Home , , � KRONOLOGIS Penyerang LP Sleman : Negara Hukum Rimba, POLRI Jangan TAKUT...!!!!! Rakyat Indonesia Mendukung Kalian...!!!!!

KRONOLOGIS Penyerang LP Sleman : Negara Hukum Rimba, POLRI Jangan TAKUT...!!!!! Rakyat Indonesia Mendukung Kalian...!!!!!
















Polri Harapkan Dukungan Masyarakat Tuntaskan Kasus LP Sleman

Perlahan penyerang LP Cebongan, Sleman, Yogyakarta mulai terlihat jejaknya. Keterangan sejumlah saksi diperoleh informasi bahwa para pelaku yang diduga berjumlah 17 orang menggunakan sandi khusus dalam berkomunikasi.

Karopenmas Mabes Polri Brigjen Pol Boy Rafli Amar saat ditemui di Hotel Maharaja, Mampang, Jaksel, Rabu (27/3/) mengatakan, "Ya ada, tapi itu bagaian dari penyelidikan. Artinya apakah dialek, perawakan, ciri-ciri, alat-alat apa yang dipakai pasti digali di situ itu namanya proses olah TKP. Proses Pemeriksaan bisa terbangun seperti apa profil pelaku." Demikian dilaporkan Detikcom.

Boy masih menyimpan rapat sandi khusus yang digunakan para pelaku dalam berkomunikasi. Pastinya semua sudah didapat dari keterangan saksi.

Ditegaskannya, "Jelas kita sudah punya info itu dari keterangan saksi cuma kita belum bisa sampaikan kepada publik karena akan digunakan lagi untuk penyelidikan. Itu bagian dari pendalaman penyelidikan."

Seperti apa Sandinya, Boy menegaskan akan diungkap kemudian. Dikatakannya, "Masih di keep dulu, istilahnya ini kan rahasia dapur jadi belum bisa diinfokan ke publik."

Pejabat polisi ini juga memberikan titik terang bahwa para penyerang yang mengeksekusi 4 tahanan itu diduga kuat bukan teroris. Lalu siapa?

Boy mengatakan, "Belum bisa, itu kan baru kemungkinan-kemungkinan. Nanti kita lihat dari fakta-fakta yang ada. Tentu kita belum sampai pada kapasitas bilang bahwa itu jaringan teroris atau siapa itu merupakan bagian analisis yang dibangun berdasarkan fakta yang kita peroleh."

Pastinya, Boy menegaskan, para pelaku yang berjumlah 17 orang ini merupakan kelompok terencana dan profesional. Kerja mereka juga amat sistematis.

"Sepertinya dilakukan dengan cermat, sistematis dan cepat," tuntas Boy.

Para penyerang yang menyerbu LP Sleman pada Sabtu (23/3) itu menewaskan 4 tahanan terkait kasus pengeroyokan TNI.

Di sisi lain, Polri mengharapkan dukungan masyarakat tuntaskan kasus penyerangan LP Cebongan, Sleman, Yogyakarta.

Dalam hal ini Boy mengatakan, "Kita sangat berharap doa dari masyarakat agar mendapatkan kemudahan yang maha kuasa agar bisa melaksanakan proses hukum seadil-adilnya atas peristiwa ini."

Boy tak menjelaskan, kelompok mana yang melakukan penyerangan itu. Pastinya Boy mensinyalir kelompok penyerbu itu bukan kelompok teroris.

Kelompok itu bergerak dengan terencana, sistematis, dan cepat. "Rangkaian masih penyidikan, ini masih berjalan lah, tapi kita enggak bisa jelaskan detil," tuturnya.

Kewibawaan Negara yang Terkoyak

Penyerangan kelompok bersenjata misterius terhadap Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Cebongan di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, membuat masyarakat terhenyak. Empat tahanan yang belum sampai sehari dititipkan Polda DIY di Lapas itu tewas ditembak. Keempatnya merupakan tersangka kasus pengeroyokan yang menewaskan anggota Detasemen Pelaksana Intelijen Kodam IV Diponegoro, Sersan Kepala (Serka) Heru Santosa. Demikian dilaporkan Vivanews.

