Home , , , , , , , , , � Sistem Ekonomi Islam dan Keadilan

Sistem Ekonomi Islam dan Keadilan


Sistem Ekonomi Islam dan Keadilan (Bagian Pertama)



Pandangan yang saat ini mengemuka di dunia dan getol dikampanyekan oleh Barat tak pernah menyentuh soal keadilan kala membicarkan kemajuan. Bahkan sejumlah ekonom kapitalis menyatakan bahwa kemajuan ekonomi dan keadilan tak mungkin bisa didapatkan secara bersamaan. Kesenjangan ekonomi dalam skala luas, menurut mereka, adalah sebuah keniscayaan paling penting dalam mewujudkan kemajuan dan pertumbuhan ekonomi yang pesat. Karena itu, mereka tidak menganjurkan kebijakan pembagian yang adil sebelum kemajuan dicapai dalam bentuknya yang sangat pesat. Sementara, dalam sistem ekonomi Islam kemajuan minus keadilan tidak bernilai sama sekali.
Atas dasar itu, Ayatollah al-Udzma Khamenei menekankan kemajuan yang berjalan seiring dengan keadilan. Penekanan itu didasarkan pada pandangan dan ajaran Islam. Dari sisi lain, keadilan akan terwujud ketika seluruh anggota masyarakat memperoleh kesempatan yang memadai untuk memiliki pekerjaan yang layak, keamanan berinvestasi, pendidikan yang sesuai, serta kesehatan dan kesejahteraan yang memadai. Dalam sistem ekonomi Islam, ada serangkaian mekanisme yang memungkinkan untuk menegakkan keadilan ekonomi yang sejalan dengan kemajuan dan pembangunan.
Sejak awal diciptakan, manusia sudah mengenal keadilan. Tak heran jika manusia sepanjang sejarah mendambakan tegaknya keadilan di tengah masyarakat. Semua pemikir dan para tokoh agama ilahi khususnya Islam menekankan soal keadilan yang mesti ditegakkan. Plato dan Aristoteles adalah contoh pemikir besar dalam sejarah yang banyak menyinggung soal keadilan dalam karya-karya pemikiran mereka. Dalam ajaran agama Ilahi, keadilan merupakan tujuan utama yang tidak bisa dipandang dengan sebelah mata. Kata keadilan sangat erat hubungannya dengan hak manusia dan seluruh makhluk di alam semesta. Keadilan dalam maknanya yang benar adalah memberikan kepada setiap sesuatu apa yang sesuai dengannya.
Imam Ali (as) dalam menafsirkan makna keadilan mengatakan, "Keadilan adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya." (Nahjul Balaghah hikmah nomer 437). Dari penjelasan itu dapat difahami bahwa keadilan akan terwujud ketika setiap yang memiliki hak memperoleh haknya. Sejatinya, alam semesta diciptakan di atas landasan keadilan, dan kelestariannya juga bergantung pada tegaknya keadilan. Karenanya, penistaan terhadap keadilan dengan segala bentuknya berarti penistaan terhadap aturan alam semesta yang tentunya akan menimbulkan dampak yang sangat buruk.
Sebagai makhluk yang diberi ikhtiyar dan hak memilih, manusia berpotensi dan bisa untuk keluar dari garis keadilan yang dampaknya akan terjelma dalam bentuk kezaliman. Karena itu, agama Ilahi menyeru manusia untuk tetap berada di jalan keadilan dan menghindari kezaliman. Akal dan naluri manusia juga menolak ketidak adilan. Namun sayangnya, terkadang manusia mencampakkan seruan akal dan wahyu dan lebih tertarik untuk menuruti bisikan hawa nasfu untuk berbuat zalim dan keluar dari jalur keadilan. Hal inilah yang membuat manusia selalu memerlukan bimbingan dan arahan supaya tetap menjaga keadilan dan memperbaiki setiap penyimpangan yang mungkin terjadi. Allah Swt tidak membiarkan manusia dengan kondisinya seperti itu, sehingga Dia mengutus para Nabi dan Rasul dengan membawa syariat Ilahi untuk menunjukkan kepada umat manusia jalan keadilan.
Ibnu Sina mengenai pengutusan para Nabi berkata, "Manusia adalah makhluk yang hidup bermasyarakat. Namun ia tak mampu membuat undang-undang yang bisa mengatur kehidupan sosial dan bahkan individunya berdasarkan keadilan yang bisa membawanya kepada kesejahteraan yang sesungguhnya. Karena itu, Allah dengan kebijaksanaanNya membimbing manusia ke arah itu." (Al-Syifa': 557)
