Home , , , , , , , , , � Sadis! Iklan Israel Promosikan Tabrak Bocah Palestina

Sadis! Iklan Israel Promosikan Tabrak Bocah Palestina













AS Reaksi Unjuk Rasa di Bahrain


Seorang pejabat senior Departemen Luar Negeri Amerika Serikat menyatakan keprihatinan atas nasib para aktivis oposisi yang ditahan di Bahrain, namun ia menolak mengutuk tindakan brutal tentara Arab Saudi.

"Kami telah menyatakan belasungkawa kepada mereka yang meninggal dalam tahanan. Kami sangat mendesak pemerintah Manama untuk memastikan bahwa semua tahanan diperlakukan secara adil dan sesuai dengan prinsip-prinsip internasional," kata Jacob Sullivan, direktur perencanaan kebijakan Departemen Luar Negeri AS seperti dilansir AFP pada hari Selasa (26/4).

Sebelumnya, seorang aktivis oposisi Bahrain mengatakan, Manama tengah mempersiapkan hukuman mati terhadap sekelompok demonstran anti-pemerintah di sebuah pengadilan militer.

Tujuh pengunjuk rasa dituduh membunuh dua anggota pasukan keamanan selama penindasan negara terhadap protes rakyat, kata mantan anggota parlemen, Matar Matar. (IRIB/RM/PH/27/4/2011)

Ooalah Amerika! Sudah Telat, Lemah Pula!

"Sudah terlambat, lemah pula!" Begitulah kira-kira penilaian yang tepat atas pernyataan akhir AS soal krisis kemanusiaan di Bahrain. Meski pembantaian massal terhadap rakyat pro-demokrasi di Bahrain telah berlangsung sejak berminggu-minggu yang lalu. Namun Washington tak juga angkat bicara soal kebiadaban rezim al-Khalifa dan al-Saud tersebut. Kalaupun kini AS mulai terdengar suaranya dalam mengkritisi aksi penumpasan rezim Bahrain terhadap para demonstran pro-demokrasi, itupun terbilang sudah sangat terlambat dan tidak tegas sama sekali.

Jacob Sullivan, Direktur Perancang Kebijakan Departemen Luar Negeri AS kemarin (Selasa, 26/4) menyatakan, "Kami turut berduka cita bagi mereka yang meninggal dunia di penjara-penjara Bahrain. Kami menuntut Pemerintah Bahrain untuk segera memastikan bahwa seluruh tahanan diperlakukan secara adil dan sesuai dengan prinsip-prinsip internasional".

Dalam beberapa pekan terakhir ini, aksi-aksi kekerasan dan pembunuhan terhadap warga sipil di Bahrain memang sudah terlampau brutal dan tak mungkin lagi bisa dibiarkan begitu saja. Sampai-sampai AS yang selama ini getol melindungi rezim-rezim Arab sekutu dekatnya, tak juga mampu menutup mata. Sebagaimana ramai diberitakan, belakang ini sejumlah rumah sakit, sekolah, dan masjid juga tak luput dari sasaran serangan pasukan Bahrain dan Arab Saudi. Gambar-gambar yang ditayangkan dari Bahrain juga menampilkan betapa sadis dan brutalnya operasi pemberangusan yang dilancarkan pasukan rezim al-Khalifa terhadap warga sipil pro-demokrasi.

Ironisnya, hingga kini negara-negara Barat yang getol mengklaim dirinya sebagai pembela hak asasi manusia dan demokrasi tak juga mengambil tindakan nyata untuk menghentikan aksi kekerasan rezim al-Khalifa terhadap rakyatnya sendiri. Mereka bahkan seakan membiarkan diktator Bahrain terus seenaknya melancarkan genosida sistematis terhadap warga muslim Syiah.

Sehari setelah Arab Saudi menggelar intervensi militernya di Bahrain untuk membantu rezim al-Khalifa menumpas gerakan pro-demokrasi, Menteri Pertahanan AS Robert Gates melawat Manama untuk memastikan implementasi skenario konspirasi mereka dalam memberangus kebangkitan rakyat Bahrain. Segera setelah itu, Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton menyatakan bahwa revolusi Bahrain sama sekali tidak bisa disamakan dengan Libya. Kontan saja, pernyataan tersebut menjadi lampu hijau bagi rezim al-Khalifa dan al-Saud untuk memberangus gerakan revolusi rakyat Bahrain dengan segala cara.

