Sheikh Rachid al-Ghannushi, ulama pejuang dan revolusioner Tunisia yang juga pemimpin Partai Islam Ennahdhah akhirnya kembali ke negaranya setelah berada di pengasingan selama 20 tahun. Sheikh al-Ghannushi direncanakan tiba di Tunisia, 30 Januari ini. Hussein Jaziri, wakil partai Ennahdhah dalam sebuah statemen menyatakan, Sheikh akan berada di Tunisia bukan dalam rangka untuk merebut kekuasan tapi sebagai warga negara biasa yang berperan dalam menjembatani antara berbagai kelompok yang aktif di Tunisia.
Ditambahkannya bahwa al-Ghannushi akan ikut berupaya menegakkan kebebasan dan demokrasi di negara ini. Di masa rezim Ben Ali, pemerintah melarang aktivitas Partai Islam Ennahdhah sebagai partai politik. Kini, setelah rezim Ben Ali tumbang, Ennahdhah akan kembali aktif di panggung politik. Jaziri mengatakan, partai Ennahdhah akan menggelar musyawarah nasional dalam beberapa bulan mendatang. Namun demikian, al-Ghannushi tidak berpikir untuk mencalonkan diri sebagai ketua partai.
Dalam wawancara dengan sebuah saluran televisi Perancis, Sheikh Rachid al-Ghannushi mengungkapkan rencananya untuk menyerahkan kepemimpinan partai Ennahdhah kepada generasi baru. Menurutnya, tidak ada keharusan bagi dirinya untuk tetap berada di pucuk pimpinan partai. Sebab menurutnya generasi muda Tunisia memiliki kecakapan, kemampuan dan kesiapan yang lebih besar untuk memajukan partai ini mencapai cita-citanya.
Tahun 1981, mengikuti langkah Ikhwanul Muslimin, Sheikh Rachid al-Ghannushi membentuk partai Ennahdhah al-Islamiyah. Tahun 1989 partai ini mengikuti pemilihan umum dan berhasil merebut 17 persen suara. Menyusul keberhasilan ini rezim Zine El Abidine Ben Ali yang menjalankan pemerintahan dengan tangan besi menumpas kader-kader utama partai Ennahdhah dan melarang aktivitas partai ini.
Tahun 1992, Rachid al-Ghannushi dan sejumlah orang dekatnya dijerat tudingan makar dan pasal subversif. Mereka diadili secara in absentia dan divonis penjara seumur hidup. Kini, menyusul amnesti umum kepada tahanan politik, Sheikh al-Ghannushi adalah salah satu pejuang dan tahanan politik yang menemukan nuansa baru dalam dunia politik Tunisia.
Banyak kalangan yang menyebut al-Ghannushi sebagai orang terkuat untuk memimpin dan merampungkan gerakan revolusi rakyat Tunisia. Tak heran jika rencana kepulangan tokoh pejuang ini dinantikan dan dielu-elukan oleh rakyat di negara itu. Adanya figur seperti al-Ghannushi akan menjadi menerang arah dalam revolusi Tunisia. (IRIB/AHF/SL/30/1/2011)
Tunisia dan Hipokrasi Barat
Oleh: Robin Yassin-KassabDiktatur, maling sekaligus klien Barat, Zein al-Abdine Ben Ali, begitu dicintai Paris dan Washington. Tapi cinta itu hilang beberapa jam sebelum dia terusir dari Tunisia.
Kekuasaannya berakhir tidak oleh militer atau kudeta istana, namun oleh gerakan berbasis rakyat yang terdiri dari serikat pekerja, asosiasi profesional, para pengangguran, petani, kelompok kiri, kaum liberal, dan aktivis-aktivis intelek Islam, pria dan wanita.
Salah satu slogan mereka yang paling menonjol dan kemudian bergaung ke dunia Arab dan sekitarnya adalah, la khowf ba'ad al-yowm atau "Tidak Ada Lagi Takut Mulai Sekarang."
Ada harapan bahwa Tunisia kini akan mengembangkan sistem politik partisipatif yang menghormati hak-hak warga negara, akan menata dan membangun perekonomiannya, mengimplementasikan keadilan sosial, dan melepaskan diri dari rangkulan (koalisi) Barat-Israel.