Masalah keadilan dan membelanya adalah satu prinsip dasar yang sangat penting dan merupakan salah satu tujuan diutusnya para nabi dan turunnya kitab-kitab Ilahi. Keadilan adalah salah satu asas yang terpenting dalam agama Islam. Perspektif Islam dan al-Qur'an berkenaan dengan masalah ini menunjukkan kepedulian agama dan kitab suci ini yang sangat besar pada masalah keadilan. Ayat 25 surat al-Hadid menegaskan;
"Sesungguhnya Kami telah mengutus para nabi dengan dalil yang jelas dan Kami turunkan bersama mereka kitab dan Mizan supaya mereka menegakkan keadilan."
Berdasarkan ayat suci ini, tujuan dari diutusnya para nabi dan diturunkannya kitab-kitab suci adalah untuk mengajak manusia kepada keadilan. Di ayat ini, Allah Swt menyinggung tentang mizan atau neraca. Sebab bergerak di jalur keadilan memerlukan neraca yang menjadi tolok ukur kebenaran dalam masalah politik, budaya, sosial dan ekonomi. Poin penting yang disinggung ayat suci tadi adalah gerakan umat manusia dalam menegakkan keadilan. Untuk mewujudkannya umat memerlukan ajaran dan bimbingan para nabi yang mendidik mereka dengan benar untuk menjadi eksekutor penegakan keadilan di muka bumi.
Tidak ada seorang muslimpun yang menolak dan tak peduli dengan keadilan sebagai prinsip utama dan cita-cita agung Qur'ani. Salah satu ranah penegakan keadilan adalah bidang ekonomi dan hubungan ekonomi. Ada banyak definisi yang dipaparkan oleh para pemikir Muslim dalam menjelaskan keadilan menurut pandangan Islam. Namun secara garis besar, keadilan ekonomi dalam Islam bermakna terciptanya kesejahteraan umum, terbukanya kesempatan yang sama dan keseimbangan dalam pembagian kekayaan dan pendapatan. Dengan makna ini, dari satu sisi Islam menekankan prinsip memerangi penimbunan harta dan memberantas kemiskinan, dan di sisi lain menegaskan soal pembagian kekayaan secara adil di tengah masyarakat. Islam menentang penimbunan dan menafikan ketidakmerataan dalam kesempatan berkiprah di bidang ekonomi. Semua itu digariskan Islam dalam bentuk kewajiban yang dipikulkan di pundak setiap Muslim. Jelas bahwa program memerangi kerakusan dan memberantas kemiksinan akan mendatangkan kebaikan bagi masyarakat dan menjaga kelestarian agama.
Menilik kondisi berbagai masyarakat di dunia saat ini menyadarkan kita akan adanya ketidakadilan yang luas di sejumlah masyarakat yang cukup maju dan berkembang secara ekonomi. Menurut para pakar dan pemerhati ekonomi, kesenjangan di tengah umat manusia, kemiskinan dan ketidakadilan yang nampak nyata ini disebabkan oleh sistem yang kejam dan zalim dalam hubungan antara komponen-komponen pelaku ekonomi, khususnya antara pekerjaan dan modal. Misalnya banyak ekonom yang meyakini bahwa pembagian kekayaan secara tidak adil, seperti distribusi tanah, modal, dan sarana produksi serta adanya kebebasan ekonomi yang tidak seimbang adalah faktor ketidakadilan dalam pendapatan. Padahal dalam sistem ekonomi Islam, seiring dengan pemanfaatan seluruh potensi pada diri manusia dan alam untuk mencapai kemajuan secara materi, ajaran Ilahi dan norma insani juga mesti ditegakkan dengan menyertakan penyusunan undang-undang dan aturan ekonomi yang bisa mengikis kesenjangan sosial dan memperluas kesejahteraan umum.
Dalam sistem ekonomi Islam, keadilan ekonomi bisa diwujudkan melalui dua cara. Pertama dengan memberi hak kepada seluruh anggota masyarakat untuk memiliki kehidupan insani yang layak dan terhormat, dan kedua menerapkan aturan yang menyeimbangkan kekayaan dan pendapatan.(IRIB Indonesia)