Serbuan gerombolan tak dikenal di Lapas Cebongan yang berada di bawah tanggung jawab Kementerian Hukum dah HAM itu tak pelak membunyikan alarm di seantero negeri. Sejak era Reformasi dimulai tahun 1998, baru kali ini terjadi penyerangan bergaya militer yang amat taktis terhadap fasilitas pemerintah yang bukan berada di wilayah konflik. Dalam tempo kurang dari 10 menit, kelompok bersenjata laras panjang itu melumpuhkan penjaga Lapas dan menembus lima lapis pintu Lapas menuju sel tempat mereka mengeksekusi empat tahanan.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun akhirnya memerintahkan Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo untuk mengusut tuntas, memburu, dan menangkap kelompok penyerang Lapas Cebongan itu. "Presiden SBY menyatakan pembunuhan brutal terhadap empat tahanan Lapas Cebongan di Sleman sebagai serangan langsung terhadap kewibawaan negara," kata Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Politik, Daniel Sparringa, Selasa 26 Maret 2013.

Sparringa mengatakan, Presiden meminta Kapolri menyeret semua pelaku penyerangan Lapas Cebongan ke pengadilan untuk diproses hukum. Presiden juga memerintahkan kepada Panglima TNI untuk menginstruksikan kepada seluruh jajaran TNI guna bekerja sama dengan Polri mengungkap identitas pelaku. SBY tak memandang enteng kasus ini karena berdampak langsung kepada negara.

Presiden menilai serangan terhadap Lapas itu sebagai ancaman serius terhadap rasa aman warga. "Serangan itu juga memporak-porandakan kepercayaan umum terhadap supremasi hukum di Republik ini," kata Sparringa. Oleh sebab itu Presiden memerintahkan kewibawaan negara harus dipulihkan dan kepercayaan rakyat terhadap hukum tidak boleh berkurang karena peristiwa ini.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan HAM Djoko Suyanto juga meminta penyerang Lapas Cebongan dicari dan diburu ke manapun sampai tertangkap. "Siapapun pelaku kekerasan harus segera diusut dan dicari sampai ketemu untuk diseret ke pengadilan," kata dia.

Operasi yang rapi

Kepala Lapas Cebongan, Sukamto, mengatakan penyerang lapasnya menjalankan operasi yang sangat rapi. "Misalnya salah satu anggota mereka selalu melihat jam tangan," kata dia. Sukamto yakin jam tangan berperan penting dalam operasi penyerbuan bergaya militer itu karena seluruh aksi berlangsung cepat, hanya berkisar 5-10 menit. Ketepatan waktu dan kecepatan sudah diperhitungkan di sini.

Kelompok penyerang juga merampas kamera CCTV yang berada di ruangan Kalapas. "Saya tak habis pikir kenapa mereka juga mengambil monitor CCTV, LCD TV di ruangan saya. Mereka sangat cerdik karena tahu rekaman CCTV ada di ruangan saya. Pintu ruangan saya pun langsung didobrak," kata Sukamto yang saat peristiwa penyerangan tidak di Lapas karena tengah berpatroli di jalan-jalan sekitar Lapas.

Pengamat intelijen Mustofa Nahrawardaya mengatakan, penyerangan terhadap Lapas Cebongan merupakan operasi militer yang dilakukan oleh kelompok terlatih dan memiliki kepercayaan diri tinggi. "Saya  tidak menyebut pelakunya militer. Tapi jika bukan orang terlatih dengan kemampuan terukur yang melakukannya, tidak akan bisa," kata dia.

Salah satu karakter yang dimiliki kelompok ini, menurut Mustofa, adalah tingkat kepercayaan diri yang tinggi. "Mereka tidak takut menghadapi petugas Lapas. Mereka pun bisa melewati 5 pintu Lapas – dari depan menuju sel para korban – dengan mulus," ujar Mustofa.

