Khutbah Berapi-Api Rahbar Tentang Muslim Myanmar 20 Tahun Lalu
Rahbar atau Pemimpin Tertinggi Revolusi Islam Iran, Ayatullah al-Udzma Sayid Ali Khamenei, sebenarnya telah lama memperingatkan tentang nasib umat Muslim Myanmar. Pada tanggal 4 Maret 1992, menjelang bulan Ramadan,
Rahbar mengungkapkan pendapat beliau tentang masalah Myanmar sebagai berikut:
"Sekarang gerakan kezaliman di dunia, sebenarnya adalah sebuah gerakan luar biasa. Dewasa ini, kekuatan adidaya berkuasa dengan mengerahkan berbagai sarana propaganda komprehensif dan dengan menggunakan berbagai fasilitas untuk mengesankan kebenaran sebagai kebatilan dan sebaliknya kebatilan sebagai kebenaran. Mereka [kekuatan adidaya] sama sekali tidak mempedulikan nilai-nilai kemanusiaan dan sakral, siapa yang akan menghadapi mereka dan menjelaskan kebenaran? Lihatlah, apa yang sekarang mereka lakukan di dunia, betapa bangsa-bangsa—khususnya bangsa-bangsa Muslim—tertindas, dan kemudian mereka bersesumbar tentang dukungan terhadap hak asasi manusia dengan tidak merasa malu.
Inilah kondisi warga Muslim lemah dan malang Myanmar yang puluhan ribu di antara mereka sekarang hidup dengan kondisi terburuk di Bangladesh. Para delegasi kami pergi ke sana dan menginformasikan kepada kami yang pasti [beritanya] tidak akan membuat seseorang dapat memejamkan mata! Betapa dunia saat ini tidak mempedulikan makna sejati hak asasi manusia! Memangnya ada yang berkomentar di dunia ini?
Sekelompok orang bersepatu boot, mengusir puluhan ribu warga Muslim Myanmar dari rumah mereka dengan cara paling beringas. Anak-anak, perempuan, dan laki-laki mereka dibunuh, harta benda mereka dirampas, setiap orang menyelamatkan dirinya masing-masing. Di dunia ini tidak ada orang yang peduli, PBB tidak bersuara, Komite HAM tidak berkoar, Palang Merah Internasional tidak merasa memiliki tanggung jawab, bahkan konferensi-konferensi dan organisasi-organisasi bohong pembela HAM, perdamaian, dan lain-lainnya tidak ada yang berkomentar. Seakan mereka [Muslim Myanmar] bukan manusia!
Ini menunjukkan permusuhan dunia terhadap Islam beserta ajaran dan nilai-nilainya. Ini membuktikan betapa mereka tidak mempedulikan kemanusiaan dan apa yang mereka kemukakan tentang hak asasi manusia hanyalah jargon politik untuk memukul pihak lain atau membesar-besarkan pihak tertentu, melemahkan sebuah pemerintahan, atau menghukum sebuah masyarakat.
Sayang sekali, ucapan-ucapan ini tidak sampai ke telinga opini publik Eropa dan Amerika Serikat sehingga mereka dapat memahami apa yang sedang dilakukan para penguasa mereka. Masyarakat kita memahami fakta-fakta ini, mereka tahu betapa besar kebohongan para pengklaim pendukung HAM dan kemanusiaan. Mereka yang lugu dan senang mendengar ucapan-ucapan tersebut, harus mengetahui fakta ini. Masalah umat Muslim Myanmar dilenyapkan seakan tidak pernah terjadi, mengapa? Memangnya apa salah mereka? Kesalahan mereka adalah karena mereka Muslim. Sedangkan musuh memerangi Islam dan menakutinya.
Sekarang, kondisi sudah sedemikian rupa sampai-sampai perlawanan terhadap Islam sudah tidak berkedok lagi. Satu-satunya jendela yang terbuka bagi bangsa-bangsa Muslim adalah Republik Islam, apakah kita harus menutup jendela ini dan mematahkan harapan bangsa-bangsa? Apakah kita kita harus ikut bungkam? Apakah kita juga harus tunduk pada tekanan premanisme kekuatan adidaya? Apakah hukum Allah seperti ini? Apakah Allah akan meridhai hal ini? Apakah budaya jihad melawan kezaliman dan amar makruf dan nahi munkar dalam Islam, membolehkan kita berpikir seperti ini? Sungguh tidak demikian!