Sistem Ekonomi Islam dan Keadilan (Bagian Kedua)

Sebagai tuntutan utama dalam kehidupan manusia, keadilan dipandang sangat penting dalam ajaran Islam. Dalam sistem ekonomi Islam, masalah keadilan menjadi acuan penyusunan aturan, undang-undang dan kebijakan. Berdasarkan definisi keadilan yang dijelaskan oleh Imam Ali bahwa keadilan adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya, dapat dikatakan bahwa keadilan ekonomi adalah mengantarkan semua anggota masyarakat kepada hak-hak ekonomi mereka masing-masing.
Keadilan ekonomi dalam ajaran Islam dapat dipaparkan dalam beberapa hal. Pertama, seluruh anggota masyarakat mesti memperoleh kesejahteraan yang memadai. Kedua, perbedaan dalam hal pendapatan hendaknya bukan terjadi akibat praktik diskriminasi dalam undang-undang dan kesempatan memperoleh fasilitas dan kesempatan. Selain itu, kalangan kaya hendaknya menunaikan tugas dan kewajibannya terkait hak kaum miskin dan hak pemerintahan Islam. Dalam sistem ekonomi Islam, kemajuan jangan sampai berakibat buruk pada pendistribusian kekayaan secara adil. Sebab kemajuan dan pertumbuhan ekonomi tak lain adalah sarana untuk mewujudkan keseimbangan dan keadilan ekonomi. Imam Ali (as) berkata, "Tak ada sesuatu yang berkesan dalam memakmurkan negeri lebih dari keadilan." (Al-Hayat: juz: 6 hal: 407). Ungkapan ini menjelaskan bahwa dalam Islam keadilan adalah syarat yang mesti dipenuhi untuk meraih kekayaan dan kemakmuran.
Salah satu keistimewaan penting dalam sistem ekonomi Islam adalah pengaturan perilaku rakyat dan pemerintahan yang meliputi dua dimensi materi dan spiritual sekaligus. Sebab dalam Islam, tujuan utama adalah mengantarkan manusia kepada kesempurnaan ruhani dan spiritual. Karena itu dalam sistem ekonomi Islam mekanisme yang dijalankan adalah untuk mendukung terwujudnya tujuan itu. Dua dimensi materi dan spiritual itu nampak jelas dalam ajaran Islam yang melarang penimbunan harta dan perintah mengeluarkan khumus, zakat dan sedekah. Dalam pandangan Islam, orang yang bahagia adalah orang yang melangkah di jalan kesempurnaan maknawi dan berusaha mendekatkan diri kepada Allah.
Kesejahteraan materi dipandang sebagai wasilah atau sarana untuk mengantarkannya kepada kesempurnaan itu. Karena itu, keadilan ekonomi menjadi bernilai jika membuka kesempatan bagi manusia untuk mencapai kesempurnaan ruhani dan maknawi. Pelaksanaan keadilan juga didasari oleh keyakinan dan keimanan. Dengan niat mendekatkan diri kepada Allah, jaminan pelaksanaannya akan semakin bisa diharapkan.
Dalam hal keadilan dan distribusi kekayaan ada satu pertanyaan yang mengemuka. Yaitu, sejauh manakah perbedaan dalam pendapatan di antara anggota masyarakat bisa diterima dan apakah hal itu bertentangan dengan keadilan? Perbedaan dalam memperoleh pendapatan kembali kepada perbedaan dalam kemampuan, potensi, bakat dan fasilitas yang ada. Dan terkadang pula perbedaan itu muncul akibat dari praktik diskriminasi dan ketidakadilan hukum dan kebijakan pemerintah dalam memberi peluang kepada anggota masyarakat. Islam menentang perbedaan pendapatan yang terjadi karena diskriminasi dan ketidakadilan. Namun Islam menerima perbedaan pendapatan yang disebabkan oleh potensi, bakat dan kemampuan masing-masing anggota masyarakat. Dalam perspektif Islam, keadilan tidak berarti kesamaan dalam pendapatan. Surat al-Zukhruf ayat 32 menegaskan, "Kami telah menentukan kehidupan mereka dalam kehidupan dunia dan Kami telah meninggikan sebagian dari mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat supaya sebagian mereka dapat menggunakan sebagian yang lain.Dan Rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan."
Ketidaksamaan orang dalam memperoleh harta adalah fakta yang tidak bisa dipungkiri. Sebab, masing-masing orang memiliki bakat dan kemampuan yang berbeda karena faktor fisik, kejiwaan atau kreativitas dalam bekerja. Perbedaan ini juga kembali kepada kebijaksanaan Allah dalam mengatur kehidupan manusia. Dalam sebuah hadis dari Imam Ali (as) dijelaskan bahwa beliau berkata, "Dengan hikmah dan kebijaksanaanNya, Allah Swt menciptakan perbedaan pada diri manusia dalam kemauan kehendak dan keadaan mereka. Perbedaan ini telah ditentukan sebagai sarana untuk membangun kehidupan umat manusia." (Wasail al-Syiah juz 13 hal: 224)