Fakta mengerikan lainnya, kata Mustofa, kelompok ini punya pasokan senjata karena mereka menyandang senjata laras panjang AK47 dan melempar granat dalam aksinya. Sipir Lapas ditodong, dihantam popor senapan, dan diancam dengan granat untuk menunjukkan sel empat tahanan yang menjadi target operasi. Begitu tahu lokasi sel, mereka langsung berderap menuju sel tersebut, memerintahkan tahanan lain menyingkir dari target operasi, dan menembak mati keempatnya di hadapan puluhan tahanan lain.(IRIB Indonesia/Detikcom/Vivanews)

POLRI Jangan Takut Mengusut Penyerang LP Sleman


Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) mengapresiasi sikap Polri dalam mengusut gerombolan bersenjata yang menyerang dan membunuh dengan keji empat tersangka pembunuhan personel TNI. Polri diminta tidak takut dan terbuka dalam proses hukumnya. Demikian dilaporkan Detikcom.

Komisioner Kompolnas Hamidah Abdurahman dalam siaran persnya, Selasa (26/3) mengatakan, "Polri tidak usah takut untuk ungkapkan si pelaku kalau itu memang sebuah kebenaran. Jangan ditutup-tutupi hasil penyidikannya."

Menurutnya, Kabareskrim Komjen Sutarman yang memimpin, upaya pengungkapan pelaku kejahatan tersebut diharapkan bisa mengungkap kasus itu. Bila tidak, jangan sampai muncul ketakutan di masyarakat, bahwa kasus kekerasan di negeri ini tak bisa tuntas.

"Apalagi sudah ditemukan beberapa bukti dan petunjuk awal," jelas Hamidah.

Terkait permasalahan pemindahan tahanan dari sel Polda DIY ke LP Cebongan, Sleman, Polri harus menjernihkan permasalahan tersebut.

"Karena disinyalir pemindahan tahanan ini yang kemudian terjadi penyerangan di Lapas," bebernya.

Di tempat terpisah, Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane meminta, Mabes Polri menerjunkan satuan elitnya, Densus 88/Antiteror untuk mengejar belasan 'kelompok siluman' yang menyerbu LP Cebongan.

Kepentingan menerjunkan Densus adalah kemampuan kecepatan satuan tersebut dalam pengungkapan teror selama ini.

Neta menambahkan, "Kecepatan untuk memburu, menangkap, dan mengungkapkan kasus ini sangt diperlukan agar masyarakat merasa nyaman dan tidak berada di bawah bayang-bayang ketakutan akibat teror penyerbuan tersebut."

Senada dengan Hamidah, Saor Siagian dari Forum Advokat Pengawal Konstitusi, meminta Polri tidak ragu dan takut dalam mengusut kasus yang disebutnya, pembantaian di dalam penjara.

"Jangan pernah takut, karena seragam mereka rakyat yang biayai," tegas Saor saat bertandang ke Mabes Polri untuk mendesak pengungkapan kasus tersebut.

Semoga Masih Ada Harapan Penyelesaikan Kasus ini

Semoga masih ada harapan penegakkan hukum di negeri ini. Bila menengok ke belakang, betapa rentetan kasus tak terungkap seperti penculikan aktivis '98, Trisakti, Mei, Semanggi hingga kasus pembunuhan Munir. Apapun alasannya, kasus penyerbuan LP Sleman harus dituntaskan.

Aktivis HAM, Usman Hamid saat berbincang, Selasa (26/3) mengatakan, "Jadi satu-satunya memecah kebuntuan lewat investigasi independen. Nggak bisa diserahkan hanya pada TNI dan Polri."

Ketika hukum dipercaya sebagai benteng keadilan bagi rakyat, semestinya tanpa terkecuali semua pihak juga ikut patuh, Baik Polri ataupun TNI.