Kendati begitu, revolusi itu menghadapi bahaya. Meskipun kepala ular telah dipotong, kepentingan para konglomerat yang berada di belakang rezim Ben Ali masih kukuh mencengkram negeri, dan mereka akan berjuang mati-matian untuk membatasi dan menghalau partisipasi rakyat Tunisia.
Demi alasan ini, adalah krusial bagi warga Tunisia untuk melanjutkan gerakan mereka dengan menggemakan slogan al-intifada mustamura atau ‘intifada berlanjut.'
Di luar mafia lokal Tunisia, ada banyak alasan lain yang dapat menggagalkan revolusi Tunisia: yaitu rezim-rezim Arab yang ketakutan (terimbas Tunisia), terutama mereka yang selama ini menjadi hamba Barat, Israel, Amerika Serikat, Prancis, dan elite Barat lainnya.
Salah satu atau lebih dari faktor-faktor penghambat revolusi Tunisia ini akan diam-diam mensponsori kekacauan di Tunisia dalam berbagai bentuk.
Tapi kita mendapat keyakinan diri yang tinggi, bahwa dalam pekan-pekan terakhir ini rakyat Tunisia telah membuktikan dirinya berani dan telah membuka matanya dari semua bentuk ancaman.
Apapun yang terjadi ke depan di Tunis, dunia Arab telah memasuki satu babak baru. Tunisia telah menunjukkan bahwa "jalanan Arab' memiliki harapan lebih lapang dan kekuataan lebih besar, ketimbang kebanyakan dunia Arab yang berdekade-dekade ditakut-takuti penindasan.
Kini kita tahu bahwa Arab marah terhadap korupsi dan mismanajemen oleh rezim-rezim, oleh pemberangusan diskusi dan perdebatan, oleh kekeliruan dalam membangun sistem kesehatan dan pendidikan fungsional, oleh kepengecutan saat menghadapi Zionisme dan menjadi tempat pangkalan-pangkalan militer asing.
Kini kita tahu bahwa Arab bisa memaksa penguasanya mengubah kebijakannya atau jika tidak, akan menghadapi nasib seperti Ben Ali.
Secara khusus, para abdi Barat berada dalam bahaya. Liputan media televisi milik Saudi membuat bahaya itu semakin nyata.
Dalam beberapa pekan terakhir, Aljazair menghadapi demonstrasi dan kerusuhan. Sebelumnya ribuan orang berbaris menuntut perbaikan kehidupan ekonomi di Yordania.
Satu demonstrasi yang digelar gedung Kedutaan Besar Tunisia di Cairo menyelamati gerakan intifada, dan meneriakkan semboyan lama Palestina, "Revolusi Sampai Jaya."
Sebelum ini Mesir menjadi pemimpin politik, budaya dan militer dunia Arab, tapi kini kepemimpinan itu tak lebih berbobot daripada Qatar.
Kebanyakan rakyat Mesir kelaparan dan sekitar sepertiga penduduk buta huruf. Rezim Mubarak adalah alat Zionisme dan imperialisme, sebaliknya mereka adalah pengepung bangsa Palestina.
Tatanan sosial negara itu telah dirobek-robek salafisme dan sektarianisme. Jika ada tempat yang memerlukan dosis Tunisia, maka pastilah itu Mesir.
Inspirasi dari Tunisia adalah hal yang dapat membangkitkan kepercayaan diri Mesir, menghentikan kejatuhan Mesir, dan memberi dorongan untuk satu perubahan radikal.
Jalan keluar dari kebencian komunal dan kegagalan sosial adalah aksi rakyat, melibatkan seluruh warga negara, tanpa melihat agama, sekte, etnis, suku atau daerah.
Kejayaan Tunisia ini tidak dimenangkan dengan memanfaatkan romantisme nativis, kekacuaan sektarian, atau manipulasi agama.
Rakyat Tunisia mengusung slogan "Kekuassan Untuk Rakyat" dan poster-poster Che Guevara, ketimbang fatwa ulama.
Ini akan berdampak kultural secara jangka panjang terhadap dunia Arab, setidaknya menyamai dampak Revolusi Islam Iran pada 1979 yang telah menyemangati Islamisme Arab hingga kini.