Poin penting yang perlu disinggung di sini adalah bahwa meski mengakui adanya perbedaan ini di tengah masyarakat, namun Islam tetap menggariskan untuk tidak membiarkan terjadinya kesenjangan sosial yang ekstrim dalam memperoleh kesejahteraan materi. Karena itulah Islam mementingkan satu asas yaitu keseimbangan di tengah masyarakat dan pemerataan kekayaan. Sebab, terkumpulnya kekayaan di tangan sekelompok orang akan menciptakan kecongkakan pada diri mereka dan membuat kaum fakir tenggelam dalam pekerjaan yang hina dan tidak semestinya.
Salah satu masalah penting yang berhubungan dengan penafian monopoli kekayaan oleh sekelompok orang tertentu adalah masalah kepemilikan pribadi. Kepemilikan pribadi menurut kacamata Islam berbeda dengan definisi yang dikenal luas dalam sistem ekonomi dunia yang lain. Dalam sistem ekonomi Islam, tidak ada penafian mutlak kepemilikan pribadi seperti yang ada dalam ideologi sosialisme dan tidak pula sejalan dengan ideologi kapitalisme yang mengakui kepemilikan tanpa batas. Islam mengambil jalan tengah yang netral dan logis. Di satu sisi Islam mengakui kepemilikan pribadi namun di sisi lain, sistem ini menetapkan batasan-batasan tertentu untuk mencegah terjadinya penimbunan harta di tangan kalangan tertentu. Islam menghormati kepemilikan pribadi sebagai hak insani dan setiap orang berhak memiliki apa yang didapatkannya lewat kerja keras dan usahanya. Hak memiliki ini berdasarkan pada fitrah, akal dan aturan kehidupan sosial.
Meski demikian, dasar fitrah dan logika tidak selalunya menjadi pijakan bagi kebebasan kepemilikan pribadi. Sebab, dalam banyak kasus sering terjadi hak-hak umum dan keadilan sosial dan ekonomi justeru dikorbankan demi kepentingan dan kecenderungan pribadi. Salah satu contoh pembatasan yang diterapkan Islam terkait kepemilikan pribadi adalah larangan israf, menghambur-hamburkan harta, atau penimbunan kekayaan. Selain itu, Islam juga menetapkan aturan untuk memperoleh kekayaan. Agama Ilahi ini melarang orang mencari kekayaan lewat cara-cara yang ilegal dan haram. Artinya, dalam Islam tidak semua cara diperbolehkan untuk mencari kekayaan. Dalam menggunakan kekayaan kita juga diingatkan pada satu hal, yaitu bahwa kita bertanggung jawab di hadapan Allah dalam membelanjakan harta. Sebab, kekayaan yang ada di tangan kita sebenarnya adalah milik Allah. Kekayaan itu diberikan kepada kita sebagai amanat supaya kita menggunakannya sesuai aturan yang telah Allah tentukan. Jika pemikiran ini menjadi keyakinan dan memasyarakat, perilaku ekonomi akan terkendali dan setiap orang yang memiliki harta akan bertindak sesuai dengan apa yang digariskan oleh Allah.
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Imam Jafar Shadiq (as) berkata, "Apakah orang mengira bahwa Allah memberikan sesuatu kepada seseorang karena kemuliaan orang itu atau tidak memberinya karena kehinaannya? Tidak demikian. Kekayaan adalah milik Allah yang diamanatkan kepada sekelompok manusia. Mereka diberi hak untuk memanfaatkannya dengan secukupnya untuk makan, minum dan membiayai pernikahannya sementara sisanya harus diberikan kepada mereka yang memerlukan." (Mustadrak al-Wasail juz: 13 hal: 52)
Hadis ini dengan jelas menerangkan bahwa harta kekayaan adalah milik Allah yang diberikan kepada hambaNya sebagai amanat. Dia tidak berhak israf dan menyia-nyiakannya. Seorang hamba yang memperoleh amanat ini wajib melaksanakan apa yang diperintahkan Allah kepadanya terkait harta itu. Jika dilaksanakan ia akan memperoleh keridhaan Allah.
Mufassir besar Allamah Thabathabai terkait kepemilikan individu mengatakan, Islam mengakui kepemilikan individu. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Rasulullah bersabda "Semua orang berhak atas harta yang dimilikinya." Atas dasar ini, setiap orang berhak untuk menggunakan hartanya baik untuk disimpan maupun untuk dibelanjakan, bahkan untuk diberikan sebagai sedekah, membantu kaum fakir atau menggunakannya untuk hal-hal yang dibenarkan dalam syariat. Namun dia tidak diperkenankan menggunakan hartanya dengan cara yang bertentangan dengan kepentingan umum dan masyarakat. Orang tidak berhak menggunakan hartanya untuk hal-hal yang merugikan Islam dan kaum muslimin. Dia juga tidak boleh israf atau menyia-nyiakan harta atau menimbunnya sebagai harta karun."
Dengan penjelasan tadi dapat difahami bahwa kepemilikan individu dalam Islam diatur sedemikian rupa sehingga keadilan ekonomi bisa terwujud. Insya Allah pada bagian berikutnya kami akan menjelaskan lebih jauh tentang masalah ini.(IRIB Indonesia)