Ditambahkannya, "Kita ingin pimpinan TNI dan Polri yang membumi, berpengaruh secara positif, sehingga tak ada tudingan adanya anggota yang main hakim sendiri."

Sayangnya, Usman melanjutkan, ketika kasus kekerasan yang menewaskan 4 tahanan, sejumlah petinggi militer sudah sejak awal membantah. Tentunya, yang kita harapkan keterbukaan dan transparansi. Publik sudah cerdas dan bisa menilai sesuatu. Jangan sampai, publik disuguhi aksi main hakim sendiri, yang justru menjadi teror bagi masyarakat.

"Saya khawatir bila kasus ini tak terungkap, malah akan semakin mencemarkan nama baik TNI dan Polri," katanya.

Hal senada disampaikan Koordinator Kontras Haris Azhar. Dia menyampaikan rasa pesimisnya akan pengungkapan kasus LP Sleman. Sejak awal dia melihat tidak ada keterangan progresif dari kepolisian, kemudian tanpa ada tuduhan apapun, pihak militer sudah resisten, lewat sejumlah pejabat tingginya.

Haris berpendapat, "Dilihat dari berbagai kasus serupa, tidak ada yang terbongkar maju ke proses hukum. Hanya sedikit sekali dan tidak ada satu pun yang dihukum secara layak."

Usulan DPR untuk Penyelesaian Kasus Penyerangan LP Sleman

Anggota Komisi I Bidang Pertahanan DPR Tjahtjo Kumolo menilai DPR perlu membentuk tim terpadu antara Komisi I dan Komisi III untuk membahas masalah penyerangan Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Sleman, Yogyakarta oleh kelompok bersenjata.

Sebab kata Tjahtjo saat ini sudah mulai berkembang opini bahwa kelompok bersenjata itu bergaya operasi militer.

Dikatakannya pada Selasa (26/3) di geudng DPR, "Apakah senjata AK47 standar militer atau tidak, kalau iya, toh teroris, dan perampok pakai itu."

Menurutnya, tim terpadu itu juga harus menyoroti pemindahan empat tersangka korban penembakan brutal itu dari polda ke Lapas Cebongan. "Apakah benar ruang tahanan di polda memang penuh. Itu harus ditelisik apakah protapnya sudah benar."

Dia berharap komisi III dapat meminta pertanggungjawaban Kapolri untuk menuntaskan kasus penembakan brutal itu. "Kalau ada hal yang patut diduga tidak sesuai, Kapolda patut bertanggungjawab," kata dia.

Selain itu kata Tjahjo tim terpadu perlu membahas tentang akar masalah terjadinya kekerasan itu. Misalnya, masalah kesejahteraan dan lain sebagainya.

Menurutnya, "Pemerintah harus berikan tingkat dan fasilitas kesejahteraan yang sama. Seperi rumah dinas, kendaraan dinas antara Polri dan TNI," ujar dia.

Penembakan brutal yang dilakukan oleh kelompok bersenjata itu dilakukan pada Sabtu dinihari 23 Maret 2013. Empat tahanan tewas ditembaki kelompok yang beraksi dengan penutup muka itu. Keempatnya adalah tahanan titipan Polda DIY yang terlibat dalam pengeroyokan yang menewaskan anggota Den Intel Kodam Diponegoro Serka Heru Sentosa, beberapa waktu lalu.(IRIB Indonesia/Detikcom/Vivanews)

Negara Hukum Rimba


Indonesia ialah negara hukum, katanya. Dalam konteks hukum, siapa pun yang belum diputus bersalah atas suatu kejahatan, dia seharusnya dianggap tidak bersalah dan negara berkewajiban melindunginya.

Peristiwa penyerangan Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Sleman, Yogyakarta, dan eksekusi terhadap empat tahanan di dalamnya oleh kelompok yang memiliki senjata Sabtu (23/3), membuat kita bertanya-tanya. Bertanya apakah kita masih pantas menyebut diri sebagai negara hukum bila orang-orang yang belum diputus bersalah oleh pengadilan harus dieksekusi mati?