Namun kini setelah kezaliman rezim Bahrain dan Saudi sudah di luar batas dan tak bisa lagi ditolerir, AS pun terpaksa turut berkomentar. Dua tahun terakhir ini, reputasi pemerintahan Barack Obama di bidang HAM sangat jeblok. Karena itu, mau tak mau Washington mesti angkat suara dalam menyikapi pelanggaran berat HAM di Bahrain untuk memperbaiki citranya di tingkat internasional. Namun demikian, besar kemungkinan reaksi AS tersebut hanya sebatas peringatan verbal. Bagi Washington, yang sangat vital saat ini adalah melindungi dan mempertahankan sekutu-sekutunya di Timur Tengah. Hal itu urgen dilakukan demi mempertahankan kepentingan strategisnya di kawasan. (IRIB/LV/NA/27/4/2011)

Revolusi Rakyat Timteng dan Wajah Cemas Israel

Kebangkitan rakyat di dunia Arab telah mengubah wajah Timur Tengah. Kini rakyat di kawasan dapat memainkan perannya lebih besar ketimbang sebelumnya. Tampaknya, rezim zionis Israel di antara sekian rezim yang paling mengkhawatirkan fenomena yang muncul dari transformasi ini. Gelombang besar kebangkitan rakyat di dunia Arab lambat laun menyingkap dan melumat wajah keriput dan tua struktur politik rezim Israel.

Sekalipun lahirnya Timur Tengah baru banyak memberikan harapan, tapi sebagian menjadi cemas akan runtuhnya bangunan yang mereka bangun di atas air. Tsunami besar kebangkitan rakyat membuat bangunan ini dalam bahaya. Rezim Zionis Israel termasuk satu di antara mereka yang memandang gelombang tuntutan perubahan di dunia Arab dengan tatapan penuh kecemasan.

Sejujurnya, mengapa Tel Aviv memandang kebangkitan rakyat di dunia Arab dengan penuh ketakutan? Apa substansi perubahan yang terjadi sehingga mencemaskan Israel? Apa pengaruh kebangkitan rakyat kawasan terkait hubungan masa depan Israel dengan negara-negara Arab di Timur Tengah?

Efraim Halevi, mantan Direktur Mossad Israel beberapa waktu lalu kepada televisi BBC mengakui telah terjadi perubahan di kancah politik Timur Tengah, dan mengatakan, "Kondisi yang ada saat ini tidak akan berlanjut. Sebelum peristiwa Mesir saya bahkan tidak membayangkan situasi yang ada ini dapat dipertahankan. Tapi kini sudah hampir tidak mungkin untuk mempertahankannya. Kesimpulannya, kita harus menyusun kembali kebijakan baru."

Pernyataan transparan mantan direktur Mossad ini hanya secuil dari kisah kecemasan Tel Aviv akan transformasi negara-negara Arab. Mesir menjadi perhatian penting, sebab selama 35 tahun terakhir menjadi negara sekutu paling dekat Israel dan boleh di kata menjadi sandaran utama politik rezim ini.

Secara umum, hubungan rezim zionis Israel dengan negara-negara Arab selama lebih dari empat dekade dilakukan secara terstruktur dan dibangun pasca kekalahan negara-negara Arab dari Israel dalam perang 6 hari tahun 1967. Pasca kekalahan itulah, rezim Zionis semakin mengokohkan posisinya di kawasan. Tentu, dengan dukungan membabi buta Washington dan sejumlah negara Barat.

Namun kini, gelombang kebangkitan rakyat di dunia Arab telah memutar arah kutub politik di Timur Tengah. Efek domino revolusi rakyat ini selain berhasil mendongkel rezim diktator semacam Ben Ali di Tunisia dan Mubarak di Mesir dari tahtanya, juga mengancam kepentingan luar negeri Israel. Selama ini, Mubarak menjadi mitra terbaik Tel Aviv di negara-negara Arab. Berkat pemimpin diktator itu pulalah Mesir mengalirkan gasnya ke Israel. Tidak hanya itu, Israel mendapat begitu banyak konsesi yang semakin mengokohkan eksistensinya di kawasan, sekaligus mendapat pengakuan dari sejumlah negara Arab.

Perubahan konstelasi politik dewasa ini di dunia Arab membuat rezim Zionis semakin cemas dari sebelumnya. Tampaknya kecemasan itu tidaklah berlebihan. Pasalnya, sebuah polling terbaru yang dilakukan surat kabar al-Ahram Mesir menegaskan bahwa mayoritas rakyat Negeri Piramida ini menghendaki perjanjian Camp David dibatalkan.