Sistem Ekonomi Islam dan Keadilan (Bagian Ketiga)





Dalam sistem ekonomi Islam, keadilan adalah poros dan landasan bagi kebijakan eksekutif. Sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelum ini, salah satu masalah terpenting terkait keadilan ekonomi adalah mekanisme kepemilikan harta dan kekayaan. Atas dasar ini, kepemilikan pribadi dalam Islam berbeda dengan aturan kepemilikan pribadi dalam sistem ekonomi yang lain. Islam memiliki aturan yang jelas dan khas terkait cara mendapat kekayaan dan menggunakannya. Aturan ini mengizinkan setiap orang untuk memiliki dan memanfaatkan hasil kerja kerasnya namun juga mewajibkannya untuk memerhatikan beberapa aturan. Hukum dan aturan Islam ini menjamin terwujudnya keadilan ekonomi. Di antara aturan itu adalah bahwa dalam Islam, seseorang tidak diperkenankan meraih kekayaan dengan segala cara. Artinya tidak semua cara bisa dilakukan untuk mengeruk kekayaan. Setelah memperoleh harta, orang juga tidak diizinkan menggunakan kekayaan semaunya. Islam melarang israf, pemubadziran dan penyia-nyiaan harta dan tidak pula mengizinkan penimbunan kekayaan yang berarti memisahkan harta dari perputaran ekonomi.