Apakah kita akan terus menyebut diri sebagai negara hukum jika mereka yang memiliki senjata bisa semaunya menggunakan senjata itu untuk mengeksekusi orang tidak bersalah? Apakah negara ini sedang menuju negara hukum rimba ketika yang berkuasa atas senjata bisa berbuat semaunya?

Apakah kita tidak malu membangga-banggakan diri sebagai negara hukum bila negara gagal melindungi warga negara? Bagaimana pertanggungjawaban hukum negara kepada keluarga para korban?

Permintaan maaf saja jelas tidak cukup. Tidak ada jalan lain bagi pemerintah kecuali mengungkap kasus ini bila Indonesia masih ingin disebut negara hukum.

Sesungguhnya tidaklah sulit mengungkap perkara tersebut. Aparat bisa menelusuri dari profil para korban. Para korban ialah tersangka pembunuh anggota TNI mantan anggota Kopassus. Artinya, bukan tidak mungkin motif penyerangan LP dan eksekusi keempat tahanan bermotif balas dendam.

Aparat kemudian bisa menelusuri proses penyerangan dan eksekusi tahanan yang begitu cepat, rapi, terencana, terukur, dan detail. Hanya pasukan terlatih yang sanggup melakukannya.

Hal lain yang bisa ditelusuri ialah mengapa polisi menitipkan keempat tahanan berstatus tersangka itu ke LP? Apakah polisi mencium gelagat rekan-rekan anggota TNI korban pembunuhan bakal balas dendam dan menyerang markas polisi sehingga peristiwa penyerangan markas polisi di Baturaja, Sumsel, bisa terulang?

Petunjuk yang bisa ditelusuri untuk mengungkap kasus ini sudah lebih dari cukup. Tidak ada gunanya pejabat keamanan bersikap defensif atau bahkan mencoba menutup-nutupinya demi membela korps.

Kita marah dengan gerombolan bersenjata yang menyerang LP Sleman dan mengeksekusi empat tahanan di dalamnya. Namun, kita juga marah, sangat marah, kepada pejabat keamanan yang mencoba menutup-nutupinya dengan berlindung di balik penyelidikan yang katanya masih berlangsung.

Kita marah karena pejabat keamanan menganggap rakyat bisa dibodoh-bodohi di tengah fakta atau petunjuk yang begitu telanjang. Kita marah karena sang pejabat seperti lebih melindungi korps daripada rakyat.

Di tengah sikap defensif pejabat keamanan, Presiden perlu mengambil langkah konkret untuk memastikan kasus penyerangan LP Cebongan dan pembunuhan empat tahanan di dalamnya sungguh-sungguh terungkap.

Presiden tidak cukup hanya prihatin dan menginstruksikan pejabat keamanan mengungkap kasus tersebut. Rakyat menuntut Presiden sebagai pemimpin tertinggi untuk menjaga Indonesia tetap sebagai negara hukum, bukan negara hukum rimba.

Terlepas dari siapa pun pelakunya, Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra, Fadli Zon, mendesak agar peristiwa ini mendapat perhatian serius dari pemerintah. "Terlepas dari motif yang melatarbelakanginya, kejadian brutal tersebut tak sepantasnya terjadi di negara hukum seperti Indonesia," ujar Fadli, Ahad 24 Maret 2013. "Tak pernah kita dengar adegan semacam itu kecuali di film-film action."

Peristiwa ini, Fadli menegaskan, sungguh mengkhawatirkan dan memalukan.  Insiden ini menunjukkan negara seperti tak berdaya menghadapi kelompok bersenjata. Hukum tak berjalan dan kurang wibawa. "Kejadian ini merupakan bentuk teror kepada negara. Harus ada tindakan nyata dan cepat dari pemerintah  untuk menanganinya, dan dijamin tak terulang lagi."