Di sini, panji perlawanan terhadap kezaliman akan tetap terjaga. Kita akan berdiri menghadapi setiap kekuatan penjajah dan zalim yang mengandalkan ujung tombak mereka di hadapan bangsa-bangsa, tidak peduli siapa pun mereka. Jangankan Amerika, jika ada kekuatan dan pemerintahan yang lebih kuat dari Amerika Serikat pun, kami akan melawannya, sama seperti kami melawannya saat ini. Kita pernah melawan kekuatan bersatu Amerika Serikat dan Uni Soviet. Amerika dan Soviet adalah dua kutub kekuatan yang jika digabung, kekuatannya jauh lebih tinggi dibanding kekuatan Amerika Serikat sekarang. Keduanya bersatu menghadapi kita, akan tetapi kita melawan mereka dan kita akan tetap melawan. Namun perlawanan ini menuntut semakin mendalam dan bergairahnya iman masyarakat." (IRIB Indonesia/MZ)
Dunia Islam Tidak Boleh Bungkam Atas Myanmar dengan Alasan Konflik Internal
Ayatullah Naser Makarem-Shirazi menyerukan umat Islam dunia untuk mengambil tindakan tegas guna mengakhiri pembantaian massal kaum Muslim Rohingya, Myanmar.
"Dunia Islam tidak boleh mengabaikan pembantaian kaum muslimin yang tertindas di Myanmar dengan beralasan sedang sibuk dengan konflik internal," kata Ayatullah Makarem-Shirazi di kota suci Qom Sabtu (21/7).
Seraya menyatakan bahwa musuh telah menebar benih perpecahan di dalam tubuh umat Islam di seluruh dunia, termasuk di Suriah, beliau juga menegaskan bahwa kurangnya perhatian dari umat Islam "telah menyebabkan pembantaian secara brutal ribuan Muslim tak berdosa termasuk di Myanmar."
Ayatullah Makarem-Shirazi mendesak negara-negara Muslim untuk menyuarakan penentangan dan kutukan terhadap genosida tersebut dan menambahkan, "Dunia Islam juga wajib mendesak PBB dan badan-badan internasional lainnya untuk melindungi warga Muslim yang tidak berdosa." (IRIB Indonesia/MZ)
Derita Muslim Rohingya dan Kebisuan Dunia
Transformasi politik dan sosial di Myanmar dalam dua tahun terakhir menjadi sorotan luas opini publik regional dan internasional. Militer Myanmar dan oposisi mengalami masa pasang surut dalam perebutan kekuasaan di negara itu. Kelompok utama yang selama bertahun-tahun melakukan kegiatan sebagai oposisi pemerintah adalah Partai Liga Nasional Demokrasi (NDL), pimpinan Aung San Suu Kyi. Etnis Kachin, Karen, dan Shan juga termasuk kelompok suku populer di Myanmar dan telah ditumpas pada era pemerintahan militer. Sementara Muslim Myanmar yang berjumlah sekitar satu juta jiwa kerap mengalami diskriminasi di tengah warga negara itu. Satu juta Muslim Rohingya berada di bawah penindasan junta sejak tahun 1962 hingga sekarang.
Junta Myanmar memegang kekuasaan mutlak dan sama sekali tidak memberi kesempatan kepada partai, etnis, agama, dan kelompok lain untuk melakukan aktivitas politik, ekonomi, dan budaya. Junta akan menumpas setiap etnis, partai, dan agama yang tidak sejalan dengan gagasan dan kebijakan militer. Situasi di era Perang Dingin dan setelahnya telah menguntungkan militer Myanmar. Pada era Perang Dingin, militer Myanmar mendapat dukungan politik, ekonomi, dan militer dari Komunis Cina. Dan setelah berakhirnya era itu, Myanmar dan junta di negara itu memperoleh dukungan dari India atas alasan geografis dan keamanan. Pada dasarnya, Myanmar bertindak sebagai lingkaran penghubung antara Cina dan India. Oleh karena itu, jarang sekali mendapat tekanan dari dunia internasional.
Seiring perkembangan regional dan dukungan Cina untuk Myanmar, pemerintah Amerika Serikat sebagai "pembela" hak asasi manusia, menerapkan sanksi ekonomi terhadap Myanmar dengan alasan melakukan pelanggaran luas HAM dan mengabaikan hak-hak sipil dan politik warga negara. AS juga meminta beberapa negara Eropa dan Kanada serta Australia untuk menghukum Myanmar. Akibat tekanan dan embargo, Burma perlahan mulai terkucilkan di kawasan Asia Tenggara. Untuk menyesuaikan diri dengan kondisi itu, junta mengadopsi pendekatan dan strategi baru. Pembentukan Dewan Perdamaian dan Pembangunan Negara (State Peace and Development Council), termasuk taktik militer untuk mempoles citra Myanmar yang mulai rusak.
Pada tahun-tahun pertama dekade 1980, Jenderal Than Shwe sedikit mampu memperbaiki wajah Myanmar yang tercoreng dan menyita perhatian publik regional ke negara itu. Dewan Perdamaian dan Pembangunan Negara berusaha memisahkan diri dari era kelam despotisme. Militer bahkan mampu membawa negara itu untuk menjadi anggota ASEAN pada tahun 1997. Namun, keanggotaan Myanmar di ASEAN bukannya memberi harapan kepada partai politik, etnis, dan agama yang berada di bawah tekanan junta, tapi malah menambah tanggung jawab dan beban organisasi tersebut.