Di antara masalah terpenting yang mendapat perhatian Islam adalah pembagian kekayaan secara adil di tengah masyarakat. Pembagian kekayaan ini dilakukan dalam tiga tahap, pra produksi, saat produksi dan pasca produksi. Dalam hal pembagian kekayaan ini ada keniscayaan untuk menerapkan keadilan, penyusunan kebijakan dan campur tangan pemerintahan Islam dalam aktivitas ekonomi. Karena itu, dalam sistem ekonomi Islam selain kepemilikan pribadi ada juga kepemilikan negara dan kepemilikan umum. Tentunya, apa saja yang dimiliki oleh negara akan dimanfaatkan untuk kepentingan umum dan pembiayaan pengelolaan negara. Ada pula kekayaan milik umum seperti hutan, laut, danau, gunung dan lainnya yang menurut Islam adalah milik umum. Hal-hal tadi tidak berada dalam kepemilikan negara. Negara hanya berfungsi sebagai pengawas dan pengatur pemanfaatannya, yang hasilnya digunakan untuk kepentingan umum. Dengan demikian, kekayaan ini tidak jatuh dalam monopoli segelintir orang tertentu.

Distribusi dan pembagian kesempatan berproduksi di tengah masyarakat adalah salah satu masalah inti dalam setiap sistem  ekonomi. Sistem yang berdiri di atas landasan pembagian yang benar adalah sistem ekonomi yang bisa memberi kesempatan dan membagi kekayaan secara adil kepada seluruh anggota masyarakat. Dengan demikian, selain mencegah penistaan hak oleh sebagian pihak, sistem ini juga mempertahankan hak-hak generasi mendatang akan kekayaan negeri. Untuk menegakkan keadilan pada tahap ini negara harus membuka peluang bagi kalangan masyarakat lemah untuk bisa memperoleh fasilitas yang layak di bidang pendidikan, kesehatan, lapangan kerja dan semisalnya. Dengan demikian, mereka bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan pendapatan yang lebih besar.

Jika di suatu masyarakat hanya segelintir orang yang mendapat kesempatan beraktivitas di bidang ekonomi, berarti ada masalah yang serius yang berpangkal pada pembagian yang tidak adil. Dalam hal ini, pemerintahan Islam memegang peran yang sangat penting untuk mengawasi pembagian kesempatan dan kekayaan. Negara mesti berusaha keras supaya kekayaan bisa tersalurkan secara merata ke tengah masyarakat seperti aliran darah segar yang mengalir ke seluruh bagian tubuh. Jika negara sudah melakukan tindakan yang tepat, saat itulah mereka yang punya kemampuan dan potensi lebih akan memiliki kesempatan yang lebih baik untuk mendapat penghasilan yang lebih yang tentunya hal itu bermanfaat bagi diri mereka dan masyarakat. Jika kebijakan yang dijalankan negara tidak tepat maka yang terjadi adalah jatuhnya semua kesempatan ke tangan sekelompok orang tertentu, yang dampaknya adalah munculnya masalah kemiskinan.


Allah Swt di surat al-Hasyr ayat 7 berfirman; "Supaya (kekayaan besar) ini tidak berputar di antara orang-orang kaya di antara kalian…"

Ayat ini menegaskan, jangan sampai kekayaan tertumpuk dan berputar hanya di tangan segelintir orang kaya. Dalam kebanyakan kasus, kekayaan yang hanya dimonopoli oleh sekelompok orang tertentu akan menciptakan satu kutub kekuatan tersendiri di tengah masyarakat. Orang-orang yang memperoleh kekayaan berlimpah lewat cara-cara yang tidak benar akan menguasai masyarakat yang miskin. Kondisi seperti ini bertolak belakang dengan ajaran Islam. Karena itu, dalam sistem pemerintahan Islam, negara harus turun tangan dengan membuka pintu bagi masyarakat untuk bisa terlibat dalam proses produksi.