Di sini, saya hendak menegaskan fakta bahwa revolusi Arab pertama di abad ini sepenuhnya berkarakter sekuler, tapi saya tak ingin memasuki diskursus sederhana 'sekuler versus Islam.'
Kenyataannya, para aktivis Islam di Tunisia itu sama aktifnya dengan siapapun dalam perjuangan itu, dan aktivis Islam Tunisia itu secara politik amat pluralis dan progresif logis. Partai Nahda pimpinan Rashid al-Ghannushi adalah contoh paling tepat untuk ini.
Yang pasti gerakan-gerakan itu telah membuka hipokrasi terus-terusan pemerintah negara-negara Barat, seperti halnya penglekatan terus menerus media mereka dengan kebijakan luar negeri. Sampai hari kemenangan revolusi dicapai, media Anglosaxon tetap bungkap sebisa-bisanya.
Ini berbeda sekali ketika mereka meliput Gerakan Hijau Iran, yang basis sosialnya sebenarnya lebih sempit, tetapi dikemas nyaris seperti pemberontakan. Martir gerakan itu mereka cetak tebal-tebal dan dibesar-besarkan, sedangkan berhalaman-halaman kebohongan ditulis dengan menyebutnya sebagai "revolusi Twitter".
Ya, ini (revolusi Tunisia) adalah gerakan massa sekuler yang menyerukan kebebasan dan hak-hak sipil, dengan memanfaatkan media sosial, dan menarik nilai-nilai universal ke (wilayah) utara pantai Mediterania itu, tetapi tak ada seorang pun ingin mengetahuinya.
Tapi kini, semua berubah seketika, posisi Amerika telah bergeser dari "kami tak mau berpihak" menjadi "memuji keberanian dan keluhuran rakyat Tunisia".
Dalam sekejap, media Barat mendapati bahwa Ben Ali itu ternyata diktatur korup. Kisah baru pun ditulis, disesuaikan dengan peristiwa itu.
Inilah yang Anda sebut fait accompli. Dan untuk kesekian kalinya, rakyat Arablah yang melakukan semua itu. Seperti inilah kemenangan tampak.
Robin Yassin-Kassab adalah pengarang novel "The Road from Damascus" terbitan Penguin Books. Tulisan aslinya "This Is What Victory Looks Like" dimuat di Palestine Chronicle pada 14 Januari 2011. (IRIB/Antara/31/1/2011)Oleh: Dina Y. Sulaeman
Ben Ali akhirnya tumbang setelah 24 tahun berkuasa, ‘hanya' oleh demonstrasi rakyat yang terjadi secara spontan. Sungguh sebuah ironi bagi AS. Negara yang mengklaim diri sebagai penegak demokrasi itu telah menggelontorkan dana milyaran dollar untuk proyek yang disebutnya ‘demokratisasi Timur Tengah' dengan target Afghanistan, Iran, dan Irak. Namun selain kerugian materil yang tak habis-habis, kini AS harus gigit jari menyaksikan bahwa justru negara yang tidak didorongnya untuk berdemokrasi, yaitu Tunisia (mungkin segera menyusul Mesir, serta negara-negara Arab lainnya), malah bangkit menumbangkan penguasa mereka dan menuntut pemerintahan yang demokratis. Kembali terbukti bahwa bagi AS demokratisasi adalah membuka pasar seluas-luasnya bagi korporasi AS. Bila sebuah rezim despotik macam Ben Ali sudah membuat nyaman korporasi, persetan dengan demokrasi.
Tak heran bila Obama dan bahkan media mainstream berhari-hari sempat bungkam menyikapi sikap brutal dan represif rezim Ben Ali terhadap para demonstran Tunisia. Segera setelah Ben Ali angkat kaki dari Tunisia, barulah Obama tampil dan menyatakan dukungannya pada ‘perjuangan yang berani untuk menegakkan hak-hak universal' serta menyeru kepada pemerintah Tunisia agar menghormati HAM dan menyelenggarakan pemilu yang mereflesiksikan aspirasi rakyat Tunisia. Sikap Obama dan media mainstream ini jelas berbeda dengan sikap mereka tahun 2009 ketika ada sekelompok ‘reformis' menentang hasil pilpres Iran. Ketika jatuh korban dalam aksi-aksi kerusuhan yang dipicu para ‘reformis' Iran, Obama tampil sebagai pembela dengan mengatakan, "Saya sangat mengutuk tindakan yang tidak adil ini dan saya bergabung dengan bangsa Amerika untuk meratapi setiap nyawa yang hilang [di Iran]." Media-media mainstream terlibat aktif mendukung kaum ‘reformis' dengan tak henti berkoar-koar menuduh kecurangan pemilu Iran. Mereka baru diam setelah menyadari bahwa Pemerintahan Islam Iran ternyata belum bisa diruntuhkan lalu mengalihkan headline dengan topik kematian Michael Jackson.
