
tentang pokok persoalannya. Wanita tersebut berkata yang menunjukkan
kerelaan keduanya. Baginda Ali As menandaskan bahwa mereka telah
melangsungkan pernikahan:
وَ
عَنْهُ عَنْ أَبِیهِ عَنْ نُوحِ بْنِ شُعَیْبٍ عَنْ عَلِیِّ بْنِ حَسَّانَ
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ کَثِیرٍ عَنْ أَبِی عَبْدِ اللَّهِ ع قَالَ
جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى عُمَرَ فَقَالَتْ إِنِّی زَنَیْتُ فَطَهِّرْنِی
فَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُرْجَمَ فَأُخْبِرَ بِذَلِکَ أَمِیرُ الْمُؤْمِنِینَ
ع- فَقَالَ کَیْفَ زَنَیْتِ قَالَتْ مَرَرْتُ بِالْبَادِیَةِ فَأَصَابَنِی
عَطَشٌ شَدِیدٌ فَاسْتَسْقَیْتُ أَعْرَابِیّاً فَأَبَى أَنْ یَسْقِیَنِی
إِلَّا أَنْ أُمَکِّنَهُ مِنْ نَفْسِی فَلَمَّا أَجْهَدَنِیَ الْعَطَشُ وَ
خِفْتُ عَلَى نَفْسِی سَقَانِی فَأَمْکَنْتُهُ مِنْ نَفْسِی فَقَالَ
أَمِیرُ الْمُؤْمِنِینَ ع تَزْوِیجٌ وَ رَبِّ الْکَعْبَة.
[10]. Jawâhir al-Kalâm fi Syarhi Syarâ’i al-Islâm, jil. 30, hal. 153.
sumber:http://www.islamquest.net/id/archive/question/fa8532
Banjarmasin- Kali ini Team www.banjarkuumaibungasnya.blogspot.com
menghadirkan berita yang sudah lama di ketahui dan kembali disajikan
oleh Media Cetak terkenal dari Kalimantan Selatan yaitu Tabloid Serambi
Ummah Edisi 30 Agustus- 5 September 2013 M / 23-29 Syawal 1434 H. No,
712 tentang Judul yang lumayan "Menghentak"======> "Kawin Kontrak
Makin Marak".
Bukan bermaksud menggurui para Tokoh-tokoh Islam
Wahabi yang notabene di pegang Kerajaan Arab Saudi dengan Pernikahan
yang mereka sebut KAWIN KONTRAK, dan juga tidak bermaksud menggurui para
Tokoh-tokoh Islam Sunni (dalam hal ini Islam Sunni Syafe'i ala Republik
Indonesia) yang mengenal NIKAH SIRI serta juga tidak bermaksud
menggurui Tokoh-tokoh Islam Syi'ah (dalam hal ini Islam Syiah 12 Imam
yang ada di Republik Islam Iran). Tapi artikel kali ini kami ambil dari
sumber-sumber yang terpampang jelas asal-usul artikelnya. Jadi bagi yang
merasa TIDAK SEPAKAT dengan artikel ini anggap saja lagi KELILIPAN
mata, sehingga kita sesama anak bangsa Indonesia, sesama Kaum Muslim dan
sesama ummat manusia terhindar dari MERASA paling BENAR...kalau ANDA
setuju atau tidak atas artikel ini, itu HAK ANDA, semoga artikel ini
menjadi pencerahan kita bersama...Amin Ya rabbal 'allamin.
SALAM CINTA DAN PERSAUDARAAN sesama Ummat Islam dan sesama Ummat Manusia
=====>STOP KEBENCIAN<====== iyakah jar...^_^...
(AR/R/KNY/MFF/05/09/2013/Bjm/17:19wita)
Nikah aja semau kamu mau Nikah Mut'ah berapa kali, atau sampai kelaminmu terkikis karena keseringan Mut'ah ... Saya pastikan kamu SYI'AH ...
Dasar Anonymous pengikut Salafi wahabi takfiri bahkan mungkin pencinta teroris ISIS, saya PASTIKAN KAMU TAKFIRI pengadu domba ummat manusia dan pengadu domba Islam Sunni dan Islam Syi'ah...!!!!!
Inilah hebatnya antek2 dadjal laknatullah, sangat pantai memutar kata-kata, buhan banjar mana ikam??
Tebarkanlah Pesan Kedamaian & Cinta Kasih, bukan menebarkan pesan kebencian radikal takfiri !!!!