Kewenangan negara di bidang ekonomi berguna untuk mengatur aktivitas ekonomi di sektor swasta. Untuk mewujudkan keadilan, negara melakukan tiga hal, membuat undang-undang, serta bertindak dalam kapasitas pelaksana dan pengawasan. Islam tidak mengizinkan perolehan kekayaan dengan segala cara. Terkait pemerataan pendapatan, negara menerapkan aturan yang mengatur berdasarkan kelayakan. Negara memegang tugas dalam hal pemberian gaji secara adil, pengawasan terhadap pendapatan dari aktivitas ekonomi dan pencegahan terhadap aktivitas ekonomi yang merusak yang bisa mendatangkan kekayaan berlimpah yang tidak masuk akal.

Tahap ketiga dari penegakan keadilan dalam sistem ekonomi Islam berhubungan dengan fase pasca produksi dan jasa. Sistem perpajakan dalam Islam memiliki peran penting dalam hal ini. Secara umum, ada dua macam pajak yang diatur oleh sistem ekonomi Islam. Pertama adalah pajak dalam bentuk khumus dan zakat, dan kedua adalah pajak yang kebijakannya ditentukan oleh pemerintahan Islam sesuai dengan situasi dan kondisi. Khumus adalah kewajiban yang mesti dibayarkan sebesar 20 persen dari hasil usaha selama satu tahun, pertambangan, ghanimah perang, dan penemuan harta karun. Sedangkan zakat adalah kewajiban yang harus dibayarkan dari beberapa item kekayaan seperti emas, perak, ternak, gandum dan lainnya yang sudah diatur dalam ketentuan fikih. Khumus dan zakat ibarat pajak harta yang harus dibayar oleh setiap muslim. Dengan membayarnya, orang yang memiliki kelebihan harta bisa menyantuni kelompok masyarakat yang kurang mampu. Hal itu juga menjadi salah satu cara untuk mencegah terkumpulnya harta di tangan segelintir orang.

Jenis pajak kedua yang ditetapkan dalam Islam adalah pajak yang ditentukan oleh pemerintahan Islam. Negara memerlukan pendanaan untuk membiayai sektor investasi, manajemen dan membangun sistem ekonomi yang sehat. Sementara, dana yang didapat dari zakat dan khumus tidak mencukupi. Pajak ditetapkan untuk memenuhi kebutuhan dana bagi negara. Suntikan dana ini berarti distribusi kekayaan dan pendapatan di tengah masyarakat dengan cara yang lebih adil yang diawasi dan dikelola oleh negara.

Salah satu bagian terpenting dalam hal ini adalah dana kesejahteraan sosial. Dalam rangka menegakkan keadilan, negara berkewajiban melindungi masyarakat kelas bawah dan mengatasi kesulitan hidup warga yang tidak bisa bekerja dan tidak memiliki pendapatan. Perlindungan itu diwujudkan lewat sebuah lembaga jaminan sosial.

Selain pajak, ada sejumlah aliran dana lainnya dalam bentuk infak, pinjaman utang, wakaf, kaffarah, nadzar dan lain-lain yang membantu pemerataan kekayaan masyarakat yang kesemuanya disertai dengan unsur maknawiyah dan niat mendekatkan diri kepada Allah. Al-Qur'an mendorong kaum muslimin untuk beramal seperti ini dan menyebutnya sebagai transaksi mereka dengan Allah untuk menjamin kebahagiaan di dunia dan akhirat.(IRIB Indonesia)

0 comments to "Sistem Ekonomi Islam dan Keadilan"

Leave a comment