Baiklah, kita biarkan saja Obama dan media mainstream dengan sikap munafik mereka. Saya ingin mengajak Anda untuk melihat hal yang agak luput dari perhatian banyak orang. Benar bahwa Ben Ali adalah despotik, koruptor, dan diktator sehingga memicu kemarahan rakyat yang akhirnya menggulingkannya. Tapi sesungguhnya, Ben Ali tak lebih dari boneka yang menjadi perpanjangan tangan sebuah lembaga penghisap darah negara-negara Dunia Ketiga: IMF. Betul Ben Ali kaya raya, tapi ada yang lebih banyak lagi mengeruk kekayaan dari Tunisia, yaitu korporasi-korporasi AS. Meskipun IMF adalah organisasi dengan 187 negara anggota, namun pemilik modal terbesar di IMF adalah AS, sehingga AS pun menjadi suara penentu dalam pengambilan keputusan IMF. AS memiliki kuota 1/3 suara dari keseluruhan kuota suara dalam IMF, suara AS sendiri saja cukup untuk memveto semua upaya perubahan terhadap Piagam IMF. Lebih lagi, kantor pusat IMF berada di Washington, D.C., dan stafnya kebanyakan adalah para ekonom AS; personel IMF biasanya -sebelum atau sesudah berkarir di IMF- bekerja di Departemen Keuangan AS. Dengan demikian, tidak mengherankan bila kebijakan-kebijakan IMF sangat berpihak pada kepentingan AS atau perusahaan-perusahaan transnasional yang dimiliki oleh warga AS.
IMF hadir di negara-negara berkembang menawarkan dana pembangunan, namun dengan syarat bahwa negara-negara itu mau mengikuti resep pembangunan ekonomi liberal ala IMF. Berkat ‘resep' IMF, terjadi pertumbuhan kerjasama ekonomi transnasional yang sangat pesat di negara-negara penerima hutang. Namun, mayoritas keuntungan terbesar diraup oleh perusahaan-perusahaan transnational yang dikuasai negara-negara maju. Sementara itu, negara-negara berkembang justru semakin tenggelam dalam utang. Mereka juga sangat bergantung pada arus modal luar negeri, terutama dalam bidang investasi portofolio (surat berharga), bukannya investasi yang memiliki daya serap tenaga kerja yang tinggi.
Sejak Ben Ali naik tahta tahun 1987 dia sudah berlindung di bawah ketiak IMF. Ben Ali dengan patuh menjalankan instruksi IMF: subsidi harus dicabut karena akan membebani biaya pemerintahan (padahal, biaya hasil pengurangan subsidi dialokasikan untuk membayar hutang kepada IMF), BUMN-BUMN yang tidak efisien harus diefisienkan dengan cara menjualnya ke pasar bebas (siapa yang membelinya kalau bukan korporasi rekanan IMF?), dan deregulasi (penghapusan aturan-aturan pemerintah yang menghalangi liberalisasi ekonomi). Konsep liberalisasi konon akan memberi kesempatan yang sama kepada setiap orang untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya. Namun pada prakteknya, hanya mereka yang memiliki modal kuat dan kekuasaan politik yang besarlah yang menang dalam persaingan. Liberalisasi ekonomi ala IMF hanya menghasilkan segelintir elit yang kaya raya seperti Ben Ali dan kroninya, dan membuat 30% pemuda Tunisia menjadi penganggur. Kalaupun mereka bekerja, gaji mereka sangat rendah, sementara berbagai subsidi bahan pokok sudah dicabut.