Sejatinya, bersama tumbangnya sejumlah rezim diktator di dunia Arab, kecemasan rezim Zionis semakin kentara dari sebelumnya. Kali ini, Tel Aviv harus menyiapkan agenda baru untuk mempertahakan eksistensi ilegal Israel yang kian hari semakin rapuh dengan hancurnya benteng-benteng lama mereka bernama rezim despotik Arab.(IRIB/SL/PH/27/4/2011)

Ketika “Intervensi” Makin Diidentikkan dengan Iran

"Intervensi", tampaknya makin identik saja istilah tersebut dengan Iran. Dan lagi-lagi Republik Islam ini menjadi sasaran tudingan intervensi. Kali ini tudingan itu terlontar dari Presiden AS Barack Obama. Orang nomor satu di Negeri Paman Sam itu menuding Tehran mengintervensi urusan dalam negeri Suriah. Tentu saja, tudingan tak berdasar itu segera ditampik oleh Kementerian Luar Negeri Republik Islam Iran. Menariknya lagi, Washington malah diajak merenungi kembali apa yang dituduhkannya itu.

Jurubicara Kemenlu Iran Ramin Mehmanparast menilai dihembuskannya tudingan seperti itu sebagai kelanjutan dari perang urat syaraf anti-Iran yang kian santer dilancarkan AS dalam beberapa tahun terakhir ini. Perang urat syaraf tersebut bertujuan untuk mengacaukan dan menyesatkan opini masyarakat regional dan internasional soal dukungan Washington terhadap rezim-rezim diktator di kawasan.

Meningkatnya perang psikologis anti-Iran yang dilancarkan AS di tengah gejolak transformasi Timur Tengah seperti sekarang, sejatinya bisa ditilik dari berbagai sudut pandang. Hanya dengan melihat sekilas saja perkembangan akhir di kawasan, tampak jelas bahwa AS dan sekutu-sekutunya menerapkan politik standar ganda dalam menyikapi rangkaian revolusi rakyat di Timur Tengah. Setiap kali kebijakan intervensif Washington menjadi sorotan dan sasaran kritik masyarakat internasional, Gedung Putih pun segera mengkambinghitamkan Iran untuk lari dari persoalan. Menariknya lagi, model penyesatan isu semacam itu juga diperagakan AS menyangkut masalah Afghanistan, Irak, dan kawasan Amerika Latin. Dan lagi-lagi intervensi Iran dijadikan sebagai biang masalah.

Padahal borok-borok AS di kawasan sudah begitu nyata. Tak siapapun bisa menafikan dukungan membabi-buta Washington terhadap kebiadaban rezim zionis Israel. Dan kini, AS pun seolah tak mau tahu dengan tragedi yang menimpa rakyat Bahrain. Padahal kalau saja Gedung Putih adalah pejuang demokrasi dan hak asasi manusia yang tulus, niscaya bakal mendukung perjuangan rakyat Bahrain menuntut keadilan dan demokrasi. Namun AS lebih memilih rezim-rezim diktator yang bisa dijadikan sebagai boneka politik untuk melindungi kepentingannya sendiri.

Kendati demikian, selicik apapun trik yang digunakan AS untuk memanipulasi kenyataan dan menyesatkan opini masyarakat, kebenaran tidak akan bisa selamanya disembunyikan. Seruan Washington untuk mendorong sekutu-sekutu Arabnya mengirim pasukan militernya ke Bahrain dengan dalih untuk membendung intervensi Iran sejatinya merupakan strategi politik yang gagal. Ironisnya hal yang sama justru diterapkan lagi terhadap Iran menyangkut masalah Suriah.

Setelah intervensi militer sekutu AS, seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab ke Bahrain menuai protes luas masyarakat internasional, Washington pun lantas memanipulasi fakta dan segera menuding Iran membantu pemerintah Suriah memberangus protes rakyat. Semua itu dilakukan untuk menyembunyikan realitas yang terjadi di Bahrain demi melindungi penguasa-penguasa Arab yang menjadi sekutu utama Washington. Yang jelas, sezalim apapun mereka, AS tak ingin rezim-rezim bonekanya di Timur Tengah itu tumbang satu per satu dalam waktu sedemikian singkat seperti nasib Ben Ali di Tunisia ataupun Mubarak di Mesir. (IRIB/LV/NA/26/4/2011)

Konvoi Raksasa Akan Dobrak Blokade Gaza

Aktivis internasional merencanakan untuk mengirim sebuah armada bantuan baru ke Jalur Gaza dalam upaya untuk mematahkan blokade rezim Zionis Israel.

Gerakan Pembebasan Gaza mengatakan pada hari Selasa (26/4) bahwa target waktu keberangkatan konvoi adalah 31 Mei atau bertepatan dengan peringatan serangan mematikan Tel Aviv terhadap Freedom Flotilla, Associated Press melaporkan.