Meskipun junta Myanmar menunjukkan perubahan dalam kebijakannnya dan bersedia menandatangani Piagam HAM ASEAN, namun AS dan beberapa negara Eropa masih enggan mencabut embargo mereka. Sebenarnya, sanksi itu sendiri tidak begitu mempengaruhi kebijakan-kebijakan militer dan beberapa pejabat AS dan Eropa menyatakan bahwa sikap lunak tidak akan lahir dari para pejabat militer Myanmar selama Cina masih mendukung negara itu. ASEAN juga tahu persis bahwa Myanmar adalah negara otoriter di bawah junta militer, namun para pemimpin ASEAN pada waktu itu bersikukuh bahwa organisasi ini menganut prinsip tidak saling mencampuri urusan dalam negeri masing-masing. Kini terbukti prinsip itu semakin ketinggalan zaman di tengah globalisasi komunikasi dan informasi yang dengan segera bisa mengubah lanskap politik internasional.
Pada November 2010, Myanmar menggelar pemilu parlemen dan ini adalah pesta demokrasi pertama sejak 20 tahun terakhir. Meski bersedia menggelar pemilu, akan tetapi rezim militer menjatahkan seperempat kursi parlemen khusus bagi angkatan bersenjata. Pada pemilu terakhir di Myanmar tahun 1990, militer kalah berat. Untuk memastikan kekuasaannya, para jenderal kali ini mencalonkan diri dan menjatahkan seperempat kursi parlemen khusus bagi militer serta menentukan persyaratan super ketat bagi keikutsertaan oposisi. Perekonomian Myanmar berantakan. Kebanyakan penduduknya miskin, dan tidak ada sistem kesehatan serta pendidikan yang berfungsi. Pelanggaran hak asasi manusia sudah merupakan keseharian, khususnya hak-hak kelompok minoritas seperti Muslim Rohingya.
Kabar pembunuhan, pembakaran, penjarahan, pemerkosaan serta penangkapan Muslim Rohingya di negara bagian Arakan (Rakhine), Myanmar semakin nyaring terdengar. Kekerasan kejam tersebut dilakukan oleh eksrimis Buddha dan pasukan pemerintah. Ribuan jiwa Muslim tak berdosa gugur dalam kekerasan yang memuncak akhir-akhir ini. Radio Free Europe pada 12 Juli melaporkan bahwa sebuah helikopter Burma menyerang tiga kapal yang membawa hampir 50 Muslim Rohingya yang melarikan diri dari kekerasan sektarian di barat Burma. Serangan itu diyakini telah membunuh semua orang di kapal. Dari 16 Juni dan seterusnya, militer terlihat lebih aktif dalam melakukan tindakan kekerasan dan pelanggaran HAM terhadap Rohingya, termasuk pembunuhan massa dan penangkapan di negara bagian Rakhine Utara.
Sejak dulu, junta Myanmar menerapkan program sistematis pembersihan agama dari Muslim Rohingya, dengan mengabaikan hak-hak dasar mereka, yaitu hak untuk bebas bergerak, pernikahan, keimanan, identitas, kepemilikan bahasa, warisan dan budaya, kewarganegaraan, pendidikan dan lain-lain. Menurut laporan terakhir, Muslim Royingya di Myanmar berada dalam penderitaan tragis. Laporan mengatakan 650 dari hampir satu juta Muslim Rohingya tewas pada tanggal 28 Juni dalam bentrokan di wilayah barat Rakhine. Sementara 1.200 lainnya hilang dan 80.000 lebih terlantar.
Transmigrasi umat Budha ke wilayah berpenduduk Muslim, Arakan adalah strategi lain rezim militer Myanmar untuk merealisasikan program pembersihan agama dari Muslim Rohingya. Kebijakan itu bertujuan untuk mengubah komposisi etnis, agama, dan suku di Myanmar. Pemerintah bahkan mendukung pembangunan kuil-kuil Budha di depan masjid-masjid komunitas Rohingya. Aksi junta Myanmar dilakukan semata-mata untuk melecehkan dan menghina umat Islam. Dalam kebanyakan kasus, junta mencabut kewarganegaraan Muslim Myanmar dan menangkap mereka dengan tuduhan sebagai pendatang haram. Presiden Myanmar Thein Sein bahkan mengatakan kepada PBB bahwa kamp pengungsi atau deportasi adalah solusi terhadap hampir satu juta Muslim Rohingya. Dia mengusulkan untuk mendeportasi etnis Rohingya jika ada negara ketiga yang siap menerima mereka.
Secara politis, Myanmar memiliki reputasi buruk. Sebuah perang saudara berkepanjangan telah melanda negara itu tak lama setelah kemerdekaan dari Inggris pada 1948. Kebanyakan pengamat politik dan masalah Muslim menilai Inggris sebagai akar krisis di seluruh wilayah Muslim di Asia. Menurut mereka, Inggris menganggap perpecahan dan penghancuran kekuatan Muslim sesuai dengan kepentingan-kepentingannya.