####
Ketika Muslim Sunni dan Syiah Kuwait Bersatu Dari Gempuran Teroris ISIS
####
ISLAMTOLERAN.COM- Jumat 26 Juni 2015 adalah hari yang tak akan dilupakan oleh Kuwait, setelah bertahun-tahun berjuang mempertahankan untuk hidup aman dan damai dari perang teluk yang traumatis itu, tiba tiba dikejutkan dengan kejadian yang sangat memilukan dan melecehkan kerja keras mereka, sebuah bom bunuh diri meledak di sebuah masjid ketika sholat jumat sedang berlangsung di masjid kaum Syiah Al Imam Al Shadiq, Kuwait City.
Ledakan bom menewaskan 27 orang dan 200an lainya luka luka, tak lama kemudian ISIS menyatakan bertanggung jawab atas kejadian tersebut.
Kejadian ini benar benar mengejutkan negara kecil yang berpenduduk 60% Sunni dan 30% Syiah ini, sampai Emir Kuwait HRH Sheikh Sabah Al Ahamd Al Sabah, datang langsung dan turun tangan ke lokasi beberapa menit setelah terjadinya ledakan. Secara resmi Negara ini mengumumkan dalam keadaan berkabung selama 3 hari. Ribuan orang pun berkicau di dunia maya mengutuk kelompok radikal tersebut dan menyeru persatuan, tak heran hashtag #onekuwait pun menyebar dengan cepat.
onekuwait-5597db5d40afbdce0a32eda4
Pada hari yang sama sekitar 1500 orang baik Sunni ataupun Syiah, baik warga Kuwait maupun warga dari berbagai bangsa berbondong bondong mendonorkan darahnya di Kuwait Blood Bank. Salah satu foto yang banyak diyakini sangat menyentuh rasa kemanusiaan dan banyak di share di dunia maya adalah ketika seorang sunni yang mendonorkan darahnya dan menulis sebuah kalimat di lenganya “I am Sunni and my blood is for Syiah brother”. Khutbah-khutbah di masjid, TV, Radio pun banyak diisi dengan tema persatuan dan mengecam permusuhan sekterian.
Lewat rekaman CCTV, ahirnya fihak keamanan berhasil menangkap pelaku pemboman bunuh diri ini, pelaku utama adalah seorang warga Arab Saudi, supir yang membawa pelaku yakni seorang bidun (stateless) dan seorang warga Kuwait pemilik rumah dimana mereka sempat tinggal, pihak keamanan juga telah menangkap puluhan orang yang diduga terkait dengan jaringan radikal ini.
sunnidonor-5597d65540afbdd10a32eda1
Pemerintah Kuwait bergerak cepat meningkatkan keamanan, memperketat pintu kedatangan dan perlepasan di bandara, menyusun undang undang anti terror , mengeluarkan undang undang yang mewajibkan test DNA untuk warga Kuwait dan expat, serta dengan cepat menutup 500 akun media social dan website radikal yang dicurigai menyebar kebencian serta memecah belah persatuan umat.
Seminggu setelah kejadian tersebut Kaum Sunni dan syiah kembali berkumpul dan beribadah bersama di Masjid Agung Kuwait yang dihadiri oleh Emir Kuwait dan para petinggi kerajaan, seraya mengirimkan pesan yang nyata pada dunia bahwa mereka tidak bisa begitu saja dilecehkan oleh pelaku terror dan di brainwash oleh ideology yang akan memecah belah persatuan negara mereka dan islam pada umumnya.
gulf-security-5597d59040afbd620a32eda3
Kaum Sunni dan syiah kembali berkumpul dan beribadah bersama di Masjid Agung Kuwait yang dihadiri oleh Emir Kuwait dan para petinggi kerajaan
Mereka percaya bahwa teroris yang sebenarnya adalah mereka yang meyakinkan orang bahwa sunni dan syiah saling bermusuhan. Seperti kata juru bicara parlemen Kuwait Marzouk Algahanim “They (jihadist) wanted to stir a conflict between two sects, but found only one religion and united people”. ( Mereka (jihad) ingin membangkitkan konflik antara dua sekte, tetapi yang mereka temui adalah satu agama dan orang-orang yang bersatu ".)
Sebuah pelajaran besar bagi negara Arab lainya agar selalu mengutamakan persatuan dan selalu ingat pada inti ajaran islam yakni perdamaian sebelum datang golongan yang akan memecah belah kedaulatan mereka.
Penulis: Dido Indo ( penulis di kompasiana) http://www.islamtoleran.com/ketika-muslim-sunni-dan-syiah-kuwait-bersatu-dari-gempuran-teroris-isis/
Omong opo??? Dipikir sik nek omong.. nganggo utek..
Omong opo??? Dipikir sik nek omong.. nganggo utek..