Konvoi baru yang terdiri dari 15 kapal akan menjadi dua kali lebih besar dari rombongan tahun lalu dan membawa total 1.500 orang, termasuk aktivis dari Eropa, Timur Tengah, Asia Tenggara, Amerika Latin, Kanada dan Amerika Serikat.

Sebuah koalisi internasional dari 22 kelompok non-pemerintah akan mengatur perjalanan tersebut.

Israel memperingatkan akan menggunakan kekuatan terhadap kapal bantuan yang melanggar blokade Gaza. Tel Aviv memberlakukan blokade di Jalur Gaza pada Juni 2007 setelah pemerintah yang terpilih secara demokratis, Hamas menguasai kawasan tersebut.

Sekitar 1,5 juta orang ditolak hak-hak dasar mereka, termasuk kebebasan bergerak, hak untuk kehidupan yang layak, pekerjaan, kesehatan dan pendidikan. (IRIB/RM/PH/27/4/2011)

Israel Siap Habisi Konvoi Kebebasan Gaza 2

Menyusul gagalnya upaya diplomatik Rezim Zionis Israel untuk mencegah pengiriman konvoi kapal terbaru untuk mengakhiri blokade atas Gaza, Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu menyatakan akan melakukan apa saja untuk menghalangi konvoi yang membawa para aktivis perdamaian itu memasuki perairan Gaza.

Seperti dilaporkan Radio Israel, Netanyahu telah mengeluarkan instruksi kepada Departemen Luar Negeri untuk melanjutkan upaya diplomatik mencegah pengiriman konvoi kapal Freedom Flotilla yang akan segera diberangkatkan dari Turki menuju Gaza dalam waktu dekat.

Bulan Mei tahun lalu, konvoi Freedom Flotilla I diserang pasukan komando Zionis saat mendekati wilayah perairan Gaza. Dalam insiden tersebut sembilan aktivis Turki tewas.

Sementara itu, para dokter dan perawat Palestina di Gaza menggelar unjuk rasa di depan pintu penyebrangan Rafah di perbatasan Gaza dengan Mesir. Mereka menuntut pembukaan pintu perlintasan tersebut untuk memudahkan masuknya obat-obatan dan perlengkapan medis ke kawasan ini.

Para demonstran mendesak pemerintahan Dewan Militer Mesir untuk segera membuka perbatasan Rafah. (IRIB/AHF/28/4/2011)

Dua Pilar Dunia Islam Akan Segera Bersatu

Menteri Luar Negeri Republik Islam Iran Ali Akbar Salehi meminta pihak berwenang Mesir untuk mengambil langkah berani guna meningkatkan volume hubungan Tehran-Kairo.

Selama konferensi tentang transformasi regional di Tehran pada hari Sabtu (23/4), Salehi menyatakan kesiapan Iran untuk meningkatkan level hubungan antara kedua negara.

"Kami telah mengumumkan kesiapan kami. Dan kami berharap pihak berwenang Mesir, dalam pandangan pertukaran verbal dan korespondensi, mengambil langkah berani secepat mungkin untuk meningkatkan hubungan antara kedua negara," ujar Salehi seperti dilaporkan IRNA.

Menyinggung tekanan yang dihadapi pemerintah Mesir dalam menjalin hubungan dengan Iran, Salehi mengatakan, pemerintah Kairo tahu bagaimana mengatasi tekanan seperti itu.

"Iran dan Mesir adalah dua pilar dunia Muslim dan saling melengkapi satu sama lain. Interaksi mereka akan membantu perdamaian, stabilitas, dan keamanan di kawasan," tambahnya.

Iran memutuskan hubungan dengan Mesir setelah Kairo menandatangani perjanjian Camp David 1978 dengan rezim Zionis Israel dan memberikan suaka politik kepada Syah despotik, Mohammad Reza Pahlevi.

Pada tanggal 29 Maret, dalam konferensi pers pertamanya sebagai menteri luar negeri Mesir, setelah penggulingan mantan Presiden Hosni Mubarak, Nabil El Arabi mengatakan, Kairo siap untuk membuka lembaran baru dengan Tehran.

Pada tanggal 1 April 2011, Salehi menanggapi pernyataan itu dan mengatakan, meskipun mengalami pasang surut, hubungan bersejarah antara Iran dan Mesir telah berkelanjutan.

Sejak itu, para pejabat Iran dan Mesir telah menekankan pentingnya memperbaiki hubungan Tehran-Kairo. (IRIB/RM/24/4/2011)

Sadis! Iklan Israel Promosikan Tabrak Bocah Palestina

Sungguh brutal, sebuah iklan mobil Jepang di Israel mempromosikan aksi tabrak lari terhadap anak-anak Palestina.