Apa yang terjadi terhadap Muslim Rohingya di Myanmar jelas melanggar hukum internasional dan harus dikategorikan sebagai kejahatan kemanusiaan. Namun sayangnya, penerima Hadiah Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi telah menutup mata dan telinga terhadap penderitaan Muslim Rohingya. Mungkin dia telah melupakan kata-katanya sendiri tentang demokrasi dan hak asasi manusia bahwa, "Perjuangan untuk demokrasi dan hak asasi manusia di Burma adalah perjuangan untuk hidup dan martabat." Suu Kyi hanya menyatakan "keprihatinan" atas kekerasan etnis dan pembantaian terhadap warga berkulit gelap dan sepertinya tidak penting bagi partainya yang menguasai parlemen di Myanmar.
Muslim Rohingya yang sedang menjalani salah satu episode paling keras dari sejarah mereka, adalah salah satu isu yang paling mendesak untuk dibahas di forum-forum internasional. Namun, penderitaan mereka senantiasa absen dari prioritas regional dan internasional. Sementara Muslim Rohingya tanpa negara dan tidak berdaya terus menderita dan mati di dunia yang mendewakan HAM dan demokrasi. (IRIB Indonesia)
Timur Tengah dan Asia Barat Tidak Perlu Kehadiran Pasukan Asing
Hossein Sheikholeslam, anggota parlemen Iran menyatakan bahwa kehadiran pasukan trans-regional tidak diperlukan di Timur Tengah dan Asia Barat, mengingat negara-negara regional sendiri mampu menjaga keamanannya.
Mengacu pada negara tetangga Afghanistan, yaitu Iran, Pakistan, Cina, Uzbekistan, Turkmenistan dan Tajikistan, serta dua tetangga jauhnya yaitu Rusia dan India, Hossein Sheikholeslam berkata, "Mereka semua memiliki peran penting dalam memperluas kerjasama regional dalam membangun keamanan dan perkembangan ekonomi Afghanistan. "
Direktur jenderal untuk urusan internasional parlemen Iran ini menyinggung pada 'pakta strategis' yang ditandatangani antara AS dan Afghanistan beberapa waktu lalu, dan mengatakan bahwa salah satu konsekuensi dari perjanjian tersebut adalah berlanjutnya perang dan peningkatan kekerasan oleh kelompok-kelompok radikal.
Pada 1 Mei 2012, Washington dan Kabul menandatangani kesepakatan untuk memperpanjang kehadiran militer AS di Afghanistan hingga tahun 2024.(IRIB Indonesia/MZ)
Memecah Prasangka; Catatan Perjalanan di Iran 10 Hari
Oleh: Sirikit Syah
Setelah sepuluh hari melihat Iran, banyak yang ingin saya ceritakan kepada pembaca Jawa Pos. Kita kerap membaca berita-berita tentang Iran, dan kebanyakan sumber kita adalah media Barat. Bahkan bila laporan itu kita baca di media Indonesia, tetap saja, para redaktur kita mengutipnya dari media barat. Jarang sekali redaktur media Indonesia mengutip IRNA, IRIB atau Press TV, misalnya. Maka, jangan terkejut, bila cerita saya berbeda dengan pemahaman kita semua selama ini tentang Iran.
Perjalanan saya ke Iran merupakan momentum ‘breaking the prejudice', memecah prasangka. Sebagian besar dari kita –rakyat Indonesia- mengira orang Iran adalah orang Arab, berwajah seram, perempuannya pakai burqa seperti kaum Taliban di Afghanistan, perempuannya tidak boleh kemana-mana, negaranya miskin dan terbelakang. Maaf, semua itu salah. Kedudukan perempuan misalnya, kenyataannya sungguh berbalik 180 derajat dari asumsi saya. Peran pria Iran, menurut pandangan saya yang orang Indonesia tapi mengenyam pendidikan barat, juga amat unik dan menarik untuk dicatat.
Konferensi yang saya hadiri pertengahan Juli kemarin bertajuk "International Moslem Women Conference and the Islamic Awakening". Ini tentu maksudnya, bagaimana peran perempuan Islam sedunia dalam gerakan/gelombang Kebangkitan Islam. Panitia perempuan semuanya mengenakan chador, kain hitam menutup kepala sampai mata kaki, seperti selimut, hanya menyisakan wajah-wajah cantik perempuan Iran. Di belakang mereka, siap siaga para pria Iran berwajah tampan berbadan tegap dengan pakaian western (berpantalon dan berjas). Meskipun bergaya intelek dan elegan, para pria ini adalah "pembantu umum" yang membereskan persoalan dan kesulitan. Paling ekstrim saya melihat, mereka memasuki ruang makan dan makan paling akhir, ketika semua perempuan sudah selesai makan. Setelah 10 hari bersama mereka, saya mencatat, pria Iran adalah supporter atau back up yang luar biasa bagi kiprah perempuan Iran.