Meskipun kemiskinan merajalela di Tunisia, situs resmi pemerintah AS tetap memuji negeri ini, "Kebijakan ekonomi Tunisia yang bijaksana, didukung oleh Bank Dunia dan IMF telah menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang stabil, tingkat ekspor yang sehat, sektor turisme yang kuat, dan kondisi yang baik untuk produksi pertanian." Situs resmi IMF juga tak ketinggalan memuji Tunisia karena telah melakukan "manajemen ekonomi makro yang bijaksana" sehingga mampu bertahan menghadapi krisis ekonomi global.
Kita, bangsa Indonesia, pasti sudah sangat familiar dengan situasi seperti ini. Sejak tahun 1980-an Indonesia juga mengadopsi kebijakan IMF dan Bank Dunia (dua lembaga renternir yang saling mendukung dalam upaya menjerat negara-negara Dunia Ketiga dalam hutang tak berkesudahan). Indonesia pun mengalami kemajuan ekonomi pesat sehingga dipuji-puji sebagai calon "Macan Asia". Banyak orang terlena, silau oleh kemegahan bangunan-bangunan dan proek-proyek yang dibangun dengan hutang. Pondasi ekonomi liberal yang dibangun Indonesia atas petunjuk IMF ternyata sangat rapuh sehingga langsung roboh saat krisis moneter 1997. Lagi-lagi, IMF pula yang datang mengulurkan dana. Kisahnya persis bak pasien sekarat yang sudah tahu bahwa dokternyalah yang selama ini memberi racun, namun tetap datang ke dokter yang sama.
Kita pun tahu situasi selanjutnya. Ekonomi kolaps, rakyat semakin miskin, mahasiswa marah, dan kita pun beramai-ramai bangkit menggulingkan rezim Soeharto melalui berbagai aksi demonstrasi. Sayang, 13 tahun kemudian, kita masih berkubang di lumpur yang sama. Antek-antek rezim lama masih terus bercokol dan hanya mengganti slogan. Jumlah penduduk miskin terus meningkat, hampir semua bank dan BUMN dikuasai asing, kontrak-kontrak pertambangan yang tidak adil tetap dilanjutkan (lihat kasus Freeport dan ExxonMobil). Privatisasi semakin merajalela, bahkan merambah ke bidang-bidang yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara: pendidikan, kesehatan, air minum, dan listrik. Demokrasi liberal pasca reformasi ternyata gagal memunculkan pemimpin yang benar-benar mengabdi untuk rakyat. Demokrasi liberal hanya membuka peluang bagi individu-individu yang bermodal besar untuk berkuasa (dan dianggap legal karena toh hasil ‘pilihan rakyat'). Pemilu hanya menjadi ajang jual citra dan pesta iklan di media-media. Pemerintah baru melanjutkan kebiasaan lama: menimbun hutang dan membayarnya dengan menjual BUMN dan konsesi berbagai tambang.
Situasi Indonesia hari ini persis seperti salah satu penggalan lirik lagu band The Who, "meet the new boss, same as the old boss." Rakyat berjuang menggulingkan rezim lama, tapi rezim baru ternyata setali tiga uang meski bertopeng demokrasi dan reformasi. Lagi-lagi rakyat yang menjadi korban.
Agaknya, Tunisia perlu belajar dari pengalaman Indonesia agar tak terjatuh dalam lubang yang sama. Mereka tak boleh membiarkan tokoh-tokoh rezim lama (yang sudah pasti kini berganti baju dan slogan) tetap menguasai pemerintahan. Reformasi ternyata tidak berhenti pada penggulingan sebuah rezim, namun bagaimana membangun rezim baru yang kokoh, yang tidak mau lagi dikibuli IMF dan kroni-kroninya. Reformasi yang sukses ternyata harus diiringi dengan kecerdasan dalam berdemokrasi, mampu memilih pemimpin yang benar, tak tergoyahkan oleh tipuan-tipuan kapitalis yang selalu ingin mempertahankan kekayaan dalam setiap masa. Reformasi ternyata memerlukan seorang pemimpin berintegritas tinggi, sudah memiliki konsep yang matang, dan mampu memimpin bangsa ke arah yang lebih baik, bukannya jatuh ke lubang yang sama. Dan untuk yang satu ini, Tunisia (juga Indonesia) sepertinya perlu belajar kepada Iran. (IRIB/29/1/2011)
0 comments to "Tunisia Seharusnya Belajar Pada Indonesia"