Pemimpin daerah di Yogyakarta langsung meminta warganya tetap tenang dan tidak resah. Walikota Yogyakarta Haryadi Suyuti menjamin warga Nusa Tenggara Timur yang tinggal di Yogyakarta dapat melaksanakan kegiatan sehari-hari seperti biasa.

Gusti Bendoro Pangeran Haryo Prabukusumo, adik Sri Sultan Hamengku Buwono X, juga memberi jaminan serupa. "Saya minta jangan terpancing isu-isu yang tidak jelas. Saya menjamin Yogyakarta akan tetap aman dan tidak akan ada lagi tindakan kekerasan," katanya. (IRIB Indonesia/Metrotv/Vivanews)

Operasi Militer di LP Cebongan Tewaskan "Musuh"?

Oleh: Arnaz Firman

Belum lagi kering air mata di Ogan Komering Ulur(OKU) Sumatera gara-gara 100 prajurit Batalyon Artileri Medan 15/76 Tarik Martapura yang dengan sadis menyerang Markas Kepolisian OKU,  kini air mata turun di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cebongan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Sebuah" kelompok bersenjata" sukses menewaskan empat" musuh mereka di LP Cebongan?

Pada hari Sabtu dinihari sekitar pukul 02.00 WIB, sekitar 17 orang bersenjata laras panjang dan membawa granat menyerbu LP Cebongan, Sleman untuk mencari pembunuh Sersan Satu Santoso, seorang anggota satuan elit Komando Pasukan Khusus(Kopassus) TNI AD yang beberapa hari sebelumnya tewas terbunuh di sebuah kafe.

Kelompok bersenjata ini bahkan sempat mengancam beberapa sipir di sana antara lain dengan menempelkan granat ke tubuh seorang sipir dan akhirnya " sukses" membunuh empat orang yang mereka cari.

"Semua anggota ada di markas di Kandang Menjangan," kata Kepala Seksi Intel Grup 2 Kopassus Kapten TNI-AD Wahyu Yuniartoto ketika berusaha menepis tuduhan bahwa anggota pasukan elit TNI-AD itu terlibat dalam penyerbuan lembaga pemasyarakatan itu.

Bahkan tidak kurang dari Panglima Kodam IV Diponegoro Mayor Jenderal TNI Hardiono juga membantah kemungkinan keterlibatan prajurit TNI dalam serbuan ala di medan perang tersebut.

Baik Jenderal Hardiono maupun Kapten Wahyu tentu boleh-boleh saja 1000 kali membantah keterlibatan prajurit TNI-AD dalam tindak kekerasan tersebut.

Namun masyarakat tentu berhak bertanya kenapa sampai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto pada Sabtu pagi sampai mengeluarkan perintah kepada Panglima TNI Laksamana TNI Agus Suhartono dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Timur Pradopo untuk segera menyelidiki kasus kekerasan yang justru terjadi pada sebuah instansi sipil dan bukannya di kantor militer atau polisi.

Keempat orang tewas itu adalah Gameliel Yermiyanto Rohi Riwu, Adrianus Candra Galaja, Hendrik Angel Sahetapi, serta Yohanes Juan Manbait. Keempat orang itu diduga terlibibat membunuh Sertu Santoso di sebuah kafe di Solo yakni Hugo` Cafe.

Kalau sang pembunuh itu misalnya hanya preman-preman pasar, atau umpamanya anggota resimen mahasiswa atau bahkan pelajar sekolah menengah atas, maka pertanyaan sederhana yang mungkin muncul pada benak orang- orang awam maka apakah mungkin Menko Polhukam Djoko Suyanto sampai harus memerintahkan Panglima TNI dan Kapolri untuk segera turun tangan kalau kasus ini tidak melibatkan prajurit- prajurit TNI ?

Di kafe?

Sersan Satu Santoso itu disebut-sebut tewas terbunuh di sebuah kafe, padahal seluruh prajurit TNI dan juga Polri telah dilarang keras untuk pergi ke tempat- tempat hiburan seperti kafe.