Para perempuan Iran bekerja secara profesional: ada dokter (kebanyakan dokter), lawyer, insinyur, pilot, dosen, guru, pegawai bank. Mereka dipertemukan dengan kami (para tamu dari negara asing), lalu mereka bercerita tentang sulitnya membagi waktu antara famili-profesi-religi. Ya, orang Iran amat relijius sehingga agama selalu dinomorsatukan. Kesulitan mereka sama saja dengan kesulitan ibu-ibu di Indonesia dan di banyak negara lain. Saya terkesan, mereka tidak mengatakan hidup mereka mudah atau baik-baik saja (kalau mereka bilang begini, akan saya anggap propaganda public relation). Mereka tak memiliki support-system seperti tetangga dan keluarga, seperti di negara-negara Asia atau Afrika. Namun sistem pemerintahan mereka mensupport maksimal: cuti hamil 6 bulan sepenuh gaji, akan ditingkatkan jadi satu tahun; dan selama dua tahun setelah masuk kerja, setiap hari bebas 2 jam kerja untuk menyusui. Bahkan perempuan yang memiliki orangtua, suami, atau anak disable, diminta tinggal di rumah dan digaji oleh pemerintah untuk mengurusi/mendidik sang disable tadi.
Menilik ucapan dan gerak tubuh (gesture), perempuan Iran amat confident (percaya diri) dan berdiri sama tinggi dengan kaum prianya. Perempuan-perempuan berjubah hitam ini ‘keluyuran' sampai malam dan dini hari di café dan lobby hotel (karena urusan kepanitiaan) dan mereka seolah biasa saja melakukan itu. Cara pria dan wanita berbincang juga sejajar, sama dengan kita di Indonesia. Namun, pria Iran tampak lebih menaruh hormat kepada para perempuannya. Di jalan, para perempuan Iran pakai baju gaya western, dengan kerudung yang menyisakan jambul/poninya. Tak sedikit pula yang nyetir mobil.
Pecahnya prasangka atau praduga terhadap Iran tak hanya pada fisik (bahwa mereka ternyata lebih mirip orang kulit putih daripada orang Arab –mereka keturunan ras Aria, seperti bangsa Eropa umumnya); tetapi juga pada kedudukan pria-wanita, tingginya peradaban mereka, majunya ekonomi negara, dan intelektualitas mereka yang mengagumkan. Tingginya peradaban dapat kita saksikan dari situs-situs peninggalan, dimana masjid dan bangunan kuno lainnya telah memiliki pola arsitektur yang canggih pada jamannya. Intelektualitas juga tercermin saat kita berbicara dengan mereka. Tak mengherankan bila mereka menemukan teknologi nano, menciptakan hujan di padang pasir, bahkan merekayasa nuklir untuk kebutuhan listrik negaranya.
Pecahnya prasangka ini melahirkan kekaguman pada bangsa Iran. Apalagi Iran membiayai Konferensi Perempuan Islam Sedunia ini 100%. Peserta datang dari 84 negara (termasuk Afrika, Amerika Latin, Eropa Utara), jumlahnya skitar 1200 orang, semua dibiayai dengan layanan VIP selama di Iran, dan tiket pesawat pulang pergi dari negara masing-masing diganti. Kita akan berpikir: berapa besar biayanya? Mengapa Iran mau mengeluarkan biaya sebesar itu untuk sebuah konferensi?
Pada akhirnya saya menyimpulkan sendiri: bagi Iran, bukan konferensinya yang penting, tetapi kemampuannya mengumpulkan para perempuan cendekia sedunia inilah yang ingin disuarakan ke seluruh dunia. Bahwa Iran bisa. Bahwa Iran akan didukung perempuan sedunia menggelorakan Kebangkitan Islam, suatu gerakan yang tak terbendung. Gerakan yang berawal di akar rumput ini sudah berhasil menggulingkan pemerintahan yang korup di kawasan Timur Tengah, menggantikannya dengan tokoh dari Muslim Brotherhood (Persaudaraan Muslim).
Bila memang itu tujuannya: image building, mungkin biaya itu berarti. Iran yang mengalami sanksi ekonomi internasional selama 30 tahun, terbukti menggeliat, survive, rakyatnya menggunakan produk dalam negeri. Tidak apa-apa mobil-mobil di jalanan dan HP para tokoh tampak jadul (kuno), dan tidak ada McDonald atau KFC di Tehran; tetapi mereka berdiri dan menatap kita dengan kebanggaan. Mungkin kita bangsa Indonesia yang kaya raya tidak bisa bersikap penuh kebanggan dan percaya diri seperti itu. (IRIB Indonesia/Jawapos)
*) Dosen dan pengamat media. 19 Juli 2012
MEMBUKA HATI, MENUTUP KECURIGAAN
Bersama delapan orang dari Forum Indonesia Muda, pada hari Selasa (3/7) saya berangkat menuju Tehran untuk menghadiri workshop internasional yang membahas mengenai tantangan-tantangan yang dihadapi dunia Islam. Jumlah peserta ini berkurang dengan beragam alasan. Alasan yang paling tak biasa adalah kekhawatiran tidak bisa pergi ke Amerika Serikat karena pernah berkunjung ke Iran sampai kecurigaan terhadap masyarakat Iran.