Sebagaimana dilaporkan kantor berita Xinhua, iklan komersial yang diterbitkan dealer Subaru di Israel itu, menampilkan adegan foto tahun lalu, ketika seorang pemukim Israel menyerang dua anak Palestina dengan mobilnya di kawasan permukiman Silwan, Yerusalem Timur.

Tak hanya itu saja, iklan mobil Subaru itu juga memasang ungkapan bernada provokatif dalam bahasa Ibrani di sudut kanan gambar, berbunyi: "Kita akan lihat siapa yang dapat bertahan menghadapimu".

Menanggapi iklan tersebut Otoritas Ramallah pimpinan Mahmoud Abbas menyebut promosi tindakan agresif itu sebagai iklan kotor dan ajakan terbuka untuk menabrak anak-anak Palestina hingga terbunuh.

Akibat serangan tabrak mobil itu, dua anak Palestina berusia 10 dan 12 tahun menderita patah kaki. Penyerang kedua bocah Palestina itu bernama David Be'eri, seorang direktur jenderal Elad, sebuah perusahaan pengembang real estat berhaluan garis keras. Perusahaan itu gencar membujuk orang Yahudi untuk pindah ke lingkungan padat di Baitul Maqdis Timur.

Baitul Maqdis Timur merupakan bagian dari wilayah Palestina, yang diduduki Tel Aviv pada tahun 1967. Rencananya kawasan tersebut bakal dijanjikan sebagai ibukota negara Palestina di masa depan.(irib/22/4/2011)

Mayoritas Rakyat Mesir Desak Pembatalan Camp David

Satu jajak pendapat yang dilansir surat kabar Mesir, Al Ahram, Rabu, mengungkapkan bahwa sebagian besar rakyat Mesir menginginkan agar perjanjian perdamaian dengan Israel pada 1979 dibatalkan.

Jajak pendapat yang dilakukan dari 24 Maret hingga 7 April itu mencatat 54 persen warga Mesir menginginkan Perjanjian Camp David itu dibatalkan saja, dan 36 persen meminta dipertahankan.

Sebanyak seribu warga Mesir yang secara acak diwawancarai langsung satu per satu itu memiliki perbedaan pandangan antara kalangan masyarakat berada dan warga berpendapatan rendah.

Tercatat 60 persen warga yang berpendapatan rendah mendukung pembatalan perjanjian perdamaian tersebut, sementara 45 persen masyarakat kelas menengah ke atas ingin perjanjian perdamaian itu tetap dipertahankan.

Menyangkut masa depan demokrasi di Mesir pasca-Revolusi 25 Januari, 54 persen warga Mesir optimistis akan lebih baik.

Sebanyak 77 persen rakyat Mesir merasa senang dengan tumbangnya rezim pimpinan Presiden Hosni Mubarak pada 11 Februari, dan 65 persen menerima keadaan saat ini.

Mengenai pemilihan umum anggota parlemen pada September dan pemilihan presiden pada November 2011, 41 persen yakin pemilu akan berjalan bebas dan jujur, dan sekitar 59 persen menyatakan masih ragu dengan keabsahan pemilu pertama pasca revolusi tersebut.

Figur yang diidolakan adalah Marsekal Mohamed Hussein Tantawi, penguasa transisi Mesir saat ini dengan meraih 90 persen dukungan.

Militer mendapat dukungan 88 persen dan Ikhwanul Muslimin meraih 75 persen suara dukungan, dibandingkan dengan 70 persen dukungan untuk Gerakan Pemuda 6 April.

Adapun calon-calon presiden, mantan menteri luar negeri dan Sekjen Liga Arab Amr Moussa meraih dukungan 88 persen, diikuti 70 persen untuk pemimpin oposisi dari Partai Al Ghad, Aiman Nur, dan mantan Ketua Badan Atom Internasional, Mohamed ElBaradei meraih 57 persen dukungan, demikian hasil survei itu.
Pandangan negatif warga Mesir terhadap Amerika Serikat, menurut angket tersebut, sedikit bergeser dari 82 persen tahun lalu menjadi 79 persen.

Mengenai pengaruh AS terhadap perkembangan politik di Mesir, 39 persen menyebut pengaruh negatif, 22 persen pengaruh positif, dan 60 persen menyatakan tidak percaya dengan Presiden Barack Obama.(IRIB/Antara/27/4/2011)

0 comments to "Sadis! Iklan Israel Promosikan Tabrak Bocah Palestina"

Leave a comment