Untuk apa Santoso datang ke kafe dan tidak tahukah bintara itu bahwa ada larangan untuk mengunjungi kafe?

Apakah Santoso datang ke kafe untuk mencari hiburan atau mencari penghasilan tambahan dengan menjaga tempat itu?

Karena Santoso adalah anggota satuan elit Kopassus maka tidak aneh sama sekali bila muncul dugaan atau tuduhan bahwa rekan-rekannya dari Grup II yang bersenjata lengkap datang ke LP Cebongan, Sleman.

Tuduhan itu sudah dibantah keras oleh Kepala Seksi Intelijen Grup II Kopassus.

Kalau begitu, maka pertanyaan berikut adalah siapa yang sampai "tega" turun tangan membalas dendam itu dengan mendatangi LP Cebongan sehingga empat orang tewas di sana?

Apakah mungkin ada semangat satu korps atau istilah gagahnya esprit de corps dari rekan-rekan di satuan-satuan TNI Angkatan Darat lainnya untuk mendatangi Cebongan dengan membawa senapan hingga granat misalnya dari satu batalyon di Kodam Diponegoro?

Atau mungkinkah ada satuan elit lainnya misalnya Korps Marinir atau Pasukan Khas TNI-AU atau Paskhas yang sudi membela rekannya yang tewas di sebuah kafe?

Perkelahian seorang prajurit TNI dengan prajurit lainnya baik dari satuan lainnya di TNI atau Polri sebenarnya merupakan satu hal yang "kuno" atau tidak aneh lagi.

Tapi kalau ada prajurit TNI menyerang penjara maka hal ini merupakan hal yang baru atau aneh.

Perintah Menko Polhukam untuk menyelidiki kasus ini patut dihargai sehingga bisa diketahui bagaimana mungkin sekitar 17 orang bersenjata sampai bisa menyerbu Cebongan. Namun perintah tersebut hanya bersifat jangka pendek.

Penelitian jangka panjanglah yang harus dilakukan sejak dini untuk mengetahui kenapa semakin banyak tindak kekerasan dilakukan prajurit- prajurit TNI baik terhadap sesama prajurit maupun terhadap warga sipil.

Dari tahun ke tahun, semakin banyak prajurit di dalam organisasi TNI. Penambahan prajurit itu memang sesuai dengan prinsip kemampuan minimum esensial atau minimum essential force.

Yang menjadi persoalan adalah dalam beberapa tahun mendatang di Tanah Air diperkirakan tidak bakal terjadi pemberontakan atau tindakan kekerasan berskala besar di dalam negeri.

Kalau ramalan itu memang akan betul-betul terjadi, maka tentu ratusan ribu prajurit TNI-AD, TNI-AL,TNI-AU atau bahkan Polri bakal "menganggur" atau tidak akan banyak menghadapi tugas fisik yang bakal menghabiskan energi mereka.

Akibatnya, mereka tidak tahu bagaimana harus menghabiskan energinya. Paling-paling mereka hanya apel pada pagi dan siang hari.

Padahal sebagai prajurit muda, maka cadangan energi mereka sangat banyak. Latihan militer misalnya menembak tentu tidak bisa dilakukan setiap hari karena akan menghabiskan dana yang banyak.

Karena itu, menko polhukam,Panglima TNI, ketiga kepala staf TNI serta Kapolri harus berpikir keras mulai sekarang antara lain bagaimana menyalurkan energi ratusan ribu prajurit mereka secara tepat, sehingga tidak usah minta maaf kepada masyarakat jika terjadi tawuran bagaikan anak-anak sekolah menengah atas. (IRIB Indonesia / Antara / SL)

0 comments to "KRONOLOGIS Penyerang LP Sleman : Negara Hukum Rimba, POLRI Jangan TAKUT...!!!!! Rakyat Indonesia Mendukung Kalian...!!!!!"

Leave a comment