Aroma kecurigaan ini sudah muncul sebelum keberangkatan. Bahkan salah seorang anggota Dewan Syariah Nasional meminta saya untuk meningkatkan akidah sebelum berangkat ke Iran. Kecurigaan ini tentu terbangun atas landasan ketidaktahuan atau setidaknya kekuranglengkapan atas informasi yang diterima. Sebagai contoh, kekhawatiran atas taqiyyah.
Sebagian sebuah kebolehan yang didasari oleh nas, taqiyyah tidak boleh dilakukan dalam setiap keadaan. Ada syarat dan kondisi tertentu sebelum melakukannya. Tentu akan menjadi kecerobohan jika menuding seluruh orang Iran, baik desa maupun kota, di pasar maupun pegunungan melakukan “trik” terhadap setiap orang asing yang datang.
Tiba di Tehran sekitar pukul sebelas malam, kami bertemu dengan dua orang Indonesia lain dari dariVoice of Palestine. Di hari berikutnya barulah peserta baik bermazhab suni maupun Syiah dari India, Pakistan, Turki, Malaysia, dan lainnya hadir untuk mengikuti acara yang diselenggarakan oleh Unified Ummah.
International Union of Unified Ummah merupakan sebuah organisasi non-pemerintah yang digerakkan oleh sekelompok mahasiswa muslim yang bertujuan untuk mewujudkan sebuah dunia tanpa penindasan dan ketidakadilan. Menurut mereka, cara terbaik yang dapat dilakukan adalah dengan berupaya mencapai persatuan seraya menolak kekuatan jahat. Unified Ummah telah turut serta dalam berbagai kegiatan seperti Global March to Jerusalem dan bantuan ke beberapa daerah konflik.
Untuk sedikit mengurangi cuaca yang panas dan kering, workshop diadakan di sebuah daerah perbukitan bernama Abali (آبعلی). Di tempat ini, tidak ada akses internet dan keterbatasan media komunikasi luar. Sehingga cara terbaik yang bisa dilakukan saat itu adalah menikmati alam sekitar seraya memaksakan diri untuk menikmati roti (نان) ala Iran sebagai menu.
Satu hari sebelum acara utama, Roohulla Rezvi sebagai salah seorang penanggung jawab acara memberikan short briefing mengapa tema-tema pembahasan acara berkisar pada negara-negara Timur Tengah dan para peserta masih di dominasi dari Asia. Dia mengatakan bahwa kita ingin memulai pembahasan dari dalam “rumah tangga”.
Sayid Ali Khamenei dalam pidatonya tahun 2004 pernah mengatakan bahwa isu Palestina merupakan tema paling penting dalam dunia Islam dan penjajah Palestina menjadi sumber bagi banyak kelemahan dan masalah di dunia Islam lainnya. Melalui tulisan pembuka ini dan tulisan-tulisan berikutnya, saya akan mencoba berbagi catatan dan pengalaman terkait persatuan selama acara berlangsung. Insya Allah.(http://ejajufri.wordpress.com/2012/07/16/membuka-hati-menutup-kecurigaan/)
TULUS DALAM PERSATUAN
Bagian Pertama: Membuka Hati, Menutup Kecurigaan
Tema pertama seminar diisi oleh Mr. Saed Qasemi. Pengajar di Universitas Tehran dan pengkaji pemikiran Imam Khomeini ini mengatakan bahwa kita berada di era yang meyakini akan terjadi perang akhir zaman. Revolusi yang terjadi pada hari ini layaknya letusan gunung berapi yang menumbangkan para pemimpin satu per satu. Alquran sudah menyatakan bahwa kekuatan kecil mampu mengalahkan kekuatan besar. Revolusi yang terjadi di Timur Tengah ini merupakan gerakan independen yang tidak memihak Timur maupun Barat.
Meski sudah berada di era komunikasi digital, di antara masalah yang muncul dalam revolusi ini adalah kurangnya komunikasi di antara negara-negara dan situasi politik internal yang tidak mendukung. Masih banyak orang yang belum memahami bahasa-bahasa utama, sehingga kita kesulitan dalam memahami situasi satu sama lain. Di samping semua itu, masalah lain adalah mengenai suni-Syiah. Karena itu penting bagi kita untuk membangun pemahaman mengenai musuh bersama (common enemy).
Berbicara mengenai persatuan, Dr. Qasemi menekankan pentingnya memahami filosofi dari sebuah praktik ritual dalam ibadah, khususnya haji. Dalam ibadah haji, kita memiliki banyak kesamaan mulai dari slogan ibadah sampai dengan pakaian. Ada begitu banyak aspek filosofis dalam ritual ibadah haji, seperti melempar jumrah, kurban, hingga tahalul. Dalam haji, kita bisa dan harus berbuat baik terhadap semua orang meski mungkin kita tidak memahami bahasa mereka.
Meski di hari-hari awal kita sudah berbicara mengenai persatuan, acara yang diselenggarakan olehWahdat-e Ummat ini sudah membuat saya pribadi sedih karena perbuatan segelintir orang. Ketika masuk waktu magrib, peserta dari negeri jiran juga mengumandangkan azan setelah azan setempat. Tentu karena dia meyakini tidak sahnya azan yang dikumandangkan orang Iran. Tidak cukup dengan itu, ketika puluhan atau mungkin ratusan orang lain melaksanakan salat Magrib, sekitar tiga atau empat orang peserta membuat salat jemaahnya sendiri.
Setelah salat, jemaah salat Syiah selalu membaca doa Wahdah. Doa persatuan ini mereka baca sambil saling menggenggam dan mengangkat tangan bersama-sama. Teman satu delegasi mendengar lisan-lisan yang mengatakan “Biar Syiah-Syiah ini masuk neraka!”
Meski tidak ada larangan dari panitia, tapi tentu hal-hal seperti itu tidak kita inginkan. Keesokan harinya saya coba tanyakan ke pimpinan delegasi negeri jiran, mengapa tidak ikut bergabung. Dia menjawab, “Kata ustaz kami rukun-rukun kita berbeda. Jadi kami ikut saja kata ustaz kami.” Dia sebenarnya orang yang cukup terbuka, terbukti pada hari-hari berikutnya dia mau untuk salat bersama dan memimpin membaca Quran cetakan Iran yang tentu tidak ada bedanya. Sayang, perbuatan dia tidak diikuti oleh anggota lainnya.
Kita semua yang sedang membangun persatuan tidak menginginkan kesan perbedaan ini. Beberapa ikhwan suni asal Iran, Pakistan, India, Mesir juga ikut berjemaah dengan imam Syiah. Begitu juga dengan ikhwan suni asal Mesir dan India yang menjadi imam juga dimakmumi oleh pengikut Syiah. Persatuan bukanlah suni dengan suni, Syiah dengan Syiah, atau suni menjadi Syiah atau Syiah menjadi suni. Persatuan ialah suni dan Syiah yang berbeda dapat bersatu.
Masih berbicara tentang persatuan, tema kedua hari itu adalah Religious Basis of Unity yang disampaikan oleh Ahmad Moballeghi. Dalam pembicaraannya, dia mengatakan bahwa masalah politik telah mengekspolitasi perbedaan yang terjadi di dalam suni, Syiah, maupun di antara keduanya. Perbedaan dan pengkotak-kotakkan ini semakin diperkuat dengan sifat fanatik kesukuan.
Ayat masyhur yang sering didengar ketika berbicara tentang persatuan adalah “Berpeganglah kalian semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai…” (3: 103) Ayat ini bersifat afirmatif karena di satu sisi berisikan perintah Tuhan untuk bersatu tapi di sisi lain berisikan larangan yang menolak perpecahan. Lanjutan ayat tersebut juga menjelaskan tentang sudah adanya penerangan (bayyinat) di antara umat. Karena itu, perpecahan dapat dikategorikan sebagai dosa besar atau induk segala dosa (ummudz dzunub), karena ia merupakan hal yang memalukan dan menciptakan kesan buruk dari luar agama Islam. Sebaliknya, persatuan dapat menciptakan kemuliaan (dignity) bagi umat Islam.
Ayat lain yang sering kita dengar adalah “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara…”(49: 10). Ayat ini lebih dari sekedar memerintahkan kita untuk bersatu, bahkan lebih tinggi dari semua hal ialah bersaudara. Sedemikian pentingnya persaudaraan maka dibutuhkan sebuah proses dan mekanisme untuk melindungi persatuan. “… Damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.”
Ayat lain menyebutkan, “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.” (49: 13) Ayat ini jelas berbicara bahwa perbedaan suku adalah cara untuk saling mengenal. Tapi saat ini hal yang sebaliknya justru terjadi, di mana permusuhan tercipta karena dasar-dasar seperti suku atau warna kulit.
“Sesungguhnya (umat) ini, umat kalian adalah umat yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku.” (21: 92) Ayat ini dan ayat-ayat sebelumnya dapat menjadi landasan bagi setiapmazhab, termasuk Hanafi, Ja’fari, Zaidi, untuk tetap bersatu. Setelahnya berbicara mengenai umat yang satu, ayat tersebut juga berbicara mengenai ibadah karena ibadah selalu memiliki aspek sosial.
Dalam sesi tanya-jawab, pertanyaan mendasar diajukan. Apa yang dimaksud dengan persatuan (unity)? Setiap mazhab mengklaim sebagai kelompok yang paling benar. Tapi tentu klaim tersebut harus disertai dengan bukti mengapa mereka yang terbaik. Setiap mazhab harus tetap berbicara sesuai dengan dalil dan logika tanpa harus mencela yang lain. Tapi tentu tidak semata dalil, tetapi kelompok mana yang dapat menciptakan kedamaian di tengah-tengah umat, karena seluruhnya adalah umat nabi. Nah, mazhab ini berada pada tataran pemikiran sementara persatuan berbicara mengenai praktik. Misalkan, Uni Eropa. Mereka memiliki banyak perbedaan termasuk kultur dan bahasa, tapi bisa bekerja sama dalam banyak bidang.
Lalu, apa perbedaan antara persatuan dengan pluralisme? Pluralisme bermakna, karena setiap kelompok memiliki pandangannya dan tidak mempercayai metode pemikiran, maka mereka hanya menganggap semua kebenaran itu relatif. Tetapi dalam kasus suni-Syiah, masing-masing percaya bahwa kebenaran hanyalah satu. Sehingga ia harus diiringi dengan sikap toleransi dan menghargai satu sama lain.
Ahmad Moballeghi juga mengatakah bahwa sumber perpecahan bukanlah agama atau mazhab tetapi ego. Seberapa kecil jumlah pengikut sebuah mazhab, persatuan tetap merupakan keharusan karena ia tidak berbicara tentang jumlah. Dikritik tentang jumlah masjid di Tehran, dia mengatakan bahwa istilah “masjid suni”, “masjid Syiah” hanyalah buatan manusia.
Moballeghi juga mengatakan bahwa persatuan tidak akan menutup kebenaran karena mazhab berada pada tataran pemikiran dan perbedaan tersebut bisa didiskusikan dalam wilayah akademis, sementara persatuan tetaplah praktik sosial. Karenanya dibutuhkan kedewasaan sosial untuk saling mendengar semua pemikiran dengan tetap menghargai sebagai modal persatuan.
Catatan: Thanks to brother Khizer Shaikh for the photo.(http://ejajufri.wordpress.com/2012/07/16/tulus-dalam-persatuan/)
Rahbar: Iran Tidak Akan Mengubah Perhitungannya
Rahbar atau Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah al-Udzma Sayid Ali Khamenei menyatakan bahwa tekanan asing tidak akan mengubah perhitungan Iran dan fakta bahwa Barat sedang menghadapi krisis serius.
Ayatullah Khamenei mengemukakan pernyataan itu Selasa malam (25/7) dalam pertemuan dengan para pejabat tinggi negaradi Tehran.
Rahbar mengatakan bahwa bangsa Iran tidak akan menyerah pada tekanan Barat dan bahwa sanksi rekayasa AS anti-Iran hanya akan membuat para pejabat Iran lebih bertekad untuk memperjuangkan hak-hak bangsa.
"Mereka (musuh-musuh Iran) secara eksplisit mengatakan bahwa dengan meningkatkan tekanan dan sanksi, mereka berusaha memaksa para pejabat Iran untuk mempertimbangkan kembali perhitungan mereka. Namun pada kenyataannya, kami tidak akan mempertimbangkan kembali perhitungan kami, dan kami akan terus melangkahkan kami lebih kokoh," kata Rahbar seraya menekankan bahwa Iran akan melawan tekanan ekonomi Barat.
Beliau kembali menjelaskan bahwa Amerika Serikat dan sekutunya mencoba untuk menekan Iran atas program energi nuklirnya dan isu hak asasi manusia, akan tetapi sebenarnya mereka bermasalah dengan pemerintahan Islam.
"Permusuhan pemerintah-pemerintah arogan ini terhadap Republik Islam bersumber dari penentangan mereka terhadap prinsip pemerintahan Islam, namun mereka berusaha menjustifikasi permusuhan mereka terhadap bangsa Iran dengan dalih program energi nuklir serta isu hak asasi manusia."
Di bagian lain Rahbar menyinggung kegagalan AS dalam perang di Irak dan Afghanistan, serta krisis finansial yang sedang melanda Barat.
Menurut beliau, nasib AS di Irak, kendala tak berkesudahan AS di Afghanistan, dan kegagalan politik AS di Timur Tengah adalah contoh tipikal kelemahan yang dihadapi musuh.
"Krisis ekonomi serius di Eropa dan zona euro, instabilitas di sejumlah negara Eropa, dan runtuhnya beberapa pemerintah Eropa, serta defisit anggaran yang tinggi dan kebangkitan gerakan persen 99 di AS, adalah peristiwa-peristiwa penting yang tidak boleh diabaikan," tegas Rahbar.(IRIB Indonesia/MZ)
0 comments to "Khutbah RAHBAR / Pemimpin Spiritual Republik ISLAM IRAN Tanggal 4 Maret 1992 tentang Umat Muslim Mynmar & Memecah Prasangka tentang Republik Islam Iran"